Al-Quran dan Terjemahannya Edisi Penyempurnaan 2019

Terjemahan Al-Qur'an

Problematika Penerjemahan Al-Qur’an


Penerjemahan pada dasarnya merupakan proses mengalihkan pesan dari bahasa sumber ke bahasa sasaran. Pengalihan pesan teks sumber harus sepadan, akurat, dan berterima ke dalam teks sasaran. Dalam penerapannya, tidaklah mudah. Terdapat beberapa kendala dalam penerjemahan yang disebabkan oleh masalah bahasa, budaya, dan agama.

Setiap kata pada hakikatnya adalah wadah makna. Pengalih bahasa harus memahami kandungan makna dari kata tersebut dan memilih bahasa yang sepadan dengan bahasa sasaran. Persoalannya, apakah antara kata atau ungkapan dalam satu bahasa dapat ditemukan padanannya dalam bahasa lain? Abu Ḥayyān at-Tauḥīdiy, mengutip as-Ṣairāfiy, menjelaskan, “Harus Anda ketahui, setiap bahasa tidak mungkin dapat dipersamakan dengan bahasa lain dari segala aspeknya: sifat, susunan, bentuk metafor, kosakata, kata kerja dan lainnya” (Ibrahīm Anis, Dalālāt al-Alfāẓ: 80-81). Ketidaksamaan antara bahasabahasa manusia menjadi problem utama dalam proses penerjemahan. Al-Jāḥiẓ pernah mengatakan bahwa sebuah terjemahan tidak mungkin dapat menjangkau seluruh makna yang dimaksud oleh pengucap dari berbagai sudut: kekhasan makna, arah pembicaraan, dan pesan-pesan yang tersembunyi (al-Jāḥiẓ, al-Ḥayawān: 75-76).

Kendala tersebut akan semakin terasa apabila yang diterjemahkan adalah teks keagamaan, seperti Al-Qur’an yang dipengaruhi oleh konsep teologi dan alat retorika yang digunakan (seperti struktur sintaksis, pilihan kata, alih pronomina, dan alih kata). Kosa kata dan bahasa Al-Qur’an memiliki keunikan dan kekhasan tersendiri. Al-Qur’an sangat kaya dengan makna, memiliki kualitas sastra tinggi, yang tidak ditemukan padanannya dalam bahasa lain, termasuk bahasa Indonesia. Selain itu bahasa Al-Qur’an juga banyak menggunakan bahasa majāz (metafora), idiom, musytarak (satu kata dengan dua makna atau lebih yang berbeda) dan kekhasan lain yang tidak ditemukan dalam bahasa lain. Disamping keunikan dan karakter bahasa Al-Qur’an, penerjemahan Al-Qur’an juga dipengaruhi oleh perkembangan bahasa sasaran, baik terkait pemilihan kata atau diksi maupun struktur dan kaidah bahasa.

Kendala dan permasalahan ini pulalah yang mewarnai proses penerjemahan AlQur’an kedalam bahasa Indonesia yang dilakukan oleh Kementerian Agama RI. Terjemahan Al-Qur’an Kementerian Agama RI yang biasa disebut Al-Qur’an dan Terjemahannya sebagai karya kolektif yang dilakukan oleh beberapa ulama anggota Lembaga Penterjemah Kitab Suci Al-Qur`an dalam perkembangannya mengalami pernyempurnaan dan penyesuaian setelah diterbitkan pertama kali pada tanggal 17 Agustus 1965. Penyempurnaan pertama, perbaikan redaksional yang dianggap sudah tidak relevan dengan perkembangan bahasa pada saat itu, yaitu pada tahun 1989. Hasil penyempurnaan ini dicetak oleh Mujamma‘ al-Malik Fahd pada tahun 1990, dan masih terus dicetak dan beredar sampai saat ini.

Penyempurnaan kedua, Penyempurnaan secara menyeluruh yang mencakup aspek bahasa, konsistensi pilihan kata, substansi, dan aspek transliterasi dalam rentang waktu yang cukup lama antara tahun 1998 hingga 2002. Edisi inilah yang sampai saat ini digunakan. Pada tahun 2016-2019 kembali dilakukan penyempurnaan yang ketiga secara menyeluruh mencakup berbagai aspek; redaksional, konsistensi dan substansional.

Proses perbaikan dan penyempurnaan itu dilakukan oleh para ulama, ahli dan akademisi yang memiliki kompetensi di bidangnya merupakan wujud keterbukaan Kementerian Agama terhadap saran dan kritik konstruktif bagi perbaikan dan penyempurnaan Al-Qur’an dan Terjemahannya. Upaya itu juga didasari pada kesadaran bahwa tidak ada karya manusia yang sempurna, apalagi ketika akal manusia yang terbatas ingin menjangkau pesan kalam Tuhan yang tidak terbatas.

Metode dan Prinsip Penerjemahan


Penerjemahan Al-Qur’an pada dasarnya berorientasi pada bahasa sumber (bahasa Arab). Metode penerjemahan yang digunakan sama dengan yang digariskan oleh penyusun terjemahan edisi pertama yaitu ‘terjemahan setia’ dalam artian sedapat mungkin mempertahankan atau setia pada isi dan bentuk bahasa sumber (BSu). Lafal yang bisa diterjemahkan secara harfiyah, diterjemahkan secara harfiyah. Sedangkan yang tidak, diterjemahkan secara tafsiriyah, baik dalam bentuk pemberian catatan kaki maupun tambahan penjelasan di dalam kurung. Dalam kata pengantar ketua Lembaga Penjelenggara Penterdjemah Kitab Sutji Al-Quraan, Prof. R.H.A. Soenarjo, SH., pada AlQur’an dan Terjemahnya terbitan Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an (1969) disebutkan: “Terdjemahan dilakukan seleterlijk (seharfijah) mungkin. Apabila dengan tjara demikian terdjemahan tidak dimengerti, maka baru ditjari djalan lain untuk dapat difahami dengan menambah kata-kata dalam kurung atau diberi not. Apabila mengenai sesuatu kata ada dua pendapat, maka kedua pendapat itu dikemukakan dalam not.”

DOWNLOAD

0 Komentar

Silahkan untuk memberikan komentar, dan berilah kami kritik, saran dan kesan.