Penjelasan Puasa Syawal 6 Hari (Referensi Kitab)

Fiqih Puasa Syawal

Penjelasan Puasa Syawal 6 Hari


Diantara puasa-puasa Sunnah adalah adanya puasa di bulan Syawal selama 6 hari, karena Puasa ini sangat dianjurkan dan pahalanya bisa menyamai puasa satu tahun. Puasa 6 hari di bulan Syawal ini dikerjakan selepas mengerjakan Puasa di Bulan Ramadhan.

NIAT PUASA SYAWAL


Niat merupakan salah satu rukun puasa dan ibadah lain pada umumnya. Hal ini didasarkan pada hadits Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa segala sesuatu itu bergantung pada niat. Saat niat, seseorang di dalam hati mesti menyatakan maksudnya (qashad), dalam hal ini berpuasa. 

Di samping  qashad, seseorang juga menyebutkan status hukum wajib atau sunnah perihal ibadah yang akan dilakukan. Hal ini disebut ta’arrudh. Sedangkan hal lain yang mesti diingat saat niat adalah penyebutan nama ibadahnya (ta’yin). 

Dalam konteks puasa sunnah Syawal, ulama berbeda pendapat perihal ta‘yin. Sebagian ulama menyatakan bahwa seseorang harus mengingat ‘puasa sunnah Syawwal’ saat niat di dalam batinnya. Sedangkan sebagian ulama lain menyatakan bahwa tidak wajib ta’yin. 

Hal ini dijelaskan oleh Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami sebagai berikut.

وْلُهُ نَعَمْ بَحَثَ إلَخْ (عِبَارَةُ الْمُغْنِي وَالنِّهَايَةِ وَالْأَسْنَى) فَإِنْ قِيلَ قَالَ فِي الْمَجْمُوعِ هَكَذَا أَطْلَقَهُ الْأَصْحَابُ وَيَنْبَغِي اشْتِرَاطُ التَّعْيِينِ فِي الصَّوْمِ الرَّاتِبِ كَعَرَفَةَ وَعَاشُورَاءَ وَأَيَّامِ الْبِيضِ وَسِتَّةٍ مِنْ شَوَّالٍ كَرَوَاتِبِ الصَّلَاةِ أُجِيبُ بِأَنَّ الصَّوْمَ فِي الْأَيَّامِ الْمَذْكُورَةِ مُنْصَرِفٌ إلَيْهَا بَلْ لَوْ نَوَى بِهِ غَيْرَهَا حَصَلَ أَيْضًا كَتَحِيَّةِ الْمَسْجِدِ ؛ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ وُجُودُ صَوْمٍ فِيهَا ا هـ زَادَ شَيْخُنَا وَبِهَذَا فَارَقَتْ رَوَاتِبَ الصَّلَوَاتِ ا ه


Artinya, “Perkataan ‘Tetapi mencari…’ merupakan ungkapan yang digunakan di Mughni, Nihayah, dan Asna. Bila ditanya, Imam An-Nawawi berkata di Al-Majmu‘, ‘Ini yang disebutkan secara mutlak oleh ulama Syafi’iyyah. Semestinya disyaratkan ta’yin (penyebutan nama puasa di niat) dalam puasa rawatib seperti puasa ‘Arafah, puasa Asyura, puasa bidh (13,14, 15 setiap bulan Hijriyah), dan puasa enam hari Syawal seperti ta’yin dalam shalat rawatib’. Jawabnya, puasa pada hari-hari tersebut sudah diatur berdasarkan waktunya.   

Tetapi kalau seseorang berniat puasa lain di waktu-waktu tersebut, maka ia telah mendapat keutamaan sunah puasa rawatib tersebut. Hal ini serupa dengan shalat tahiyyatul masjid. Karena tujuan dari perintah puasa rawatib itu adalah pelaksanaan puasanya itu sendiri terlepas apa pun niat puasanya. Guru kami menambahkan, di sinilah bedanya puasa rawatib dan sembahyang rawatib,” (Lihat Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj).

Berikut adalah lafal niatnya yang dibaca pada malam hari, 
 
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ سُنَّةِ الشَّوَّالِ لِلّٰهِ تَعَالَى   

Nawaitu shauma ghadin ‘an adâ’i sunnatis Syawwâli lillâhi ta‘âlâ 
 
Artinya, “Aku berniat puasa sunnah Syawal esok hari karena Allah ta’ala.” 
 
Karena ini puasa sunnah, maka jika lupa niat pada malam hari boleh niat pada siang harinya. Berikut adalah niat puasa Syawwal jika dibaca di siang hari, 
 
  نَوَيْتُ صَوْمَ هَذَا اليَوْمِ عَنْ أَدَاءِ سُنَّةِ الشَّوَّالِ لِلّٰهِ تَعَالَى 

Nawaitu shauma hâdzal yaumi ‘an adâ’i sunnatisy Syawwâli lillâhi ta‘âlâ 

Artinya, “Aku berniat puasa sunnah Syawal hari ini karena Allah ta’ala.” 

PENJELASAN PARA ULAMA TENTANG PUASA SYAWAL


Imam Al Bujairimi menjelaskan dalam Hasyiah Al Bujairimi alal Minhaj.

(وَسِتَّةٍ مِنْ شَوَّالٍ) لِخَبَرِ مُسْلِمٍ «مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ» وَخَبَرِ النَّسَائِيّ «صِيَامُ شَهْرِ رَمَضَانَ بِعَشَرَةِ أَشْهُرٍ وَصِيَامُ سِتَّةِ أَيَّامٍ أَيْ مِنْ شَوَّالٍ بِشَهْرَيْنِ فَذَلِكَ صِيَامُ السَّنَةِ» أَيْ كَصِيَامِهَا فَرْضًا وَإِلَّا فَلَا يَخْتَصُّ ذَلِكَ بِمَا ذُكِرَ؛ لِأَنَّ الْحَسَنَةَ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا (وَاتِّصَالُهَا) بِيَوْمِ الْعِيدِ (أَفْضَلُ) مُبَادَرَةً لِلْعِبَادَةِ

Artinya: "(Dan disunnahken puasa 6 hari di bulan Syawal) karena ada hadits riwayat Imam Muslim: 

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan kemudian di ikutsertakan (teruskan) 6 hari di bulan Syawal maka seperti puasa setahun penuh).

Dan Hadits riwayat Imam Nasai:

صِيَامُ شَهْرِ رَمَضَانَ بِعَشَرَةِ أَشْهُرٍ وَصِيَامُ سِتَّةِ أَيَّامٍ أَيْ مِنْ شَوَّالٍ بِشَهْرَيْنِ فَذَلِكَ صِيَامُ السَّنَةِ

Puasa di bulan Ramadhan di samakan / diberi pahala dengan 10 bulan, dan puasa 6 hari di bulan Syawal menyamai / diberi pahala dua bulan, maka puasa itu (Ramadhan dan 6 hari di bulan Syawal) adalah (menyamai) puasa satu tahun.

Atau maksudnya bagaikan puasa pardhu setahun, dan kalo tidak begitu maka tidak ada kehususan (puasa itu) dengan pahala / kesamaan yang sudah disebutkan, karena kebaikan dikalikan 10 kali semisal (sama) dengan kebaikan itu.

Dan menyambungkannya dengan hari Ied (puasa setelah hari Ied) itu adalah lebih utama, karena (termasuk kategori) menyegerakan dalam beribadah.

[البجيرمي، حاشية البجيرمي على شرح المنهج = التجريد لنفع العبيد، ٨٩/٢]

Sumber: Hasyiah Al Bujairimi ala Syarhi Minhaj Hal 89 Juz 2

(و) صوم (ست من شوّال)؛ لأنها مع صوم جميع رمضان "كصيام الدهر" رواه مسلم؛ إذ الحسنة بعشر أمثالها، كما جاء: (أنّ َصيام رمضان بعشرة أشهر، وصيام ستة أيام -أي: من شوال- بشهرين، فذلك صيام السنة) أي: مثل صيامها بلا مضاعفة.

Artinya: (Dan disunnahkan) puasa (6 hari di bulan Syawal) karena puasa 6 hari di bulan Syawal beserta puasa seluruh Ramadhan adalah seperti puasa satu tahun" telah meriwayatkan (akan hadits keutamaan puasa itu) Imam Muslim. Karena satu kebaikan itu dikali 10 kali semisal kebaikan itu, sebagimana hadits yang telah datang:

Sesungguhnya puasa 1 bulan Ramadhan dikali 10 bulan, dan puasa 6 hari di bulan Syawal dikali dua bulan, maka itu semuanya berjumlah puasa satu tahun (12 bulan), maksudnya sebagaimana puasa 12 bulan tanpa di lipat gandakan (lagi)

نظير ما قالوه في (قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ) [الإخلاص:1]: تعدل ثلث القرآن، والمراد ثواب الفرض، وإلا .. لم يكن لخصوصية ست شوّال معنى.

Serupa masalah yang di katakan oleh para Ulama dalam keutamaan Qul Huwallahu Ahad (Surah Al-Ihklas) mengimbangi / menyamai 1/3 al-Quran. 

Yang dimaksud adalah pahala Puasa Pardhu, dan jika tidak, maka tidak ada kehususan puasa 6 hari di bulan Syawal secara ma'na.

وحاصله: أنَّ من صامها مع رمضان كل سنة .. كان كمن صام الدهر فرضاً بلا مضاعفة.

Dan hasil dari permasalahan, bahwasanya barang siapa yang berpuasa 6 hari di bulan Syawal beserta puasa bulan Ramadhan setiap tahunya, maka bagikan orang yang berpuasa Fardu seumur hidup tanpa di lipat gandakan (lagi)

وقضية إطلاق المتن: ندب صومها حتى لمن أفطر رمضان.

Dan petunjuk keumuman matan kitab (Muqaddimah Hadromiah) disunnahkan puasa (6 hari dibulan Syawal) sampai (bahkan) bagi orang yang batal puasa di bulan Ramadhan.

وقيده (حج) بغير من تعدّى بفطره؛ لأنه يلزمه القضاء فوراً.

Imam Ibnu Hajar memberikan Kayyid (batasan) tidak bagi orang yang batal puasa ramadhan dengan sengaja, karena orang yang batal puasa ramadhan dengan sengaja, wajib baginya qadha dengan segera (tanpa ditunda)

قال (م ر): أي: يحصل له أصل السنة وإن لم يحصل له الثواب المذكور؛ لترتبه في الخبر على صيام رمضان).

Imam Ramli berpendapat: ataupun (maksudnya) Hasil baginya asal (pangkal) kesunnahan, walaupun belum hasil baginya pahala yang disebutkan, karena alasan berurutanya puasa dalam hadits kepada puasa Ramadhan

ثم قال: (وقضيةُ قول المحاملي: يكره لمن عليه قضاء تطوّع بالصوم كراهةُ صومها لمن أفطره بعذر، فينافي ما مرَّ، إلا أن يجمع بأنه ذو وجهين، أو يحمل ذاك على: من لا قضاء عليه كصبي بلغ، وهذا: على من عليه قضاء) اهـ

Kemudian berkata Imam Ramli: dan (petunjuk) kasus pendapat Al mahamili: dimakruhkan bagi orang yang memiliki kewajiban qadha, untuk berpuasa Sunnah, (memasukan) kemakruhan puasanya bagi orang yang batal dengan ada udzur, maka (kasus itu) akan menampikan (menghilangkan) penjelasan yang sudah berlalu, kecuali (tidak menafikan) untuk mengumpulkan  bahwasanya penjelasan itu memiliki dua pandangan, atau ihtimal. Atau tidak menafikan untuk diihtimalkan bagi orang yang tidak memiliki kewajiban qadha seperti anak kecil yang menjadi baligh, dan ini bagi siapa yang memiliki kewajiban Qadha baginya.

وإذا لم يصمها في شوّال .. سنَّ له قضاؤها بعده؛ لتوقيتها.

Dan apabila tidak berpuasa 6 hari di bulan Syawal, maka disunnahkan baginya mengqadha puasa 6 hari, disetelah bulan Syawal, karena terwaktunya puasa 6 hari itu (yaitu di bulan Syawal).

(وسنّ تواليها واتصالها بالعيد)؛ مبادرة بالعبادة، ولما في التأخير من التعريض للفوات، ويحصل أصل السنة بصومها منفصلة عن العيد.

Dan disunnahkan meruntunya dan menyambungnya dengan hari Ied, halnya karena menyegerakan akan ibadah, dan karena sesuatu dalam pengakhiran itu adalah sebagian dari kebahayaan untuk keluputan (hilangnya kesempatan). Dan hasil pangkal kesunahan dengan berpuasa secara terpisah dari hari Ied.

ويظهر أنَّ اتصالها بالعيد أفضل من صومها أيام البيض والسود وإن تأدى بذلك ثلاث سنن؛ لما في ذلك من الخلاف القوي، خصوصاً إذا نوى ست شوّال مع البيض والسود؛ لما مر في الكلام على التعين في النية عن الإسنوي من عدم حصول شيء منها.

Dan jelas bahwa sesungguhnya menyambungkan puasa Syawal dengan Hari Ied (setelahnya) itu lebih Utama (unggul) daripada puasanya Syawal di hari hari putih dan hitam (Hari Senin dan Kamis), walaupun terlaksana dengan cara itu 3 kesunnahan. Karena ada penjelasan akan perbedaan pendapat yang kuat dalam cara itu (menggabungkan dengan hari putih dan hitam), terutama jika diniatkan puasa 6 hari Syawal berserta niat puasa hari Senin dan hari Kamis, karena alasan yang telah berlalu dalam membincangkan akan ta'yin (menentukan) dalam niat dari Imam Al Asnawi, dari tidak adanya hasil satu niatpun dari (penggabungan niat puasa) itu.

[سعيد باعشن ,شرح المقدمة الحضرمية المسمى بشرى الكريم بشرح مسائل التعليم ,page 583-584]

Sumber: Kitab Busyrol Karim Syarah Muqaddimah Al Hadromiyah.

Syekh Khatib al-Syarbini menjelaskan:

وَرَوَى النَّسَائِيُّ خَبَرَ «صِيَامُ شَهْرِ رَمَضَانَ بِعَشَرَةِ أَشْهُرٍ، وَصِيَامُ سِتَّةِ أَيَّامٍ بِشَهْرَيْنِ، فَذَلِكَ صِيَامُ السَّنَةِ» أَيْ كَصِيَامِهَا فَرْضًا، وَإِلَّا فَلَا يَخْتَصُّ ذَلِكَ بِرَمَضَانَ وَسِتَّةٍ مِنْ شَوَّالٍ؛ لِأَنَّ الْحَسَنَةَ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا.

“Imam al-Nasa’i meriwayatkan hadits; pahala puasa bulan Ramadhan sebanding dengan berpuasa sepuluh bulan, pahala berpuasa enam hari Syawal sebanding dengan berpuasa dua bulan, maka yang demikian itu adalah puasa satu tahun. 

Maksudnya seperti berpuasa wajib selama setahun, sebab jika tidak demikian maka tidak terkhusus dengan Ramadhan dan enam hari Syawal, sebab satu kebaikan dilipatgandakan pahalanya menjadi sepuluh kali lipat” (Syekh Khatib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 2, hal. 184).   

Dalam referensi yang lain disebutkan:

قال أصحابنا وهذا صحيح في الحساب؛ لأن الحسنة بعشر أمثالها، وصوم شهر رمضان يقوم مقام ثلاثمائة يوم، وهو عشرة أشهر، فإذا صام ستة أيام بعده قامت مقام ستين يوماً، وذلك شهران، وذلك كله عدد أيام السنة.

Artinya“Para pengikut kami berkata; yang demikian ini benar dalam hitungan matematika. Sebab satu kebaikan dilipatgandakan menjadi sepuluh kali. Puasa Ramadhan sebanding dengan berpuasa selama 300 hari (sepuluh bulan). Maka bila seseorang berpuasa enam hari setelahnya, sebanding dengan berpuasa 60 hari (dua bulan). Demikian ini adalah hitungan hari selama setahun” (Syekh al-‘Umrani, al-Bayan fi Madzhab al-Imam al-Syafi’i, juz 3, hal. 548).   

Pahala puasa Syawal yang sebanding dengan pahala berpuasa dua bulan maksudnya adalah dua bulan puasa wajib. Sebab, jika tidak dipahami demikian maka tidak ada arti khusus dalam penyebutan puasa Syawal dalam hadits Nabi. Misalnya bila dipahami bahwa enam hari puasa Syawal sebanding dengan dua bulan puasa Sunnah, ini tidak ada yang spesial karena semua pahala kebaikan memang demikian, pahalanya dilipatgandakan menjadi sepuluh kali. Dengan demikian, konteks perbandingan pahala tersebut harus dipahami dengan puasa wajib agar berbeda antara puasa Syawal dengan lainnya.   

Syekh Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan:

والمراد ثواب الفرض وإلا لم يكن لخصوصية ستة شوال معنى؛ إذ من صام مع رمضان ستة غيرها يحصل له ثواب الدهر لما تقرر فلا تتميز تلك إلا بذلك

Artinya: “Yang dikehendaki adalah pahala puasa fardlu, jika tidak demikian, maka tidak ada makna pengkhususan Syawal dalam hadits Nabi, karena orang yang berpuasa beserta Ramadalan, selama enam hari maka mendapat pahala puasa setahun seperti keterangan yang sudah ditetapkan, maka pahala puasa enam hari Syawal tidak dapat dianggap spesial kecuali dengan penafsiran tersebut (sebanding dengan pahala puasa fardlu dua bulan)”. (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, juz 3, hal. 456)

Imam Nawawi dalam Kitab Raudhatut Thalibin mengungkapkan tentang Utama menyegerakan puasa setelah hari raya Ied.

وَمِنْهُ سِتَّةُ أَيَّامٍ مِنْ شَوَّالٍ، وَالْأَفْضَلُ أَنْ يَصُومَهَا مُتَتَابِعَةً مُتَّصِلَةً بِالْعِيدِ.

Dan sebagian puasa Sunnah adalah puasa 6 hari di bulan Syawal, dan yang paling utama adalah berpuasa secara beruntun bersambung dengan hari Ied (tanggal 2 Syawal)

[النووي، روضة الطالبين وعمدة المفتين، ٣٨٧/٢]

Sumber: Kitab Raudhatut Thalibiin Karya Imam Nawawi Rahimahullah

Imam Nawawi Rahimahullah dalam Kitab Syarah Sahih Muslim menjelaskan

قال صلى اللَّهُ عليه وسلم من صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا من شَوَّالٍ كان كَصِيَامِ الدَّهْرِ رَوَاهُ مُسْلِمٌ ) فيه دلالة صريحة لمذهب الشافعى وأحمد وداود وموافقيهم في استحباب صوم هذه الستة وقال مالك وأبو حنيفة يكره ذلك قال مالك في الموطأ ما رأيت أحدا من اهل العلم يصومها قالوا فيكره لئلا يظن وجوبه ودليل الشافعى وموافقيه هذا الحديث الصحيح الصريح واذا ثبتت السنة لا تترك لترك بعض الناس أو أكثرهم أو كلهم لها وقولهم قد يظن وجوبها ينتقض بصوم عرفة وعاشوراء وغيرهما من الصوم المندوب قال أصحابنا والأفضل أن تصام الستة متوالية عقب يوم الفطر فان فرقها أو أخرها عن أوائل شوال إلى اواخره حصلت فضيلة المتابعة لأنه يصدق أنه أتبعه ستا من شوال قال العلماء وانما كان ذلك كصيام الدهر لان الحسنة بعشر امثالها فرمضان بعشرة أشهر والستة بشهرين وقد جاء هذا في حديث مرفوع في كتاب النسائي وقوله صلى الله عليه و سلم ( ستا من شوال ) صحيح ولو قال ستة بالهاء جاز أيضا قال أهل اللغة يقال صمنا خمسا وستا)


Artinya: "Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa berpuasa penuh di bulan Ramadhan lalu menyambungnya dengan (puasa) enam hari di bulan Syawal, maka (pahalanya) seperti ia berpuasa selama satu tahun." (HR. Muslim).

Dalil ini yang dibuat pijakan kuat madzhab syafi’i, Ahmad Bin Hanbal dan Abu Daud tentang kesunahan menjalankan puasa 6 hari dibulan syawal, sedang Abu Hanifah memakruhkan menjalaninya dengan argument agar tidak memberi prasangka akan wajibnya puasa tersebut….

Para pengikut kalangan Syafi’i menilai yang lebih utama menjalaninya berurutan secara terus-menerus (mulai hari kedua syawal) namun andaikan dilakukan dengan dipisah-pisah atau dilakukan diakhir bulan syawal pun juga masih mendapatkan keutamaan sebagaimana hadits diatas.

Ulama berkata “alasan menyamainya puasa setahun penuh berdasarkan bahwa satu kebaikan menyamai sepuluh kebaikan, dengan demikian bulan ramadhan menyamai sepuluh bulan lain (1 bulan x 10 = 10 bulan) dan 6 hari di bulan syawal menyamai dua bulan lainnya (6 x 10 = 60 = 2 bulan). [ Syarh nawaawi ‘ala Muslim VIII/56 ].

PUASA SYAWAL Bersamaan QADHA PUASA


Diperbolehkan menggabung niat puasa 6 hari bulan syawal dengan qadha ramadhan menurut Imam Romli dan keduanya mendapatkan pahala. Sedangkan menurut Abu Makhromah tidak mendapatkan pahala keduanya bahkan tidak sah.

قال شيخنا كشيخه والذي يتجه أن القصد وجود صوم فيها فهي كالتحية فإن نوى التطوع أيضا حصلا وإلا سقط عنه الطلب

(وقوله كالتحية) أي فإنها تحصل بفرض أو نفل غيرها لأن القصد شغل البقعة بالطاعة وقد وجدت (قوله فإن نوى التطوع أيضا) أي كما أنه نوى الفرض (وقوله حصلا) أي التطوع والفرض أي ثوابهما (قوله وإلا) أي وإن لم ينو التطوع بل نوى الفرض فقط (وقوله سقط عنه الطلب) أي بالتطوع لاندراجه في الفرض


Artinya: “Berkata Guru kami seperti guru beliau : Pendapat yang memiliki wajah penyengajaan dalam niat (dalam masalah ini) adalah adanya puasa didalamnya maka sama seperti shalat tahiyyat masjid bila diniati kesunahan kedua-duanya juga mendapatkan pahala bila tidak diniati maka gugur tuntutannya”.

(Keterangan seperti shalat tahiyyat masjid) artinya shalat tahiyyah bisa berhasil ia dapatkan saat ia menjalani kewajiaban shalat fardhu atau sunah lainnya karena tujuan niat (dalam shalat tahiyyah masjid) adalah terdapatnya aktifitas ibadah di masjid dan ini sudah terjadi.

(Keterangan diniati kesunahan) sama halnya saat ia niati ibadah fardhu

(Keterangan kedua-duanya juga mendapatkan) artinya mendapatkan pahala puasa sunah dan puasa fardhu

(Keterangan bila tidak ia niati) artinya ia tidak niat puasa sunah tapi hanya niat puasa fardhu saja

(Keterangan maka gugur tuntutannya) artinya tuntutan puasa sunnahnya karena telah tercakup dalam puasa fardhu. [ I’aanah at-Thoolibiin II/271 ].

(مسألة: ك): ظاهر حديث: «وأتبعه ستاً من شوّال» وغيره من الأحاديث عدم حصول الست إذا نواها مع قضاء رمضان، لكن صرح ابن حجر بحصول أصل الثواب لإكماله إذا نواها كغيرها من عرفة وعاشوراء، بل رجح (م ر) حصول أصل ثواب سائر التطوعات مع الفرض وإن لم ينوها، ما لم يصرفه عنها صارف، كأن قضى رمضان في شوّال، وقصد قضاء الست من ذي القعدة، ويسنّ صوم الست وإن أفطر رمضان اهـ. قلت: واعتمد أبو مخرمة تبعاً للسمهودي عدم حصول واحد منهما إذا نواهما معاً، كما لو نوى الظهر وسنتها، بل رجح أبو مخرمة عدم صحة صوم الست لمن عليه قضاء رمضان مطلقاً.

Artinya : Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa berpuasa penuh di bulan Ramadhan lalu menyambungnya dengan (puasa) enam hari di bulan Syawal, maka (pahalanya) seperti ia berpuasa selama satu tahun." (HR. Muslim).

(Masalah Kaf) Bila melihat zhahirnya hadits seolah memberi pengertian tidak terjadinya kesunahan 6 hari bulan syawal saat ia niati bersamaan dengan qadha ramadhan namun Ibn Hajar menjelaskan mendapatkan kesunahan dan pahalanya bila ia niati sama seperti puasa-puasa sunah lainnya seperti puasa hari arafah dan asyura bahkan Imam Romli mengunggulkan pendapat terjadinya pahala ibadah-ibadah sunah lainnya yang dilakukan bersamaan ibadah fardhu meskipun tidak ia niati selama tidak terbelokkan arah ibadahnya seperti ia niat puasa qadha ramadhan dibulan syawal dan ia niati sekalian puasa qadha 6 hari dibulan dzil hijjah (maka tidak ia dapati kesunahan puasa syawalnya).

Disunahkan menjalankan puasa 6 hari dibulan syawal meskipun ia memiliki tanggungan qadha karena ia menjalani berbuka puasa dibulan ramadhannya. Abu Makhromah dengan mengikuti pendapat al-Mashudi berkeyakinan tidak dapatnya pahala keduanya bila ia niati keduanya bersamaan seperti saat ia niat shalat dhuhur dan shalat sunah dhuhur bahkan Abu Makhromah menyatakan tidak sahnya puasa 6 hari bulan syawal bagi yang memiliki tanggungan Qadha puasa ramadhan secara muthlak. [ Bughyah al-Mustarsyidiin Hal. 113-114 ].


QADHA PUASA Karena RAGU-RAGU


Diharamkan menjalankan puasa dengan niat QADHA dengan alasan karena ihtiyaath (hati-hati) selama ia yakin atau memiliki sangkaan kuat tidak memiliki tanggungan mengqadha puasa ramadhan dan boleh menjalaninya bila ia ragu-ragu .

فمن تيقن او ظن عدم وجوب قضاء رمضان عليه فيحرم عليه نية القضاء للتلاعب ومن شك فله نية القضاء ان كان عليه والا فالتطوع

Artinya: "Barangsiapa yakin atau memiliki sangkaan kuat tidak memiliki kewajiban mengqadha puasa ramadhan maka haram baginya puasa dengan diniati qadha karena sama halnya dngan mempermainkan ibadah namun barangsiapa ragu-ragu diperbolehkan dengan niat puasa qadha bila memiliki tanggungan qadha dan puasa sunnah bila tidak memiliki tanggungan. [ Ahkaam al-Fuqahaa II/29 ].

وَيُؤْخَذُ من مَسْأَلَةِ الْوُضُوءِ هذه أَنَّهُ لو شَكَّ أَنَّ عليه قَضَاءً مَثَلًا فَنَوَاهُ إنْ كان وَإِلَّا فَتَطَوُّعٌ صَحَّتْ نِيَّتُهُ أَيْضًا وَحَصَلَ له الْقَضَاءُ بِتَقْدِيرِ وُجُودِهِ بَلْ وَإِنْ بَانَ أَنَّهُ عليه وَإِلَّا حَصَلَ له التَّطَوُّعُ

Artinya: "Dapat diambil kesimpulan dari masalah wudhu ini, sesungghnya bila seseorang ragu-ragu atas kewajiban mengqadha baginya kemudian puasa dengan niat mengqadhainya bila ada tanggungan dan niat puasa sunnah bila tidak memiliki tanggungan maka juga sah niatnya dan qadha puasanya juga terjadi bila memang tanggungan tersebut diperkirakan terdapat padanya bahkan andai telah nyata sekalipun baginya namun bila ia tidak memiliki tanggungan, puasanya menjadi puasa sunnah. [ Fataawy al-Fqhiyyah al-Kubraa II/90 ]. Wallaahu A'lamu Bis Showaab.

0 Komentar

Silahkan untuk memberikan komentar, dan berilah kami kritik, saran dan kesan.