Apa Bedanya Syarah dengan Hasyiah

Syarah dan Hasyiah

Kitab Syarah dan Hasyiah


Secara umum, istilah “syarah” (الشرح) dan “hasyiyah” (الحاشية) dapat dibedakan, namun sulit untuk memisahkan keduanya secara tegas karena terdapat banyak persamaan. Oleh karena itu, banyak orientalis Barat yang menganggap kedua bentuk penulisan ini sama saja, mengingat sulitnya menemukan perbedaan yang jelas di antara keduanya.

Secara sederhana, “syarah” adalah penjelasan dari sebuah kitab “matan”, sedangkan “hasyiyah” adalah penjelasan dari “syarah”. Dengan kata lain, “hasyiyah” adalah “syarah” untuk “syarah”.

Sebagai contoh, kitab “matan” Abu Syuja’ dijelaskan oleh Ibnu Qosim Al-Ghozzi dalam kitab “Fathu Al-Qorib”. Karena kitab “Fathu Al-Qorib” merupakan penjelasan dari “matan” Abu Syuja’, maka kitab ini disebut “syarah”. Kemudian, kitab “Fathu Al-Qorib” dijelaskan lebih lanjut oleh Al-Bajuri dalam karya yang dikenal dengan nama “Hasyiyah Al-Bajuri”. Karena karya Al-Bajuri adalah penjelasan dari sebuah “syarah”, maka karya ini dikategorikan sebagai “hasyiyah”. Itulah gambaran umum perbedaan antara “syarah” dan “hasyiyah”.

Untuk lebih mendetail, berikut adalah karakteristik utama dari “syarah” dan “hasyiyah”, yang akan membantu memperjelas perbedaan dan persamaan di antara keduanya.

Syarah


“Syarah” adalah komentar penjelas untuk sebuah kitab “matan”. Kata “syarah” dalam bentuk jamak adalah syuruh (الشروح). Ulama yang menulis “syarah” disebut syarih (الشَّارِØ­).

Tugas “syarah” meliputi “tafshil mujmal” (memerinci yang global), “tabyin mubham” (menjelaskan yang belum jelas), “taqyidul muthlaq” (membatasi yang masih mutlak), “tash-hihul khotho’” (mengoreksi kesalahan), “fakkul ‘ibaroh” (menyibak makna ungkapan), dan “ta’lilat” (memberikan alasan-alasan). “Syarah” juga menyajikan “i’tirodhot” (sanggahan-sanggahan/keberatan-keberatan). Kadang, “syarah” memperkuat penjelasan “matan” dengan menyajikan dalil-dalil, istinbath, dan wajhul istidlal. Selain itu, “syarah” sering kali memperluas bahasan dengan membahas “ushul” (dasar-dasar) yang digunakan oleh pengarang matan dalam menetapkan hukum-hukum cabang. Penulis “syarah” juga bisa mengkritik beberapa cara penyajian yang ditulis oleh pengarang “matan”, dan sering kali menambahkan contoh-contoh penjelas (“amtsilah”) serta “syawahid”.

Mengkaji “syarah” adalah tingkatan kedua setelah mempelajari “matan”. Orang yang sudah mampu menulis “syarah” dan menyajikan “i’tirodhot” dianggap telah mencapai level ulama, karena sudah mampu melakukan pembacaan kritis yang bertanggung jawab dan berargumentasi. Orang yang membaca kitab “syarah” bukanlah pemula, melainkan seseorang yang sudah memasuki alam pemikiran seorang ulama yang sedang berdebat dengan ulama lain.

Teknik penulisan “syarah” beragam. Ada ulama yang menulis “syarah” dengan mencampur langsung dengan “matan”, dengan “matan” ditandai dalam kurung, seperti yang dilakukan Ibnu Qosim Al-Ghozzi dalam “Fathu Al-Qorib”. Ada juga yang mengutip satu kalimat atau paragraf dari “matan” lalu di “syarah”, seperti Ibnu Qudamah dalam “Al-Mughni”. Terkadang, penulis hanya mementingkan makna “matan” tanpa mengutip lafaznya, seperti yang dilakukan Al-Mawardi dalam “Al-Hawi Al-Kabir” dan Al-Juwaini dalam “Nihayatu Al-Mathlab”.

Dari segi keluasan penjelasan, “syarah” bisa ringkas (wajiz), sedang (mutawassith), atau panjang lebar (muthowwal/mabsuth).

Hasyiyah


“Hasyiyah” (الحاشية) atau “note” adalah penjelasan dari “syarah”, bisa dikatakan sebagai “syarah” untuk “syarah”. Kata “hasyiyah” dalam bentuk jamak adalah “hawasyi” (الحواشي). Ulama yang menulis “hasyiyah” disebut “muhasysyi” (الْÙ…ُØ­َØ´ِّÙŠْ) dan aktivitasnya disebut “tahsyiyah” (التحشية). Istilah lain yang mirip dengan “hasyiyah” adalah “ta’liq”, “qoul ‘ala”, “kalam ‘ala”, “nukat/tankit”, “thorroh/thuror”, dan “taqrir”. “Hasyiyah” biasanya diletakkan di pinggir atau di bawah teks utama.

Makna asal “hasyiyah” adalah seperti ini, namun di kalangan mutaakhirin, makna istilah ini diperluas sehingga ada yang menggunakan istilah “hasyiyah” dengan makna “syarah”. Jadi tidak heran jika ada kitab yang dinamai “hasyiyah”, tetapi isinya seperti “syarah”.

Di zaman sekarang, “hasyiyah” kadang juga dimaknai sebagai “catatan kaki” (footnote), meski istilah yang lebih populer adalah “hamisy” (الهامش) - yang dijamakkan menjadi “hawamisy”.

“Hasyiyah” muncul setelah “syarah”, tidak mungkin ada “hasyiyah” yang ditulis sebelum “syarah” karena hakikat “hasyiyah” adalah penjelasan untuk “syarah”.

Ciri utama “hasyiyah” adalah tidak mengomentari semua ungkapan dalam kitab yang dihasyiyahi. Penulis “hasyiyah” hanya mengomentari hal-hal yang dianggap perlu saja. Hal ini menjadi perbedaan utama dengan “syarah”, yang menjelaskan seluruh “matan”. Sebagai konsekuensinya, “syarah” akan selalu memperhatikan “munasabah” (kesesuaian konteks) antara satu bagian dengan bagian lain, sementara “hasyiyah” tidak. Sangat biasa jika dalam “hasyiyah” antara satu penjelasan dengan penjelasan lain tidak saling berkaitan. Oleh karena itu, “hasyiyah” umumnya lebih tipis daripada “syarah” jika yang dihasyiyahi dan disyarahi adalah kitab yang sama.

“Hasyiyah” tidak selalu berupa komentar terhadap “syarah”, tetapi bisa juga berupa komentar terhadap “matan”, hanya saja tetap dengan ciri mengomentari hal-hal yang dianggap perlu saja.

Umumnya, “hasyiyah” ditulis ulama bukan untuk dipublikasikan, tetapi untuk koleksi pribadi agar lebih memudahkan dalam mengkaji atau mengajarkan kitab. Kemudian, generasi berikutnya, setelah menyadari nilai ilmu “hasyiyah” tersebut, mulai memisahkannya dan menyebarkannya sebagai karya tersendiri. Oleh karena itu, sering ditemukan ungkapan seperti, “lahu hasyiyah ‘ala kadza jurridat fi mujallad” (beliau menulis “hasyiyah” untuk kitab “X” yang dipisahkan menjadi kitab tersendiri dalam satu jilid).

Dalam konteks kedalaman ilmu, “hasyiyah” umumnya lebih tinggi daripada “syarah”. Penulis “hasyiyah” harus menguasai isi “matan” dan “syarah”. Oleh karena itu, pekerjaan penulis “hasyiyah” bisa disamakan dengan editor isi yang sangat serius mengkaji setiap paragraf, kalimat, bahkan kata demi kata, untuk menemukan hal-hal yang tidak ditemukan oleh penulis “syarah”.

Hanya pengkaji tingkat lanjut yang bisa memahami “hasyiyah”. Pelajar pemula akan kesulitan jika langsung mengkaji “hasyiyah”. Ahmad bin Hasan Al-‘Atthos (w.1334 H) berkata:

Ù…َÙ†ْ Ù‚َرَØ£َ الْØ­َÙˆَاشِÙŠ Ù…َا Ø­َÙˆَÙ‰ Ø´َÙŠْ

“Barangsiapa (di kalangan pemula) mengkaji “hasyiyah”, maka dia tidak akan mendapatkan apa-apa”

“Hasyiyah” hanya bermanfaat bagi pengkaji tingkat lanjut, karena hal-hal yang sudah diketahui oleh mereka tidak akan diterangkan oleh penulis “hasyiyah”. Penulis “hasyiyah” hanya akan menerangkan hal-hal yang paling sulit sehingga tetap bermanfaat bagi pengkaji tingkat lanjut.

Dari sisi fungsi, mirip dengan “syarah”, “hasyiyah” juga melakukan “tafshil mujmal”, “tabyin mubham”, “taqyidul muthlaq”, “tash-hihul khotho’”, “fakkul ‘ibaroh”, dan “ta’lilat”. “Hasyiyah” juga menyajikan “ziyadat” (tambahan-tambahan) yang tidak dibahas oleh “syarah”. Dengan demikian, “hasyiyah” melengkapi kekurangan “syarah”, mengoreksi penjelasan yang keliru, atau memperjelas ungkapan yang masih ambigu atau sulit dipahami.

رحم الله علماءنا رحمة واسعة
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين

http://irtaqi.net/2019/01/29/apa-bedanya-syarah-dengan-hasyiyah/

0 Komentar

Silahkan untuk memberikan komentar, dan berilah kami kritik, saran dan kesan.