Terjemahan Hasyiah Al-Bajuri Bagian Ke 1 Muqaddimah Kitab Hasyiah Al-Bajuri
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ وَبِهِ نَسْتَعِينُ
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang, dan dengan-Nya kami memohon pertolongan
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِطَرِيقِهِ الْقَوِيمِ، وَفَقَّهَنَا فِي دِينِهِ الْمُسْتَقِيمِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، شَهَادَةً تُوَصِّلُنَا إِلَى جَنَّاتِ النَّعِيمِ، وَتَكُونُ سَبَبًا لِلنَّظَرِ لِوَجْهِهِ الْكَرِيمِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ السَّيِّدُ السَّنَدُ الْعَظِيمُ، صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أُولِي الْفَضْلِ الْجَسِيمِ.
Segala puji bagi Allah yang telah menuntun kami kepada jalan-Nya yang lurus, dan yang telah memberikan pemahaman dalam agama-Nya yang lurus. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya, dengan kesaksian yang mengantarkan kami menuju surga yang penuh kenikmatan, dan yang menjadi sebab untuk melihat wajah-Nya yang mulia. Aku juga bersaksi bahwa junjungan kita, Nabi Muhammad, adalah hamba dan rasul-Nya, pemimpin yang agung, semoga Allah senantiasa melimpahkan shalawat dan salam kepadanya, kepada keluarganya, dan para sahabatnya yang mulia dan luhur
(أَمَّا بَعْدُ) فَيَقُولُ الْعَبْدُ الْفَقِيرُ إِلَى رَبِّهِ الْقَدِيرِ إِبْرَاهِيمُ الْبَاجُورِيُّ ذُو التَّقْصِيرِ: إِنَّهُ قَدْ كَثُرَ النَّفْعُ وَالِانْتِفَاعُ بِـ «شَرْحِ ابْنِ قَاسِمٍ الْغَزِّي عَلَى أَبِي شُجَاعٍ»، وَكَذَا بِـ «حَاشِيَتِهِ الَّتِي لِلْعَلَّامَةِ الْبُرْمَاوِيِّ، الَّذِي هُوَ لِكُلِّ خَيْرٍ حَاوِي؛ لَكِنَّهَا مُشْتَمِلَةٌ عَلَى بَعْضِ عِبَارَاتٍ صَعْبَةٍ، مَعَ أَنَّ الْمُنَاسِبَ لِلْمُبْتَدِئِينَ إِنَّمَا هُوَ عِبَارَاتٌ عَذْبَةٌ؛ فَلِذَلِكَ حَمَلَنِي خَلْقٌ كَثِيرُونَ الْمَرَّةَ بَعْدَ الْمَرَّةِ، وَالْكَرَّةَ بَعْدَ الْكَرَّةِ عَلَى كِتَابَةِ حَاشِيَةٍ عَلَيْهِ سَهْلَةِ الْمَرَامِ، وَعَذْبَةِ الْكَلَامِ، فَأَجَبْتُهُمْ لِذَلِكَ، وَاللهُ أَعْلَمُ بِمَا هُنَالِكَ، طَالِبًا مِنَ اللهِ أَنْ يَجْعَلَهَا خَالِصَةً لِوَجْهِهِ الْكَرِيمِ، وَأَنْ يَنْفَعَ بِهَا النَّفْعَ الْعَمِيمَ.
Amma ba‘du (selanjutnya), hamba yang fakir dan sangat membutuhkan Tuhannya yang Maha Kuasa, Ibrahim Al-Bajuri, yang penuh kekurangan, berkata: Sesungguhnya banyak manfaat dan kebaikan yang telah didapatkan dari kitab Syarh Ibnu Qasim Al-Ghazi atas Matn Abu Syuja‘, begitu pula Hasiyah (komentar) yang ditulis oleh Al-‘Allamah Al-Burmâwi yang penuh dengan segala kebaikan. Namun, kitab tersebut mengandung beberapa ungkapan yang sulit dipahami, padahal sangat sesuai bagi pemula jika ungkapan yang digunakan adalah ungkapan yang lembut dan mudah dipahami. Karena itu, banyak orang memintaku berulang kali untuk menulis hasiyah yang lebih mudah dimengerti dan enak dibaca. Maka, aku menerima permintaan mereka. Allah Maha Mengetahui niat di balik semua ini, dengan harapan Allah menjadikannya ikhlas karena-Nya dan memberikan manfaat yang luas.
وَهَذَا أَوَانُ الشُّرُوعِ فِي الْمَقْصُودِ بِعَوْنِ الْمَلِكِ الْمَعْبُودِ، فَأَقُولُ وَبِاللهِ التَّوْفِيقُ، لِأَحْسَنِ طَرِيقٍ:
Sekarang tibalah waktunya untuk memulai pembahasan inti dengan pertolongan Sang Raja yang disembah. Maka, aku berkata dengan memohon taufik kepada Allah, sebagai jalan terbaik:
قَوْلُهُ: (بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ) هٰذِهِ الْبَسْمَلَةُ بَسْمَلَةُ الشَّارِحِ، وَسَتَأْتِي بَسْمَلَةُ الْمَتْنِ. وَكَانَ يَنْبَغِي لِوَاضِعِ الدِّيبَاجَةِ أَنْ يَأْتِيَ بِبَسْمَلَةٍ ثَالِثَةٍ لِهٰذِهِ الدِّيبَاجَةِ؛ لِأَنَّهَا أَمْرٌ ذُو بَالٍ، وَقَدْ قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «كُلُّ أَمْرٍ ذِي بَالٍ لَا يُبْدَأُ فِيهِ بِبِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ فَهُوَ أَبْتَرُ» أَوْ «أَجْذَمُ» أَوْ «أَقْطَعُ»، لَكِنَّ وَاضِعَ الدِّيبَاجَةِ اكْتَفَى بِبَسْمَلَةِ الشَّارِحِ، وَلِذٰلِكَ قَدَّمَهَا عَلَيْهَا لِتَعُودَ بَرَكَتُهَا عَلَيْهَا.
Perkataannya: (Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang). Basmalah ini adalah basmalah dari sang penjelas (syarh), dan nanti akan ada basmalah dari matan. Seharusnya bagi penulis pendahuluan (dibajiyah) ini untuk menyertakan basmalah ketiga bagi pendahuluan ini, karena ini adalah hal yang penting. Rasulullah saw. bersabda, "Setiap perkara penting yang tidak dimulai dengan 'Bismillah ar-Rahman ar-Rahim' maka ia akan terputus," atau "terputus berkahnya," atau "terpotong." Namun, penulis pendahuluan hanya menggunakan basmalah dari sang penjelas, dan karenanya ia menempatkannya di awal, agar berkahnya dapat kembali kepada pendahuluan ini.
وَاعْلَمْ أَنَّ الْبَسْمَلَةَ تُسَنُّ عَلَى كُلِّ أَمْرٍ ذِي بَالٍ أَيْ حَالٍ، بِحَيْثُ يُهْتَمُّ بِهِ شَرْعًا لِلْحَدِيثِ الْمَارِّ، وَتَحْرُمُ عَلَى الْمُحَرَّمِ لِذَاتِهِ كَشُرْبِ الْخَمْرِ، وَتُكْرَهُ عَلَى الْمَكْرُوهِ لِذَاتِهِ كَالنَّظَرِ لِفَرْجِ زَوْجَتِهِ، بِخِلَافِ الْمُحَرَّمِ لِعَارِضٍ كَالْوُضُوءِ بِمَاءٍ مَغْصُوبٍ، وَالْمَكْرُوهِ لِعَارِضٍ كَأَكْلِ الْبَصَلِ فَتُسَنُّ عَلَيْهِمَا، وَتَجِبُ فِي الصَّلَاةِ؛ لِأَنَّهَا آيَةٌ مِنَ الْفَاتِحَةِ عِنْدَنَا،
Ketahuilah bahwa membaca basmalah disunahkan pada setiap hal penting dalam Islam sesuai dengan hadits tersebut. Namun, diharamkan mengucapkannya pada hal yang diharamkan secara zatnya, seperti minum khamar (minuman keras), dan dimakruhkan pada hal yang dimakruhkan secara zatnya, seperti melihat aurat istri. Hal ini berbeda dengan perkara yang dilarang karena alasan tertentu, seperti berwudu dengan air yang dirampas, atau hal yang dimakruhkan karena alasan tertentu, seperti makan bawang; dalam dua hal ini tetap disunahkan membaca basmalah. Membaca basmalah juga diwajibkan dalam salat, karena menurut pandangan kami, basmalah adalah ayat dari surah Al-Fatihah.
فَتَعْتَرِيهَا أَحْكَامٌ أَرْبَعَةٌ وَبَقِيَتِ الْإِبَاحَةُ. وَقِيلَ: إِنَّهَا تُبَاحُ فِي الْمُبَاحَاتِ الَّتِي لَا شَرَفَ فِيهَا كَنَقْلِ مَتَاعٍ مِنْ مَكَانٍ إِلَى آخَرَ، فَعَلَى هٰذَا تَعْتَرِيهَا الْأَحْكَامُ الْخَمْسَةُ
Jadi, basmalah memiliki empat hukum: sunah, haram, makruh, dan wajib, sedangkan hukum kelima adalah mubah (boleh). Ada pendapat yang mengatakan bahwa membaca basmalah dibolehkan pada perkara mubah yang tidak ada keistimewaannya, seperti memindahkan barang dari satu tempat ke tempat lain. Berdasarkan pendapat ini, basmalah memiliki lima hukum.
قَوْلُهُ: (قَالَ إِلَخْ) هٰذِهِ الدِّيبَاجَةُ مِنْ وَضْعِ بَعْضِ التَّلَامِذَةِ مَدْحَةً لِشَيْخِهِ، وَهِيَ سَاقِطَةٌ فِي بَعْضِ النُّسَخِ. وَأَصْلُ قَالَ: قَوْلٌ عَلَى وَزْنِ فَعَلَ بِالْفَتْحِ، بِمَعْنَى أَنَّ حَقَّ النُّطْقِ أَنْ يَكُونَ هٰكَذَا، وَإِلَّا فَالْعَرَبُ لَمْ تَنْطِقْ بِذٰلِكَ. فَالْقَافُ فَاءُ الْكَلِمَةِ، وَالْوَاوُ عَيْنُ الْكَلِمَةِ، وَاللَّامُ لَامُ الْكَلِمَةِ. ثُمَّ يُقَالُ: تَحَرَّكَتِ الْوَاوُ وَانْفَتَحَ مَا قَبْلَهَا قُلِبَتْ أَلِفًا. وَلَيْسَ أَصْلُهُ قَوْلٌ عَلَى وَزْنِ فِعْلٍ بِالْكَسْرِ؛ لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ كَذٰلِكَ لَكَانَ مُضَارِعُهُ يُقَالُ كَيَخَافُ، وَلَا قَوْلٌ عَلَى وَزْنِ فُعْلٍ بِالضَّمِّ؛ لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ كَذٰلِكَ لَكَانَ لَازِمًا، وَلَا قَوْلٌ عَلَى وَزْنِ فَعْلٍ بِالسُّكُونِ؛ لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ كَذٰلِكَ لَمْ يَتَأَتَّ قَلْبُ الْوَاوِ أَلِفًا؛ لِسُكُونِهَا عَلَى أَنَّ ذٰلِكَ لَيْسَ مِنْ أَوْزَانِ الْفِعْلِ.
Perkataannya: (Qāla, dan seterusnya) Pendahuluan ini dibuat oleh sebagian murid sebagai pujian bagi gurunya, dan pendahuluan ini dihilangkan dalam beberapa naskah. Kata "qāla" (قال) berasal dari "qawl" (قول) dengan wazan (pola kata) "fa‘al" (فَعَل) dengan fathah pada huruf pertama, yang berarti seharusnya pengucapannya seperti itu, meskipun sebenarnya orang Arab tidak mengucapkannya dengan cara tersebut. Dalam kata "qawl," huruf qāf adalah fā’ kata (huruf pertama), wawu adalah ‘ain kata (huruf kedua), dan lām adalah lām kata (huruf ketiga). Kemudian dikatakan bahwa huruf wawu ketika berharakat dan didahului dengan huruf berharakat fathah akan berubah menjadi alif. Kata ini bukan berasal dari wazan "fi‘l" (فِعْل) dengan kasrah pada huruf pertama, karena jika demikian maka bentuk mudhari‘-nya akan menjadi "yaqālu" (يَقَالُ) seperti "yakhāfu" (يَخَافُ), bukan pula dari wazan "fu‘l" (فُعْل) dengan dhammah pada huruf pertama karena jika demikian kata ini akan menjadi lazim, bukan pula dari wazan "fa‘l" (فَعْل) dengan sukun pada huruf kedua karena dalam bentuk ini wawu tidak bisa diubah menjadi alif. Selain itu, wazan ini juga bukan termasuk pola kata dari fi‘il (kata kerja).
وَعُبِّرَ بِالْمَاضِي دُونَ الْمُضَارِعِ؛ لِأَنَّ الْقَوْلَ قَدْ وَقَعَ فِيمَا مَضَى، وَهٰذَا حِكَايَةٌ عَنْهُ مِنْ بَعْضِ التَّلَامِذَةِ كَمَا عَلِمْتَ. وَمَا قَالَهُ الْبَرْمَاوِيُّ مِنْ أَنَّهُ عُبِّرَ بِالْمَاضِي دُونَ الْمُضَارِعِ؛ لِتَحَقُّقِهِ فَكَأَنَّهُ وَاقِعٌ مَرْدُودٌ؛ لِأَنَّ الْقَوْلَ مَاضٍ حَقِيقَةً، فَتَدَبَّرْ.
Penggunaan bentuk lampau "qāla" (قال) dipilih daripada bentuk mudhari‘ karena ucapan ini mengacu pada peristiwa yang telah terjadi sebelumnya dan merupakan kutipan dari salah satu muridnya, sebagaimana yang telah diketahui. Pendapat al-Barmāwī yang menyatakan bahwa bentuk lampau digunakan karena kepastiannya sehingga dianggap telah terjadi, dapat ditolak karena ucapan tersebut memang benar-benar bentuk lampau, jadi pikirkanlah hal ini.
قَوْلُهُ: (الشَّيْخُ) هُوَ فِي الْأَصْلِ مَصْدَرُ شَاخَ، يُقَالُ: شَاخَ يَشِيخُ شَيْخًا، ثُمَّ وُصِفَ بِهِ مُبَالَغَةً، وَيَصِحُّ أَنْ يَكُونَ صِفَةً مُشَبَّهَةً. وَهُوَ فِي اللُّغَةِ: مَنْ جَاوَزَ الْأَرْبَعِينَ؛ لِأَنَّ الْإِنْسَانَ مَا دَامَ فِي بَطْنِ أُمِّهِ يُقَالُ لَهُ: جَنِينٌ؛ لِاجْتِنَانِهِ وَاسْتِتَارِهِ. وَبَعْدَ الْوَضْعِ يُقَالُ لَهُ: طِفْلٌ وَذُرِّيَّةٌ وَصَبِيٌّ. وَبَعْدَ الْبُلُوغِ يُقَالُ لَهُ: شَابٌّ وَفَتًى. وَبَعْدَ الثَّلَاثِينَ يُقَالُ لَهُ: كَهْلٌ. وَبَعْدَ أَرْبَعِينَ يُقَالُ لِلذَّكَرِ: شَيْخٌ، وَلِلْأُنْثَى: شَيْخَةٌ.
Perkataannya: (as-syaikh) Awalnya, kata "syaikh" (الشيخ) adalah mashdar (kata dasar) dari "syākha" (شاخ), dengan dikatakan "syākha yasyīkhu syaikhan" (شاخ يشيخ شيْخًا), kemudian digunakan sebagai sifat mubalaghah (penekanan) dan juga dapat digunakan sebagai sifat musyabbahah (sifat yang menggambarkan kondisi permanen). Dalam bahasa, syaikh adalah orang yang telah melewati usia empat puluh tahun. Ketika manusia masih berada dalam rahim ibunya, ia disebut janin karena tersembunyi dan terlindungi. Setelah dilahirkan, ia disebut thifl, dzurriyah, atau shabī. Setelah mencapai usia balig, ia disebut syābb (pemuda) atau fatā (pemuda). Setelah usia tiga puluh tahun, ia disebut kahl (dewasa), dan setelah empat puluh tahun, ia disebut syaikh (untuk laki-laki) dan syaikhah (untuk perempuan).
وَفِي الْإِصْطِلَاحِ: مَنْ بَلَغَ رُتْبَةَ أَهْلِ الْفَضْلِ وَلَوْ صَبِيًّا. وَلَهُ أَحَدَ عَشَرَ جَمْعًا؛ خَمْسَةٌ مَبْدُوءَةٌ بِالشِّينِ: وَهِيَ شُيُوخٌ بِضَمِّ الشِّينِ وَكَسْرِهَا، وَشَيْخَةٌ بِفَتْحِ الْيَاءِ وَسُكُونِهَا، وَشَيْخَانٌ كَغِلْمَانٍ. خَمْسَةٌ مَبْدُوءَةٌ بِالْمِيمِ: وَهِيَ مَشَايِخُ بِالْيَاءِ لَا بِالْهَمْزَةِ، وَمَشِيخَةٌ بِفَتْحِ الْمِيمِ وَكَسْرِهَا، وَمُشَيُوخَاءُ بِإِثْبَاتِ الْوَاوِ بَعْدَ الْيَاءِ وَبِحَذْفِهَا. وَوَاحِدٌ مَبْدُوءٌ بِالْهَمْزِ: وَهُوَ أَشْيَاخُ. وَكُلُّهَا شَاذَّةٌ إِلَّا أَجْمَعِينَ.
Dalam terminologi, syaikh adalah seseorang yang telah mencapai tingkatan ahl al-fadhl (orang-orang yang memiliki keutamaan) meskipun ia masih anak-anak. Kata "syaikh" memiliki sebelas bentuk jamak: lima dimulai dengan huruf syīn, yaitu "syuyūkh" (شيوخ) dengan dhammah pada syīn atau dengan kasrah, "syaikhah" (شيخة) dengan fathah atau sukun pada yā’, dan "syaykhān" (شيخان) seperti "ghilmān" (غلمان). Lima lainnya dimulai dengan huruf mīm, yaitu "masyāyikh" (مشايخ) dengan yā’ tanpa hamzah, "masyi’khah" (مشيخة) dengan fathah atau kasrah pada mīm, dan "musyūkhā" (مشيوخاء) dengan wawu yang tetap setelah yā’ atau dengan menghilangkannya. Satu bentuk dimulai dengan hamzah, yaitu "asyyākh" (أشياخ). Kesemuanya jarang digunakan kecuali kata "asyyākh".
أَحَدُهُمَا: شُيُوخٌ، كَمَا يَقْتَضِيهِ قَوْلُ ابْنِ مَالِكٍ فِي أَلْفِيَّتِهِ: "كَذَاكَ يَطَّرِدُ فِي فَعْلٍ اسْمًا مُطْلَقًا أَلِفًا."
Salah satu bentuk jamaknya adalah “syuyūkh,” (شُيُوخٌ) sebagaimana ditunjukkan oleh perkataan Ibn Malik dalam Alfiyyah-nya: "Demikian juga, akan terus-menerus berlaku pada kata benda dengan wazan ‘fal’ tanpa syarat, yang mengandung alif."
وَالثَّانِي: أَشْيَاخٌ، كَمَا يَقْتَضِيهِ قَوْلُهُ فِيهَا: "وَغَيْرُ مَا أَفْعَلَ فِيهِ مُطَّرِدٌ * مِنَ الثُّلَاثِيِّ اسْمًا بِأَفْعَلَ يُرَدُّ."
Bentuk jamak lainnya adalah "asyyākh," (أَشْيَاخٌ) sebagaimana ditunjukkan oleh perkataannya dalam Alfiyyah: "Dan bentuk selain yang berwazan afal dalam kata benda dari kata kerja tiga huruf akan dikembalikan ke bentuk af`al."
قَوْلُهُ: (الإِمَامُ) هُوَ لُغَةً: المُتَّبَعُ بِفَتْحِ البَاءِ. وَاصْطِلَاحًا: مَنْ يَصِحُّ الِاقْتِدَاءُ بِهِ. وَيُطْلَقُ عَلَى اللَّوْحِ المَحْفُوظِ كَمَا فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: {وَكُلَّ شَيْءٍ أَحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُّبِينٍ} [يس: ١٢].
Adapun istilah (Imam) secara bahasa berarti seseorang yang diikuti, dengan huruf “ba” yang berharakat fathah. Sedangkan dalam istilah, Imam adalah seseorang yang sah diikuti. Istilah ini juga digunakan untuk merujuk kepada Lauhul Mahfuzh, sebagaimana firman Allah Ta’ala: "Dan segala sesuatu telah Kami catat dalam Kitab yang nyata (Lauhul Mahfuzh)" (QS. Yasin: 12).
وَقَدْ يُرَادُ بِهِ صَحَائِفُ الأَعْمَالِ، وَقَدْ يُطْلَقُ عَلَى الإِمَامِ الأَعْظَمِ. وَيُجْمَعُ كَثِيرًا عَلَى أَئِمَّةٍ، وَأَصْلُهُ أَئِمَّةٌ عَلَى وَزْنِ أَفْعِلَةٍ، نُقِلَتْ حَرَكَةُ المِيمِ الأُولَى إِلَى الهَمْزَةِ الثَّانِيَةِ وَأُدْغِمَتِ المِيمُ فِي المِيمِ، وَيَجُوزُ قَلْبُ الهَمْزَةِ الثَّانِيَةِ يَاءً. وَقَدْ يُجْمَعُ عَلَى إِمَامٍ فَيَكُونُ مُفْرَدًا تَارَةً وَجَمْعًا تَارَةً أُخْرَى، نَظِيرُ هِجَانٍ فَيُقَالُ: نَاقَةٌ هِجَانٌ وَنُوقٌ هِجَانٌ، فَيَخْتَلِفُ بِالتَّقْدِيرِ فَيُلَاحَظُ أَنَّ حَرَكَاتِ الإِمَامِ المُفْرَدِ كَحَرَكَاتِ كِتَابٍ، وَحَرَكَاتِ الإِمَامِ الجَمْعِ كَحَرَكَاتِ عِبَادٍ. وَمِنْ اسْتِعْمَالِهِ جَمْعًا قَوْلُهُ تَعَالَى: {وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا} [الفُرْقَان: ٧٤] فَلَا حَاجَةَ لِمَا تَكَلَّفَهُ بَعْضُهُمْ فِي الآيَةِ مِنْ أَنَّ تَوْحِيدَهُ لِلدَّلَالَةِ عَلَى الجِنْسِ، أَوْ لأَنَّهُ مَصْدَرٌ فِي الأَصْلِ، أَوْ لأَنَّ المَرَادَ: وَاجْعَلْ كُلَّ وَاحِدٍ مِنَّا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا، أَوْ لأَنَّهُمْ لِاتِّحَادِ طَرِيقَتِهِمْ وَاتِّفَاقِ كَلِمَتِهِمْ كَانُوا كَشَخْصٍ وَاحِدٍ.
Kadang istilah ini juga mengacu pada lembaran amal, atau Imam Agung. Kata ini sering dijamakkan menjadi "a’immah," yang aslinya adalah "a’immah" dengan wazan “afilah.” (أَفْعِلَةٍ) Harakat mim pertama dipindahkan ke hamzah kedua, kemudian mim diidghamkan (digabungkan) dalam mim, dan hamzah kedua bisa diubah menjadi ya’. Kata ini juga bisa dijamakkan menjadi "imam," yang dalam hal ini bisa berarti tunggal atau jamak, seperti halnya kata “hijān” (yang bisa berarti satu atau banyak), maka maknanya ditentukan dari konteks. Jika kata “imam” berarti tunggal, harakatnya mengikuti kata “kitāb”; namun jika berarti jamak, harakatnya mengikuti kata “ibād.”
Penggunaan kata ini sebagai jamak terdapat dalam firman Allah Ta’ala: "Dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa" (QS. Al-Furqan: 74). Maka, tidak perlu tafsiran yang dipaksakan dalam ayat ini, seperti yang dilakukan sebagian orang yang menganggap kata ini dalam bentuk tunggal untuk menunjukkan jenis, atau karena dianggap mashdar pada asalnya, atau maksudnya adalah “Jadikanlah setiap dari kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa,” atau karena kesatuan cara dan persatuan kata mereka sehingga seolah-olah mereka seperti satu orang
قَوْلُهُ: (الْعَالِمُ) أَيْ الْمُتَّصِفُ بِالْعِلْمِ وَلَوْ بِمَسْأَلَةٍ وَاحِدَةٍ، سَوَاءٌ كَانَ بِطَرِيقِ الْكَسْبِ أَوْ بِطَرِيقِ الْفَيْضِ الإِلٰهِيِّ وَهُوَ الْعِلْمُ اللَّدُنِّيُّ. فَقَدْ نَقَلَ الْعَارِفُ الشَّعْرَانِيُّ أَنَّهُ يُفَاضُ عَلَى الْمُرِيدِ فِي أَوَّلِ لَيْلَةٍ مِنْ لَيَالِي الْفَتْحِ بِخَمْسَةٍ وَعِشْرِينَ عِلْمًا، مِنْهَا: عِلْمُ أَهْلِ السَّعَادَةِ وَأَهْلِ الشَّقَاوَةِ، وَمِنْهَا: عِلْمُ عَدَدِ الرِّمَالِ وَالنَّبَاتِ وَالْجَمَادَاتِ وَمَا يَخُصُّ كُلًّا مِمَّا أَوْدَعَهُ اللهُ فِيهِ مِنَ الْمَنَافِعِ وَالْمَضَارِّ.
Ucapannya: (al-‘aalim) yakni yang memiliki sifat berilmu, meskipun hanya dalam satu masalah, baik diperoleh melalui usaha atau melalui anugerah ilahi, yaitu ilmu laduni. Sebagaimana yang dinukil oleh arif al-Sya’rani bahwa seorang murid dianugerahi pada malam pertama pembukaan dengan dua puluh lima ilmu, di antaranya: ilmu tentang orang-orang yang berbahagia dan orang-orang yang celaka, serta ilmu tentang jumlah pasir, tumbuhan, benda mati, dan apa saja yang telah Allah tanamkan di dalamnya dari manfaat dan bahaya.
قَوْلُهُ: (الْعَلَّامَةُ) صِيغَةُ مُبَالَغَةٍ كَنَسَّابَةٍ، وَالتَّاءُ فِيهِ لِتَأْكِيدِ الْمُبَالَغَةِ لَا لِأَصْلِهَا؛ لِأَنَّهُ مُسْتَفَادٌ مِنَ الصِّيغَةِ، وَمَعْنَاهُ: كَثِيرُ الْعِلْمِ. وَأَمَّا قَوْلُهُمْ: هُوَ مَنْ جَمَعَ بَيْنَ الْمَعْقُولِ وَالْمَنْقُولِ كَالْقُطْبِ الشِّيرَازِيِّ، فَفِيهِ قُصُورٌ.
Ucapannya: (al-‘allaamah) adalah bentuk mubalaghah seperti “nassabah,” dan huruf ta di dalamnya untuk penekanan mubalaghah, bukan berasal dari asal katanya; karena maknanya sudah terkandung dalam bentuk kata, dan artinya: banyak ilmu. Adapun ucapan mereka: ia adalah orang yang menggabungkan antara akal dan riwayat seperti Quthb al-Syirazi, itu masih kurang.
قَوْلُهُ: (شَمْسُ الدِّينِ) أَيْ كَالشَّمْسِ لِلدِّينِ مِنْ حَيْثُ إِيضَاحِهِ لِلْأَحْكَامِ بِتَأْلِيفِهِ وَتَقْرِيرِهِ، وَهَذَا لَقَبٌ لِلشَّارِحِ. وَهُوَ: مَا أَشْعَرَ بِمَدْحٍ كَزَيْنِ الدِّينِ، أَوْ ذَمٍّ كَأَنْفِ النَّاقَةِ.
Ucapannya: (Syamsuddin) yakni seperti matahari bagi agama dalam hal penjelasannya terhadap hukum melalui tulisannya dan penetapannya. Ini adalah gelar bagi penulis syarah (komentator). Gelar ini bermakna pujian, seperti "Zainuddin," atau celaan, seperti "Anf al-Naqah" (hidung unta).
فَإِنْ قِيلَ: لِمَ قَدَّمَ اللَّقَبَ مَعَ أَنَّهُ يَجِبُ تَأْخِيرُهُ عَنِ الْإِسْمِ صِنَاعَةً كَمَا قَالَ فِي الْخُلَاصَةِ:
Jika ada yang bertanya: Mengapa gelar didahulukan, padahal seharusnya ditempatkan setelah nama dalam tata bahasa, sebagaimana disebutkan dalam al-Khulashah:
(وَأَخِّرَنَّ ذَا إِنْ سِوَاهُ صَحِبَا) وَالْمُرَادُ بِالسِّوَاهِ: خُصُوصُ الْإِسْمِ، وَلِذَا قَالَ فِي بَعْضِ نُسَخِهَا: وَذَا (اجْعَلْ آخِرًا إِذَا اسْمًا صَحِبَا) .
(Dan dahulukan gelar ini jika bukan selain nama menyertainya) yang dimaksud dengan “bukan selain” adalah khusus nama, dan oleh karena itu dalam beberapa naskah dinyatakan: (jadikan ini terakhir jika nama menyertainya).
وَهَذِهِ النُّسْخَةُ هِيَ الْأُولَى؛ لِأَنَّهُ إِذَا اجْتَمَعَ اللَّقَبُ مَعَ الْكُنْيَةِ كُنْتَ بِالْخِيَارِ فِي تَقْدِيمِ أَيِّهِمَا شِئْتَ. وَكَذَا إِذَا اجْتَمَعَ الْإِسْمُ وَالْكُنْيَةُ؟. أُجِيبَ: بِأَنَّ ذَلِكَ مَا لَمْ يَشْتَهِرْ، وَإِلَّا جَازَ تَقْدِيمُهُ كَمَا فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: {المَسِيْحُ عِيْسَى ابْنُ مَرْيَمَ} [آلِ عِمْرَانَ (٣) : ٤٥] عَلَى أَنَّ الْمُؤَرِّخِينَ لَا يُبَالُونَ بِتَقْدِيمِ اللَّقَبِ عَلَى الْإِسْمِ، فَالْوُجُوبُ إِنَّمَا هُوَ عِنْدَ النُّحَاةِ.
Naskah ini adalah yang pertama; karena jika gelar berkumpul dengan kunyah (nama panggilan), maka kamu memiliki kebebasan untuk mendahulukan salah satu darinya sesuai keinginanmu. Demikian juga jika nama dan kunyah berkumpul. Jawabannya: hal itu berlaku jika tidak terkenal, namun jika sudah terkenal, maka boleh didahulukan seperti dalam firman Allah Ta'ala: {al-Masih 'Isa ibn Maryam} [Ali 'Imran (3): 45], di mana para sejarawan tidak mempermasalahkan pendahuluan gelar di atas nama; maka keharusan ini hanya berlaku menurut ahli nahwu.
قَوْلُهُ: (أَبُو عَبْدِ اللهِ) هَذِهِ كُنْيَةُ الشَّارِحِ، وَهِيَ: مَا صُدِّرَتْ بِأَبٍ أَوْ أُمٍّ أَوْ ابْنٍ أَوْ بِنْتٍ أَوْ عَمٍّ أَوْ عَمَّةٍ أَوْ خَالٍ أَوْ خَالَةٍ.
Ucapannya: (Abu Abdullah) adalah kunyah dari penulis syarah, yaitu nama panggilan yang diawali dengan kata Abu (ayah) atau Umm (ibu) atau Ibnu (anak laki-laki) atau Bintu (anak perempuan) atau 'Amm (paman dari ayah) atau 'Ammah (bibi dari ayah) atau Khal (paman dari ibu) atau Khalah (bibi dari ibu).
وَقَوْلُهُ: (مُحَمَّدٌ) اِسْمُهُ الْكَرِيمُ. وَقَوْلُهُ: (ابْنُ قَاسِمٍ) صِفَةٌ لِمُحَمَّدٍ، وَقَاسِمٌ اِسْمُ أَبِيهِ، وَهَمْزَةُ ابْنُ تُحْذَفُ إِذَا وَقَعَتْ بَيْنَ عِلْمَيْنِ مُذَكَّرَيْنِ ثَانِيهُمَا أَبٌ لِلْأَوَّلِ، وَلَمْ تَقَعْ أَوَّلَ سَطْرٍ.
Ucapannya: (Muhammad) adalah nama mulianya. Ucapannya: (ibnu Qasim) adalah deskripsi bagi Muhammad, dan Qasim adalah nama ayahnya. Hamzah pada kata “ibnu” dihilangkan apabila terletak antara dua nama yang maskulin di mana nama kedua adalah ayah dari yang pertama, dan tidak terletak di awal baris.
قَوْلُهُ: (الشَّافِعِيُّ) نِسْبَةٌ لِلْإِمَامِ الشَّافِعِيِّ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ؛ لِكَوْنِهِ كَانَ يَتَعَبَّدُ عَلَى مَذْهَبِهِ. وَالنِّسْبَةُ إِلَى الشَّافِعِيِّ شَافِعِيٌّ لَا شَفْعَوِيٌّ وَإِنْ قَالَ بِهِ بَعْضُهُمْ؛ لِأَنَّ الْقَاعِدَةَ أَنَّ الْمَنْسُوبَ لِلْمَنْسُوبِ يُؤْتَى بِهِ عَلَى صُورَةِ الْمَنْسُوبِ إِلَيْهِ، لَكِنْ بَعْدَ حَذْفِ الْيَاءِ مِنَ الْمَنْسُوبِ إِلَيْهِ وَإِثْبَاتِ بَدَلِهَا فِي الْمَنْسُوبِ، وَلِذَا قَالَ فِي الْخُلَاصَةِ: وَمِثْلُهُ مِمَّا حَوَاهُ احْذِفْ.
Ucapannya: (al-Syafi'i) adalah nisbah (silsilah) kepada Imam al-Syafi'i, semoga Allah meridhainya, karena ia beribadah menurut madzhabnya. Penisbatan kepada al-Syafi'i adalah “Syafi’i,” bukan “Syaf’u'i” meskipun ada sebagian yang mengatakan demikian; sebab kaidahnya adalah bahwa yang dinisbahkan kepada sesuatu yang sudah dinisbahkan harus mengikuti bentuk dari nisbah itu, namun setelah huruf “ya” dari nisbah aslinya dihilangkan dan diganti dengan bentuk nisbah baru. Oleh karena itu, dalam al-Khulashah disebutkan: (Dan bentuk nisbah yang mengandungnya hapuslah).
قَوْلُهُ: (تَغَمَّدَهُ اللهُ) أَيْ غَمَرَهُ وَعَمَّهُ؛ لِأَنَّ التَّغْمِيْدَ فِي الْأَصْلِ: إِدْخَالُ السَّيْفِ فِي الْغِمْدِ. وَالْمُرَادُ مِنْهُ: لَازِمُهُ، وَهُوَ التَّعْمِيْمُ.
Ucapannya: (Taghammada-hu Allah) artinya Allah meliputinya dan menggenapinya; sebab makna asal dari "taghmid" adalah memasukkan pedang ke dalam sarungnya. Yang dimaksud dari sini adalah konsekuensinya, yaitu penggenapan secara keseluruhan.
قَوْلُهُ: (بِرَحْمَتِهِ) أَيْ بِإِحْسَانٍ فَهِيَ عَلَى هَذَا صِيغَةُ فِعْلٍ، أَوْ بِإِرَادَةِ إِحْسَانِهِ فَهِيَ عَلَى هَذَا صِيغَةُ ذَاتٍ. فَعَلَى الْأَوَّلِ يَجُوزُ أَنْ يُقَالَ: اللَّهُمَّ اجْمَعْنَا فِي مُسْتَقَرِّ الرَّحْمَةِ؛ لِأَنَّ مُسْتَقَرَّهَا بِمَعْنَى الْإِحْسَانِ: الْجَنَّةُ. وَعَلَى الثَّانِي لَا يَجُوزُ ذَلِكَ؛ لِأَنَّهَا بِهَذَا الْمَعْنَى قَائِمَةٌ بِذَاتِهِ تَعَالَى وَلَا اجْتِمَاعَ فِيهَا. وَالرَّحْمَةُ فِي الْأَصْلِ: رِقَّةٌ فِي الْقَلْبِ تَقْتَضِي التَّفَضُّلَ وَالْإِحْسَانَ، وَهَذَا الْمَعْنَى مُسْتَحِيلٌ فِي حَقِّهِ تَعَالَى بِاعْتِبَارِ مَبْدَئِهِ، جَائِزٌ فِي حَقِّهِ تَعَالَى بِاعْتِبَارِ غَايَتِهِ.
Ucapannya: (bi-Rahmatihi) artinya dengan kebaikan-Nya. Maka ini, menurut pandangan pertama, adalah bentuk kata kerja, atau dengan kehendak kebaikan-Nya. Maka ini, menurut pandangan kedua, adalah sifat Dzat. Berdasarkan pandangan pertama, boleh dikatakan: “Ya Allah, kumpulkanlah kami di tempat rahmat,” karena tempat rahmat dalam arti kebaikan adalah surga. Menurut pandangan kedua, itu tidak boleh, karena dengan pengertian ini, rahmat adalah sifat yang tetap pada Dzat-Nya dan tidak dapat disertai. Rahmat pada asalnya adalah kelembutan dalam hati yang mendorong kemurahan dan kebaikan, dan makna ini mustahil bagi Allah Ta'ala dalam hal permulaannya, namun boleh diterapkan bagi-Nya dalam hal tujuannya.
قَوْلُهُ: (وَرِضْوَانِهِ) بِكَسْرِ الرَّاءِ وَضَمِّهَا كَمَا قُرِئَ بِهِ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: {قُلْ أَؤُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرٍ مِنْ ذَلِكُمْ لِلَّذِينَ اتَّقَوْا عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَأَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ وَرِضْوَانٌ مِنَ اللهِ} [آلِ عِمْرَانَ (٣): ١٥].
Ucapannya: (وَرِضْوَانِهِ) - "Dan keridhaan-Nya." Kata "رضوان" (ridwan) bisa diucapkan dengan kasrah pada huruf ra' atau dengan dhammah, sebagaimana yang dibaca dalam firman Allah Ta'ala: {قُلْ أَؤُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرٍ مِنْ ذَلِكُمْ لِلَّذِينَ اتَّقَوْا عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَأَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ وَرِضْوَانٌ مِنَ اللهِ} - "Katakanlah, 'Maukah aku kabarkan kepada kalian sesuatu yang lebih baik dari itu? Untuk orang-orang yang bertakwa (tersedia) di sisi Tuhan mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya, dan (mereka dikaruniai) pasangan-pasangan yang suci serta keridhaan dari Allah." (QS. Ali Imran: 15)
وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: «أَنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَقُولُ لِأَهْلِ الْجَنَّةِ: يَا أَهْلَ الْجَنَّةِ، فَيَقُولُونَ: لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ فِي يَدَيْكَ. فَيَقُولُ: هَلْ رَضِيتُمْ؟ فَيَقُولُونَ: مَا لَنَا لَا نَرْضَى يَا رَبِّ، وَقَدْ أَعْطَيْتَنَا مَا لَمْ تُعْطِ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ. فَيَقُولُ: أَلَا أُعْطِيكُمْ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ؟ فَيَقُولُونَ: يَا رَبِّ، وَأَيُّ شَيْءٍ أَفْضَلُ مِنْ ذَلِكَ؟ فَيَقُولُ: أَحْلَلْتُ عَلَيْكُمْ رِضْوَانِي فَلَا أَسْخَطُ عَلَيْكُمْ بَعْدَهُ أَبَدًا».
Dari Abu Sa'id al-Khudri radhiyallahu 'anhu diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta'ala berkata kepada penghuni surga, 'Wahai penghuni surga.' Mereka menjawab, 'Kami menyambut seruan-Mu, kebahagiaan ada di tangan-Mu.' Allah berkata, 'Apakah kalian telah ridha?' Mereka menjawab, 'Bagaimana kami tidak ridha, wahai Rabb kami, padahal Engkau telah memberi kami apa yang tidak Engkau berikan kepada seorang pun dari makhluk-Mu.' Allah berkata, 'Tidakkah Aku memberikan sesuatu yang lebih utama dari itu?' Mereka bertanya, 'Wahai Rabb, apakah yang lebih utama dari itu?' Allah menjawab, 'Aku telah menetapkan keridhaan-Ku kepada kalian, sehingga Aku tidak akan murka kepada kalian selamanya.'"
وَمَعْنَاهُ: إِمَّا عَدَمُ السَّخَطِ، فَيَكُونُ عَطْفُهُ عَلَى الرَّحْمَةِ مِنْ عَطْفِ الْعَامِّ عَلَى الْخَاصِّ؛ لِأَنَّ عَدَمَ السَّخَطِ أَعَمُّ مِنْ أَنْ يَكُونَ مَعَهُ إِحْسَانٌ أَوْ لَا. وَإِمَّا الْقُرْبُ وَالْمَحَبَّةُ، فَيَكُونُ عَطْفُهُ عَلَيْهَا مِنْ عَطْفِ الْخَاصِّ عَلَى الْعَامِّ؛ لِأَنَّ الرَّحْمَةَ أَعَمُّ مِنْ أَنْ تَكُونَ بِالْقُرْبِ وَالْمَحَبَّةِ أَوْ بِغَيْرِهِمَا. وَإِمَّا الثَّوَابُ، فَيَكُونُ عَطْفُهُ عَلَيْهَا مِنْ عَطْفِ الْمُرَادِفِ؛ لِأَنَّ الْإِحْسَانَ وَالثَّوَابَ بِمَعْنًى وَاحِدٍ. وَقَدْ يُقَالُ: إِنَّ الْإِحْسَانَ أَعَمُّ مِنَ الثَّوَابِ؛ لِأَنَّ الثَّوَابَ مِقْدَارٌ مِنَ الْجَزَاءِ يُعْطِيهِ اللهُ تَعَالَى لِعِبَادِهِ فِي مُقَابَلَةِ أَعْمَالِهِمْ، وَالْإِحْسَانُ أَعَمُّ مِنْ ذَلِكَ.
Maknanya (ridwan atau keridhaan Allah) adalah sebagai berikut:
1. Bisa berarti tidak adanya kemurkaan. Dalam hal ini, keridhaan menjadi bentuk 'athaf (susunan) dari umum kepada khusus, karena ketiadaan kemurkaan lebih luas artinya; bisa disertai dengan kebaikan atau tidak.
2. Bisa juga berarti kedekatan dan cinta. Dalam hal ini, keridhaan menjadi bentuk 'athaf dari khusus kepada umum, karena rahmat (kasih sayang) lebih luas maknanya, bisa berupa kedekatan dan cinta atau bisa juga tanpa keduanya.
3. Bisa bermakna pahala, dalam hal ini menjadi bentuk 'athaf sinonim, karena kebaikan (ihsan) dan pahala memiliki makna yang sama. Namun, bisa juga dikatakan bahwa kebaikan lebih luas dari pahala, karena pahala merupakan bagian dari balasan yang diberikan Allah kepada hamba-Nya sebagai imbalan atas amal mereka, sedangkan kebaikan mencakup lebih dari itu.
وَإِمَّا الْجَنَّةُ، فَيَكُونُ عَطْفُهُ عَلَيْهَا مِنْ عَطْفِ الْمَحَلِّ عَلَى الْحَالِ فِيهِ. وَبِهَذَا يُعْلَمُ مَا فِي عِبَارَةِ الْبَرْمَاوِيِّ مِنَ الْإِجْمَالِ وَالْإِبْهَامِ.
4. Atau bisa juga berarti surga, sehingga dalam hal ini keridhaan menjadi bentuk 'athaf dari tempat (surga) kepada keadaan (ridha) yang ada di dalamnya. Dengan penjelasan ini, kita bisa memahami bahwa ada beberapa keumuman dan ketidakjelasan dalam ungkapan al-Burmayi.
قَوْلُهُ: (آمِيْنَ) اِسْمُ فِعْلٍ بِمَعْنَى: اِسْتَجِبْ يَا اللهُ، وَيَجُوزُ فِيهِ الْمَدُّ وَالْقَصْرُ وَالتَّشْدِيدُ، وَإِنْ كَانَ الْمُشَدَّدُ يَأْتِي بِمَعْنَى قَاصِدِينَ.
Ucapannya: (آمِيْنَ) - "Amin," merupakan isim fi'il yang berarti "Ya Allah, kabulkanlah." Pengucapan kata ini bisa dengan memanjangkan atau memendekkan, serta menekankan. Penekanan digunakan dalam arti "mereka yang berniat (berdoa)."
قَوْلُهُ: (الْحَمْدُ لِلَّهِ) جُمْلَةُ الْحَمْدَلَةِ مُسْتَأْنَفَةٌ، فَلَا مَحَلَّ لَهَا مِنَ الْإِعْرَابِ بِالنَّظَرِ لِكَلَامِ الشَّارِحِ. وَأَمَّا بِالنَّظَرِ لِكَلَامِ وَاضِعِ الدِّيبَاجَةِ فَهِيَ مَقُولُ الْقَوْلِ فَتَكُونُ فِي مَحَلِّ نَصْبٍ، بَلْ مَقُولُ الْقَوْلِ مِنْ هُنَا إِلَى آخِرِ الْكِتَابِ. وَقَدْ اشْتَمَلَ كَلَامُهُ مِنْ هُنَا إِلَى قَوْلِهِ: أَحْمَدُهُ، عَلَى ثَلَاثِ سَجَعَاتٍ؛ آخِرُ الْأُولَى: الْكِتَابِ، وَآخِرُ الثَّانِيَةِ: مُجَابٍ، وَآخِرُ الثَّالِثَةِ: الثَّوَابِ، فَتُقْرَأُ بِالسُّكُونِ؛ لِأَجْلِ السَّجْعِ. وَهُوَ تَوَافُقُ الْفَاصِلَتَيْنِ مِنَ النَّثْرِ عَلَى حَرْفٍ وَاحِدٍ كَمَا فِي قَوْلِ الْحَرِيرِيِّ: فَهُوَ يُطْبِعُ الْأَسْجَاعَ بِجَوَاهِرِ لَفْظِهِ وَيَقْرَعُ الْأَسْمَاعَ بِزَوَاجِرِ وَعْظِهِ.
Perkataannya: (al-hamdu lillāh) kalimat hamdalah merupakan kalimat yang berdiri sendiri, sehingga tidak memiliki posisi dalam i’rab menurut pandangan sang penjelas. Adapun menurut pandangan penulis mukadimah, ia termasuk maqūl al-qawl (ucapan yang dikatakan), sehingga berada dalam posisi nasab (kata benda objek), bahkan seluruh kalimat dari sini hingga akhir kitab termasuk dalam maqūl al-qawl. Ucapannya dari sini hingga perkataan "aḥmaduhu" mencakup tiga saj’ (rima prosa); yang pertama diakhiri dengan kata "kitāb", yang kedua dengan "mujāb", dan yang ketiga dengan "tsawāb". Rima ini dibaca dengan sukun demi menjaga keindahan saj’ yang mengharuskan kesamaan dua akhir kalimat dalam prosa pada satu huruf, seperti dalam perkataan al-Ḥarīrī: "Fahuwa yuṭbi‘u al-asjā‘a bijawāhiri lafẓihi wa yaqra‘u al-asmā‘a bi zawājiri wa‘ẓihi" (Ia mencetak rima dengan permata ucapannya dan memukul pendengaran dengan peringatan nasehatnya).
قَوْلُهُ: (تَبَرُّكًا) مَفْعُولٌ لِأَجْلِهِ، كَمَا فِي قَوْلِكَ: قُمْتُ إِجْلَالًا لِعَمْرٍو، وَلَكِنَّ الْعَامِلَ هُنَا مُقَدَّرٌ، أَي: ذَكَرْتُ الْحَمْدَلَةَ لِأَجْلِ التَّبَرُّكِ. أَوْ بِمَعْنَى: مُتَبَرِّكًا حَالٌ مِنْ فَاعِلِ الْفِعْلِ الْمُقَدَّرِ، أَي: ذَكَرْتُ الْحَمْدَلَةَ حَالَ كُونِي مُتَبَرِّكًا.
Perkataannya: (tabarrukan) adalah maf’ul li-ajlih (kata benda sebagai alasan perbuatan), seperti dalam ucapan: "qumtu ijlālan li-‘amr" (aku berdiri untuk menghormati ‘Amr), tetapi ‘āmil (pelaku) di sini dihilangkan, yakni, "dzakartu al-ḥamdalah li-ajli al-tabarruk" (saya menyebutkan hamdalah untuk keberkahan). Atau, dalam pengertian "mutabarrikan" sebagai hal dari fā‘il pada fi‘il yang dihilangkan, yaitu, "dzakartu al-ḥamdalah ḥāla kunī mutabarrikan" (saya menyebutkan hamdalah dalam keadaan mengambil keberkahan).
قَوْلُهُ: (بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ) أَي بِمَا افْتَتَحَ اللَّهُ بِهِ كِتَابَهُ وَهُوَ صِيغَةُ الْحَمْدِ، لَكِنَّ الْمُرَادَ الْإِفْتِتَاحُ الْإِضَافِيُّ، فَلَا يُنَافِي أَنَّ اللَّهَ افْتَتَحَ كِتَابَهُ بِالْبَسْمَلَةِ لَكِنْ افْتِتَاحًا حَقِيقِيًّا وَإِنْ حَصَلَ بِهَا الْإِضَافِيُّ أَيْضًا، لَكِنَّهُ حَاصِلٌ غَيْرُ مَقْصُودٍ. وَالْأُولَى أَنْ يُرَادَ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ: مَا يَشْمَلُ الْبَسْمَلَةَ وَالْحَمْدَلَةَ؛ لِأَنَّهُ الْمُنَاسِبُ لِكَلَامِ الْمُؤَلِّفِ لِوُقُوعِ الْبَسْمَلَةِ وَالْحَمْدَلَةِ جَمِيعًا مِنْهُ. وَيُحْمَلُ الِافْتِتَاحُ عَلَى مَا يَشْمَلُ الْحَقِيقِيَّ وَالْإِضَافِيَّ، وَلَا يُنَافِي هَذَا أَنَّ الضَّمِيرَ فِي قَوْلِهِ: لِأَنَّهَا الْخَ رَاجِعٌ لِصِيغَةِ الْحَمْدِ فَقَطْ؛ لِأَنَّ عَوْدَ الضَّمِيرِ عَلَى بَعْضِ الْعَامِّ سَائِغٌ وَلَا يُخَصِّصُهُ. وَلَيْسَ الْمُرَادُ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ سُورَةَ الْفَاتِحَةِ بِتَمَامِهَا؛ لِأَنَّهُ رُبَّمَا يُنَافِيهِ مَا بَعْدَهُ.
Perkataannya: (bi-Fātiḥati al-kitāb) maksudnya dengan sesuatu yang Allah buka dalam kitab-Nya, yaitu lafaz pujian, namun yang dimaksud adalah pembukaan yang bersifat tambahan, sehingga tidak bertentangan bahwa Allah memulai kitab-Nya dengan basmalah sebagai pembukaan yang hakiki, meskipun pembukaan tambahan ini juga didapatkan darinya, tetapi tidak dimaksudkan. Pendapat yang lebih utama adalah bahwa Fātiḥat al-kitāb mencakup basmalah dan hamdalah karena hal itu sesuai dengan perkataan penulis yang mencantumkan keduanya, baik basmalah maupun hamdalah. Pembukaan itu mencakup yang hakiki dan yang bersifat tambahan, dan hal ini tidak bertentangan dengan penggunaan dhamir dalam perkataannya "li-annahā" yang merujuk pada lafaz hamdalah saja, karena pengembalian dhamir pada sebagian yang umum diperbolehkan dan tidak membatasinya. Bukan yang dimaksud dengan Fātiḥat al-kitāb adalah surat al-Fātiḥah secara keseluruhan, karena ini mungkin bertentangan dengan bagian yang akan dibahas setelahnya.
قَوْلُهُ: (لِأَنَّهَا الْخَ) عَلَّةٌ لِقَوْلِهِ: تَبَرُّكًا، فَهُوَ مِنْ بَابِ التَّدْقِيقِ، وَهُوَ إِثْبَاتُ الدَّلِيلِ بِدَلِيلٍ آخَرَ أَوْ ذِكْرُ الشَّيْءِ عَلَى وَجْهٍ فِيهِ دِقَّةٌ. وَقَدْ اشْتَمَلَتْ هَذِهِ الْعِلَّةُ عَلَى ثَلَاثَةِ أُمُورٍ.
Perkataannya: (li-annahā) merupakan alasan dari perkataannya "tabarrukan", sehingga hal ini termasuk bagian dari penjelasan detail, yakni penetapan dalil dengan dalil lain atau penjelasan hal dengan penjelasan yang lebih rinci. Alasan ini mencakup tiga hal.
وَالضَّمِيرُ رَاجِعٌ لِصِيغَةِ الْحَمْدِ لَكِنْ مَعَ زِيَادَةِ رَبِّ الْعَالَمِينَ؛ أَخْذًا مِنْ قَوْلِهِ: وَآخِرُ دَعْوَى الْمُؤْمِنِينَ فِي الْجَنَّةِ دَارِ الثَّوَابِ؛ لِأَنَّ آخِرَ دَعْوَاهُمْ فِيهَا الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.
Dhamir kembali pada lafaz pujian, namun dengan tambahan "Rabb al-‘ālamīn", yang diambil dari perkataannya, "wa akhiru da‘wā al-mu’minīn fī al-jannah dār al-thawāb" (karena ucapan terakhir mereka di dalamnya adalah, “Alhamdulillah Rabb al-‘ālamīn”).
قَوْلُهُ: (ابْتِدَاءُ كُلِّ الْخَ) وَقَوْلُهُ: وَخَاتِمَةُ كُلِّ دُعَاءٍ الْخَ، وَقَوْلُهُ: وَآخِرُ دَعْوَى الْمُؤْمِنِينَ الْخَ أَخْبَارٌ ثَلَاثَةٌ عَنْ إِنْ فِي قَوْلِهِ: لِأَنَّهَا. وَمَعْنَى كَوْنِهَا ابْتِدَاءَ كُلِّ أَمْرٍ الْخَ: أَنَّهُ يُطْلَبُ ابْتِدَاؤُهُ بِهَا ابْتِدَاءً حَقِيقِيًّا إِنْ لَمْ تَسْبِقْهَا الْبَسْمَلَةُ، أَوْ إِضَافِيًّا إِنْ سَبَقَتْهَا لِحَدِيثِ: «كُلُّ أَمْرٍ ذِي بَالٍ لَا يُبْدَأُ فِيهِ بِالْحَمْدُ لِلَّهِ فَهُوَ أَبْتَرُ» أَوْ «أَقْطَعُ» أَوْ «أَجْذَمُ». وَالْإِبْتِدَاءُ الْحَقِيقِيُّ: مَا تَقَدَّمَ أَمَامَ الْمَقْصُودِ وَلَمْ يَسْبِقْهُ شَيْءٌ. وَالْإِضَافِيُّ: مَا تَقَدَّمَ أَمَامَ الْمَقْصُودِ سَوَاءٌ سَبَقَهُ شَيْءٌ أَوْ لَا. فَكُلُّ حَقِيقِيٍّ إِضَافِيٌّ وَلَا عَكْسَ.
Perkataannya: (ibtidā’u kulli) dan perkataannya "wa khātimatu kulli du‘ā" serta perkataannya "wa ākhiru da‘wā al-mu’minīn" adalah tiga pemberitahuan dari "inna" dalam perkataannya "li-annahā". Makna menjadi pembuka setiap urusan adalah bahwa disunnahkan memulainya dengan hamdalah secara hakiki jika tidak didahului oleh basmalah, atau tambahan jika didahului basmalah berdasarkan hadits: "Setiap urusan penting yang tidak dimulai dengan al-ḥamdu lillāh maka ia terputus atau cacat." Pembukaan yang hakiki adalah yang muncul di awal sebelum hal yang dimaksud tanpa ada sesuatu sebelumnya, sedangkan pembukaan tambahan adalah yang muncul di awal yang dimaksud, baik didahului sesuatu atau tidak. Maka setiap yang hakiki bersifat tambahan, namun tidak sebaliknya.
وَقَوْلُهُ: (ذِي بَالٍ) أَي حَالٌ بِحَيْثُ يُهْتَمُّ بِهِ شَرْعًا، بِأَنْ لَا يَكُونَ مُحَرَّمًا وَلَا مَكْرُوهًا وَلَا مِنْ سَفَاسِفِ الْأُمُورِ، وَيُزَادُ عَلَى ذَلِكَ: وَلَيْسَ ذِكْرًا مَحْضًا. وَلَا جَعَلَ الشَّارِعُ لَهُ مَبْدَأً غَيْرَ الْبَسْمَلَةِ وَالْحَمْدَلَةِ لِيَخْرُجَ الذِّكْرُ الْمَحْضُ وَنَحْوُ الصَّلَاةِ، فَإِنَّ الشَّارِعَ جَعَلَ ابْتِدَاءَهَا بِالتَّكْبِيرِ كَمَا سَيَأْتِي.
Perkataannya: (dhī bālin) yakni perkara yang mendapat perhatian dalam syariat, yang tidak termasuk perkara haram, makruh, atau rendah nilainya.
قَوْلُهُ: (وَخَاتِمَةُ كُلِّ دُعَاءٍ الْخَ) عَطْفٌ عَلَى ابْتِدَاءِ كَمَا تَقَدَّمَتْ الْإِشَارَةُ إِلَيْهِ. وَمَعْنَى كَوْنِهَا خَاتِمَةَ كُلِّ دُعَاءٍ الْخَ: أَنَّهُ يُطْلَبُ خَتْمُ الدُّعَاءِ بِهَا كَمَا يُطْلَبُ بَدْؤُهُ بِهَا، وَلِذَلِكَ قَالَ فِي الْعُبَابِ: وَأَنْ يُبْدَأَ الدُّعَاءُ وَيُخْتَمَهُ بِالْحَمْدُ لِلَّهِ اهـ. وَمِثْلُ الْحَمْدَلَةِ الصَّلَاةُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، لِخَبَرِ: «لَا تَجْعَلُونِي كَقَدَحِ الرَّاكِبِ بَلِ اجْعَلُونِي فِي أَوَّلِ كُلِّ دُعَاءٍ وَفِي آخِرِهِ».
Perkataannya: (Wa khātimatu kulli du‘ā - dan sebagai penutup setiap doa), ini dihubungkan (dengan kata sebelumnya) pada "ibtidā’" seperti yang telah disinggung sebelumnya. Makna dari "sebagai penutup setiap doa" adalah bahwa disunnahkan untuk menutup doa dengan pujian sebagaimana disunnahkan untuk memulainya dengan pujian. Karena itu, dalam kitab al-‘Ubbāb disebutkan, "dan hendaknya doa dimulai dan diakhiri dengan pujian kepada Allah." Hal yang serupa dengan hamdalah adalah shalawat kepada Nabi Muhammad SAW, berdasarkan hadis: "Janganlah kalian menjadikanku seperti wadah air bagi pengendara, tetapi letakkanlah aku di awal setiap doa dan di akhirnya."
وَقَوْلُهُ: (مُجَابٌ) أَيْ تُرْجَى إِجَابَتُهُ؛ لِأَنَّهَا عَلَامَةٌ عَلَى إِجَابَتِهِ. وَقَدْ قَالُوا: كُلُّ دُعَاءٍ مُجَابٌ، لَكِنْ إِمَّا بِعَيْنِ مَا طُلِبَ أَوْ بِخَيْرٍ مِمَّا طُلِبَ، إِمَّا حَالًا أَوْ مَآلًا، أَوْ بِثَوَابٍ يَحْصُلُ لِلدَّاعِي، أَوْ بِدَفْعِ ضَرٍّ عَنْهُ. قَالَ تَعَالَى: {ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ} [غَافِر (٤٠): ٦٠]. وَلِذَلِكَ قَالَ فِي الْجَوْهَرَةِ:
Perkataannya: (mujāb - diterima), artinya doa tersebut diharapkan untuk diterima, karena hamdalah menjadi tanda dikabulkannya doa. Dikatakan bahwa setiap doa itu dikabulkan, namun bisa jadi dalam bentuk yang persis diminta, atau dengan yang lebih baik dari apa yang diminta, baik segera atau di kemudian hari, atau berupa pahala bagi yang berdoa, atau dengan menjauhkan bahaya dari dirinya. Allah Ta'ala berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan bagimu" (Ghafir: 60). Karena itu, dalam al-Jawharah dikatakan:
وَعِنْدَنَا أَنَّ الدُّعَاءَ يَنْفَعُ * كَمَا مِنَ الْقُرْآنِ وَعْدًا يُسْمَعُ
"Menurut kami, doa itu bermanfaat * sebagaimana janji dalam Al-Qur'an yang terdengar."
قَوْلُهُ: (وَآخِرُ الْخَ) عَطْفٌ عَلَى ابْتِدَاءِ كَمَا تَقَدَّمَتْ الْإِشَارَةُ إِلَيْهِ. وَمَعْنَى كَوْنِهَا آخِرَ دَعْوَى الْمُؤْمِنِينَ الْخَ أَنَّ الْمُؤْمِنِينَ فِي الْجَنَّةِ إِذَا اشْتَهَوْا شَيْئًا طَلَبُوهُ بِأَنْ يَقُولُوا: سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ. فَإِذَا مَا طَلَبُوهُ وَجَدُوهُ بَيْنَ أَيْدِيهِمْ عَلَى الْمَوَائِدِ، كُلُّ مَائِدَةٍ مِيلٌ فِي مِيلٍ، عَلَى كُلِّ مَائِدَةٍ سَبْعُونَ أَلْفَ صَحْفَةٍ، فِي كُلِّ صَحْفَةٍ لَوْنٌ مِنَ الطَّعَامِ لَا يُشْبِهُ بَعْضُهَا بَعْضًا. فَإِذَا فَرَغُوا مِنْ ذَلِكَ قَالُوا: الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، كَمَا أَخْبَرَ اللَّهُ عَنْهُمْ فِي قَوْلِهِ: {دَعْوَاهُمْ فِيهَا} [يُونُس (١٠): ١٠] الْخَ.
Perkataannya: (wa ākhir al-kh - dan akhir doa) ini dihubungkan dengan "ibtidā’" seperti yang telah disinggung sebelumnya. Makna dari "sebagai akhir doa kaum mukminin" adalah bahwa kaum mukminin di surga, ketika mereka menginginkan sesuatu, mereka hanya perlu memintanya dengan berkata: "Subḥānaka Allāhumma wa biḥamdik" (Maha Suci Engkau, ya Allah, dan segala puji bagi-Mu). Lalu, apa yang mereka minta langsung muncul di hadapan mereka di atas meja-meja besar, setiap meja berukuran satu mil kali satu mil. Di atas setiap meja terdapat tujuh puluh ribu piring, dan setiap piring berisi jenis makanan yang berbeda-beda. Ketika mereka selesai menikmati makanan itu, mereka mengucapkan, "Al-ḥamdu lillāhi Rabb al-‘ālamīn" (Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam), sebagaimana yang Allah kabarkan tentang mereka dalam firman-Nya: "Seruan mereka di dalamnya ialah, 'Subḥānaka Allāhumma wa biḥamdik'..." (Yunus: 10).
وَقَالَ بَعْضُهُمْ: الْمُرَادُ أَنَّهُمْ يَشْتَغِلُونَ فِي الْجَنَّةِ بِالتَّسْبِيحِ وَالتَّقْدِيسِ لِلَّهِ تَعَالَى، وَيَخْتِمُونَ ذَلِكَ بِالتَّحْمِيدِ وَالثَّنَاءِ عَلَيْهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ، وَفِي هَذَا الذِّكْرِ سُرُورُهُمْ وَكَمَالُ لَذَّاتِهِمْ. وَهَذَا أَوْلَى مِنَ الْأَوَّلِ؛ لِأَنَّ الْإِمَامَ الرَّازِيَّ شَنَّعَ عَلَى قَائِلِ الْأَوَّلِ بِأَنَّهُ نَاظِرٌ فِي دُنْيَاهُ وَآخِرَتِهِ لِلْمَأْكُولِ وَالْمَشْرُوبِ، وَحَقِيقٌ بِمِثْلِ هَذَا أَنْ يُعَدَّ فِي زُمْرَةِ الْبَهَائِمِ وَلَا تَنْبَغِي هَذِهِ الْمُبَالَغَةُ، فَقَدْ قَالَهُ الْبَغَوِيُّ وَتَبِعَهُ جَمَاعَةٌ مِنَ الْمُفَسِّرِينَ.
Beberapa ulama mengatakan bahwa yang dimaksud adalah kaum mukminin di surga senantiasa bertasbih dan bertahmid kepada Allah, dan mereka menutup dzikir tersebut dengan memuji dan menyanjung-Nya sebagaimana yang layak bagi-Nya. Dalam dzikir tersebut, mereka menemukan kebahagiaan dan kenikmatan yang sempurna. Pendapat ini lebih utama daripada pendapat pertama, karena Imam Ar-Rāzī mengkritik pendapat pertama yang mengatakan bahwa kenikmatan di surga hanya terbatas pada makanan dan minuman, yang seakan menjadikan kenikmatan akhirat sama dengan kesenangan duniawi. Hal ini, menurut Ar-Rāzī, dapat menggolongkan manusia dalam kategori makhluk hewan yang hanya mementingkan pemenuhan nafsu makan. Meski begitu, pendapat pertama tersebut dipegang oleh Al-Baghawī dan diikuti oleh sebagian mufasir lainnya.
قَوْلُهُ: (فِي الْجَنَّةِ) هِيَ لُغَةً: الْبُسْتَانُ، وَاصْطِلَاحًا: دَارُ الثَّوَابِ بِجَمِيعِ أَنْوَاعِهَا. وَهِيَ سَبْعُ جَنَّاتٍ مُتَجَاوِرَةٍ، أَوْسَطُهَا وَأَفْضَلُهَا الْفِرْدَوْسُ، وَجَنَّةُ الْمَأْوَى، وَجَنَّةُ الْخُلْدِ، وَجَنَّةُ النَّعِيمِ، وَجَنَّةُ عَدْنٍ، وَدَارُ السَّلَامِ، وَدَارُ الْجَلَالِ، كَمَا ذَهَبَ إِلَيْهِ ابْنُ عَبَّاسٍ. وَقِيلَ: أَرْبَعٌ، وَرَجَّحَهُ جَمَاعَةٌ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلِمَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ جَنَّتَانِ} [الرَّحْمَن (٥٥): ٤٦]، ثُمَّ قَالَ: {وَمِنْ دُونِهِمَا جَنَّتَانِ} [الرَّحْمَن (٥٥): ٦٢] كَمَا ذَهَبَ إِلَيْهِ الْجُمْهُورُ.
Perkataannya: (fi al-jannah - di dalam surga), secara bahasa, jannah berarti kebun; sedangkan secara istilah, jannah berarti tempat balasan berupa segala macam kenikmatan. Surga terdiri dari tujuh tingkatan yang berdekatan, dan yang paling tengah dan paling utama adalah Firdaus, kemudian ada Jannatu al-Ma'wā (tempat tinggal), Jannatu al-Khuld (keabadian), Jannatu an-Na‘īm (kenikmatan), Jannatu ‘Adn (tempat kediaman), Dāru as-Salām (rumah keselamatan), dan Dāru al-Jalāl (rumah keagungan), sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu ‘Abbas. Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa surga terdiri dari empat tingkatan, dan pendapat ini diperkuat oleh beberapa ulama dengan dalil firman Allah: "Dan bagi orang yang takut akan kebesaran Tuhannya ada dua surga" (Ar-Rahman: 46), lalu Allah berfirman: "Dan di bawah keduanya ada dua surga lagi" (Ar-Rahman: 62), sebagaimana pandangan mayoritas ulama.
وَقِيلَ: وَاحِدَةٌ. وَكُلُّ الْأَسْمَاءِ مُتَحَقِّقَةٌ فِيهَا، إِذْ يَصْدُقُ عَلَيْهَا جَنَّةُ عَدْنٍ أَيْ إِقَامَةٌ وَجَنَّةُ الْخُلْدِ وَجَنَّةُ النَّعِيمِ وَهَكَذَا. وَالْأَكْثَرُونَ عَلَى أَنَّ الْجَنَّةَ فَوْقَ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَتَحْتَ الْعَرْشِ، وَالنَّارَ تَحْتَ الْأَرْضِينَ السَّبْعِ. وَالْحَقُّ تَفْوِيضُ ذَلِكَ إِلَى عِلْمِ اللَّطِيفِ الْخَبِيرِ.
Ada juga yang berpendapat bahwa surga itu hanya satu. Semua nama tersebut dapat digunakan untuknya, karena surga juga memenuhi nama Jannatu ‘Adn (tempat kediaman), Jannatu al-Khuld (keabadian), Jannatu an-Na‘īm (kenikmatan), dan sebagainya. Mayoritas ulama berpendapat bahwa surga berada di atas tujuh lapis langit dan di bawah Arsy, sementara neraka berada di bawah tujuh lapis bumi. Akan tetapi, hakikat mengenai hal ini sebaiknya diserahkan kepada ilmu Allah yang Maha Lembut dan Maha Mengetahui.
قَوْلُهُ: (دَارُ الثَّوَابِ) بَدَلٌ مِنَ الْجَنَّةِ، وَأُضِيفَتْ إِلَى الثَّوَابِ؛ لِأَنَّهَا مَحَلُّهُ. فَالْإِضَافَةُ مِنْ إِضَافَةِ الْمَحَلِّ لِلْحَالِّ فِيهِ. وَقَوْلُ الْبَرْمَاوِيِّ: وَإِضَافَتُهَا إِلَى الثَّوَابِ؛ لِكَوْنِهِ سَبَبًا فِي دُخُولِهَا فِيهِ نَظَرٌ؛ لِأَنَّهُ يُنَافِي الْحَدِيثَ الْمَشْهُورَ وَهُوَ: «لَنْ يَدْخُلَ أَحَدُكُمُ الْجَنَّةَ بِعَمَلِهِ». قَالُوا: وَلَا أَنْتَ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: «وَلَا أَنَا، إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللهُ بِرَحْمَتِهِ».
Perkataannya: (Dāru at-Thawāb - tempat balasan) menggantikan makna "surga", dan disandarkan kepada "balasan" karena ia adalah tempat balasan tersebut. Penyandaran ini adalah penyandaran tempat kepada sesuatu yang ada di dalamnya. Pernyataan al-Burmāwī yang mengatakan bahwa penyandaran surga kepada "balasan" disebabkan karena balasan tersebut adalah sebab masuknya seseorang ke dalamnya, adalah pandangan yang dipertanyakan; karena hal itu bertentangan dengan hadits yang terkenal: "Tidak seorang pun di antara kalian yang masuk surga karena amalnya." Para sahabat bertanya, "Termasuk Anda juga, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Termasuk saya, kecuali jika Allah meliputiku dengan rahmat-Nya."
إِلَّا أَنْ يُقَالَ: إِنَّهُ نَاظِرٌ لِلظَّاهِرِ، فَإِنَّ الْعَمَلَ سَبَبٌ فِي الظَّاهِرِ كَمَا هُوَ ظَاهِرُ قَوْلِهِ تَعَالَى: {ادْخُلُوْا الْجَنَّةَ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ} [النَّحْل (١٦): ٣٢]. وَالْمَنْفِيُّ فِي الْحَدِيثِ الِاسْتِحْقَاقُ، بِهَذَا عَلِمَ أَنَّهُ لَا تَنَافِيَ بَيْنَ الْحَدِيثِ وَالْآيَةِ. وَقِيلَ: مَعْنَى الْآيَةِ: ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِفَضْلِي وَاقْتَسِمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ.
Akan tetapi, mungkin yang dimaksud al-Burmāwī adalah pandangan secara lahiriah, di mana amal memang menjadi sebab secara lahiriah, sebagaimana yang tampak dari firman Allah: "Masuklah ke dalam surga karena apa yang telah kalian amalkan" (An-Nahl: 32). Yang dinafikan dalam hadits tersebut adalah hak untuk mendapatkannya (secara mutlak), sehingga tidak ada pertentangan antara hadits dan ayat ini. Ada juga yang mengatakan bahwa makna ayat tersebut adalah: "Masuklah ke dalam surga karena karunia-Ku, dan bagi-bagilah tempat itu sesuai amal kalian."
0 Komentar
Silahkan untuk memberikan komentar, dan berilah kami kritik, saran dan kesan.