Terjemahan Hasyiah Al-Bajuri Muqaddimah
Rabu, November 6
Add Comment
Terjemah Hasyiah Al Bajuri |
Terjemahan Hasyiah Al-Bajuri Bagian Ke 1 Muqaddimah Kitab Hasyiah Al-Bajuri
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ وَبِهِ نَسْتَعِينُ
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang, dan dengan-Nya kami memohon pertolongan
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِطَرِيقِهِ الْقَوِيمِ، وَفَقَّهَنَا فِي دِينِهِ الْمُسْتَقِيمِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، شَهَادَةً تُوَصِّلُنَا إِلَى جَنَّاتِ النَّعِيمِ، وَتَكُونُ سَبَبًا لِلنَّظَرِ لِوَجْهِهِ الْكَرِيمِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ السَّيِّدُ السَّنَدُ الْعَظِيمُ، صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أُولِي الْفَضْلِ الْجَسِيمِ.
Segala puji bagi Allah yang telah menuntun kami kepada jalan-Nya yang lurus, dan yang telah memberikan pemahaman dalam agama-Nya yang lurus. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya, dengan kesaksian yang mengantarkan kami menuju surga yang penuh kenikmatan, dan yang menjadi sebab untuk melihat wajah-Nya yang mulia. Aku juga bersaksi bahwa junjungan kita, Nabi Muhammad, adalah hamba dan rasul-Nya, pemimpin yang agung, semoga Allah senantiasa melimpahkan shalawat dan salam kepadanya, kepada keluarganya, dan para sahabatnya yang mulia dan luhur
(أَمَّا بَعْدُ)
فَيَقُولُ الْعَبْدُ الْفَقِيرُ إِلَى رَبِّهِ الْقَدِيرِ إِبْرَاهِيمُ الْبَاجُورِيُّ ذُو التَّقْصِيرِ: إِنَّهُ قَدْ كَثُرَ النَّفْعُ وَالِانْتِفَاعُ بِـ «شَرْحِ ابْنِ قَاسِمٍ الْغَزِّي عَلَى أَبِي شُجَاعٍ»، وَكَذَا بِـ «حَاشِيَتِهِ الَّتِي لِلْعَلَّامَةِ الْبُرْمَاوِيِّ، الَّذِي هُوَ لِكُلِّ خَيْرٍ حَاوِي؛ لَكِنَّهَا مُشْتَمِلَةٌ عَلَى بَعْضِ عِبَارَاتٍ صَعْبَةٍ، مَعَ أَنَّ الْمُنَاسِبَ لِلْمُبْتَدِئِينَ إِنَّمَا هُوَ عِبَارَاتٌ عَذْبَةٌ؛ فَلِذَلِكَ حَمَلَنِي خَلْقٌ كَثِيرُونَ الْمَرَّةَ بَعْدَ الْمَرَّةِ، وَالْكَرَّةَ بَعْدَ الْكَرَّةِ عَلَى كِتَابَةِ حَاشِيَةٍ عَلَيْهِ سَهْلَةِ الْمَرَامِ، وَعَذْبَةِ الْكَلَامِ، فَأَجَبْتُهُمْ لِذَلِكَ، وَاللهُ أَعْلَمُ بِمَا هُنَالِكَ، طَالِبًا مِنَ اللهِ أَنْ يَجْعَلَهَا خَالِصَةً لِوَجْهِهِ الْكَرِيمِ، وَأَنْ يَنْفَعَ بِهَا النَّفْعَ الْعَمِيمَ.
Amma ba‘du (selanjutnya), hamba yang fakir dan sangat membutuhkan Tuhannya yang Maha Kuasa, Ibrahim Al-Bajuri, yang penuh kekurangan, berkata: Sesungguhnya banyak manfaat dan kebaikan yang telah didapatkan dari kitab Syarh Ibnu Qasim Al-Ghazi atas Matn Abu Syuja‘, begitu pula Hasiyah (komentar) yang ditulis oleh Al-‘Allamah Al-Burmâwi yang penuh dengan segala kebaikan. Namun, kitab tersebut mengandung beberapa ungkapan yang sulit dipahami, padahal sangat sesuai bagi pemula jika ungkapan yang digunakan adalah ungkapan yang lembut dan mudah dipahami. Karena itu, banyak orang memintaku berulang kali untuk menulis hasiyah yang lebih mudah dimengerti dan enak dibaca. Maka, aku menerima permintaan mereka. Allah Maha Mengetahui niat di balik semua ini, dengan harapan Allah menjadikannya ikhlas karena-Nya dan memberikan manfaat yang luas.
وَهَذَا أَوَانُ الشُّرُوعِ فِي الْمَقْصُودِ بِعَوْنِ الْمَلِكِ الْمَعْبُودِ، فَأَقُولُ وَبِاللهِ التَّوْفِيقُ، لِأَحْسَنِ طَرِيقٍ:
Sekarang tibalah waktunya untuk memulai pembahasan inti dengan pertolongan Sang Raja yang disembah. Maka, aku berkata dengan memohon taufik kepada Allah, sebagai jalan terbaik:
قَوْلُهُ: (بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ) هٰذِهِ الْبَسْمَلَةُ بَسْمَلَةُ الشَّارِحِ، وَسَتَأْتِي بَسْمَلَةُ الْمَتْنِ. وَكَانَ يَنْبَغِي لِوَاضِعِ الدِّيبَاجَةِ أَنْ يَأْتِيَ بِبَسْمَلَةٍ ثَالِثَةٍ لِهٰذِهِ الدِّيبَاجَةِ؛ لِأَنَّهَا أَمْرٌ ذُو بَالٍ، وَقَدْ قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «كُلُّ أَمْرٍ ذِي بَالٍ لَا يُبْدَأُ فِيهِ بِبِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ فَهُوَ أَبْتَرُ» أَوْ «أَجْذَمُ» أَوْ «أَقْطَعُ»، لَكِنَّ وَاضِعَ الدِّيبَاجَةِ اكْتَفَى بِبَسْمَلَةِ الشَّارِحِ، وَلِذٰلِكَ قَدَّمَهَا عَلَيْهَا لِتَعُودَ بَرَكَتُهَا عَلَيْهَا.
Perkataannya: (Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang). Basmalah ini adalah basmalah dari sang penjelas (syarh), dan nanti akan ada basmalah dari matan. Seharusnya bagi penulis pendahuluan (dibajiyah) ini untuk menyertakan basmalah ketiga bagi pendahuluan ini, karena ini adalah hal yang penting. Rasulullah saw. bersabda, "Setiap perkara penting yang tidak dimulai dengan 'Bismillah ar-Rahman ar-Rahim' maka ia akan terputus," atau "terputus berkahnya," atau "terpotong." Namun, penulis pendahuluan hanya menggunakan basmalah dari sang penjelas, dan karenanya ia menempatkannya di awal, agar berkahnya dapat kembali kepada pendahuluan ini.
وَاعْلَمْ أَنَّ الْبَسْمَلَةَ تُسَنُّ عَلَى كُلِّ أَمْرٍ ذِي بَالٍ أَيْ حَالٍ، بِحَيْثُ يُهْتَمُّ بِهِ شَرْعًا لِلْحَدِيثِ الْمَارِّ، وَتَحْرُمُ عَلَى الْمُحَرَّمِ لِذَاتِهِ كَشُرْبِ الْخَمْرِ، وَتُكْرَهُ عَلَى الْمَكْرُوهِ لِذَاتِهِ كَالنَّظَرِ لِفَرْجِ زَوْجَتِهِ، بِخِلَافِ الْمُحَرَّمِ لِعَارِضٍ كَالْوُضُوءِ بِمَاءٍ مَغْصُوبٍ، وَالْمَكْرُوهِ لِعَارِضٍ كَأَكْلِ الْبَصَلِ فَتُسَنُّ عَلَيْهِمَا، وَتَجِبُ فِي الصَّلَاةِ؛ لِأَنَّهَا آيَةٌ مِنَ الْفَاتِحَةِ عِنْدَنَا،
Ketahuilah bahwa membaca basmalah disunahkan pada setiap hal penting dalam Islam sesuai dengan hadits tersebut. Namun, diharamkan mengucapkannya pada hal yang diharamkan secara zatnya, seperti minum khamar (minuman keras), dan dimakruhkan pada hal yang dimakruhkan secara zatnya, seperti melihat aurat istri. Hal ini berbeda dengan perkara yang dilarang karena alasan tertentu, seperti berwudu dengan air yang dirampas, atau hal yang dimakruhkan karena alasan tertentu, seperti makan bawang; dalam dua hal ini tetap disunahkan membaca basmalah. Membaca basmalah juga diwajibkan dalam salat, karena menurut pandangan kami, basmalah adalah ayat dari surah Al-Fatihah.
فَتَعْتَرِيهَا أَحْكَامٌ أَرْبَعَةٌ وَبَقِيَتِ الْإِبَاحَةُ. وَقِيلَ: إِنَّهَا تُبَاحُ فِي الْمُبَاحَاتِ الَّتِي لَا شَرَفَ فِيهَا كَنَقْلِ مَتَاعٍ مِنْ مَكَانٍ إِلَى آخَرَ، فَعَلَى هٰذَا تَعْتَرِيهَا الْأَحْكَامُ الْخَمْسَةُ
Jadi, basmalah memiliki empat hukum: sunah, haram, makruh, dan wajib, sedangkan hukum kelima adalah mubah (boleh). Ada pendapat yang mengatakan bahwa membaca basmalah dibolehkan pada perkara mubah yang tidak ada keistimewaannya, seperti memindahkan barang dari satu tempat ke tempat lain. Berdasarkan pendapat ini, basmalah memiliki lima hukum.
قَوْلُهُ: (قَالَ إِلَخْ) هٰذِهِ الدِّيبَاجَةُ مِنْ وَضْعِ بَعْضِ التَّلَامِذَةِ مَدْحَةً لِشَيْخِهِ، وَهِيَ سَاقِطَةٌ فِي بَعْضِ النُّسَخِ. وَأَصْلُ قَالَ: قَوْلٌ عَلَى وَزْنِ فَعَلَ بِالْفَتْحِ، بِمَعْنَى أَنَّ حَقَّ النُّطْقِ أَنْ يَكُونَ هٰكَذَا، وَإِلَّا فَالْعَرَبُ لَمْ تَنْطِقْ بِذٰلِكَ. فَالْقَافُ فَاءُ الْكَلِمَةِ، وَالْوَاوُ عَيْنُ الْكَلِمَةِ، وَاللَّامُ لَامُ الْكَلِمَةِ. ثُمَّ يُقَالُ: تَحَرَّكَتِ الْوَاوُ وَانْفَتَحَ مَا قَبْلَهَا قُلِبَتْ أَلِفًا. وَلَيْسَ أَصْلُهُ قَوْلٌ عَلَى وَزْنِ فِعْلٍ بِالْكَسْرِ؛ لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ كَذٰلِكَ لَكَانَ مُضَارِعُهُ يُقَالُ كَيَخَافُ، وَلَا قَوْلٌ عَلَى وَزْنِ فُعْلٍ بِالضَّمِّ؛ لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ كَذٰلِكَ لَكَانَ لَازِمًا، وَلَا قَوْلٌ عَلَى وَزْنِ فَعْلٍ بِالسُّكُونِ؛ لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ كَذٰلِكَ لَمْ يَتَأَتَّ قَلْبُ الْوَاوِ أَلِفًا؛ لِسُكُونِهَا عَلَى أَنَّ ذٰلِكَ لَيْسَ مِنْ أَوْزَانِ الْفِعْلِ.
Perkataannya: (Qāla, dan seterusnya) Pendahuluan ini dibuat oleh sebagian murid sebagai pujian bagi gurunya, dan pendahuluan ini dihilangkan dalam beberapa naskah. Kata "qāla" (قال) berasal dari "qawl" (قول) dengan wazan (pola kata) "fa‘al" (فَعَل) dengan fathah pada huruf pertama, yang berarti seharusnya pengucapannya seperti itu, meskipun sebenarnya orang Arab tidak mengucapkannya dengan cara tersebut. Dalam kata "qawl," huruf qāf adalah fā’ kata (huruf pertama), wawu adalah ‘ain kata (huruf kedua), dan lām adalah lām kata (huruf ketiga). Kemudian dikatakan bahwa huruf wawu ketika berharakat dan didahului dengan huruf berharakat fathah akan berubah menjadi alif. Kata ini bukan berasal dari wazan "fi‘l" (فِعْل) dengan kasrah pada huruf pertama, karena jika demikian maka bentuk mudhari‘-nya akan menjadi "yaqālu" (يَقَالُ) seperti "yakhāfu" (يَخَافُ), bukan pula dari wazan "fu‘l" (فُعْل) dengan dhammah pada huruf pertama karena jika demikian kata ini akan menjadi lazim, bukan pula dari wazan "fa‘l" (فَعْل) dengan sukun pada huruf kedua karena dalam bentuk ini wawu tidak bisa diubah menjadi alif. Selain itu, wazan ini juga bukan termasuk pola kata dari fi‘il (kata kerja).
وَعُبِّرَ بِالْمَاضِي دُونَ الْمُضَارِعِ؛ لِأَنَّ الْقَوْلَ قَدْ وَقَعَ فِيمَا مَضَى، وَهٰذَا حِكَايَةٌ عَنْهُ مِنْ بَعْضِ التَّلَامِذَةِ كَمَا عَلِمْتَ. وَمَا قَالَهُ الْبَرْمَاوِيُّ مِنْ أَنَّهُ عُبِّرَ بِالْمَاضِي دُونَ الْمُضَارِعِ؛ لِتَحَقُّقِهِ فَكَأَنَّهُ وَاقِعٌ مَرْدُودٌ؛ لِأَنَّ الْقَوْلَ مَاضٍ حَقِيقَةً، فَتَدَبَّرْ.
Penggunaan bentuk lampau "qāla" (قال) dipilih daripada bentuk mudhari‘ karena ucapan ini mengacu pada peristiwa yang telah terjadi sebelumnya dan merupakan kutipan dari salah satu muridnya, sebagaimana yang telah diketahui. Pendapat al-Barmāwī yang menyatakan bahwa bentuk lampau digunakan karena kepastiannya sehingga dianggap telah terjadi, dapat ditolak karena ucapan tersebut memang benar-benar bentuk lampau, jadi pikirkanlah hal ini.
قَوْلُهُ: (الشَّيْخُ) هُوَ فِي الْأَصْلِ مَصْدَرُ شَاخَ، يُقَالُ: شَاخَ يَشِيخُ شَيْخًا، ثُمَّ وُصِفَ بِهِ مُبَالَغَةً، وَيَصِحُّ أَنْ يَكُونَ صِفَةً مُشَبَّهَةً. وَهُوَ فِي اللُّغَةِ: مَنْ جَاوَزَ الْأَرْبَعِينَ؛ لِأَنَّ الْإِنْسَانَ مَا دَامَ فِي بَطْنِ أُمِّهِ يُقَالُ لَهُ: جَنِينٌ؛ لِاجْتِنَانِهِ وَاسْتِتَارِهِ. وَبَعْدَ الْوَضْعِ يُقَالُ لَهُ: طِفْلٌ وَذُرِّيَّةٌ وَصَبِيٌّ. وَبَعْدَ الْبُلُوغِ يُقَالُ لَهُ: شَابٌّ وَفَتًى. وَبَعْدَ الثَّلَاثِينَ يُقَالُ لَهُ: كَهْلٌ. وَبَعْدَ أَرْبَعِينَ يُقَالُ لِلذَّكَرِ: شَيْخٌ، وَلِلْأُنْثَى: شَيْخَةٌ.
Perkataannya: (as-syaikh) Awalnya, kata "syaikh" (الشيخ) adalah mashdar (kata dasar) dari "syākha" (شاخ), dengan dikatakan "syākha yasyīkhu syaikhan" (شاخ يشيخ شيْخًا), kemudian digunakan sebagai sifat mubalaghah (penekanan) dan juga dapat digunakan sebagai sifat musyabbahah (sifat yang menggambarkan kondisi permanen). Dalam bahasa, syaikh adalah orang yang telah melewati usia empat puluh tahun. Ketika manusia masih berada dalam rahim ibunya, ia disebut janin karena tersembunyi dan terlindungi. Setelah dilahirkan, ia disebut thifl, dzurriyah, atau shabī. Setelah mencapai usia balig, ia disebut syābb (pemuda) atau fatā (pemuda). Setelah usia tiga puluh tahun, ia disebut kahl (dewasa), dan setelah empat puluh tahun, ia disebut syaikh (untuk laki-laki) dan syaikhah (untuk perempuan).
وَفِي الْإِصْطِلَاحِ: مَنْ بَلَغَ رُتْبَةَ أَهْلِ الْفَضْلِ وَلَوْ صَبِيًّا. وَلَهُ أَحَدَ عَشَرَ جَمْعًا؛ خَمْسَةٌ مَبْدُوءَةٌ بِالشِّينِ: وَهِيَ شُيُوخٌ بِضَمِّ الشِّينِ وَكَسْرِهَا، وَشَيْخَةٌ بِفَتْحِ الْيَاءِ وَسُكُونِهَا، وَشَيْخَانٌ كَغِلْمَانٍ. خَمْسَةٌ مَبْدُوءَةٌ بِالْمِيمِ: وَهِيَ مَشَايِخُ بِالْيَاءِ لَا بِالْهَمْزَةِ، وَمَشِيخَةٌ بِفَتْحِ الْمِيمِ وَكَسْرِهَا، وَمُشَيُوخَاءُ بِإِثْبَاتِ الْوَاوِ بَعْدَ الْيَاءِ وَبِحَذْفِهَا. وَوَاحِدٌ مَبْدُوءٌ بِالْهَمْزِ: وَهُوَ أَشْيَاخُ. وَكُلُّهَا شَاذَّةٌ إِلَّا أَجْمَعِينَ.
Dalam terminologi, syaikh adalah seseorang yang telah mencapai tingkatan ahl al-fadhl (orang-orang yang memiliki keutamaan) meskipun ia masih anak-anak. Kata "syaikh" memiliki sebelas bentuk jamak: lima dimulai dengan huruf syīn, yaitu "syuyūkh" (شيوخ) dengan dhammah pada syīn atau dengan kasrah, "syaikhah" (شيخة) dengan fathah atau sukun pada yā’, dan "syaykhān" (شيخان) seperti "ghilmān" (غلمان). Lima lainnya dimulai dengan huruf mīm, yaitu "masyāyikh" (مشايخ) dengan yā’ tanpa hamzah, "masyi’khah" (مشيخة) dengan fathah atau kasrah pada mīm, dan "musyūkhā" (مشيوخاء) dengan wawu yang tetap setelah yā’ atau dengan menghilangkannya. Satu bentuk dimulai dengan hamzah, yaitu "asyyākh" (أشياخ). Kesemuanya jarang digunakan kecuali kata "asyyākh".
أَحَدُهُمَا: شُيُوخٌ، كَمَا يَقْتَضِيهِ قَوْلُ ابْنِ مَالِكٍ فِي أَلْفِيَّتِهِ: "كَذَاكَ يَطَّرِدُ فِي فَعْلٍ اسْمًا مُطْلَقًا أَلِفًا."
Salah satu bentuk jamaknya adalah “syuyūkh,” (شُيُوخٌ) sebagaimana ditunjukkan oleh perkataan Ibn Malik dalam Alfiyyah-nya: "Demikian juga, akan terus-menerus berlaku pada kata benda dengan wazan ‘fal’ tanpa syarat, yang mengandung alif."
وَالثَّانِي: أَشْيَاخٌ، كَمَا يَقْتَضِيهِ قَوْلُهُ فِيهَا: "وَغَيْرُ مَا أَفْعَلَ فِيهِ مُطَّرِدٌ * مِنَ الثُّلَاثِيِّ اسْمًا بِأَفْعَلَ يُرَدُّ."
Bentuk jamak lainnya adalah "asyyākh," (أَشْيَاخٌ) sebagaimana ditunjukkan oleh perkataannya dalam Alfiyyah: "Dan bentuk selain yang berwazan afal dalam kata benda dari kata kerja tiga huruf akan dikembalikan ke bentuk af`al."
قَوْلُهُ: (الإِمَامُ) هُوَ لُغَةً: المُتَّبَعُ بِفَتْحِ البَاءِ. وَاصْطِلَاحًا: مَنْ يَصِحُّ الِاقْتِدَاءُ بِهِ. وَيُطْلَقُ عَلَى اللَّوْحِ المَحْفُوظِ كَمَا فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: {وَكُلَّ شَيْءٍ أَحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُّبِينٍ} [يس: ١٢].
Adapun istilah (Imam) secara bahasa berarti seseorang yang diikuti, dengan huruf “ba” yang berharakat fathah. Sedangkan dalam istilah, Imam adalah seseorang yang sah diikuti. Istilah ini juga digunakan untuk merujuk kepada Lauhul Mahfuzh, sebagaimana firman Allah Ta’ala: "Dan segala sesuatu telah Kami catat dalam Kitab yang nyata (Lauhul Mahfuzh)" (QS. Yasin: 12).
وَقَدْ يُرَادُ بِهِ صَحَائِفُ الأَعْمَالِ، وَقَدْ يُطْلَقُ عَلَى الإِمَامِ الأَعْظَمِ. وَيُجْمَعُ كَثِيرًا عَلَى أَئِمَّةٍ، وَأَصْلُهُ أَئِمَّةٌ عَلَى وَزْنِ أَفْعِلَةٍ، نُقِلَتْ حَرَكَةُ المِيمِ الأُولَى إِلَى الهَمْزَةِ الثَّانِيَةِ وَأُدْغِمَتِ المِيمُ فِي المِيمِ، وَيَجُوزُ قَلْبُ الهَمْزَةِ الثَّانِيَةِ يَاءً. وَقَدْ يُجْمَعُ عَلَى إِمَامٍ فَيَكُونُ مُفْرَدًا تَارَةً وَجَمْعًا تَارَةً أُخْرَى، نَظِيرُ هِجَانٍ فَيُقَالُ: نَاقَةٌ هِجَانٌ وَنُوقٌ هِجَانٌ، فَيَخْتَلِفُ بِالتَّقْدِيرِ فَيُلَاحَظُ أَنَّ حَرَكَاتِ الإِمَامِ المُفْرَدِ كَحَرَكَاتِ كِتَابٍ، وَحَرَكَاتِ الإِمَامِ الجَمْعِ كَحَرَكَاتِ عِبَادٍ. وَمِنْ اسْتِعْمَالِهِ جَمْعًا قَوْلُهُ تَعَالَى: {وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا} [الفُرْقَان: ٧٤] فَلَا حَاجَةَ لِمَا تَكَلَّفَهُ بَعْضُهُمْ فِي الآيَةِ مِنْ أَنَّ تَوْحِيدَهُ لِلدَّلَالَةِ عَلَى الجِنْسِ، أَوْ لأَنَّهُ مَصْدَرٌ فِي الأَصْلِ، أَوْ لأَنَّ المَرَادَ: وَاجْعَلْ كُلَّ وَاحِدٍ مِنَّا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا، أَوْ لأَنَّهُمْ لِاتِّحَادِ طَرِيقَتِهِمْ وَاتِّفَاقِ كَلِمَتِهِمْ كَانُوا كَشَخْصٍ وَاحِدٍ.
Kadang istilah ini juga mengacu pada lembaran amal, atau Imam Agung. Kata ini sering dijamakkan menjadi "a’immah," yang aslinya adalah "a’immah" dengan wazan “afilah.” (أَفْعِلَةٍ) Harakat mim pertama dipindahkan ke hamzah kedua, kemudian mim diidghamkan (digabungkan) dalam mim, dan hamzah kedua bisa diubah menjadi ya’. Kata ini juga bisa dijamakkan menjadi "imam," yang dalam hal ini bisa berarti tunggal atau jamak, seperti halnya kata “hijān” (yang bisa berarti satu atau banyak), maka maknanya ditentukan dari konteks. Jika kata “imam” berarti tunggal, harakatnya mengikuti kata “kitāb”; namun jika berarti jamak, harakatnya mengikuti kata “ibād.”
Penggunaan kata ini sebagai jamak terdapat dalam firman Allah Ta’ala: "Dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa" (QS. Al-Furqan: 74). Maka, tidak perlu tafsiran yang dipaksakan dalam ayat ini, seperti yang dilakukan sebagian orang yang menganggap kata ini dalam bentuk tunggal untuk menunjukkan jenis, atau karena dianggap mashdar pada asalnya, atau maksudnya adalah “Jadikanlah setiap dari kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa,” atau karena kesatuan cara dan persatuan kata mereka sehingga seolah-olah mereka seperti satu orang
قَوْلُهُ: (الْعَالِمُ) أَيْ الْمُتَّصِفُ بِالْعِلْمِ وَلَوْ بِمَسْأَلَةٍ وَاحِدَةٍ، سَوَاءٌ كَانَ بِطَرِيقِ الْكَسْبِ أَوْ بِطَرِيقِ الْفَيْضِ الإِلٰهِيِّ وَهُوَ الْعِلْمُ اللَّدُنِّيُّ. فَقَدْ نَقَلَ الْعَارِفُ الشَّعْرَانِيُّ أَنَّهُ يُفَاضُ عَلَى الْمُرِيدِ فِي أَوَّلِ لَيْلَةٍ مِنْ لَيَالِي الْفَتْحِ بِخَمْسَةٍ وَعِشْرِينَ عِلْمًا، مِنْهَا: عِلْمُ أَهْلِ السَّعَادَةِ وَأَهْلِ الشَّقَاوَةِ، وَمِنْهَا: عِلْمُ عَدَدِ الرِّمَالِ وَالنَّبَاتِ وَالْجَمَادَاتِ وَمَا يَخُصُّ كُلًّا مِمَّا أَوْدَعَهُ اللهُ فِيهِ مِنَ الْمَنَافِعِ وَالْمَضَارِّ.
Ucapannya: (al-‘aalim) yakni yang memiliki sifat berilmu, meskipun hanya dalam satu masalah, baik diperoleh melalui usaha atau melalui anugerah ilahi, yaitu ilmu laduni. Sebagaimana yang dinukil oleh arif al-Sya’rani bahwa seorang murid dianugerahi pada malam pertama pembukaan dengan dua puluh lima ilmu, di antaranya: ilmu tentang orang-orang yang berbahagia dan orang-orang yang celaka, serta ilmu tentang jumlah pasir, tumbuhan, benda mati, dan apa saja yang telah Allah tanamkan di dalamnya dari manfaat dan bahaya.
قَوْلُهُ: (الْعَلَّامَةُ) صِيغَةُ مُبَالَغَةٍ كَنَسَّابَةٍ، وَالتَّاءُ فِيهِ لِتَأْكِيدِ الْمُبَالَغَةِ لَا لِأَصْلِهَا؛ لِأَنَّهُ مُسْتَفَادٌ مِنَ الصِّيغَةِ، وَمَعْنَاهُ: كَثِيرُ الْعِلْمِ. وَأَمَّا قَوْلُهُمْ: هُوَ مَنْ جَمَعَ بَيْنَ الْمَعْقُولِ وَالْمَنْقُولِ كَالْقُطْبِ الشِّيرَازِيِّ، فَفِيهِ قُصُورٌ.
Ucapannya: (al-‘allaamah) adalah bentuk mubalaghah seperti “nassabah,” dan huruf ta di dalamnya untuk penekanan mubalaghah, bukan berasal dari asal katanya; karena maknanya sudah terkandung dalam bentuk kata, dan artinya: banyak ilmu. Adapun ucapan mereka: ia adalah orang yang menggabungkan antara akal dan riwayat seperti Quthb al-Syirazi, itu masih kurang.
قَوْلُهُ: (شَمْسُ الدِّينِ) أَيْ كَالشَّمْسِ لِلدِّينِ مِنْ حَيْثُ إِيضَاحِهِ لِلْأَحْكَامِ بِتَأْلِيفِهِ وَتَقْرِيرِهِ، وَهَذَا لَقَبٌ لِلشَّارِحِ. وَهُوَ: مَا أَشْعَرَ بِمَدْحٍ كَزَيْنِ الدِّينِ، أَوْ ذَمٍّ كَأَنْفِ النَّاقَةِ.
Ucapannya: (Syamsuddin) yakni seperti matahari bagi agama dalam hal penjelasannya terhadap hukum melalui tulisannya dan penetapannya. Ini adalah gelar bagi penulis syarah (komentator). Gelar ini bermakna pujian, seperti "Zainuddin," atau celaan, seperti "Anf al-Naqah" (hidung unta).
فَإِنْ قِيلَ: لِمَ قَدَّمَ اللَّقَبَ مَعَ أَنَّهُ يَجِبُ تَأْخِيرُهُ عَنِ الْإِسْمِ صِنَاعَةً كَمَا قَالَ فِي الْخُلَاصَةِ:
Jika ada yang bertanya: Mengapa gelar didahulukan, padahal seharusnya ditempatkan setelah nama dalam tata bahasa, sebagaimana disebutkan dalam al-Khulashah:
(وَأَخِّرَنَّ ذَا إِنْ سِوَاهُ صَحِبَا) وَالْمُرَادُ بِالسِّوَاهِ: خُصُوصُ الْإِسْمِ، وَلِذَا قَالَ فِي بَعْضِ نُسَخِهَا: وَذَا (اجْعَلْ آخِرًا إِذَا اسْمًا صَحِبَا) .
(Dan dahulukan gelar ini jika bukan selain nama menyertainya) yang dimaksud dengan “bukan selain” adalah khusus nama, dan oleh karena itu dalam beberapa naskah dinyatakan: (jadikan ini terakhir jika nama menyertainya).
وَهَذِهِ النُّسْخَةُ هِيَ الْأُولَى؛ لِأَنَّهُ إِذَا اجْتَمَعَ اللَّقَبُ مَعَ الْكُنْيَةِ كُنْتَ بِالْخِيَارِ فِي تَقْدِيمِ أَيِّهِمَا شِئْتَ. وَكَذَا إِذَا اجْتَمَعَ الْإِسْمُ وَالْكُنْيَةُ؟. أُجِيبَ: بِأَنَّ ذَلِكَ مَا لَمْ يَشْتَهِرْ، وَإِلَّا جَازَ تَقْدِيمُهُ كَمَا فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: {المَسِيْحُ عِيْسَى ابْنُ مَرْيَمَ} [آلِ عِمْرَانَ (٣) : ٤٥] عَلَى أَنَّ الْمُؤَرِّخِينَ لَا يُبَالُونَ بِتَقْدِيمِ اللَّقَبِ عَلَى الْإِسْمِ، فَالْوُجُوبُ إِنَّمَا هُوَ عِنْدَ النُّحَاةِ.
Naskah ini adalah yang pertama; karena jika gelar berkumpul dengan kunyah (nama panggilan), maka kamu memiliki kebebasan untuk mendahulukan salah satu darinya sesuai keinginanmu. Demikian juga jika nama dan kunyah berkumpul. Jawabannya: hal itu berlaku jika tidak terkenal, namun jika sudah terkenal, maka boleh didahulukan seperti dalam firman Allah Ta'ala: {al-Masih 'Isa ibn Maryam} [Ali 'Imran (3): 45], di mana para sejarawan tidak mempermasalahkan pendahuluan gelar di atas nama; maka keharusan ini hanya berlaku menurut ahli nahwu.
قَوْلُهُ: (أَبُو عَبْدِ اللهِ) هَذِهِ كُنْيَةُ الشَّارِحِ، وَهِيَ: مَا صُدِّرَتْ بِأَبٍ أَوْ أُمٍّ أَوْ ابْنٍ أَوْ بِنْتٍ أَوْ عَمٍّ أَوْ عَمَّةٍ أَوْ خَالٍ أَوْ خَالَةٍ.
Ucapannya: (Abu Abdullah) adalah kunyah dari penulis syarah, yaitu nama panggilan yang diawali dengan kata Abu (ayah) atau Umm (ibu) atau Ibnu (anak laki-laki) atau Bintu (anak perempuan) atau 'Amm (paman dari ayah) atau 'Ammah (bibi dari ayah) atau Khal (paman dari ibu) atau Khalah (bibi dari ibu).
وَقَوْلُهُ: (مُحَمَّدٌ) اِسْمُهُ الْكَرِيمُ. وَقَوْلُهُ: (ابْنُ قَاسِمٍ) صِفَةٌ لِمُحَمَّدٍ، وَقَاسِمٌ اِسْمُ أَبِيهِ، وَهَمْزَةُ ابْنُ تُحْذَفُ إِذَا وَقَعَتْ بَيْنَ عِلْمَيْنِ مُذَكَّرَيْنِ ثَانِيهُمَا أَبٌ لِلْأَوَّلِ، وَلَمْ تَقَعْ أَوَّلَ سَطْرٍ.
Ucapannya: (Muhammad) adalah nama mulianya. Ucapannya: (ibnu Qasim) adalah deskripsi bagi Muhammad, dan Qasim adalah nama ayahnya. Hamzah pada kata “ibnu” dihilangkan apabila terletak antara dua nama yang maskulin di mana nama kedua adalah ayah dari yang pertama, dan tidak terletak di awal baris.
قَوْلُهُ: (الشَّافِعِيُّ) نِسْبَةٌ لِلْإِمَامِ الشَّافِعِيِّ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ؛ لِكَوْنِهِ كَانَ يَتَعَبَّدُ عَلَى مَذْهَبِهِ. وَالنِّسْبَةُ إِلَى الشَّافِعِيِّ شَافِعِيٌّ لَا شَفْعَوِيٌّ وَإِنْ قَالَ بِهِ بَعْضُهُمْ؛ لِأَنَّ الْقَاعِدَةَ أَنَّ الْمَنْسُوبَ لِلْمَنْسُوبِ يُؤْتَى بِهِ عَلَى صُورَةِ الْمَنْسُوبِ إِلَيْهِ، لَكِنْ بَعْدَ حَذْفِ الْيَاءِ مِنَ الْمَنْسُوبِ إِلَيْهِ وَإِثْبَاتِ بَدَلِهَا فِي الْمَنْسُوبِ، وَلِذَا قَالَ فِي الْخُلَاصَةِ: وَمِثْلُهُ مِمَّا حَوَاهُ احْذِفْ.
Ucapannya: (al-Syafi'i) adalah nisbah (silsilah) kepada Imam al-Syafi'i, semoga Allah meridhainya, karena ia beribadah menurut madzhabnya. Penisbatan kepada al-Syafi'i adalah “Syafi’i,” bukan “Syaf’u'i” meskipun ada sebagian yang mengatakan demikian; sebab kaidahnya adalah bahwa yang dinisbahkan kepada sesuatu yang sudah dinisbahkan harus mengikuti bentuk dari nisbah itu, namun setelah huruf “ya” dari nisbah aslinya dihilangkan dan diganti dengan bentuk nisbah baru. Oleh karena itu, dalam al-Khulashah disebutkan: (Dan bentuk nisbah yang mengandungnya hapuslah).
قَوْلُهُ: (تَغَمَّدَهُ اللهُ) أَيْ غَمَرَهُ وَعَمَّهُ؛ لِأَنَّ التَّغْمِيْدَ فِي الْأَصْلِ: إِدْخَالُ السَّيْفِ فِي الْغِمْدِ. وَالْمُرَادُ مِنْهُ: لَازِمُهُ، وَهُوَ التَّعْمِيْمُ.
Ucapannya: (Taghammada-hu Allah) artinya Allah meliputinya dan menggenapinya; sebab makna asal dari "taghmid" adalah memasukkan pedang ke dalam sarungnya. Yang dimaksud dari sini adalah konsekuensinya, yaitu penggenapan secara keseluruhan.
قَوْلُهُ: (بِرَحْمَتِهِ) أَيْ بِإِحْسَانٍ فَهِيَ عَلَى هَذَا صِيغَةُ فِعْلٍ، أَوْ بِإِرَادَةِ إِحْسَانِهِ فَهِيَ عَلَى هَذَا صِيغَةُ ذَاتٍ. فَعَلَى الْأَوَّلِ يَجُوزُ أَنْ يُقَالَ: اللَّهُمَّ اجْمَعْنَا فِي مُسْتَقَرِّ الرَّحْمَةِ؛ لِأَنَّ مُسْتَقَرَّهَا بِمَعْنَى الْإِحْسَانِ: الْجَنَّةُ. وَعَلَى الثَّانِي لَا يَجُوزُ ذَلِكَ؛ لِأَنَّهَا بِهَذَا الْمَعْنَى قَائِمَةٌ بِذَاتِهِ تَعَالَى وَلَا اجْتِمَاعَ فِيهَا. وَالرَّحْمَةُ فِي الْأَصْلِ: رِقَّةٌ فِي الْقَلْبِ تَقْتَضِي التَّفَضُّلَ وَالْإِحْسَانَ، وَهَذَا الْمَعْنَى مُسْتَحِيلٌ فِي حَقِّهِ تَعَالَى بِاعْتِبَارِ مَبْدَئِهِ، جَائِزٌ فِي حَقِّهِ تَعَالَى بِاعْتِبَارِ غَايَتِهِ.
Ucapannya: (bi-Rahmatihi) artinya dengan kebaikan-Nya. Maka ini, menurut pandangan pertama, adalah bentuk kata kerja, atau dengan kehendak kebaikan-Nya. Maka ini, menurut pandangan kedua, adalah sifat Dzat. Berdasarkan pandangan pertama, boleh dikatakan: “Ya Allah, kumpulkanlah kami di tempat rahmat,” karena tempat rahmat dalam arti kebaikan adalah surga. Menurut pandangan kedua, itu tidak boleh, karena dengan pengertian ini, rahmat adalah sifat yang tetap pada Dzat-Nya dan tidak dapat disertai. Rahmat pada asalnya adalah kelembutan dalam hati yang mendorong kemurahan dan kebaikan, dan makna ini mustahil bagi Allah Ta'ala dalam hal permulaannya, namun boleh diterapkan bagi-Nya dalam hal tujuannya.
قَوْلُهُ: (وَرِضْوَانِهِ) بِكَسْرِ الرَّاءِ وَضَمِّهَا كَمَا قُرِئَ بِهِ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: {قُلْ أَؤُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرٍ مِنْ ذَلِكُمْ لِلَّذِينَ اتَّقَوْا عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَأَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ وَرِضْوَانٌ مِنَ اللهِ} [آلِ عِمْرَانَ (٣): ١٥].
Ucapannya: (وَرِضْوَانِهِ) - "Dan keridhaan-Nya." Kata "رضوان" (ridwan) bisa diucapkan dengan kasrah pada huruf ra' atau dengan dhammah, sebagaimana yang dibaca dalam firman Allah Ta'ala: {قُلْ أَؤُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرٍ مِنْ ذَلِكُمْ لِلَّذِينَ اتَّقَوْا عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَأَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ وَرِضْوَانٌ مِنَ اللهِ} - "Katakanlah, 'Maukah aku kabarkan kepada kalian sesuatu yang lebih baik dari itu? Untuk orang-orang yang bertakwa (tersedia) di sisi Tuhan mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya, dan (mereka dikaruniai) pasangan-pasangan yang suci serta keridhaan dari Allah." (QS. Ali Imran: 15)
وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: «أَنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَقُولُ لِأَهْلِ الْجَنَّةِ: يَا أَهْلَ الْجَنَّةِ، فَيَقُولُونَ: لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ فِي يَدَيْكَ. فَيَقُولُ: هَلْ رَضِيتُمْ؟ فَيَقُولُونَ: مَا لَنَا لَا نَرْضَى يَا رَبِّ، وَقَدْ أَعْطَيْتَنَا مَا لَمْ تُعْطِ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ. فَيَقُولُ: أَلَا أُعْطِيكُمْ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ؟ فَيَقُولُونَ: يَا رَبِّ، وَأَيُّ شَيْءٍ أَفْضَلُ مِنْ ذَلِكَ؟ فَيَقُولُ: أَحْلَلْتُ عَلَيْكُمْ رِضْوَانِي فَلَا أَسْخَطُ عَلَيْكُمْ بَعْدَهُ أَبَدًا».
Dari Abu Sa'id al-Khudri radhiyallahu 'anhu diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta'ala berkata kepada penghuni surga, 'Wahai penghuni surga.' Mereka menjawab, 'Kami menyambut seruan-Mu, kebahagiaan ada di tangan-Mu.' Allah berkata, 'Apakah kalian telah ridha?' Mereka menjawab, 'Bagaimana kami tidak ridha, wahai Rabb kami, padahal Engkau telah memberi kami apa yang tidak Engkau berikan kepada seorang pun dari makhluk-Mu.' Allah berkata, 'Tidakkah Aku memberikan sesuatu yang lebih utama dari itu?' Mereka bertanya, 'Wahai Rabb, apakah yang lebih utama dari itu?' Allah menjawab, 'Aku telah menetapkan keridhaan-Ku kepada kalian, sehingga Aku tidak akan murka kepada kalian selamanya.'"
وَمَعْنَاهُ: إِمَّا عَدَمُ السَّخَطِ، فَيَكُونُ عَطْفُهُ عَلَى الرَّحْمَةِ مِنْ عَطْفِ الْعَامِّ عَلَى الْخَاصِّ؛ لِأَنَّ عَدَمَ السَّخَطِ أَعَمُّ مِنْ أَنْ يَكُونَ مَعَهُ إِحْسَانٌ أَوْ لَا. وَإِمَّا الْقُرْبُ وَالْمَحَبَّةُ، فَيَكُونُ عَطْفُهُ عَلَيْهَا مِنْ عَطْفِ الْخَاصِّ عَلَى الْعَامِّ؛ لِأَنَّ الرَّحْمَةَ أَعَمُّ مِنْ أَنْ تَكُونَ بِالْقُرْبِ وَالْمَحَبَّةِ أَوْ بِغَيْرِهِمَا. وَإِمَّا الثَّوَابُ، فَيَكُونُ عَطْفُهُ عَلَيْهَا مِنْ عَطْفِ الْمُرَادِفِ؛ لِأَنَّ الْإِحْسَانَ وَالثَّوَابَ بِمَعْنًى وَاحِدٍ. وَقَدْ يُقَالُ: إِنَّ الْإِحْسَانَ أَعَمُّ مِنَ الثَّوَابِ؛ لِأَنَّ الثَّوَابَ مِقْدَارٌ مِنَ الْجَزَاءِ يُعْطِيهِ اللهُ تَعَالَى لِعِبَادِهِ فِي مُقَابَلَةِ أَعْمَالِهِمْ، وَالْإِحْسَانُ أَعَمُّ مِنْ ذَلِكَ.
Maknanya (ridwan atau keridhaan Allah) adalah sebagai berikut:
1. Bisa berarti tidak adanya kemurkaan. Dalam hal ini, keridhaan menjadi bentuk 'athaf (susunan) dari umum kepada khusus, karena ketiadaan kemurkaan lebih luas artinya; bisa disertai dengan kebaikan atau tidak.
2. Bisa juga berarti kedekatan dan cinta. Dalam hal ini, keridhaan menjadi bentuk 'athaf dari khusus kepada umum, karena rahmat (kasih sayang) lebih luas maknanya, bisa berupa kedekatan dan cinta atau bisa juga tanpa keduanya.
3. Bisa bermakna pahala, dalam hal ini menjadi bentuk 'athaf sinonim, karena kebaikan (ihsan) dan pahala memiliki makna yang sama. Namun, bisa juga dikatakan bahwa kebaikan lebih luas dari pahala, karena pahala merupakan bagian dari balasan yang diberikan Allah kepada hamba-Nya sebagai imbalan atas amal mereka, sedangkan kebaikan mencakup lebih dari itu.
وَإِمَّا الْجَنَّةُ، فَيَكُونُ عَطْفُهُ عَلَيْهَا مِنْ عَطْفِ الْمَحَلِّ عَلَى الْحَالِ فِيهِ. وَبِهَذَا يُعْلَمُ مَا فِي عِبَارَةِ الْبَرْمَاوِيِّ مِنَ الْإِجْمَالِ وَالْإِبْهَامِ.
4. Atau bisa juga berarti surga, sehingga dalam hal ini keridhaan menjadi bentuk 'athaf dari tempat (surga) kepada keadaan (ridha) yang ada di dalamnya. Dengan penjelasan ini, kita bisa memahami bahwa ada beberapa keumuman dan ketidakjelasan dalam ungkapan al-Burmayi.
قَوْلُهُ: (آمِيْنَ) اِسْمُ فِعْلٍ بِمَعْنَى: اِسْتَجِبْ يَا اللهُ، وَيَجُوزُ فِيهِ الْمَدُّ وَالْقَصْرُ وَالتَّشْدِيدُ، وَإِنْ كَانَ الْمُشَدَّدُ يَأْتِي بِمَعْنَى قَاصِدِينَ.
Ucapannya: (آمِيْنَ) - "Amin," merupakan isim fi'il yang berarti "Ya Allah, kabulkanlah." Pengucapan kata ini bisa dengan memanjangkan atau memendekkan, serta menekankan. Penekanan digunakan dalam arti "mereka yang berniat (berdoa)."
قَوْلُهُ: (الْحَمْدُ لِلَّهِ) جُمْلَةُ الْحَمْدَلَةِ مُسْتَأْنَفَةٌ، فَلَا مَحَلَّ لَهَا مِنَ الْإِعْرَابِ بِالنَّظَرِ لِكَلَامِ الشَّارِحِ. وَأَمَّا بِالنَّظَرِ لِكَلَامِ وَاضِعِ الدِّيبَاجَةِ فَهِيَ مَقُولُ الْقَوْلِ فَتَكُونُ فِي مَحَلِّ نَصْبٍ، بَلْ مَقُولُ الْقَوْلِ مِنْ هُنَا إِلَى آخِرِ الْكِتَابِ. وَقَدْ اشْتَمَلَ كَلَامُهُ مِنْ هُنَا إِلَى قَوْلِهِ: أَحْمَدُهُ، عَلَى ثَلَاثِ سَجَعَاتٍ؛ آخِرُ الْأُولَى: الْكِتَابِ، وَآخِرُ الثَّانِيَةِ: مُجَابٍ، وَآخِرُ الثَّالِثَةِ: الثَّوَابِ، فَتُقْرَأُ بِالسُّكُونِ؛ لِأَجْلِ السَّجْعِ. وَهُوَ تَوَافُقُ الْفَاصِلَتَيْنِ مِنَ النَّثْرِ عَلَى حَرْفٍ وَاحِدٍ كَمَا فِي قَوْلِ الْحَرِيرِيِّ: فَهُوَ يُطْبِعُ الْأَسْجَاعَ بِجَوَاهِرِ لَفْظِهِ وَيَقْرَعُ الْأَسْمَاعَ بِزَوَاجِرِ وَعْظِهِ.
Perkataannya: (al-hamdu lillāh) kalimat hamdalah merupakan kalimat yang berdiri sendiri, sehingga tidak memiliki posisi dalam i’rab menurut pandangan sang penjelas. Adapun menurut pandangan penulis mukadimah, ia termasuk maqūl al-qawl (ucapan yang dikatakan), sehingga berada dalam posisi nasab (kata benda objek), bahkan seluruh kalimat dari sini hingga akhir kitab termasuk dalam maqūl al-qawl. Ucapannya dari sini hingga perkataan "aḥmaduhu" mencakup tiga saj’ (rima prosa); yang pertama diakhiri dengan kata "kitāb", yang kedua dengan "mujāb", dan yang ketiga dengan "tsawāb". Rima ini dibaca dengan sukun demi menjaga keindahan saj’ yang mengharuskan kesamaan dua akhir kalimat dalam prosa pada satu huruf, seperti dalam perkataan al-Ḥarīrī: "Fahuwa yuṭbi‘u al-asjā‘a bijawāhiri lafẓihi wa yaqra‘u al-asmā‘a bi zawājiri wa‘ẓihi" (Ia mencetak rima dengan permata ucapannya dan memukul pendengaran dengan peringatan nasehatnya).
قَوْلُهُ: (تَبَرُّكًا) مَفْعُولٌ لِأَجْلِهِ، كَمَا فِي قَوْلِكَ: قُمْتُ إِجْلَالًا لِعَمْرٍو، وَلَكِنَّ الْعَامِلَ هُنَا مُقَدَّرٌ، أَي: ذَكَرْتُ الْحَمْدَلَةَ لِأَجْلِ التَّبَرُّكِ. أَوْ بِمَعْنَى: مُتَبَرِّكًا حَالٌ مِنْ فَاعِلِ الْفِعْلِ الْمُقَدَّرِ، أَي: ذَكَرْتُ الْحَمْدَلَةَ حَالَ كُونِي مُتَبَرِّكًا.
Perkataannya: (tabarrukan) adalah maf’ul li-ajlih (kata benda sebagai alasan perbuatan), seperti dalam ucapan: "qumtu ijlālan li-‘amr" (aku berdiri untuk menghormati ‘Amr), tetapi ‘āmil (pelaku) di sini dihilangkan, yakni, "dzakartu al-ḥamdalah li-ajli al-tabarruk" (saya menyebutkan hamdalah untuk keberkahan). Atau, dalam pengertian "mutabarrikan" sebagai hal dari fā‘il pada fi‘il yang dihilangkan, yaitu, "dzakartu al-ḥamdalah ḥāla kunī mutabarrikan" (saya menyebutkan hamdalah dalam keadaan mengambil keberkahan).
قَوْلُهُ: (بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ) أَي بِمَا افْتَتَحَ اللَّهُ بِهِ كِتَابَهُ وَهُوَ صِيغَةُ الْحَمْدِ، لَكِنَّ الْمُرَادَ الْإِفْتِتَاحُ الْإِضَافِيُّ، فَلَا يُنَافِي أَنَّ اللَّهَ افْتَتَحَ كِتَابَهُ بِالْبَسْمَلَةِ لَكِنْ افْتِتَاحًا حَقِيقِيًّا وَإِنْ حَصَلَ بِهَا الْإِضَافِيُّ أَيْضًا، لَكِنَّهُ حَاصِلٌ غَيْرُ مَقْصُودٍ. وَالْأُولَى أَنْ يُرَادَ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ: مَا يَشْمَلُ الْبَسْمَلَةَ وَالْحَمْدَلَةَ؛ لِأَنَّهُ الْمُنَاسِبُ لِكَلَامِ الْمُؤَلِّفِ لِوُقُوعِ الْبَسْمَلَةِ وَالْحَمْدَلَةِ جَمِيعًا مِنْهُ. وَيُحْمَلُ الِافْتِتَاحُ عَلَى مَا يَشْمَلُ الْحَقِيقِيَّ وَالْإِضَافِيَّ، وَلَا يُنَافِي هَذَا أَنَّ الضَّمِيرَ فِي قَوْلِهِ: لِأَنَّهَا الْخَ رَاجِعٌ لِصِيغَةِ الْحَمْدِ فَقَطْ؛ لِأَنَّ عَوْدَ الضَّمِيرِ عَلَى بَعْضِ الْعَامِّ سَائِغٌ وَلَا يُخَصِّصُهُ. وَلَيْسَ الْمُرَادُ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ سُورَةَ الْفَاتِحَةِ بِتَمَامِهَا؛ لِأَنَّهُ رُبَّمَا يُنَافِيهِ مَا بَعْدَهُ.
Perkataannya: (bi-Fātiḥati al-kitāb) maksudnya dengan sesuatu yang Allah buka dalam kitab-Nya, yaitu lafaz pujian, namun yang dimaksud adalah pembukaan yang bersifat tambahan, sehingga tidak bertentangan bahwa Allah memulai kitab-Nya dengan basmalah sebagai pembukaan yang hakiki, meskipun pembukaan tambahan ini juga didapatkan darinya, tetapi tidak dimaksudkan. Pendapat yang lebih utama adalah bahwa Fātiḥat al-kitāb mencakup basmalah dan hamdalah karena hal itu sesuai dengan perkataan penulis yang mencantumkan keduanya, baik basmalah maupun hamdalah. Pembukaan itu mencakup yang hakiki dan yang bersifat tambahan, dan hal ini tidak bertentangan dengan penggunaan dhamir dalam perkataannya "li-annahā" yang merujuk pada lafaz hamdalah saja, karena pengembalian dhamir pada sebagian yang umum diperbolehkan dan tidak membatasinya. Bukan yang dimaksud dengan Fātiḥat al-kitāb adalah surat al-Fātiḥah secara keseluruhan, karena ini mungkin bertentangan dengan bagian yang akan dibahas setelahnya.
قَوْلُهُ: (لِأَنَّهَا الْخَ) عَلَّةٌ لِقَوْلِهِ: تَبَرُّكًا، فَهُوَ مِنْ بَابِ التَّدْقِيقِ، وَهُوَ إِثْبَاتُ الدَّلِيلِ بِدَلِيلٍ آخَرَ أَوْ ذِكْرُ الشَّيْءِ عَلَى وَجْهٍ فِيهِ دِقَّةٌ. وَقَدْ اشْتَمَلَتْ هَذِهِ الْعِلَّةُ عَلَى ثَلَاثَةِ أُمُورٍ.
Perkataannya: (li-annahā) merupakan alasan dari perkataannya "tabarrukan", sehingga hal ini termasuk bagian dari penjelasan detail, yakni penetapan dalil dengan dalil lain atau penjelasan hal dengan penjelasan yang lebih rinci. Alasan ini mencakup tiga hal.
وَالضَّمِيرُ رَاجِعٌ لِصِيغَةِ الْحَمْدِ لَكِنْ مَعَ زِيَادَةِ رَبِّ الْعَالَمِينَ؛ أَخْذًا مِنْ قَوْلِهِ: وَآخِرُ دَعْوَى الْمُؤْمِنِينَ فِي الْجَنَّةِ دَارِ الثَّوَابِ؛ لِأَنَّ آخِرَ دَعْوَاهُمْ فِيهَا الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.
Dhamir kembali pada lafaz pujian, namun dengan tambahan "Rabb al-‘ālamīn", yang diambil dari perkataannya, "wa akhiru da‘wā al-mu’minīn fī al-jannah dār al-thawāb" (karena ucapan terakhir mereka di dalamnya adalah, “Alhamdulillah Rabb al-‘ālamīn”).
قَوْلُهُ: (ابْتِدَاءُ كُلِّ الْخَ) وَقَوْلُهُ: وَخَاتِمَةُ كُلِّ دُعَاءٍ الْخَ، وَقَوْلُهُ: وَآخِرُ دَعْوَى الْمُؤْمِنِينَ الْخَ أَخْبَارٌ ثَلَاثَةٌ عَنْ إِنْ فِي قَوْلِهِ: لِأَنَّهَا. وَمَعْنَى كَوْنِهَا ابْتِدَاءَ كُلِّ أَمْرٍ الْخَ: أَنَّهُ يُطْلَبُ ابْتِدَاؤُهُ بِهَا ابْتِدَاءً حَقِيقِيًّا إِنْ لَمْ تَسْبِقْهَا الْبَسْمَلَةُ، أَوْ إِضَافِيًّا إِنْ سَبَقَتْهَا لِحَدِيثِ: «كُلُّ أَمْرٍ ذِي بَالٍ لَا يُبْدَأُ فِيهِ بِالْحَمْدُ لِلَّهِ فَهُوَ أَبْتَرُ» أَوْ «أَقْطَعُ» أَوْ «أَجْذَمُ». وَالْإِبْتِدَاءُ الْحَقِيقِيُّ: مَا تَقَدَّمَ أَمَامَ الْمَقْصُودِ وَلَمْ يَسْبِقْهُ شَيْءٌ. وَالْإِضَافِيُّ: مَا تَقَدَّمَ أَمَامَ الْمَقْصُودِ سَوَاءٌ سَبَقَهُ شَيْءٌ أَوْ لَا. فَكُلُّ حَقِيقِيٍّ إِضَافِيٌّ وَلَا عَكْسَ.
Perkataannya: (ibtidā’u kulli) dan perkataannya "wa khātimatu kulli du‘ā" serta perkataannya "wa ākhiru da‘wā al-mu’minīn" adalah tiga pemberitahuan dari "inna" dalam perkataannya "li-annahā". Makna menjadi pembuka setiap urusan adalah bahwa disunnahkan memulainya dengan hamdalah secara hakiki jika tidak didahului oleh basmalah, atau tambahan jika didahului basmalah berdasarkan hadits: "Setiap urusan penting yang tidak dimulai dengan al-ḥamdu lillāh maka ia terputus atau cacat." Pembukaan yang hakiki adalah yang muncul di awal sebelum hal yang dimaksud tanpa ada sesuatu sebelumnya, sedangkan pembukaan tambahan adalah yang muncul di awal yang dimaksud, baik didahului sesuatu atau tidak. Maka setiap yang hakiki bersifat tambahan, namun tidak sebaliknya.
وَقَوْلُهُ: (ذِي بَالٍ) أَي حَالٌ بِحَيْثُ يُهْتَمُّ بِهِ شَرْعًا، بِأَنْ لَا يَكُونَ مُحَرَّمًا وَلَا مَكْرُوهًا وَلَا مِنْ سَفَاسِفِ الْأُمُورِ، وَيُزَادُ عَلَى ذَلِكَ: وَلَيْسَ ذِكْرًا مَحْضًا. وَلَا جَعَلَ الشَّارِعُ لَهُ مَبْدَأً غَيْرَ الْبَسْمَلَةِ وَالْحَمْدَلَةِ لِيَخْرُجَ الذِّكْرُ الْمَحْضُ وَنَحْوُ الصَّلَاةِ، فَإِنَّ الشَّارِعَ جَعَلَ ابْتِدَاءَهَا بِالتَّكْبِيرِ كَمَا سَيَأْتِي.
Perkataannya: (dhī bālin) yakni perkara yang mendapat perhatian dalam syariat, yang tidak termasuk perkara haram, makruh, atau rendah nilainya.
قَوْلُهُ: (وَخَاتِمَةُ كُلِّ دُعَاءٍ الْخَ) عَطْفٌ عَلَى ابْتِدَاءِ كَمَا تَقَدَّمَتْ الْإِشَارَةُ إِلَيْهِ. وَمَعْنَى كَوْنِهَا خَاتِمَةَ كُلِّ دُعَاءٍ الْخَ: أَنَّهُ يُطْلَبُ خَتْمُ الدُّعَاءِ بِهَا كَمَا يُطْلَبُ بَدْؤُهُ بِهَا، وَلِذَلِكَ قَالَ فِي الْعُبَابِ: وَأَنْ يُبْدَأَ الدُّعَاءُ وَيُخْتَمَهُ بِالْحَمْدُ لِلَّهِ اهـ. وَمِثْلُ الْحَمْدَلَةِ الصَّلَاةُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، لِخَبَرِ: «لَا تَجْعَلُونِي كَقَدَحِ الرَّاكِبِ بَلِ اجْعَلُونِي فِي أَوَّلِ كُلِّ دُعَاءٍ وَفِي آخِرِهِ».
Perkataannya: (Wa khātimatu kulli du‘ā - dan sebagai penutup setiap doa), ini dihubungkan (dengan kata sebelumnya) pada "ibtidā’" seperti yang telah disinggung sebelumnya. Makna dari "sebagai penutup setiap doa" adalah bahwa disunnahkan untuk menutup doa dengan pujian sebagaimana disunnahkan untuk memulainya dengan pujian. Karena itu, dalam kitab al-‘Ubbāb disebutkan, "dan hendaknya doa dimulai dan diakhiri dengan pujian kepada Allah." Hal yang serupa dengan hamdalah adalah shalawat kepada Nabi Muhammad SAW, berdasarkan hadis: "Janganlah kalian menjadikanku seperti wadah air bagi pengendara, tetapi letakkanlah aku di awal setiap doa dan di akhirnya."
وَقَوْلُهُ: (مُجَابٌ) أَيْ تُرْجَى إِجَابَتُهُ؛ لِأَنَّهَا عَلَامَةٌ عَلَى إِجَابَتِهِ. وَقَدْ قَالُوا: كُلُّ دُعَاءٍ مُجَابٌ، لَكِنْ إِمَّا بِعَيْنِ مَا طُلِبَ أَوْ بِخَيْرٍ مِمَّا طُلِبَ، إِمَّا حَالًا أَوْ مَآلًا، أَوْ بِثَوَابٍ يَحْصُلُ لِلدَّاعِي، أَوْ بِدَفْعِ ضَرٍّ عَنْهُ. قَالَ تَعَالَى: {ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ} [غَافِر (٤٠): ٦٠]. وَلِذَلِكَ قَالَ فِي الْجَوْهَرَةِ:
Perkataannya: (mujāb - diterima), artinya doa tersebut diharapkan untuk diterima, karena hamdalah menjadi tanda dikabulkannya doa. Dikatakan bahwa setiap doa itu dikabulkan, namun bisa jadi dalam bentuk yang persis diminta, atau dengan yang lebih baik dari apa yang diminta, baik segera atau di kemudian hari, atau berupa pahala bagi yang berdoa, atau dengan menjauhkan bahaya dari dirinya. Allah Ta'ala berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan bagimu" (Ghafir: 60). Karena itu, dalam al-Jawharah dikatakan:
وَعِنْدَنَا أَنَّ الدُّعَاءَ يَنْفَعُ * كَمَا مِنَ الْقُرْآنِ وَعْدًا يُسْمَعُ
"Menurut kami, doa itu bermanfaat * sebagaimana janji dalam Al-Qur'an yang terdengar."
قَوْلُهُ: (وَآخِرُ الْخَ) عَطْفٌ عَلَى ابْتِدَاءِ كَمَا تَقَدَّمَتْ الْإِشَارَةُ إِلَيْهِ. وَمَعْنَى كَوْنِهَا آخِرَ دَعْوَى الْمُؤْمِنِينَ الْخَ أَنَّ الْمُؤْمِنِينَ فِي الْجَنَّةِ إِذَا اشْتَهَوْا شَيْئًا طَلَبُوهُ بِأَنْ يَقُولُوا: سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ. فَإِذَا مَا طَلَبُوهُ وَجَدُوهُ بَيْنَ أَيْدِيهِمْ عَلَى الْمَوَائِدِ، كُلُّ مَائِدَةٍ مِيلٌ فِي مِيلٍ، عَلَى كُلِّ مَائِدَةٍ سَبْعُونَ أَلْفَ صَحْفَةٍ، فِي كُلِّ صَحْفَةٍ لَوْنٌ مِنَ الطَّعَامِ لَا يُشْبِهُ بَعْضُهَا بَعْضًا. فَإِذَا فَرَغُوا مِنْ ذَلِكَ قَالُوا: الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، كَمَا أَخْبَرَ اللَّهُ عَنْهُمْ فِي قَوْلِهِ: {دَعْوَاهُمْ فِيهَا} [يُونُس (١٠): ١٠] الْخَ.
Perkataannya: (wa ākhir al-kh - dan akhir doa) ini dihubungkan dengan "ibtidā’" seperti yang telah disinggung sebelumnya. Makna dari "sebagai akhir doa kaum mukminin" adalah bahwa kaum mukminin di surga, ketika mereka menginginkan sesuatu, mereka hanya perlu memintanya dengan berkata: "Subḥānaka Allāhumma wa biḥamdik" (Maha Suci Engkau, ya Allah, dan segala puji bagi-Mu). Lalu, apa yang mereka minta langsung muncul di hadapan mereka di atas meja-meja besar, setiap meja berukuran satu mil kali satu mil. Di atas setiap meja terdapat tujuh puluh ribu piring, dan setiap piring berisi jenis makanan yang berbeda-beda. Ketika mereka selesai menikmati makanan itu, mereka mengucapkan, "Al-ḥamdu lillāhi Rabb al-‘ālamīn" (Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam), sebagaimana yang Allah kabarkan tentang mereka dalam firman-Nya: "Seruan mereka di dalamnya ialah, 'Subḥānaka Allāhumma wa biḥamdik'..." (Yunus: 10).
وَقَالَ بَعْضُهُمْ: الْمُرَادُ أَنَّهُمْ يَشْتَغِلُونَ فِي الْجَنَّةِ بِالتَّسْبِيحِ وَالتَّقْدِيسِ لِلَّهِ تَعَالَى، وَيَخْتِمُونَ ذَلِكَ بِالتَّحْمِيدِ وَالثَّنَاءِ عَلَيْهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ، وَفِي هَذَا الذِّكْرِ سُرُورُهُمْ وَكَمَالُ لَذَّاتِهِمْ. وَهَذَا أَوْلَى مِنَ الْأَوَّلِ؛ لِأَنَّ الْإِمَامَ الرَّازِيَّ شَنَّعَ عَلَى قَائِلِ الْأَوَّلِ بِأَنَّهُ نَاظِرٌ فِي دُنْيَاهُ وَآخِرَتِهِ لِلْمَأْكُولِ وَالْمَشْرُوبِ، وَحَقِيقٌ بِمِثْلِ هَذَا أَنْ يُعَدَّ فِي زُمْرَةِ الْبَهَائِمِ وَلَا تَنْبَغِي هَذِهِ الْمُبَالَغَةُ، فَقَدْ قَالَهُ الْبَغَوِيُّ وَتَبِعَهُ جَمَاعَةٌ مِنَ الْمُفَسِّرِينَ.
Beberapa ulama mengatakan bahwa yang dimaksud adalah kaum mukminin di surga senantiasa bertasbih dan bertahmid kepada Allah, dan mereka menutup dzikir tersebut dengan memuji dan menyanjung-Nya sebagaimana yang layak bagi-Nya. Dalam dzikir tersebut, mereka menemukan kebahagiaan dan kenikmatan yang sempurna. Pendapat ini lebih utama daripada pendapat pertama, karena Imam Ar-Rāzī mengkritik pendapat pertama yang mengatakan bahwa kenikmatan di surga hanya terbatas pada makanan dan minuman, yang seakan menjadikan kenikmatan akhirat sama dengan kesenangan duniawi. Hal ini, menurut Ar-Rāzī, dapat menggolongkan manusia dalam kategori makhluk hewan yang hanya mementingkan pemenuhan nafsu makan. Meski begitu, pendapat pertama tersebut dipegang oleh Al-Baghawī dan diikuti oleh sebagian mufasir lainnya.
قَوْلُهُ: (فِي الْجَنَّةِ) هِيَ لُغَةً: الْبُسْتَانُ، وَاصْطِلَاحًا: دَارُ الثَّوَابِ بِجَمِيعِ أَنْوَاعِهَا. وَهِيَ سَبْعُ جَنَّاتٍ مُتَجَاوِرَةٍ، أَوْسَطُهَا وَأَفْضَلُهَا الْفِرْدَوْسُ، وَجَنَّةُ الْمَأْوَى، وَجَنَّةُ الْخُلْدِ، وَجَنَّةُ النَّعِيمِ، وَجَنَّةُ عَدْنٍ، وَدَارُ السَّلَامِ، وَدَارُ الْجَلَالِ، كَمَا ذَهَبَ إِلَيْهِ ابْنُ عَبَّاسٍ. وَقِيلَ: أَرْبَعٌ، وَرَجَّحَهُ جَمَاعَةٌ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلِمَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ جَنَّتَانِ} [الرَّحْمَن (٥٥): ٤٦]، ثُمَّ قَالَ: {وَمِنْ دُونِهِمَا جَنَّتَانِ} [الرَّحْمَن (٥٥): ٦٢] كَمَا ذَهَبَ إِلَيْهِ الْجُمْهُورُ.
Perkataannya: (fi al-jannah - di dalam surga), secara bahasa, jannah berarti kebun; sedangkan secara istilah, jannah berarti tempat balasan berupa segala macam kenikmatan. Surga terdiri dari tujuh tingkatan yang berdekatan, dan yang paling tengah dan paling utama adalah Firdaus, kemudian ada Jannatu al-Ma'wā (tempat tinggal), Jannatu al-Khuld (keabadian), Jannatu an-Na‘īm (kenikmatan), Jannatu ‘Adn (tempat kediaman), Dāru as-Salām (rumah keselamatan), dan Dāru al-Jalāl (rumah keagungan), sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu ‘Abbas. Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa surga terdiri dari empat tingkatan, dan pendapat ini diperkuat oleh beberapa ulama dengan dalil firman Allah: "Dan bagi orang yang takut akan kebesaran Tuhannya ada dua surga" (Ar-Rahman: 46), lalu Allah berfirman: "Dan di bawah keduanya ada dua surga lagi" (Ar-Rahman: 62), sebagaimana pandangan mayoritas ulama.
وَقِيلَ: وَاحِدَةٌ. وَكُلُّ الْأَسْمَاءِ مُتَحَقِّقَةٌ فِيهَا، إِذْ يَصْدُقُ عَلَيْهَا جَنَّةُ عَدْنٍ أَيْ إِقَامَةٌ وَجَنَّةُ الْخُلْدِ وَجَنَّةُ النَّعِيمِ وَهَكَذَا. وَالْأَكْثَرُونَ عَلَى أَنَّ الْجَنَّةَ فَوْقَ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَتَحْتَ الْعَرْشِ، وَالنَّارَ تَحْتَ الْأَرْضِينَ السَّبْعِ. وَالْحَقُّ تَفْوِيضُ ذَلِكَ إِلَى عِلْمِ اللَّطِيفِ الْخَبِيرِ.
Ada juga yang berpendapat bahwa surga itu hanya satu. Semua nama tersebut dapat digunakan untuknya, karena surga juga memenuhi nama Jannatu ‘Adn (tempat kediaman), Jannatu al-Khuld (keabadian), Jannatu an-Na‘īm (kenikmatan), dan sebagainya. Mayoritas ulama berpendapat bahwa surga berada di atas tujuh lapis langit dan di bawah Arsy, sementara neraka berada di bawah tujuh lapis bumi. Akan tetapi, hakikat mengenai hal ini sebaiknya diserahkan kepada ilmu Allah yang Maha Lembut dan Maha Mengetahui.
قَوْلُهُ: (دَارُ الثَّوَابِ) بَدَلٌ مِنَ الْجَنَّةِ، وَأُضِيفَتْ إِلَى الثَّوَابِ؛ لِأَنَّهَا مَحَلُّهُ. فَالْإِضَافَةُ مِنْ إِضَافَةِ الْمَحَلِّ لِلْحَالِّ فِيهِ. وَقَوْلُ الْبَرْمَاوِيِّ: وَإِضَافَتُهَا إِلَى الثَّوَابِ؛ لِكَوْنِهِ سَبَبًا فِي دُخُولِهَا فِيهِ نَظَرٌ؛ لِأَنَّهُ يُنَافِي الْحَدِيثَ الْمَشْهُورَ وَهُوَ: «لَنْ يَدْخُلَ أَحَدُكُمُ الْجَنَّةَ بِعَمَلِهِ». قَالُوا: وَلَا أَنْتَ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: «وَلَا أَنَا، إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللهُ بِرَحْمَتِهِ».
Perkataannya: (Dāru at-Thawāb - tempat balasan) menggantikan makna "surga", dan disandarkan kepada "balasan" karena ia adalah tempat balasan tersebut. Penyandaran ini adalah penyandaran tempat kepada sesuatu yang ada di dalamnya. Pernyataan al-Burmāwī yang mengatakan bahwa penyandaran surga kepada "balasan" disebabkan karena balasan tersebut adalah sebab masuknya seseorang ke dalamnya, adalah pandangan yang dipertanyakan; karena hal itu bertentangan dengan hadits yang terkenal: "Tidak seorang pun di antara kalian yang masuk surga karena amalnya." Para sahabat bertanya, "Termasuk Anda juga, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Termasuk saya, kecuali jika Allah meliputiku dengan rahmat-Nya."
إِلَّا أَنْ يُقَالَ: إِنَّهُ نَاظِرٌ لِلظَّاهِرِ، فَإِنَّ الْعَمَلَ سَبَبٌ فِي الظَّاهِرِ كَمَا هُوَ ظَاهِرُ قَوْلِهِ تَعَالَى: {ادْخُلُوْا الْجَنَّةَ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ} [النَّحْل (١٦): ٣٢]. وَالْمَنْفِيُّ فِي الْحَدِيثِ الِاسْتِحْقَاقُ، بِهَذَا عَلِمَ أَنَّهُ لَا تَنَافِيَ بَيْنَ الْحَدِيثِ وَالْآيَةِ. وَقِيلَ: مَعْنَى الْآيَةِ: ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِفَضْلِي وَاقْتَسِمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ.
Akan tetapi, mungkin yang dimaksud al-Burmāwī adalah pandangan secara lahiriah, di mana amal memang menjadi sebab secara lahiriah, sebagaimana yang tampak dari firman Allah: "Masuklah ke dalam surga karena apa yang telah kalian amalkan" (An-Nahl: 32). Yang dinafikan dalam hadits tersebut adalah hak untuk mendapatkannya (secara mutlak), sehingga tidak ada pertentangan antara hadits dan ayat ini. Ada juga yang mengatakan bahwa makna ayat tersebut adalah: "Masuklah ke dalam surga karena karunia-Ku, dan bagi-bagilah tempat itu sesuai amal kalian."
قَوْلُهُ: (أَحْمَدُهُ) إِنَّمَا حَمِدَ بِالْجُمْلَةِ الْفِعْلِيَّةِ بَعْدَ أَنْ حَمِدَ بِالْجُمْلَةِ الِاسْمِيَّةِ تَأَسِّيًا بِحَدِيثِ: «إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ». وَهَذَا حَمْدٌ فِي مُقَابَلَةِ نِعْمَةٍ وَهِيَ مُتَجَدِّدَةٌ شَيْئًا بَعْدَ شَيْءٍ، فَنَاسَبَ أَنْ يَأْتِيَ هُنَا بِالْجُمْلَةِ الْفِعْلِيَّةِ الْمُفِيدَةِ لِلتَّجَدُّدِ وَالْحُدُوثِ، وَذَاكَ حَمْدٌ فِي مُقَابَلَةِ الذَّاتِ وَهِيَ دَائِمَةٌ مُسْتَمِرَّةٌ، فَنَاسَبَ أَنْ يَأْتِيَ هُنَاكَ بِالْجُمْلَةِ الِاسْمِيَّةِ الْمُفِيدَةِ لِلدَّوَامِ وَالِاسْتِمْرَارِ.
Kalimatnya, "Aku memuji-Nya (أَحْمَدُهُ)"—Ia memuji dalam bentuk kalimat fi'liyah setelah sebelumnya memuji dalam bentuk kalimat isimiyah, mengikuti Hadis: "Sesungguhnya segala puji bagi Allah, kami memuji-Nya." Pujian ini sebagai balasan atas nikmat yang terus diperbarui, sehingga lebih sesuai untuk dinyatakan dengan kalimat fi'liyah yang menunjukkan pembaruan dan perubahan. Sedangkan pujian sebelumnya adalah balasan terhadap Dzat Allah yang kekal dan abadi, sehingga lebih sesuai menggunakan kalimat isimiyah yang menunjukkan keberlanjutan dan kekekalan.
وَجُمْلَةُ الْحَمْدَلَةِ خَبَرِيَّةٌ لَفْظًا إِنْشَائِيَّةٌ مَعْنًى، فَالْمَقْصُودُ مِنْهَا: إِنْشَاءُ الْحَمْدِ، فَلَا تُفِيدُ الْإِنْشَاءَ إِلَّا بِالْقَصْدِ. فَقَوْلُ الْبَرْمَاوِيِّ: وَإِنْ لَمْ يَقْصِدْ بِهَا الْإِنْشَاءَ فِيهِ نَظَرٌ؛ لِأَنَّهَا مَوْضُوعَةٌ لِلْإِخْبَارِ، فَكَيْفَ تُفِيدُ الْإِنْشَاءَ مِنْ غَيْرِ قَصْدٍ؟ إِلَّا أَنْ يُنْظَرَ؛ لِكَوْنِهَا نُقِلَتْ فِي عُرْفِ الشَّرْعِ إِلَى الْإِنْشَاءِ. وَيَصِحُّ أَنْ تَكُونَ خَبَرِيَّةً لَفْظًا وَمَعْنًى،
Kalimat hamdalah secara lafaz merupakan pernyataan berita, tetapi secara makna merupakan ungkapan pujian (insya). Maksudnya adalah menciptakan pujian; ini tidak akan terwujud tanpa adanya niat. Maka pernyataan al-Burmai, "Jika ia tidak berniat insya dengan pujian ini," membutuhkan pertimbangan. Sebab pujian ini sebenarnya ditujukan untuk menyampaikan berita, sehingga bagaimana mungkin ia berfungsi sebagai insya tanpa niat? Kecuali jika dilihat bahwa dalam tradisi syariat, kalimat ini telah dipindahkan menjadi bentuk insya. Kalimat tersebut bisa saja tetap berfungsi sebagai berita secara lafaz dan makna.
لَا يُقَالُ إِذَا كَانَتْ خَبَرِيَّةً لَفْظًا وَمَعْنًى لَمْ يَحْصُلْ مَقْصُودُ الشَّارِعِ وَهُوَ اتِّصَافُ الْمُؤَلِّفِ بِالْحَمْدِ، لِأَنَّا نَقُولُ الْإِخْبَارُ بِالْحَمْدِ حَمْدٌ؛ لِأَنَّهُ مِنْ جُمْلَةِ الثَّنَاءِ، لَكِنَّ الْمَشْهُورَ الْأَوَّلُ.
Tidak bisa dikatakan bahwa jika kalimatnya murni berita, maka tujuan syariat, yaitu menampilkan pujian terhadap Allah, tidak tercapai, karena menyampaikan berita tentang pujian juga termasuk pujian, sebagai bagian dari bentuk sanjungan.
وَقَدِ اشْتَمَلَ كَلَامُهُ مِنْ هُنَا إِلَى مُرَادِهِ عَلَى سَجْعَتَيْنِ عَلَى الْهَاءِ، وَالثَّانِيَةُ أَطْوَلُ مِنَ الْأُولَى وَهُوَ حَسَنٌ؛ لِأَنَّ أَحْسَنَ السَّجْعِ مَا تَسَاوَتْ فِقَرُهُ ثُمَّ مَا طَالَتْ فِيهِ الثَّانِيَةُ عَلَى الْأُولَى.
Kalimat-kalimat yang ada dalam teks ini mengandung dua rima (sajak) yang berakhir dengan huruf haa’ (ه), di mana rima kedua lebih panjang dari yang pertama, yang ini adalah keindahan, karena keindahan sajak adalah ketika setiap frasa setara panjangnya, atau ketika frasa kedua lebih panjang dari yang pertama.
وَمِنْ قَوْلِهِ: (وَأُصَلِّي وَأُسَلِّمُ - إِلَى - سَهْوِ الْغَافِلِينَ) عَلَى ثَلَاثِ سَجْعَاتٍ عَلَى النُّونِ، وَتَقَدَّمَ ثَلَاثُ سَجْعَاتٍ عَلَى الْبَاءِ.
Dari perkataannya, "Aku berdoa dan memberi salam - hingga - dari kelalaian orang-orang yang lalai," terdapat tiga rima pada huruf nun (ن), dan sebelumnya terdapat tiga rima pada huruf baa (ب).
قَوْلُهُ: (أَنْ وَفَّقَ) بِفَتْحِ الْهَمْزَةِ عَلَى تَقْدِيرِ اللَّامِ، وَأَنْ وَمَا بَعْدَهَا فِي تَأْوِيلِ مَصْدَرٍ، وَفَاعِلُ وَفَّقَ ضَمِيرٌ مُسْتَتِرٌ يَعُودُ عَلَى اللهِ تَعَالَى، أَيْ أَحْمَدُهُ لِأَجْلِ تَوْفِيقِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. وَيَصِحُّ كَسْرُ الْهَمْزَةِ وَتَجْعَلَ إِنْ بِمَعْنَى إِذْ، فَتَكُونَ لِلتَّعْلِيلِ لَا لِلتَّعْلِيقِ، فَتُفِيدَ عَلَى كُلٍّ وُقُوعَ الْحَمْدِ لِأَجْلِ التَّوْفِيقِ.
Kata "an wafaqa" (أَنْ وَفَّقَ) dengan harakat fathah pada huruf hamzah, dengan memperkirakan adanya lam sebelumnya. Frasa "an" dan setelahnya adalah ta’wil dari bentuk masdar. Faa’il dari "wafaqa" adalah dhamir yang kembali kepada Allah Ta’ala. Maksudnya, Aku memuji-Nya karena taufik-Nya, Mahasuci Dia. Dan juga sahih jika hamzah dibaca kasrah dan membuat "in" bermakna "idz," sehingga menjadi pengertian alasan, bukan penggantung. Ini mengisyaratkan bahwa pujian ditujukan sebagai balasan atas taufik dari Allah.
وَلَوْ جُعِلَتْ لِلتَّعْلِيقِ لَمْ تُفِدْ وُجُودَ الْحَمْدِ جَزْمًا؛ لِأَنَّهُ يَصِيرُ مُعَلَّقًا عَلَى التَّوْفِيقِ. وَبِهَذَا تَعْلَمُ مَا فِي قَوْلِ الْبَرْمَاوِيِّ: وَبِكَسْرِهَا الْمُقْتَضِي لِوُجُودِ الْمُعَلَّقِ عَلَيْهِ، اللهم إِلَّا أَنْ يُرِيدَ بِهِ مَا ذَكَرْنَا مِنْ كَوْنِهَا حَالَةَ الْكَسْرِ لِلتَّعْلِيلِ، وَيَكُونَ مُرَادُهُ بِالْمُعَلَّقِ عَلَيْهِ الْعِلَّةَ وَهِيَ التَّوْفِيقُ؛ لِأَنَّهُ مُعَلَّقٌ عَلَيْهِ مَعْنًى.
Jika "in" digunakan sebagai penggantung, tidak memberikan kepastian pujian, karena akan bergantung pada taufik. Dengan ini kita dapat memahami kritik al-Burmai tentang kasrah "hamzah," yang menuntut keberadaan mu’allaq ‘alaih. Kecuali jika ia bermaksud bahwa keadaan kasrah menunjukkan alasan (taufik), yang dimaksud dengan mu’allaq ‘alaih adalah penyebabnya, yaitu taufik, yang juga terikat secara makna.
وَالْمُرَادُ بِالتَّوْفِيقِ هُنَا: صَرْفُ الْهِمَّةِ لَا خَلْقُ قُدْرَةِ الطَّاعَةِ فِي الْعَبْدِ كَمَا اشْتُهِرَ؛ لِأَنَّ كُلَّ مَقَامٍ لَهُ مَقَالٌ.
Yang dimaksud dengan "taufik" di sini adalah pengalihan perhatian dan bukan penciptaan kemampuan taat pada hamba sebagaimana terkenal, karena setiap situasi memiliki makna yang sesuai.
قَوْلُهُ: (مِنْ أَرَادَ مِنْ عِبَادِهِ) أَيْ مِنْ أَرَادَ تَوْفِيقَهُ مِنْ عِبَادِهِ. وَالْمُتَكَلِّمُ دَاخِلٌ فِي عُمُومِ كَلَامِهِ هُنَا؛ لِلْقَرِينَةِ الدَّالَّةِ عَلَى ذَلِكَ، فَالشَّارِحُ مِنْ جُمْلَةِ مَنْ وَفَّقَهُ اللهُ تَعَالَى لِلتَّفَقُّهِ فِي الدِّينِ، فَيَكُونُ حَمْدُهُ فِي مُقَابَلَةِ التَّوْفِيقِ الْوَاصِلِ لَهُ وَلِغَيْرِهِ.
Kata "min arada min ‘ibadihi" (مِنْ أَرَادَ مِنْ عِبَادِهِ)—yaitu siapa saja yang dikehendaki oleh Allah untuk diberikan taufik di antara hamba-hamba-Nya. Penulis sendiri termasuk dalam kalimat ini karena tanda-tanda yang menunjukkan hal itu, sehingga ia termasuk di antara orang-orang yang diberi taufik oleh Allah untuk mendalami agama. Maka pujiannya adalah balasan atas taufik yang diterima olehnya dan orang lain.
قَوْلُهُ: (لِلتَّفَقُّهِ) أَيْ لِلتَّفَهُّمِ شَيْئًا بَعْدَ شَيْءٍ؛ لِأَنَّ الْفِقْهَ مَعْنَاهُ لُغَةً: الْفَهْمُ كَمَا سَيَأْتِي.
Kalimat "li al-tafaqquh" (لِلتَّفَقُّهِ)—yaitu pemahaman yang bertahap, karena makna fiqh dalam bahasa adalah pemahaman, sebagaimana akan dijelaskan.
قَوْلُهُ: (فِي الدِّينِ) مُتَعَلِّقٌ بِالتَّفَقُّهِ، وَالدِّينُ: مَا شَرَعَهُ اللهُ تَعَالَى مِنَ الْأَحْكَامِ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. سُمِّيَ دِينًا؛ لِأَنَّا نَدِينُ أَيْ نَنْقَادُ لَهُ، وَيُسَمَّى مِلَّةً؛ لِأَنَّهُ يُمْلَى عَلَى الرَّسُولِ وَهُوَ يُمْلِيهِ عَلَيْنَا، وَيُسَمَّى شَرْعًا وَشَرِيعَةً؛ لِأَنَّ اللهَ شَرَعَهُ وَبَيَّنَهُ. فَالدِّينُ وَالْمِلَّةُ وَالشَّرْعُ وَالشَّرِيعَةُ بِمَعْنًى وَاحِدٍ.
Kata "fi al-din" (فِي الدِّينِ) terkait dengan al-tafaqquh. Agama adalah apa yang disyariatkan oleh Allah Ta’ala berupa hukum-hukum melalui lisan Nabi-Nya, semoga Allah memberinya rahmat dan kesejahteraan. Disebut din (agama) karena kita tunduk kepadanya. Disebut pula millah karena wahyu itu disampaikan kepada Rasul yang kemudian menyampaikannya kepada kita. Disebut syar’ atau syari’ah karena Allah menetapkan dan menjelaskannya. Maka, din, millah, syar’, dan syari’ah memiliki makna yang sama.
قَوْلُهُ: (عَلَى وَفْقِ مَرَادِهِ) مُتَعَلِّقٌ بِالتَّفَقُّهِ، أَيْ عَلَى طَبَقِ مَرَادِهِ تَعَالَى أَزَلًا. فَالسَّجْعُ عَلَى حُرُوفِ الْهَاءِ وَالنُّونِ وَالْبَاءِ فِي مَطْلَعِ الْكَلَامِ، وَفِي خَتْمِهِ تَوْكِيدٌ لِلْقَصْدِ إِلَى الْحَمْدِ فِي كُلِّ حَالٍ. فالضمير في مراده لله تعالى
Perkataan"‘ala wafqi muradihi" (على وفق مراده) terkait dengan al-tafaqquh (pendalaman agama), yang berarti sesuai dengan kehendak Allah Ta'ala sejak azal. Dhamir (kata ganti) dalam muradihi (مراده) merujuk kepada Allah Ta'ala.
قوله: (أُصَلِّي وَأُسَلِّمُ) جملةُ الصَّلاةِ والسَّلامِ خَبَرِيَّةٌ لَفْظًا إِنْشَائِيَّةٌ مَعْنًى؛ لِقَصْدِهِ بِهَا الإِنْشَاءَ، فَلَا تُفِيدُ الإِنْشَاءَ إِلَّا بِالْقَصْدِ؛ لِأَنَّ الجُمْلَةَ المُضَارِعِيَّةَ مَوْضُوعَةٌ لِلإِخْبَارِ فَتَتَوَقَّفُ إِفَادَتُهَا الإِنْشَاءَ عَلَى القَصْدِ. وَبِهَذَا تَعْلَمُ مَا فِي قَوْلِ البُرْمَاوِي تَبَعًا لِلْقَيْلُوبِي: اِخْتَارَ صِيغَةَ المُضَارِعِ المُفِيدَةَ لِلإِنْشَاءِ مِنْ غَيْرِ قَصْدٍ،
Ungkapan, "(Aku bersholawat dan memberi salam)" adalah kalimat berita secara lafaz tetapi merupakan insya (ungkapan) secara makna, karena niatnya adalah insya. Maka, kalimat ini tidak dianggap sebagai insya tanpa adanya niat, karena kalimat dalam bentuk mudari' (kata kerja yang menunjukkan kegiatan sekarang atau masa depan) umumnya menunjukkan informasi (berita), dan manfaat insya di sini tergantung pada adanya niat. Dengan ini, kita memahami kritik al-Burmai, yang mengikuti pendapat al-Qailubi, bahwa penggunaan bentuk mudari' dipilih untuk menunjukkan insya tanpa niat.
لَا يُقَالُ: إِنَّهُ نَاظِرٌ لِمَقَامِ الإِبْتِدَاءِ، فَإِنَّهُ يُحْمَلُ فِيهِ الكَلَامُ عَلَى الإِنْشَاءِ وَلَوْ مِنْ غَيْرِ قَصْدٍ، لِأَنَّا نَقُولُ: إِذَا نَظَرْنَا لِلْمَقَامِ فَلَا فَرْقَ بَيْنَ المُضَارِعِيَّةِ وَالمَاضَوِيَّةِ وَالإِسْمِيَّةِ.
Tidak bisa dikatakan bahwa penggunaan mudari' menunjukkan awal pembicaraan, di mana kalimat dianggap insya meski tanpa niat, sebab ketika kita melihat konteks, tidak ada perbedaan antara bentuk mudari', madhi (kata kerja lampau), atau isimiyah (bentuk nominal).
قوله: (عَلَى أَفْضَلِ خَلْقِهِ) أَيْ مَخْلُوقَاتِهِ، فَهُوَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْضَلُ المَخْلُوقَاتِ عَلَى الإِطْلَاقِ، كَمَا قَالَ صَاحِبُ الجَوْهَرَةِ:
Kalimatnya, "(atas makhluk-Nya yang paling mulia)" —maksudnya adalah semua makhluk ciptaan-Nya, sehingga Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم adalah makhluk paling mulia secara mutlak, sebagaimana yang dikatakan oleh pengarang kitab al-Jawharah:
وَأَفْضَلُ الخَلْقِ عَلَى الإِطْلَاقِ * نَبِيُّنَا فَمِلْ عَنِ الشِّقَاقِ
Dan makhluk terbaik secara mutlak adalah Nabi kita, hindarilah pertentangan.
فَإِنْ قِيلَ: يَدْخُلُ فِي الخَلْقِ بِمَعْنَى المَخْلُوقَاتِ النَّاقِصُ، مَعَ أَنَّ تَفْضِيلَ الكَامِلِ عَلَى النَّاقِصِ نَقْصٌ، كَمَا قَالَ بَعْضُهُمْ:
Jika ada yang mengatakan, istilah "makhluk" mencakup makhluk yang kurang (dari segi kesempurnaan), dan memuji yang sempurna dibandingkan dengan yang kurang dianggap sebagai kekurangan, seperti yang diungkapkan oleh sebagian ulama:
إِذَا أَنْتَ فَضَّلْتَ اِمْرَأً ذَا نَبَاهَةٍ * عَلَى نَاقِصٍ، كَانَ المَدِيحُ مِنَ النَّقْصِ
أَلَمْ تَرَ أَنَّ السَّيْفَ يَنْقُصُ قَدْرُهُ * إِذَا قِيلَ: هَذَا السَّيْفُ خَيْرٌ مِنَ العَصَا
Jika engkau memuji seseorang yang terhormat dibandingkan dengan yang rendah, maka pujian tersebut menjadi cacat.
Tidakkah engkau melihat bahwa martabat pedang menjadi berkurang jika dikatakan, “Pedang ini lebih baik daripada tongkat.”
أُجِيبَ: بِأَنَّ مَحَلَّ ذَلِكَ إِذَا فُضِّلَ الكَامِلُ عَلَى النَّاقِصِ بِخُصُوصِهِ كَالمِثَالِ الَّذِي فِي البَيْتِ، بِخِلَافِ مَا إِذَا فُضِّلَ عَلَيْهِ فِي العُمُومِ، أَلَا تَرَى أَنَّهُ إِذَا قَالَ شَخْصٌ: السُّلْطَانُ أَفْضَلُ مِنَ الزَّبَّالِ، كَانَ ذَلِكَ نَقْصًا وَاسْتَحَقَّ ذَلِكَ الشَّخْصُ العُقُوبَةَ مِنَ السُّلْطَانِ، بِخِلَافِ مَا إِذَا قَالَ: السُّلْطَانُ أَفْضَلُ النَّاسِ، فَلَا يَكُونُ ذَلِكَ نَقْصًا وَلَا يَسْتَحِقُّ العُقُوبَةَ بَلِ الإِكْرَامُ.
Jawabannya adalah bahwa hal ini berlaku jika yang sempurna dibandingkan dengan yang kurang secara khusus, seperti pada contoh dalam syair tersebut. Berbeda halnya jika perbandingan dilakukan secara umum. Perhatikanlah bahwa jika seseorang berkata, "Sultan lebih mulia daripada tukang sapu," hal itu dianggap merendahkan dan orang tersebut layak dihukum oleh sultan. Namun, jika dikatakan, "Sultan adalah orang terbaik," hal itu tidak dianggap sebagai kekurangan dan malah layak mendapatkan penghormatan.
قَوْلُهُ: (مُحَمَّدٌ) عَطْفُ بَيَانٍ عَلَى أَفْضَلِ خَلْقِهِ فَهُوَ مَجْرُورٌ بِـ «عَلَى» الْمُتَقَدِّمَةِ، أَوْ بَدَلٌ مِنْهُ فَهُوَ مَجْرُورٌ بِـ «عَلَى» مُقَدَّرَةٍ؛ لِأَنَّ الْبَدَلَ عَلَى نِيَّةِ تِكْرَارِ الْعَامِلِ. وَلَا يَرِدُ عَلَى هَذَا أَنَّ الْمُبْدَلَ مِنْهُ فِي نِيَّةِ الطَّرْحِ وَالرَّمْيِ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ مِنْ حَيْثُ عَمَلُ الْعَامِلِ. وَأَمَّا بِالنَّظَرِ لِلْمَعْنَى فَهُوَ مَقْصُودٌ.
Perkataannya: (Muhammad) adalah sebagai athaf bayān (penjelasan tambahan) dari lafaz “Afdhal Khalqih” (makhluk terbaik-Nya), maka ia berstatus majrūr (diberi harakat kasrah) karena lafaz “alā” yang disebutkan sebelumnya, atau bisa juga sebagai badal (pengganti), dan ia berstatus majrūr karena adanya “alā” yang diperkirakan; karena badal dalam bahasa Arab dianggap sebagai pengulangan dari kalimat sebelumnya. Pernyataan ini tidak dibatalkan dengan argumen bahwa lafaz yang digantikan (mubdal minhu) dianggap terbuang dan dibuang, karena hal tersebut dilihat dari segi aturan kebahasaan, sedangkan dari segi makna, ia tetap dimaksudkan.
وَيُسَنُّ التَّسْمِيَةُ بِـ «مُحَمَّدٍ» مَحَبَّةً فِيهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَيَنْبَغِي إِكْرَامُ مَنْ اسْمُهُ مُحَمَّدٌ تَعْظِيمًا لَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Disunnahkan pula untuk menamai seseorang dengan “Muhammad” sebagai bentuk kecintaan kepada beliau (Nabi Muhammad) ﷺ, dan disarankan untuk menghormati orang yang bernama Muhammad sebagai penghormatan kepada beliau ﷺ.
قَوْلُهُ: (سَيِّدِ الْمُرْسَلِينَ) أَيْ أَشْرَفِ الْمُرْسَلِينَ، وَإِذَا كَانَ سَيِّدَ الْمُرْسَلِينَ كَانَ سَيِّدَ غَيْرِهِمْ بِالطَّرِيقِ الْأُولَى. وَالسَّيِّدُ: مَنْ سَادَ فِي قَوْمِهِ، أَوْ مَنْ كَثُرَ سَوَادُهُ أَيْ جَيْشُهُ، أَوْ هُوَ الْحَلِيمُ الَّذِي لَا يَسْتَفِزُّهُ الْغَضَبُ، وَلَا شَكَّ أَنَّ هَذِهِ الْأَوْصَافَ اجْتَمَعَتْ فِيهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Perkataannya: (Sayyid al-Mursalin) maksudnya adalah yang paling mulia dari para rasul, dan jika ia adalah sayyid (pemimpin) para rasul, maka dengan sendirinya ia adalah sayyid bagi selain mereka. Lafaz “sayyid” berarti seseorang yang memiliki kedudukan tinggi dalam kaumnya, atau yang banyak pengikutnya atau tentaranya, atau ia adalah orang yang sabar yang tidak terpengaruh oleh kemarahan. Tidak diragukan lagi bahwa sifat-sifat ini terkumpul dalam diri beliau ﷺ.
وَالْمُرْسَلِينَ: جَمْعُ مُرْسَلٍ بِفَتْحِ السِّينِ، خِلَافًا لِمَنْ قَالَ: جَمْعُ رَسُولٍ بِمَعْنَى مُرْسَلٍ؛ لِأَنَّ الْمُرْسَلِينَ إِنَّمَا يَكُونُ جَمْعُ مُرْسَلٍ عَلَى أَنَّهُ لَمْ يَأْتِ فَعُولٌ بِمَعْنَى مُفْعَلٍ إِلَّا نَادِرًا.
Lafaz “al-Mursalin” adalah bentuk jamak dari lafaz “mursal” dengan huruf sīn yang difatḥahkan, berbeda dengan yang menyatakan bahwa itu adalah bentuk jamak dari “rasūl” yang berarti “yang diutus”, karena lafaz “mursalin” adalah jamak dari “mursal”, sebab dalam bahasa Arab jarang ditemukan pola “faūl” yang berarti “mafūl”.
فَإِنْ قِيلَ: إِنَّ أَفْضَلَ خَلْقِهِ يُغْنِي عَنْ قَوْلِهِ سَيِّدِ الْمُرْسَلِينَ؟ أُجِيبَ: بِأَنَّ قَوْلَهُ سَيِّدِ الْمُرْسَلِينَ أَفَادَ مَا لَمْ يُفِدْهُ سَابِقُهُ مِنْ حَيْثُ أَنَّهُ أَشْعَرَ بِحُصُولِ وَصْفِ الْإِمَارَةِ وَالسِّيَادَةِ لَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَهُ السُّلْطَنَةُ وَالْغَلَبَةُ عَلَيْهِمْ، فَمُفَادُ الْأَوَّلِ الْإِخْبَارُ بِالصِّفَةِ الْبَاطِنَةِ، وَالثَّانِي الْإِخْبَارُ بِالصِّفَةِ الظَّاهِرَةِ.
Jika ada yang bertanya: “Bukankah lafaz “Afdhal Khalqih” sudah cukup tanpa menyebutkan “Sayyid al-Mursalin”?” Jawabannya adalah bahwa lafaz “Sayyid al-Mursalin” memberikan makna tambahan yang tidak diberikan oleh lafaz sebelumnya karena menunjukkan bahwa beliau ﷺ memiliki sifat kepemimpinan dan keunggulan, sehingga beliau memiliki kekuasaan dan keunggulan atas mereka. Maka yang pertama memberi kabar tentang sifat batin, sedangkan yang kedua memberi kabar tentang sifat lahiriah.
قَوْلُهُ: (الْقَائِلُ) صِفَةٌ لِمُحَمَّدٍ، وَأَتَى بِذَلِكَ؛ لِمُنَاسَبَتِهِ لِلْمَقَامِ.
Perkataannya: (al-Qā’il) adalah sifat bagi Muhammad, dan disebutkan sifat ini karena sesuai dengan konteks pembahasan.
قَوْلُهُ: (مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا إِلَخْ) تَمَّةُ الْحَدِيثِ: «وَإِنَّمَا أَنَا قَاسِمٌ وَاللهُ يُعْطِي، وَلَنْ يَزَالَ أَمْرُ هَذِهِ الْأُمَّةِ مُسْتَقِيمًا حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ». وَفِي رِوَايَةٍ: «وَلَنْ تَزَالَ هَذِهِ الْأُمَّةُ قَائِمَةً عَلَى أَمْرِ اللهِ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ».
Perkataannya: (man yuridi Allāhu bihi khairan), yaitu kalimat awal dari hadis yang lengkap: "Sesungguhnya aku hanyalah pembagi, sedangkan Allah yang memberi, dan urusan umat ini akan tetap lurus hingga hari kiamat.” Dalam riwayat lain: “Umat ini akan selalu tegak di atas perintah Allah, tidak akan dirugikan oleh orang yang menentang mereka sampai datang ketetapan Allah.”
وَالْمُرَادُ: مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا كَامِلًا بِشَهَادَةِ تَنْوِينِ التَّعْظِيمِ. فَخَرَجَ مَنْ لَمْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا أَصْلًا وَهُوَ الْكَافِرُ، وَمَنْ أَرَادَ بِهِ خَيْرًا لَكِنَّهُ غَيْرُ كَامِلٍ وَهُوَ الْمُؤْمِنُ الَّذِي لَمْ يُفَقِّهْ فِي الدِّينِ.
Makna dari kalimat ini adalah: "Barang siapa yang Allah kehendaki untuk diberi kebaikan yang sempurna,” sebagaimana ditunjukkan oleh tanwīn ta’ẓīm (tanda tanwin sebagai penghormatan). Dengan demikian, orang yang sama sekali tidak dikehendaki kebaikan oleh Allah, yaitu orang kafir, dan juga orang yang dikehendaki mendapat kebaikan namun tidak sempurna, yaitu orang mukmin yang tidak memahami agama, tidak termasuk dalam pengertian ini.
فَانْدَفَعَ مَا يُقَالُ: إِنَّ الْحَدِيثَ يَقْتَضِي أَنَّ مَنْ لَمْ يُفَقِّهْ فِي الدِّينِ قَدْ حُرِمَ الْخَيْرَ وَلَوْ كَانَ مُؤْمِنًا، وَلَيْسَ كَذَلِكَ، بَلْ أُعْطِيَ أَصْلَ الْخَيْرِ.
Hal ini juga menepis anggapan bahwa hadis tersebut menunjukkan bahwa orang yang tidak memahami agama akan terhalang dari kebaikan meskipun ia seorang mukmin. Hal ini tidak benar, karena orang yang tidak memahami agama tetap mendapatkan kebaikan dasar (pokok iman), meskipun tidak mencapai kesempurnaan dalam pemahaman agamanya
وفي هذا الحديث كما قاله الوَلِيُّ العِرَاقِيُّ وغَيْرُهُ بَشَارَةٌ لِلْمُشْتَغِلِ بِالفِقْهِ مِنْ حَيْثُ أَنَّ فِيهِ إِعْلَامًا بِخَيْرِيَّتِهِ بِشَرْطِ أَنْ يَكُونَ طَلَبُهُ خَالِصًا لِوَجْهِ اللهِ تَعَالَى، بِخِلَافِ مَا إِذَا كَانَ مَشُوبًا بِرِيَاءٍ أَوْ نَحْوِهِ.
Dalam hadis ini, sebagaimana dikatakan oleh Al-Wali Al-‘Iraqi dan yang lainnya, terdapat kabar gembira bagi orang yang sibuk mempelajari ilmu fiqih. Hal ini karena hadis ini menunjukkan bahwa mempelajari fiqih adalah tanda kebaikan, asalkan ia mempelajarinya dengan niat yang ikhlas untuk mencari rida Allah Ta'ala, berbeda halnya jika ia mencarinya untuk riya atau tujuan lain yang tidak murni.
وَالمُرَادُ بِكَوْنِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَاسِمًا: كَوْنُهُ مُبَلِّغًا لِلشَّرِيعَةِ مِنْ غَيْرِ تَخْصِيصٍ، وَاللهُ يُعْطِي كُلَّ وَاحِدٍ مِنَ الفَهْمِ مَا أَرَادَ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ فَضْلُ اللهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ، حَتَّى إِنَّ غَيْرَ الصَّحَابِيِّ قَدْ يَسْتَنْبِطُ مِنْ لَفْظِ النُّبُوَّةِ مَا لَا يَخْطُرُ بِبَالِ الصَّحَابِيِّ، كَمَا يَشْهَدُ لِذَلِكَ قَوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «رُبَّ مُبَلَّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ». وَقِيلَ: المُرَادُ كَوْنُهُ قَاسِمَ الأَمْوَالِ بَيْنَهُمْ؛ لِأَنَّ سَبَبَ إِيرَادِهِ أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَسَمَ مَالًا بَيْنَهُمْ فَخَصَّ بَعْضَهُمْ بِزِيَادَةٍ، فَقَالَ بَعْضُ مَنْ خَفِيَتْ عَلَيْهِ الحِكْمَةُ: مَا سَبَبُ ذَلِكَ؟ فَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: رَدًّا عَلَيْهِ: «مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ» أَيْ يُفْهِمُهُ فِي الدِّينِ بِحَيْثُ لَا تَخْفَى عَلَيْهِ الحِكْمَةُ فَلَا يَعْتَرِضُ عَلَيَّ؛ لِأَنَّ اللهَ هُوَ المُعْطِي المَانِعُ «وَإِنَّمَا أَنَا قَاسِمٌ» فَلَسْتُ بِمُعْطٍ حَقِيقَةً حَتَّى تُنْسَبَ إِلَيَّ الزِّيَادَةُ وَالنَّقْصُ.
Yang dimaksud dengan Nabi ﷺ sebagai "qāsīm" (pembagi) adalah bahwa beliau adalah penyampai syariat tanpa batasan atau pengecualian, sedangkan Allah yang memberi pemahaman kepada setiap individu sesuai dengan kehendak-Nya. Karena itu, mungkin saja seorang non-sahabat memahami maksud suatu hadis lebih baik daripada sahabat, sebagaimana ditunjukkan oleh sabda Nabi ﷺ: “Banyak orang yang menerima (pesan) lebih memahami daripada yang mendengarnya langsung.” Ada pula yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan "qāsīm" adalah bahwa Nabi ﷺ membagi-bagikan harta di antara mereka. Sebabnya adalah bahwa pada suatu kesempatan, Nabi ﷺ membagi harta dan memberikan sebagian lebih kepada seseorang, lalu ada di antara mereka yang kurang memahami hikmah dari tindakan ini dan bertanya: "Mengapa demikian?" Lalu Nabi ﷺ menjawab: “Barang siapa yang dikehendaki Allah mendapatkan kebaikan, maka ia akan diberi pemahaman dalam agama,” artinya ia akan memahami agama dengan baik sehingga tidak lagi meragukan hikmah pembagian itu dan tidak memprotes tindakanku. Sebab, Allahlah yang memberi dan yang menahan, sedangkan aku hanyalah seorang pembagi, bukan pemberi yang sesungguhnya sehingga penambahan atau pengurangan harta tersebut dinisbahkan kepadaku.”
وَالمَقْصُودُ مِنْ قَوْلِهِ: «حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ» التَّأْبِيدُ كَمَا فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: {مَا دَامَتِ السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ} [هُودٌ (١١): ١٠٧] . كَذَا قِيلَ، وَالأَوْلَى إِبْقَاؤُهُ عَلَى ظَاهِرِهِ مِنَ الغَايَةِ؛ لِأَنَّ المُرَادَ بِأَمْرِ اللهِ الرِّيحُ اللَّيِّنَةُ الَّتِي تَأْتِي قَبْلَ يَوْمِ القِيَامَةِ، يَمُوتُ بِهَا كُلُّ مُؤْمِنٍ وَمُؤْمِنَةٍ، فَلَا يَبْقَى إِلَّا شِرَارُ الخَلْقِ.
Makna dari ungkapan “hingga datang ketetapan Allah” adalah untuk menunjukkan kekekalan, seperti dalam firman Allah Ta'ala: {Mā dāmat as-samāwāt wa al-arḍ} (QS Hud: 107). Demikianlah yang dikatakan, namun yang lebih utama adalah tetap memahaminya dalam arti literal, yaitu sebagai batas waktu, karena yang dimaksud dengan ketetapan Allah adalah angin lembut yang akan datang sebelum hari kiamat dan menyebabkan kematian semua orang mukmin, sehingga yang tersisa hanyalah orang-orang jahat saja.
قَوْلُهُ: (وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ) عَطْفٌ عَلَى قَوْلِهِ: عَلَى أَفْضَلِ خَلْقِهِ، لَا عَلَى مُحَمَّدٍ، وَإِلَّا لَزِمَ أَنَّ أَفْضَلَ خَلْقِهِ مُبَيَّنٌ بِمُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ، أَوْ أَنَّهُ مُبْدَلٌ مِنْهُ مُحَمَّدٌ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ. وَهَذَا لَا يُتَوَهَّمُ إِلَّا عَلَى إِسْقَاطِ «عَلَى» مِنَ المَعْطُوفِ، وَأَمَّا مَعَ وُجُودِ «عَلَى» فَلَا يُتَوَهَّمُ ذَلِكَ. وَفِي بَعْضِ النُّسَخِ: وَأَصْحَابِهِ بَدَلَ صَحْبِهِ.
Perkataannya: (wa ‘alā ālihi wa ṣaḥbihi) adalah kata sambung pada lafaz “‘alā afdhal khalqih,” bukan pada lafaz “Muhammad,” karena jika demikian, maka “afdhal khalqih” akan dijelaskan dengan “Muhammad dan keluarganya serta sahabatnya,” atau “Muhammad dan keluarganya serta sahabatnya” menjadi badal (pengganti) dari lafaz tersebut. Hal ini tidak akan terjadi kecuali jika “‘alā” dihilangkan dari kata sambung tersebut. Namun, dengan adanya kata “‘alā,” hal ini tidak lagi terbayangkan. Di beberapa versi naskah, terdapat lafaz “wa aṣḥābihi” sebagai pengganti dari “ṣaḥbihi.”
قَوْلُهُ: (مُدَّةَ إِلَخْ) ظَرْفٌ لِقَوْلِهِ: أُصَلِّي وَأُسَلِّمُ، وَالغَرَضُ مِنْ ذَلِكَ تَعْمِيمُ الأَوْقَاتِ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى النَّبِيِّ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ السَّادَةِ الكِرَامِ؛ إِذْ لَا يَخْلُو وَقْتٌ عَنْ وُجُودِ ذِكْرٍ أَوْ غَفْلَةٍ. وَقَوْلُهُ: (ذِكْرَ الذَّاكِرِينَ) أَيْ لِلَّهِ أَوْ لِلرَّسُولِ أَوْ لَهُمَا.
Perkataannya: (muddah ilā ākhirih) adalah keterangan waktu untuk perkataan “uṣalli wa usallim” (saya bershalawat dan mengucapkan salam), yang bertujuan untuk mencakup semua waktu dengan bershalawat dan salam kepada Nabi serta keluarganya dan para sahabatnya yang mulia. Sebab, tidak ada waktu yang kosong dari dzikir atau kelalaian. Adapun “dzikru ad-dzākirīn” (dzikirnya orang-orang yang berdzikir), yang dimaksud adalah berdzikir kepada Allah, kepada Rasul, atau kepada keduanya.
وَقَوْلُهُ: (وَسَهْوُ الْغَافِلِينَ) أَي عَنْ ذِكْرِ اللهِ أَوْ ذِكْرِ الرَّسُولِ أَوْ هُمَا. وَالأُولَى أَنْ تَكُونَ "أل" فِي الذَّاكِرِينَ وَالْغَافِلِينَ لِلْجِنْسِ. وَالْمُرَادُ بِالسَّهْوِ: وَعَدَمِ الذِّكْرِ وَلَوْ عَمْدًا، وَإِنَّمَا عُبِّرَ بِهِ لِلْإِشَارَةِ إِلَى أَنَّ عَدَمَ الذِّكْرِ عَمْدًا؛ لِكَوْنِهِ غَيْرَ لَائِقٍ كَأَنَّهُ غَيْرُ وَاقِعٍ، وَلِهَذِهِ النُّكْتَةِ عُبِّرَ بِالْغَافِلِينَ. وَالْمُرَادُ بِهِمْ: غَيْرُ الذَّاكِرِينَ وَلَوْ عَمْدًا.
Dan pada perkataannya: (wa sahwu al-ghāfilīn) maksudnya adalah lalai dari mengingat Allah atau dari mengingat Rasul atau dari keduanya. Dan yang utama adalah bahwa “al-” pada lafaz “al-zhākirīn” dan “al-ghāfilīn” digunakan untuk makna jenis. Yang dimaksud dengan “sahwu” adalah ketiadaan zikir, meskipun disengaja. Ungkapan ini digunakan untuk menunjukkan bahwa ketiadaan zikir secara sengaja, karena dianggap tidak pantas, seolah-olah dianggap tidak terjadi, dan karena alasan ini disebut dengan lafaz "al-ghāfilīn" (orang-orang yang lalai). Yang dimaksud dengan mereka adalah orang-orang yang tidak berzikir, meskipun dengan sengaja.
قَوْلُهُ: (هَذَا كِتَابٌ) هَكَذَا فِي كَثِيرٍ مِنَ النُّسَخِ، وَفِي بَعْضِ النُّسَخِ: "وَبَعْدُ فَهَذَا كِتَابٌ." وَالْوَاوُ نَائِبَةٌ عَنْ "أَمَّا" النَّائِبَةِ عَنْ "مَهْمَا." وَالأَصْلُ: "مَهْمَا يَكُنْ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ فَهَذَا كِتَابٌ"، فَحُذِفَتْ "مَهْمَا" وَ "يَكُنْ" وَ "مِنْ شَيْءٍ" وَأُقِيمَتْ "أَمَّا" مَقَامَ ذَلِكَ. ثُمَّ إِنَّ بَعْضَهُمْ يَقُولُ: "أَمَّا بَعْدُ" وَهُوَ السُّنَّةُ؛ لِأَنَّهُ ﷺ كَانَ يَأْتِي بِهَا فِي كُتُبِهِ وَمُرَاسَلَاتِهِ، وَقَدْ صَحَّ أَنَّهُ ﷺ خَطَبَ فَقَالَ: "أَمَّا بَعْدُ." وَبَعْضُهُمْ يَحْذِفُ "أَمَّا" وَيَأْتِي بِالْوَاوِ بَدَلَهَا وَيَقُولُ: "وَبَعْدُ"، كَمَا هُنَا عَلَى مَا فِي بَعْضِ النُّسَخِ.
Perkataannya: (Hādhā kitāb) — demikian dalam banyak naskah, sementara di sebagian naskah tertulis: Wa ba‘du fa-hādhā kitāb (dan setelah itu, inilah kitab). Huruf wawu di sini menggantikan ammā, yang dalam hal ini menggantikan mahammā. Asalnya adalah: Mahammā yakun min shay’ ba‘du fa-hādhā kitāb, kemudian dihilangkan kata mahammā, yakun, dan min shay’, serta diganti dengan ammā. Beberapa ulama menyebutkan: Ammā ba‘du adalah sunnah karena Nabi ﷺ biasa menggunakannya dalam surat-surat dan pidatonya. Disebutkan juga bahwa Nabi ﷺ pernah berkhutbah dengan mengucapkan ammā ba‘du. Ada pula yang menggantikan ammā dengan wawu, seperti dalam beberapa naskah di sini, sehingga tertulis wa ba‘du (dan setelahnya).
وَالظَّرْفُ مَبْنِيٌّ عَلَى الضَّمِّ لِحَذْفِ الْمُضَافِ إِلَيْهِ وَنِيَّةِ مَعْنَى الإِضَافَةِ، وَالْمُرَادُ بِهِ: النِّسْبَةُ التَّقْيِيدِيَّةُ الَّتِي هِيَ مَعْنًى جُزْئِيٌّ حَقُّهُ أَنْ يُؤَدَّى بِالْحَرْفِ، فَإِنْ نُوِيَ لَفْظُ الْمُضَافِ إِلَيْهِ نُصِبَتْ عَلَى الظَّرْفِيَّةِ أَوْ جُرَّتْ بِـ "مِنْ" كَمَا إِذَا أُضِيفَتْ. وَإِنْ حُذِفَ الْمُضَافُ إِلَيْهِ وَلَمْ يُنْوَ شَيْءٌ نُصِبَتْ مَعَ التَّنْوِينِ، فَلَهَا أَحْوَالٌ أَرْبَعَةٌ، وَتُسْتَعْمَلُ لِلزَّمَانِ كَثِيرًا وَلِلْمَكَانِ قَلِيلًا، وَهِيَ صَالِحَةٌ هُنَا لِلزَّمَانِ بِاعْتِبَارِ أَنَّ زَمَنَ النُّطْقِ بِمَا بَعْدَهَا بَعْدَ زَمَنِ النُّطْقِ بِمَا قَبْلَهَا، وَلِلْمَكَانِ بِاعْتِبَارِ أَنَّ مَكَانَ رَقْمِ مَا بَعْدَ مَكَانِ رَقْمِ مَا قَبْلَهَا.
Kata ba‘du ini dibaca dengan dhammah karena diikuti penghilangan idhafah, dengan maksud penambahan idhafah. Yang dimaksud adalah bentuk perbandingan yang merupakan makna dari kata, yang secara semestinya disampaikan dengan huruf. Jika diinginkan makna idhafah, kata ini bisa menjadi manshub sebagai keterangan atau majrūr dengan huruf min, sebagaimana jika ditambahkan. Jika idhafah dihilangkan tanpa maksud lain, maka kata ini bisa menjadi manshub dengan tanwin, dan dengan demikian, kata ini memiliki empat keadaan. Kata ini sering digunakan untuk waktu dan kadang-kadang untuk tempat. Dalam konteks ini, ia cocok sebagai penanda waktu karena masa penyampaian kata sesudahnya datang setelah masa penyampaian kata sebelumnya. Bisa juga bermakna tempat, mengingat bahwa tempat tertulisnya kata setelahnya berada di tempat yang sama dengan tertulisnya kata sebelumnya.
وَقَدْ اشْتَهَرَ الْخِلَافُ فِي أَوَّلِ مَنْ نَطَقَ بِهَا، فَقِيلَ: دَاوُدُ عَلَيْهِ السَّلَام، وَقِيلَ: قُسُّ بْنُ سَاعِدَةَ، وَقِيلَ: سُحْبَانُ بْنُ وَائِلٍ، وَقِيلَ: كَعْبُ بْنُ لُؤَيٍّ، وَقِيلَ: يَعْرُبُ بْنُ قَحْطَانَ. وَقَدْ نَظَمَ بَعْضُهُمْ ذَلِكَ فَقَالَ:
Terdapat perbedaan pendapat mengenai siapa yang pertama kali mengucapkannya. Ada yang mengatakan Nabi Dawud عليه السلام, ada yang menyebut Qus bin Sa‘idah, Syaiban bin Wa'il, Ka‘b bin Lu’ayy, dan ada yang menyebut Ya‘rub bin Qahtān. Sebuah syair yang menggambarkan perbedaan ini berbunyi:
جَرَى الخُلْفُ أَمَّا بَعْدُ مَنْ كَانَ قَائِلًا * لَهَا خَمْسُ أَقْوَالٍ وَدَاوُدُ أَقْرَبُ
Telah terjadi perbedaan pendapat tentang siapa yang pertama kali mengucapkan "أما بعد" (Amah Ba'du), yang memiliki lima pendapat, dan yang paling dekat adalah Daud.
وَكَانَتْ لَهُ فَصْلُ الخِطَابِ وَبَعْدَهُ * فَقُسٌّ فَسَحْبَانُ فَكَعْبٌ فَيَعْرُبُ
Dan yang pertama kali menggunakannya dengan kata-kata yang tegas adalah Daud, setelahnya diikuti oleh Qus, kemudian Sahlban, K'ab, dan akhirnya Ya'rub.
وَاسْمُ الإِشَارَةِ رَاجِعٌ لِلْمُؤَلَّفِ الْمُسْتَحْضَرِ فِي ذِهْنِهِ، وَهُوَ الأَلْفَاظُ الْمَخْصُوصَةُ مِنْ حَيْثُ دَلَالَتُهَا عَلَى الْمَعَانِي الْمَخْصُوصَةِ، سَوَاءٌ كَانَتِ الْخُطْبَةُ سَابِقَةً عَلَى التَّأْلِيفِ أَوْ مُتَأَخِّرَةً عَنْهُ، خِلَافًا لِمَنْ قَالَ: إِنْ كَانَتِ الْخُطْبَةُ مُتَأَخِّرَةً عَنِ التَّأْلِيفِ فَاسْمُ الإِشَارَةِ رَاجِعٌ لِمَا فِي الْخَارِجِ؛ لأَنَّ الأَلْفَاظَ أَعْرَاضٌ سَيَّالَةٌ تَنْقَضِي بِمُجَرَّدِ النُّطْقِ بِهَا. فَإِنْ قِيلَ: كَيْفَ صَحَّتِ الإِشَارَةُ لِمَا فِي الذِّهْنِ مَعَ أَنَّ اسْمَ الإِشَارَةِ مَوْضُوعٌ لِلْمُشَارِ إِلَيْهِ الْمَحْسُوسِ بِحَاسَّةِ الْبَصَرِ؟ أُجِيبَ: بِأَنَّهُ نُزِّلَ مَا فِي الذِّهْنِ لِشِدَّةِ اسْتِحْضَارِهِ مَنْزِلَةَ الْمَحْسُوسِ، وَاسْتُعْمِلَ فِيهِ اسْمُ الإِشَارَةِ عَلَى طَرِيقِ الإِسْتِعَارَةِ.
Isim isyarah dalam ungkapan ini mengacu pada apa yang dipahami oleh pengarang dalam pikirannya, yaitu rangkaian kata-kata khusus dari segi makna khusus yang ditunjukkan. Baik khutbah dilakukan sebelum atau sesudah penulisan buku, tidak menjadi masalah, berbeda dengan yang mengatakan bahwa jika khutbah terjadi setelah penulisan, maka isim isyarah merujuk pada sesuatu di luar (yakni, fisik buku). Sebab, kata-kata adalah fenomena yang menghilang setelah diucapkan. Jika ada yang bertanya: bagaimana isyarah ini berlaku untuk sesuatu dalam pikiran, padahal isim isyarah diciptakan untuk hal-hal yang dapat dirasakan dengan indera penglihatan? Dijawab: hal yang ada dalam pikiran dianggap sebagai sesuatu yang nyata karena kehadirannya yang kuat dalam ingatan, dan oleh karenanya, digunakan isim isyarah sebagai bentuk kiasan (istiarah).
فَإِنْ قِيلَ: مَا فِي الذِّهْنِ لَا يَكُونُ إِلَّا مُجْمَلًا، وَمُسَمَّى كِتَابٍ لَا يَكُونُ إِلَّا مُفَصَّلًا، فَكَيْفَ يُخْبِرُ بِمُفَصَّلٍ عَنْ مُجْمَلٍ؟ أُجِيبَ: بِأَنَّ الْكَلَامَ عَلَى تَقْدِيرِ مُضَافٍ، وَالأَصْلُ: مُفَصَّلُ هَذَا الْكِتَابِ. فَإِنْ قِيلَ: يَلْزَمُ أَنْ لَا يُقَالَ كِتَابٌ لِغَيْرِ مَا فِي ذِهْنِ الْمُؤَلِّفِ؛ لأَنَّهُ هُوَ الَّذِي أَخْبَرَ عَنْ مُفَصَّلِهِ بِكِتَابٍ؟ أُجِيبَ: بِتَقْدِيرِ مُضَافٍ أَيْضًا، وَالأَصْلُ: مُفَصَّلُ نَوْعِ هَذَا كِتَابٌ. وَالتَّحْقِيقُ أَنَّهُ لَا حَاجَةَ لِتَقْدِيرِ الْمُضَافِ الأَوَّلِ؛ لأَنَّ الْحَقَّ أَنَّ الذِّهْنَ كَمَا يَقُومُ بِهِ الْمُجْمَلُ يَقُومُ بِهِ الْمُفَصَّلُ، وَلَا لِتَقْدِيرِ الْمُضَافِ الثَّانِي؛ لأَنَّ الشَّيْءَ لَا يَتَعَدَّدُ بِتَعَدُّدِ مَحَلِّهِ؛ لأَنَّ ذَلِكَ تَدْقِيقٌ فَلْسَفِيٌّ لَا يَعْتَبِرُهُ أَرْبَابُ الْعَرَبِيَّةِ. وَإِنَّمَا قَالَ: كِتَابٌ، وَلَمْ يَقُلْ: شَرْحٌ؛ لاِسْتِقْلاَلِهِ عِنْدَهُ؛ لأَنَّهُ لَمْ يَأْتِ فِيهِ بِدَلِيلٍ وَلَا تَعْلِيلٍ تَسْهِيلًا عَلَى الْمُبْتَدِئِينَ.
Jika ada yang bertanya: yang ada dalam pikiran hanya berbentuk ringkas, sementara buku yang dimaksud sudah terperinci; bagaimana mungkin menunjuk yang terperinci dengan hal yang ringkas? Dijawab: terdapat takdir kata yang hilang, yaitu “rincian dari buku ini.” Jika ada yang mengatakan: ini berarti tidak mungkin menyebut sesuatu sebagai buku kecuali yang ada dalam pikiran pengarangnya; karena pengaranglah yang menunjukkan rincian buku ini. Jawabannya adalah dengan takdir tambahan juga, yaitu “rincian jenis dari buku ini.” Hakikatnya, tidak perlu ada takdir pada ungkapan pertama karena dalam pikiran, yang ringkas dan yang terperinci dapat sama-sama ada. Demikian juga tidak perlu tambahan takdir pada ungkapan kedua, sebab sesuatu tidak menjadi banyak hanya karena berbeda tempat. Penjelasan ini adalah pandangan filsafat yang tidak diikuti oleh pakar bahasa Arab. Dan disebutkan sebagai "kitāb" (buku) tanpa menyebutnya sebagai "syarh" (penjelasan) karena buku ini dianggap mandiri olehnya. Sebab, buku ini tidak berisi argumen atau penjelasan rinci untuk memudahkan para pemula.
قَوْلُهُ: (فِي غَايَةِ الإِخْتِصَارِ) صِفَةٌ أُوْلَى لِكِتَابٍ، وَالْغَايَةُ: آخِرُ الشَّيْءِ، وَالإِخْتِصَارُ: تَقْلِيلُ الْأَلْفَاظِ كَمَا سَيَأْتِي. فَالْمَعْنَى أَنَّهُ فِي آخِرِ مَرَاتِبِ تَقْلِيلِ الْأَلْفَاظِ. وَقَوْلُهُ: (وَالتَّهْذِيبُ) أَيْ التَّصْفِيَةُ وَالتَّخْلِيصُ مِنَ الْحَشْوِ.
Kata-kata beliau: (dalam keadaan sangat singkat) adalah sifat pertama dari kitab ini. "Ghayah" (tujuan) berarti akhir dari sesuatu, sedangkan "ikhtisar" (ringkasan) berarti mengurangi kata-kata, sebagaimana yang akan dijelaskan. Artinya, kitab ini berada pada tingkat akhir dari pengurangan kata-kata. Kata beliau: (dan penyempurnaan) berarti pembersihan dan pemurnian dari hal-hal yang tidak perlu.
قَوْلُهُ: (وَضَعْتُهُ) صِفَةٌ ثَانِيَةٌ لِكِتَابٍ. وَفِي الْكَلَامِ اسْتِعَارَةٌ مَصْرَحَةٌ تَبَعِيَّةٌ، بِأَنْ شَبَّهَ تَأْلِيفَ الشَّرْحِ عَلَى الْمَتْنِ بِوَضْعِ جَسْمٍ عَلَى جَسْمٍ بِجَامِعِ شِدَّةِ الْاتِّصَالِ، وَاسْتُعِيرَ لَهُ الْوَضْعُ وَاشْتُقَّ مِنْهُ. وَضَعْتُهُ بِمَعْنَى أَلَّفْتُهُ.
Kata beliau: (saya menyusunnya) adalah sifat kedua dari kitab ini. Dalam ungkapan ini terdapat metafora yang jelas, yaitu beliau membandingkan penyusunan penjelasan (sharh) terhadap teks (matan) dengan menempatkan suatu benda di atas benda lain dengan kesamaan kedekatan yang sangat erat, sehingga digunakan kata "menempatkan" yang diambil dari kata "menyusun". Maka, makna "saya menyusunnya" adalah "saya menyusunnya".
قَوْلُهُ: (عَلَى الْكِتَابِ) الْمُرَادُ بِالْكِتَابِ هُنَا: الْمَتْنُ، بِخِلَافِ الْكِتَابِ السَّابِقِ فَإِنَّ الْمُرَادَ بِهِ: الشَّرْحُ. وَإِنَّمَا لَمْ يَقُلْ عَلَى الْمُخْتَصَرِ مَعَ أَنَّهُ الْمُوَافِقُ لِقَوْلِ الْمُصَنِّفِ: أَنْ أَعْمَلَ مُخْتَصَرًا، تَعْظِيمًا لِلْمَتْنِ. قَوْلُهُ: (الْمُسَمَّى) أَيْ فِي طُرَّتِهِ لَا فِي خُطْبَتِهِ كَمَا سَيَأْتِي.
Kata beliau: (pada kitab) yang dimaksud dengan "kitab" di sini adalah teks (matan), berbeda dengan kitab yang sebelumnya yang merujuk pada penjelasan. Beliau tidak mengatakan "pada ringkasan" meskipun lebih sesuai dengan apa yang dikatakan oleh penyusun, yaitu bahwa saya menyusun ringkasan, karena beliau ingin memberikan penghormatan pada teks (matan).
وَقَوْلُهُ: (بِالتَّقْرِيبِ) هُوَ أَحَدُ اسْمَيْهِ، وَاخْتَارَهُ لِأَجْلِ السَّجْعِ، وَهُوَ: اتِّفَاقُ كُلِّ فَقْرَتَيْنِ فِي الْحَرْفِ الْآخِيرِ، وَلِأَجْلِ التَّفَاؤُلِ الْحَسَنِ فَإِنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُحِبُّ الْفَأْلَ الْحَسَنَ.
Kata beliau: (yang disebut) berarti yang ada pada sampulnya, bukan pada khutbahnya, seperti yang akan dijelaskan. Kata beliau: (dengan mendekatkan) adalah salah satu namanya, dan beliau memilihnya karena alasan keselarasan kata (saj'a), yaitu kesamaan dua frasa pada huruf terakhirnya, dan karena alasan pertanda baik, karena Nabi Muhammad SAW senang dengan pertanda yang baik.
قَوْلُهُ: (لِيَنْتَفِعَ بِهِ) عِلَّةٌ لِلْوَضْعِ بِمَعْنَى: التَّأْلِيفِ. وَقَوْلُهُ: (الْمُحْتَاجُ) فَاعِلٌ يَنْتَفِعُ. وَخَرَجَ بِهِ غَيْرُ الْمُحْتَاجِ، فَلَيْسَ مَقْصُودًا بِالْوَضْعِ وَإِنْ كَانَ قَدْ يَنْتَفِعُ بِهِ بِمُرَاجَعَةٍ أَوْ نَحْوِهَا.
Kata beliau: (untuk dapat dimanfaatkan) adalah alasan bagi penyusunan, yang berarti: penyusunan atau penyusunan untuk tujuan manfaat. Kata beliau: (yang membutuhkan) adalah subjek dari kata "dimanfaatkan". Dengan kata lain, yang dimaksud di sini adalah orang yang membutuhkan, bukan orang yang tidak membutuhkan, meskipun orang yang tidak membutuhkan tetap dapat memanfaatkan karya ini dengan cara merujuk atau yang lainnya.
قَوْلُهُ: (مِنَ الْمُبْتَدِئِينَ) بَيَانٌ لِلْمُحْتَاجِ، وَيَجُوزُ فِي الْمُبْتَدِئِينَ الْهَمْزُ وَعَدَمُهُ وَهُوَ الْأَنْسَبُ بِقَوْلِهِ: يَوْمَ الدِّينِ. وَهُوَ جَمْعُ مُبْتَدِئٍ مِنْ ابْتَدَأَ يَبْتَدِئُ فَهُوَ مُبْتَدِئٌ، وَهُوَ: الآخِذُ فِي صِغَارِ الْعِلْمِ.
Kata beliau: (dari para pemula) menjelaskan tentang "yang membutuhkan". Pada kata "pemula", bisa ada pengucapan dengan huruf hamzah atau tanpa hamzah, yang lebih sesuai dengan kata beliau: "di Hari Pembalasan". "Pemula" adalah bentuk jamak dari kata "mubtadi’" yang berasal dari kata "ibtidā’" (memulai), yang berarti orang yang mulai mempelajari ilmu dasar. Adapun yang dimaksud dengan "pemula" adalah orang yang baru mulai mempelajari ilmu dasar.
وَالْمُتَوَسِّطُ، وَهُوَ: الآخِذُ فِي أَوَاسِطِهِ. وَالْمُنْتَهِيُّ هُوَ: الآخِذُ فِي كِبَارِهِ. وَإِنْ شِئْتَ قُلتَ: الْمُبْتَدِئُ هُوَ: مَنْ لَمْ يَقْدِرْ عَلَى تَصْوِيرِ الْمَسْأَلَةِ، وَالْمُتَوَسِّطُ هُوَ: مَنْ قَدَرَ عَلَى تَصْوِيرِ الْمَسْأَلَةِ وَلَمْ يَقْدِرْ عَلَى إِقَامَةِ الدَّلِيلِ عَلَيْهَا، وَالْمُنْتَهِيُّ هُوَ: مَنْ قَدَرَ عَلَى تَصْوِيرِ الْمَسْأَلَةِ وَعَلَى إِقَامَةِ الدَّلِيلِ عَلَيْهَا.
"Tengah" adalah orang yang berada pada tahap menengah dalam mempelajari ilmu, yaitu mereka yang sudah dapat memahami sebagian besar ilmu tersebut. Sementara itu, "terakhir" adalah orang yang telah menguasai ilmu dengan baik, mampu memahami dan memberikan bukti untuk setiap masalah. Jika diinginkan, kita bisa mengatakannya: "Pemula" adalah orang yang belum mampu menggambarkan suatu masalah, "tengah" adalah orang yang bisa menggambarkan masalah tetapi belum mampu memberikan bukti atasnya, dan "terakhir" adalah orang yang mampu menggambarkan masalah dan memberikan bukti atasnya.
وَمَنْ قَدَرَ عَلَى تَرْجِيحِ الْأَقْوَالِ، فَهُوَ: مُجْتَهِدُ الْفَتْوَى، كَالْنَّوَوِيِّ وَالرَّافِعِيِّ. وَمَنْ قَدَرَ عَلَى اسْتِنْبَاطِ الْفُرُوعِ مِنْ قَوَاعِدِ إِمَامِهِ، فَهُوَ: مُجْتَهِدُ الْمَذْهَبِ. وَمَنْ قَدَرَ عَلَى اسْتِنْبَاطِ الْأَحْكَامِ مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ، فَهُوَ: مُجْتَهِدٌ اجْتِهَادًا مُطْلَقًا. قَالَ تَعَالَى: {وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ} [يُوسُفَ (١٢): ٧٦].
Adapun "mujtahid al-fatwa" adalah orang yang mampu memberikan fatwa dengan mempertimbangkan berbagai pendapat, seperti al-Nawawi dan al-Rafi’i. Sementara "mujtahid al-madhhab" adalah orang yang mampu menafsirkan cabang-cabang hukum dari prinsip-prinsip madzhabnya. Sedangkan "mujtahid mutlaq" adalah orang yang dapat menafsirkan hukum dari Al-Qur'an dan Hadis. Allah Ta'ala berfirman: {Dan di atas setiap orang yang memiliki ilmu, ada orang yang lebih tahu} (QS. Yusuf: 12:76).
قَوْلُهُ: (لِفُرُوعِ الشَّرِيعَةِ وَالدِّينِ) مُتَعَلِّقٌ بِالْمُحْتَاجِ. وَأَمَّا أُصُولُ الشَّرِيعَةِ وَالدِّينِ فَلَيْسَ مَوْضُوعًا لَهُ هَذَا التَّأْلِيفُ، بَلْ فِي كُتُبِ التَّوْحِيدِ. وَتَقَدَّمَ الْكَلَامُ عَلَى الشَّرِيعَةِ وَالدِّينِ.
Kata beliau: (untuk cabang-cabang syariat dan agama) terkait dengan "yang membutuhkan". Adapun prinsip-prinsip syariat dan agama bukanlah objek dari karya ini, melainkan dibahas dalam buku-buku tentang tauhid. Sebelumnya, kita telah membahas tentang syariat dan agama.
قَوْلُهُ: (وَلِيَكُونَ) عَطْفٌ عَلَى لِيَنْتَفِعَ، فَهُوَ عِلَّةٌ ثَانِيَةٌ، وَلَا يَخْفَى أَنَّ اللَّامَ مَوْجُودَةٌ، فَلَا يَصِحُّ تَقْدِيرُهَا. فَقَوْلُ الْبَرْمَاوِيِّ: فَتُقَدِّرُ مَعَهُ اللَّامَ غَيْرُ ظَاهِرٍ، إِلَّا أَنْ تَكُونَ النُّسْخَةُ الَّتِي وَقَعَتْ لَهُ لَيْسَ فِيهَا لَامٌ، وَهُوَ كَذَٰلِكَ فِي بَعْضِ النُّسَخِ.
"Kata-katanya: (Agar menjadi) adalah penambahan dari 'agar bermanfaat', yang berarti alasan kedua. Tidak diragukan lagi bahwa huruf 'lam' sudah ada, sehingga tidak tepat untuk menganggapnya sebagai kata yang tidak ada. Pendapat al-Barmāwī yang mengatakan bahwa 'lam' bisa digantikan tidak terlihat jelas, kecuali jika salinan yang dia pegang memang tidak mengandung huruf 'lam', dan hal ini memang terjadi pada beberapa salinan.
قَوْلُهُ: (وَسِيلَةً لِنجَاتِي يَوْمَ الدِّينِ) أَيِ سَبَبًا لِخَلَاصِي مِنَ الْمَكْرُوهِ يَوْمَ الْجَزَاءِ. فَالْمَرَادُ بِالْوَسِيلَةِ: السَّبَبُ، لَكِنَّهَا فِي الْأَصْلِ: مَا يَكُونُ سَبَبًا لِتَحْصِيلِ شَيْءٍ وَالنَّجَاةُ. وَإِنْ كَانَتْ بِمَعْنَى الْخُلُوصِ مِنَ الْمَكْرُوهِ، لَكِنْ يَلْزَمُ مِنْهَا هُنَا الْفَوْزُ بِالْمَطْلُوبِ وَهُوَ دُخُولُ الْجَنَّةِ. فَلِذَٰلِكَ سَاغَ الْإِتِيَانُ بِالْوَسِيلَةِ فِيهَا. وَهَذَا اللَّزُومُ إِنَّمَا هُوَ بِالنَّظَرِ لِلْغَالِبِ، وَإِلَّا فَيَجُوزُ أَنْ يَنْجُو مِنَ الْمَكْرُوهِ وَلَا يَدْخُلَ الْجَنَّةَ، بِأَنْ يَكُونَ مِنْ أَهْلِ الْأَعْرَافِ. وَالْمَرَادُ مِنَ الدِّينِ: الْجَزَاءُ كَمَا هُوَ أَحَدُ مَعَانِيهِ اللُّغَوِيَّةِ، وَيَوْمُ الدِّينِ هُوَ: يَوْمُ الْقِيَامَةِ، وَلَهُ أَسْمَاءٌ كَثِيرَةٌ مَذْكُورَةٌ فِي الْمُطُولَاتِ.
Kata-katanya: (Sebagai sarana untuk keselamatanku di Hari Pembalasan) yaitu sebagai sebab keselamatanku dari hal-hal yang buruk pada Hari Pembalasan. Yang dimaksud dengan 'sarana' adalah sebab, namun pada asalnya, 'sarana' adalah sesuatu yang menjadi sebab untuk memperoleh sesuatu, dan 'keselamatan' berarti bebas dari sesuatu yang buruk. Meskipun demikian, sarana ini berhubungan dengan mendapatkan apa yang diinginkan, yaitu masuk surga. Oleh karena itu, penggunaan kata sarana di sini tepat. Hal ini memang berlaku pada umumnya, meskipun ada kemungkinan seseorang bisa selamat dari keburukan tanpa masuk surga, seperti orang yang berada di Ashab al-A‘rāf (orang-orang yang berada di tempat yang terpisah antara surga dan neraka). Yang dimaksud dengan 'agama' adalah pembalasan, sesuai dengan salah satu makna bahasa dari kata tersebut, dan 'Hari Pembalasan' adalah Hari Kiamat, yang memiliki banyak nama yang disebutkan dalam kitab-kitab yang lebih panjang.
قَوْلُهُ: (وَنَفْعًا) عَطْفٌ عَلَى وَسِيلَةٍ، أَيِ وَلِيَكُونُ نَفْعًا أَيِ نَافِعًا أَوْ ذَا نَفْعٍ أَوْ جَعَلَهُ نَفْسَ النَّفْعِ مُبَالَغَةً، وَالنَّفْعُ هُوَ: إِيصَالُ الْخَيْرِ لِلْغَيْرِ.
Kata-katanya: (Dan sebagai manfaat) adalah penambahan dari sarana, yaitu agar menjadi manfaat, yang berarti bermanfaat atau memberi manfaat. Manfaat adalah menyampaikan kebaikan kepada orang lain.
وَقَوْلُهُ: (لِعِبَادِهِ الْمُسْلِمِينَ) يَشْمَلُ الْمُبْتَدِئِينَ وَغَيْرَهُمْ، فَهُوَ أَعْمُّ مِمَّا تَقَدَّمَ. وَالنَّفْعُ أَعْمُّ مِنْ أَنْ يَكُونَ بِالتَّعَلُّمِ أَوْ بِالتَّعْلِيمِ أَوْ بِالْوَقْفِ أَوْ بِالْهَبَةِ أَوْ غَيْرِ ذَٰلِكَ مِنْ كُلِّ مَا فِيهِ ثَوَابٌ آخِرِيٌّ. وَقَوْلُهُ: الْمُسْلِمِينَ جَرَى عَلَى الْغَالِبِ، وَإِلَّا فَغَيْرُ الْمُسْلِمِينَ قَدْ يَنتَفِعُونَ بِهِ، لَكِنَّ الْمُسْلِمِينَ هُمْ الْمَقْصُودُونَ بِالْوَضْعِ، وَغَيْرُهُمْ إِنَّمَا هُوَ بِطَرِيقِ التَّبَعِيَّةِ.
Kata-katanya: (Untuk hamba-hamba-Nya yang Muslim) mencakup para pemula dan lainnya, jadi lebih umum daripada yang disebutkan sebelumnya. Manfaat lebih luas, bisa didapatkan melalui pembelajaran, pengajaran, wakaf, pemberian, atau hal lainnya yang membawa pahala di akhirat. Kata 'Muslim' digunakan karena ini sesuai dengan tujuan penulisan, meskipun orang non-Muslim juga bisa mendapatkan manfaat darinya, tetapi orang Muslim lah yang menjadi tujuan utama penulisannya, sementara yang lainnya hanya mendapat manfaat dengan jalan mengikutsertakan atau secara tidak langsung."
قَوْلُهُ: (أَنَّهُ) بِفَتْحِ الْهَمْزَةِ عَلَى تَقْدِيرِ اللَّامِ وَبِكَسْرِهَا اسْتِئْنَافًا، لَكِنْ فِيهِ مَعْنَى التَّعْلِيلِ لِمَا تَضَمَّنَهُ مَا قَبْلَهُ مِنَ الدُّعَاءِ، فَلَيْسَ هُنَاكَ دُعَاءٌ صَرِيحٌ بَلْ بِالْقُوَّةِ، فَكَأَنَّهُ قَالَ: اللّهُمَّ اِنْفَعْ بِهِ الْمُحْتَاجَ مِنَ الْمُبْتَدِئِينَ، وَاجْعَلْهُ وَسِيلَةً لِنَجَاتِي يَوْمَ الدِّينِ، وَانْفَعْ بِهِ عِبَادَكَ الْمُسْلِمِينَ. وَإِنَّمَا دَعَوْتُ اللَّهَ بِذَلِكَ؛ لِأَنَّهُ الْخَ...
"Kata-katanya: (bahwa) dengan fathah pada huruf hamzah, yang diartikan sebagai pengganti huruf 'lam' (untuk memberikan arti sebab), dan dengan kasrah pada hamzah sebagai kalimat yang dimulai baru. Namun, makna dari kalimat ini adalah sebagai alasan dari doa sebelumnya. Jadi, tidak ada doa yang tegas, melainkan dengan kemungkinan, seolah-olah dia mengatakan: 'Ya Allah, jadikan hal ini bermanfaat bagi orang yang membutuhkan, terutama bagi para pemula, jadikan ini sebagai sarana keselamatanku di Hari Pembalasan, dan jadikan ini manfaat bagi hamba-hamba-Mu yang Muslim.' Saya berdoa kepada Allah karena alasan tersebut."
قَوْلُهُ: (سَمِيعٌ دُعَاءَ عِبَادِهِ) بِتَنْوِينِ سَمِيعٍ وَنَصْبِ دُعَاءٍ، وَبِدُونِ تَنْوِينٍ وَجَرِّ دُعَاءٍ، كَمَا قُرِئَ بِذَلِكَ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: {إِنَّ اللّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ} [الطَّلاقِ (٦٥): ٣]. وَالْمَرَادُ: سَمِيعٌ دُعَاءَ عِبَادِهِ سَمَاعَ قُبُولٍ.
Kata-katanya: (Mendengar doa hamba-hamba-Nya) dengan menambahkan tanwin pada kata 'Sami' dan mengangkat 'Doa', atau tanpa tanwin dan menambah 'Doa' dengan kasrah, sebagaimana dibaca dalam ayat: {إِنَّ اللهَ بَالِغُ أَمْرِهِ} [At-Talaq (65): 3]. Maksudnya adalah bahwa Allah mendengar doa hamba-Nya dan menerima doa mereka. Kata (dekat) di sini bukan secara fisik, melainkan kedekatan secara makna, yang berarti bahwa Allah dekat dengan hamba-Nya melalui tindakan-Nya. Kata (Menerima) berarti Allah menerima doa hamba-Nya."
وَقَوْلُهُ: (وَقَرِيبٌ) أَيْ قُرْبًا مَعْنَوِيًّا لَا حِسِّيًّا، فَهُوَ قَرِيبٌ مِنْ عِبَادِهِ بِعَمَلِهِ. وَقَوْلُهُ: (مُجِيبٌ) أَيْ مُجِيبٌ دُعَاءَ عِبَادِهِ.
"Dan perkataannya: (وَقَرِيبٌ) yaitu dekat secara maknawi, bukan secara fisik, karena Dia dekat dengan hamba-Nya melalui amal mereka. Dan perkataannya: (مُجِيبٌ) yaitu yang mengabulkan doa-doa hamba-hamba-Nya."
قَوْلُهُ: (وَمَنْ قَصَدَهُ) أَيْ فِي حَوَائِجِهِ تَحْصِيلًا لِمَا يَنْفَعُ أَوْ دَفْعًا لِمَا يَضُرُّ. وَقَوْلُهُ: (لَا يَخِيبُ) أَيْ لَا يَحْصُلُ لَهُ خِيبَةٌ، وَهِيَ: عَدَمُ فَوْزٍ بِالْمَطْلُوبِ. يُقَالُ: خَابَ يَخِيبُ خِيبَةً إِذَا لَمْ يَنَلْ مَا طَلَبَ. وَفِي الْمَثَلِ: "الْهَيْبَةُ خِيبَةٌ"، أَيْ: "الْهَيْبَةُ مِنَ النَّاسِ سَبَبٌ فِي الْخِيبَةِ."
Kata-katanya: (Siapa pun yang berniat) yaitu yang berniat dalam urusannya untuk memperoleh manfaat atau menghindari bahaya. Kata-katanya: (Tidak akan kecewa) yaitu tidak akan mendapat kekecewaan, yang berarti tidak mendapatkan apa yang diinginkan. Dikatakan: 'Gagal atau kecewa' apabila tidak mendapatkan yang diminta. Ada pepatah yang menyatakan bahwa rasa takut (kehormatan) adalah bentuk kegagalan, yang artinya takut pada manusia bisa menyebabkan kegagalan."
قَوْلُهُ: {وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي} [البَقَرَةِ (٢): ١٨٦] الخ، وَالْمَرَادُ إِلَى آخِرِ الْآيَةِ؛ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ الْإِسْتِدْلَالَ عَلَى الْقُرْبِ وَالْإِجَابَةِ، لَكِنَّهُ اقْتَصَرَ عَلَى ذَلِكَ؛ مُرَاعَاةً لِلْسَّجْعِ. وَسَبَبُ نُزُولِ هَذِهِ الْآيَةِ: أَنَّ الْيَهُودَ قَالُوا: يَا مُحَمَّدُ، كَيْفَ يَسْمَعُ رَبُّنَا دُعَاءَنَا وَأَنْتَ تَزْعُمُ أَنَّ بَيْنَنَا وَبَيْنَ السَّمَاءِ خَمْسَمِائَةِ عَامٍ، وَأَنَّ غِلْظَ كُلِّ سَمَاءٍ خَمْسَمِائَةِ عَامٍ، وَبَيْنَ كُلِّ سَمَاءِ مِثْلَ ذَلِكَ؟ وَقِيلَ: إِنَّ أَعْرَابِيًّا قَالَ: يَا رَسُولَ اللّهِ، أَقَرِيبٌ رَبُّنَا فَنُجَابِيهِ - أَيْ نَدْعُوهُ - سِرًّا، أَمْ بَعِيدٌ فَنُنَادِيَهُ - أَيْ نَدْعُوهُ - جَهْرًا؟ فَنَزَلَ: {وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي}. قَالَ الْبَيْضَاوِيُّ: وَهُوَ تَمْثِيلٌ لِكَمَالِ عِلْمِهِ بِأَفْعَالِ الْعِبَادِ وَأَقْوَالِهِمْ وَاطِّلَاعِهِ عَلَى أَحْوَالِهِمْ بِحَالٍ مِّنْ قُرْبِ مَكَانِهِمْ مِّنْهُمْ، فَشَبَّهَ حَالَهُ تَعَالَى فِي عِلْمِهِ بِأَحْوَالِ عِبَادِهِ بِحَالٍ مِّنْ قُرْبِ مَكَانِهِمْ مِّنْهُمْ، وَاسْتُعِيرَ اللفظُ الدَّالُّ عَلَى الْحَالِ الْمُشَبَّهِ بِهَا لِلْحَالِ الْمُشَبَّهَةِ.
Kata-katanya: {وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ} [Al-Baqarah (2): 186] dst. Yang dimaksud adalah hingga akhir ayat, karena yang ingin ditunjukkan adalah kedekatan dan jawaban-Nya. Namun, beliau memotongnya untuk menjaga keseimbangan dalam pengucapan. Sebab turunnya ayat ini adalah bahwa orang Yahudi bertanya: 'Wahai Muhammad, bagaimana Tuhan kami bisa mendengar doa kami, padahal kamu mengatakan bahwa jarak kami dengan langit adalah 500 tahun, dan ketebalan setiap langit adalah 500 tahun, dan jarak antara setiap langit seperti itu?' Ada juga riwayat yang mengatakan bahwa seorang badui bertanya: 'Wahai Rasulullah, apakah Tuhan kami dekat sehingga kami bisa berbicara dengan-Nya secara diam-diam, atau jauh sehingga kami harus memanggil-Nya dengan suara keras?' Maka turunlah ayat ini: {وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ}. Al-Baidhawi mengatakan bahwa ini merupakan gambaran sempurna tentang pengetahuan Allah terhadap perbuatan dan perkataan hamba-Nya serta pengamatan-Nya terhadap keadaan mereka, sebagaimana halnya seseorang yang dekat dengan mereka. Oleh karena itu, keadaan Allah dalam pengetahuan-Nya tentang hamba-Nya disamakan dengan seseorang yang berada dekat dengan mereka, dan kata yang menunjukkan keadaan tersebut dipinjam untuk menggambarkan keadaan-Nya."
قوله: (وَاعْلَمْ) أَي يَا مَنْ يَتَأَتَّى مِنْكَ العِلْمُ مِنْ كُلِّ وَاقِفٍ عَلَى هَذَا الكِتَابِ. فَالمُخَاطَبُ بِهِ غَيْرُ مُعَيَّنٍ وَإِنْ كَانَ مَوْضُوعًا؛ لِأَن يُخَاطَبَ بِهِ المُعَيَّنُ، وَهَذَا اللَّفْظُ يَأْتِي بِهِ؛ لِشِدَّةِ الاعْتِنَاءِ بِمَا بَعْدَهُ.
Ungkapan Mushonnif: (Dan ketahuilah) ditujukan kepada siapa saja yang memiliki kemampuan untuk memperoleh ilmu dari setiap orang yang memperhatikan kitab ini. Maka yang diajak berbicara di sini tidaklah ditentukan secara spesifik, meskipun kitab ini memang dimaksudkan untuk berbicara kepada individu tertentu. Penggunaan kalimat ini hadir untuk menunjukkan perhatian besar terhadap apa yang akan disampaikan setelahnya.
أَنَّهُ يُوجَدُ فِي بَعْضِ نُسَخِ هَذَا الكِتَابِ فِي غَيْرِ خُطْبَتِهِ تَسْمِيَتُهُ تَارَةً بِالتَّقْرِيبِ، وَتَارَةً بِغَايَةِ الاخْتِصَارِ. فَلِذَلِكَ سَمَّيْتُهُ بِاسْمَيْنِ. أَحَدُهُمَا: فَتْحُ القَرِيبِ المُجِيبِ فِي شَرْحِ أَلْفَاظِ التَّقْرِيبِ. وَالثَّانِي: القَوْلُ المُخْتَارُ فِي شَرْحِ غَايَةِ الاخْتِصَارِ.
Sesungguhnya, dalam beberapa salinan kitab ini, di luar bagian muqaddimahnya, nama kitab ini disebutkan dengan cara yang berbeda-beda: kadang secara mendekati, dan kadang dengan sangat ringkas. Oleh karena itu, aku memberikan dua nama untuk kitab ini. Yang pertama: Fathul Qarib Al-Mujib fi Syarhi Alfaz At-Taqrib. Dan yang kedua: Al-Qaul Al-Mukhtar fi Syarhi Ghayah Al-Ikhtishar.
قوله: (أَنَّهُ) أَي الحَالُ وَالشَّأْنُ، وَجُمْلَةُ (يُوجَدُ) خَبَرُ «أَنَّ» وَهِيَ مُفَسِّرَةٌ لِضَمِيرِ الشَّأْنِ. وَقَوْلُهُ: (فِي بَعْضِ الخِ) الجَارُّ وَالمَجْرُورُ مُتَعَلِّقٌ بِـ «يُوجَدُ»، وَكَذَا قَوْلُهُ: (فِي غَيْرِ خُطْبَتِهِ). فَيَلْزَمُ عَلَيْهِ تَعَلُّقُ حَرْفَيْ جَرٍّ بِمَعْنًى وَاحِدٍ بِعَامِلٍ وَاحِدٍ وَهُوَ مَمْنُوعٌ، وَيُجَابُ: بِأَنَّ الأَوَّلَ تَعَلَّقَ بِهِ وَهُوَ مُطْلَقٌ، وَالثَّانِي تَعَلَّقَ بِهِ وَهُوَ مُفِيدٌ، وَبِأَنَّ الثَّانِي بَدَلٌ مِنَ الأَوَّلِ، وَنَظِيرُ ذَلِكَ قَوْلُهُ تَعَالَى: {كُلَّمَا رُزِقُوا مِنْهَا مِنْ ثَمَرَةٍ رِزْقًا قَالُوا} [البَقَرَةُ (٢): ٢٥] الخ.
Ungkapan Mushonnif: (Bahwa) maksudnya adalah keadaan dan urusan, sedangkan kalimat (ditemukan) merupakan khabar dari kata "anna" dan berfungsi menjelaskan dhamir syan (kata ganti yang menunjukkan keadaan).
Ungkapan Mushonnif: (di sebagian... dst.) Kata depan dan kata benda (jar dan majrur) terkait dengan kata yujadu (ditemukan), begitu pula dengan firman-Nya: (di luar khotbahnya). Hal ini mengakibatkan dua huruf jar memiliki makna yang sama dan terikat pada satu kata kerja yang sama, yang mana hal ini sebenarnya terlarang. Namun, masalah ini dapat dijawab dengan dua cara: Huruf jar pertama terkait dengan kata kerja itu dalam pengertian umum. Huruf jar kedua terkait dengannya dalam pengertian yang lebih spesifik, atau menjadi pengganti dari huruf jar pertama. Sebagai contoh serupa, terdapat dalam firman Allah Ta'ala: "Setiap kali mereka diberi rezeki berupa buah-buahan darinya, mereka berkata..." (QS. Al-Baqarah: 25).
وَقَوْلُهُ: (نُسَخٌ) جَمْعُ نُسْخَةٍ، وَهُوَ: مَا يُنْسَخُ وَيُنْقَلُ، مِنَ النَّسْخِ وَهُوَ: النَّقْلُ. وَقَوْلُهُ: (هَذَا الكِتَابُ) أَي المُتْنُ. قَوْلُهُ: (فِي غَيْرِ خُطْبَتِهِ) أَي فِي طُرَّتِهِ أَوْ عَلَى هَامِشِ الوَرَقَةِ الأُولَى.
Ungkapan Mushonnif: (Nusakh) adalah bentuk jamak dari nuskhah, yang berarti sesuatu yang disalin dan dipindahkan, berasal dari kata nasakh, yang artinya memindahkan. Ungkapan Mushonnif: (kitab ini) maksudnya adalah matan (teks utama). Ungkapan Mushonnif: (di luar khotbahnya) maksudnya pada bagian pinggir kitab atau di margin halaman pertama.
قَوْلُهُ: (تَسْمِيَتُهُ) أَي دَالٌّ تَسْمِيَتُهُ؛ لِأَنَّ التَّسْمِيَةَ مَعْنًى مَصْدَرِيٌّ لا وُجُودَ لَهُ فِي الخَارِجِ، وَإِنَّمَا المَوْجُودُ النُّقُوشُ الدَّالَّةُ عَلَيْهِ. وَقَوْلُهُ: (تَارَةً) أَي فِي تَارَةٍ وَحَالَةٍ. وَقَوْلُهُ: (بِالتَّقْرِيبِ) فِيهِ مُبَالَغَةٌ حَيْثُ جَعَلَهُ نَفْسَ التَّقْرِيبِ. وَقَوْلُهُ: (وَتَارَةً) أَي وَفِي تَارَةٍ وَحَالَةٍ. وَقَوْلُهُ (بِغَايَةِ الاخْتِصَارِ) فِيهِ مُبَالَغَةٌ حَيْثُ جَعَلَهُ نَفْسَ غَايَةِ الاخْتِصَارِ.
Ungkapan Mushonnif: (penamaannya) maksudnya adalah tanda penamaannya, karena penamaan adalah makna bersifat mashdar (abstrak) yang tidak memiliki keberadaan di luar diri, melainkan yang ada hanyalah goresan-goresan yang menunjukkan makna tersebut. Ungkapan Mushonnif: (kadang) maksudnya pada suatu waktu atau keadaan tertentu. Ungkapan Mushonnif: (dengan pendekatan) mengandung unsur penekanan, karena menjadikannya seolah-olah identik dengan pendekatan itu sendiri. Ungkapan Mushonnif: (dan kadang) maksudnya pada waktu atau keadaan yang lain. Ungkapan Mushonnif: (dengan sangat ringkas) juga mengandung unsur penekanan, karena menjadikannya seolah-olah identik dengan puncak keringkasan itu sendiri.
قوله: (فَلِذَلِكَ) أَي فَلِأَجْلِ تَسْمِيَةِ هَذَا الكِتَابِ بِاسْمَيْنِ. وَقَوْلُهُ: (سَمَّيْتُهُ بِاسْمَيْنِ) أَي سَمَّيْتُ الشَّرْحَ بِاسْمَيْنِ، لِيُوَافِقَ اسْمُ الشَّرْحِ اسْمَ المُتْنِ، فَإِنَّ شَرْطَ المُرَافَقَةِ: المُوَافَقَةُ. وَالمُرَادُ بِأَحَدِ اسْمَيْنِ، لَا أَنَّهُ لَا يُسَمَّى إِلَّا بِاسْمَيْنِ مَعًا.
Ungkapan Mushonnif: (Maka karena itu) maksudnya adalah demi menamai kitab ini dengan dua nama. Ungkapan Mushonnif: (Aku menamainya dengan dua nama) maksudnya, aku menamai syarah (penjelasan) ini dengan dua nama, agar nama syarah sesuai dengan nama matan (teks utama), karena syarat kesesuaian adalah adanya keselarasan. Yang dimaksud dengan "salah satu dari dua nama" adalah bahwa kitab ini tidak harus selalu disebut dengan kedua nama tersebut secara bersamaan.
قوله: (أَحَدُهُمَا: فَتْحُ الخ) فِيهِ مُبَالَغَةٌ حَيْثُ جَعَلَهُ نَفْسَ الفَتْحِ. وَقَوْلُهُ: (القَرِيبُ المُجِيبُ) صِفَتَانِ لِمَوْصُوفٍ مَحْذُوفٍ، أَي: فَتْحُ اللهِ القَرِيبُ مِنْ عِبَادِهِ بِعِلْمِهِ، المُجِيبُ دُعَاءَهُمْ كَمَا عُلِمَ مِمَّا مَرَّ.
Ungkapan Mushonnif: (Salah satunya: Fathul... dst.) mengandung unsur penekanan, karena menjadikannya seolah-olah identik dengan "kemenangan" itu sendiri. Ungkapan Mushonnif: (Al-Qarib Al-Mujib) adalah dua sifat dari sesuatu yang tidak disebutkan secara eksplisit, yaitu maksudnya adalah Fathullah (kemenangan dari Allah) yang dekat dengan hamba-hamba-Nya melalui ilmu-Nya dan yang menjawab doa-doa mereka, sebagaimana yang telah diketahui dari pembahasan sebelumnya.
وَقَوْلُهُ: (فِي شَرْحِ) مُتَعَلِّقٌ بِـ «فَتْحِ»، وَهَذَا قَبْلَ العِلْمِيَّةِ. وَأَمَّا بَعْدَ العِلْمِيَّةِ فَلَا تَعَلُّقَ لَهُ؛ لِأَنَّهُ جُزْءُ عَلَمٍ، وَجُزْءُ العَلَمِ لَا تَعَلُّقَ لَهُ. وَقَوْلُهُ: (أَلْفَاظِ التَّقْرِيبِ) أَي أَلْفَاظٌ هِيَ التَّقْرِيبُ، فَالإِضَافَةُ لِلبَيَانِ أَوْ مِنْ إِضَافَةِ المُسَمَّى إِلَى الاسْمِ.
Ungkapan Mushonnif: (Dalam penjelasan) terkait dengan kata Fath (kemenangan), dan ini berlaku sebelum bagian yang berhubungan dengan ilmu. Sedangkan setelah bagian yang berkaitan dengan ilmu, tidak ada keterkaitannya, karena itu adalah bagian dari nama yang khusus, dan bagian dari nama tersebut tidak memiliki keterkaitan langsung. Ungkapan Mushonnif: (Kata-kata dari Taqrib) maksudnya adalah kata-kata yang merupakan inti dari Taqrib itu sendiri, sehingga penambahan kata tersebut dimaksudkan untuk memberikan penjelasan atau sebagai penambahan nama kepada istilah yang telah disebutkan.
قوله: (وَالثَّانِي) أَي ثَانِيهُمَا أَي الاسْمَيْنِ. وَقَوْلُهُ: (القَوْلُ المُخْتَارُ) أَي الذِي اخْتَارَهُ العُلَمَاءُ الأَخْيَارُ. وَقَوْلُهُ: (فِي شَرْحِ غَايَةِ الاخْتِصَارِ) فِيهِ مَا تَقَدَّمَ مِنَ التَّعَلُّقِ وَعَدَمِهِ.
Ungkapan Mushonnif: (Dan yang kedua) maksudnya adalah yang kedua dari dua nama tersebut. Ungkapan Mushonnif: (Kata yang dipilih) maksudnya adalah kata yang dipilih oleh para ulama yang terbaik. Ungkapan Mushonnif: (Dalam penjelasan mengenai puncak keringkasan) mengandung hal yang telah disebutkan sebelumnya mengenai keterkaitan dan ketidakberkaitan tersebut.
قوله: (قَالَ الشَّيْخُ الخ) هَذَا مِنْ كَلَامِ الشَّارِحِ مَدْحَةٌ لِلْمُصَنِّفِ، وَمَا تَقَدَّمَ مِنْ كَلَامِ بَعْضِ التَّلَامِذَةِ مَدْحَةٌ لِلشَّارِحِ، وَتَقَدَّمَ الكَلَامُ عَلَى الشَّيْخِ وَعَلَى الإِمَامِ فَلَا عَوْدَ وَلَا إِعَادَةَ.
Ungkapan Mushonnif: (Kata sang Syekh... dst.) Ini adalah bagian dari perkataan sang penjelas yang berupa pujian untuk penyusun kitab. Sedangkan apa yang telah disebutkan sebelumnya dari perkataan sebagian murid adalah pujian untuk sang penjelas. Pembicaraan mengenai sang Syekh dan Imam sudah dibahas sebelumnya, sehingga tidak perlu diulang atau disampaikan lagi.
قوله: (أَبُو الطَّيِّبِ) كُنْيَةٌ أُولَى لِلْمُصَنِّفِ. وَقَوْلُهُ: (وَيُشْتَهَرُ أَيْضًا) أَي كَمَا اشْتُهِرَ بِأَبِي الطَّيِّبِ. وَأَيْضًا مَصْدَرُ «آضَ» إِذَا رَجَعَ، فَمَعْنَاهُ رُجُوعًا إِلَى الإِخْبَارِ بِكُنْيَةٍ ثَانِيَةٍ لِلْمُصَنِّفِ كَمَا أُخْبِرَتْ بِكُنْيَةٍ أُولَى لَهُ.
Ungkapan Mushonnif: (Abu Thayyib) adalah kunyah pertama untuk penyusun kitab ini. Ungkapan Mushonnif: (Dan juga terkenal dengan) maksudnya adalah sebagaimana dia terkenal dengan kunyah Abu Thayyib. Ungkapan Mushonnif: (Juga sumber dari "Aza" jika kembali) berarti merujuk kembali untuk memberitakan kunyah kedua bagi penyusun kitab, sebagaimana telah diberitakan kunyah pertama untuknya.
وَشَرْطُهَا أَنْ تُسْتَعْمَلَ مَعَ شَيْئَيْنِ بَيْنَهُمَا مَا تَنَاسُبَ وَيُغْنِي أَحَدُهُمَا عَنِ الآخَرِ، فَلَا يُقَالُ: جَاءَ زَيْدٌ أَيْضًا، وَلَا جَاءَ زَيْدٌ وَمَاتَ عَمْرُو أَيْضًا، وَلَا اشْتِرَاكُ زَيْدٍ وَعَمْرٍو أَيْضًا.
Dan syaratnya adalah harus digunakan antara dua hal yang saling sesuai dan salah satunya cukup mewakili yang lain. Maka tidak dikatakan: Zaid datang juga, atau Zaid datang dan Amru mati juga, atau Zaid dan Amru bersekutu juga.
قوله: (بِأَبِي شُجَاعٍ) مُثَلَّثُ الشِّينِ، وَلِذَلِكَ قَالَ فِي القَامُوسِ: الشُّجَاعُ كَغُرَابٍ وَسَحَابٍ وَكِتَابٍ: الشَّدِيدُ القَلْبِ عِنْدَ البَأْسِ، وَهَذِهِ كُنْيَةٌ ثَانِيَةٌ لِلْمُصَنِّفِ. وَكُنِيَ بِهَا غَيْرُهُ مِنَ العُلَمَاءِ، حَتَّى ظَنَّ الجَاهِلُونَ أَنَّ المُرَادَ بِهِ رَجُلٌ حَنَفِيٌّ شَارَكَهُ فِي هَذِهِ الكُنْيَةِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ.
Ucapannya: (بِأَبِي شُجَاعٍ), dengan huruf syin yang memiliki tiga harakat (bisa difathah, didhammah, atau dikasrah). Oleh karena itu, dalam kitab Al-Qamus disebutkan bahwa asy-syujā‘ seperti kata ghurāb (burung gagak), sahāb (awan), dan kitāb (kitab), berarti orang yang berhati kuat dalam menghadapi bahaya. Ini adalah salah satu kunyah (gelar) dari penulis kitab ini. Gelar ini juga dipakai oleh ulama lain, sehingga orang-orang awam mengira bahwa yang dimaksud adalah seorang tokoh dari kalangan Hanafi yang memiliki gelar serupa. Padahal, itu tidak benar.
وَهُوَ إِمَامٌ نَاسِكٌ عَابِدٌ صَالِحٌ، وَاشْتَهَرَ فِي الآفَاقِ بِالعِلْمِ وَالدِّيَانَةِ، وَوَلِيَ القَضَاءَ ثُمَّ الوِزَارَةَ. وَكَانَ لَهُ عَشَرَةُ أَنْفَارٍ يُفَرِّقُونَ عَلَى النَّاسِ الصَّدَقَاتِ، وَيُتْحِفُونَهُمْ بِالهِبَاتِ يُصْرَفُ عَلَى يَدِ الوَاحِدِ مِنْهُمْ مِائَةٌ وَعِشْرُونَ أَلْفَ دِينَارٍ، فَعَمَّ إِحْسَانُهُ الصَّالِحِينَ وَالأَخْيَارَ.
Beliau adalah seorang imam, ahli ibadah, dan orang yang saleh. Namanya terkenal di berbagai penjuru karena ilmunya dan kedalamannya dalam agama. Beliau pernah menjabat sebagai hakim, lalu menjadi menteri. Beliau memiliki sepuluh orang yang bertugas membagikan sedekah kepada masyarakat dan memberikan hadiah. Setiap orang dari mereka mengelola sekitar 120.000 dinar, sehingga kebaikannya dirasakan oleh orang-orang saleh dan baik.
ثُمَّ صَارَ زَاهِدًا لِلدُّنْيَا وَأَقَامَ بِالمَدِينَةِ الشَّرِيفَةِ، وَكَانَ يَكْنُسُ المَسْجِدَ الشَّرِيفَ، وَيُشْغِلُ المَصَابِيحَ، وَيَخْدُمُ الحُجْرَةَ الشَّرِيفَةَ. وَعَاشَ مِائَةً وَسِتِّينَ سَنَةً، وَلَمْ يَخْتَلَّ لَهُ عُضْوٌ مِنَ الأَعْضَاءِ، فَسُئِلَ عَنْ سَبَبِ ذَلِكَ فَقَالَ: حَفِظْنَاهَا فِي الصِّغَرِ فَحَفِظَهَا اللَّهُ فِي الكِبَرِ.
Kemudian, beliau menjadi orang yang zuhud terhadap dunia dan tinggal di Madinah yang mulia. Beliau sering menyapu Masjid Nabawi, menyalakan lampu-lampu, dan melayani kamar Rasulullah ﷺ yang mulia. Beliau hidup selama 160 tahun, dan tidak ada anggota tubuhnya yang rusak. Ketika ditanya tentang sebabnya, beliau menjawab, "Kami menjaga tubuh ini di masa muda, maka Allah menjaganya di masa tua."
وَمَاتَ سَنَةَ ثَمَانٍ وَثَمَانِينَ وَأَرْبَعِمِائَةٍ، وَدُفِنَ بِالمَسْجِدِ الَّذِي بَنَاهُ وَرَأْسُهُ قَرِيبٌ مِنَ الحُجْرَةِ النَّبَوِيَّةِ، لَيْسَ بَيْنَهُمَا إِلَّا خُطُوَاتٌ يَسِيرَةٌ
Beliau wafat pada tahun 488 Hijriah dan dimakamkan di masjid yang dibangunnya sendiri, dengan posisi kepalanya dekat dengan kamar Nabi ﷺ. Jarak antara keduanya hanya beberapa langkah saja.
قَوْلُهُ: (شِهَابُ المِلَّةِ وَالدِّينِ) لَقَبٌ لِلْمُصَنِّفِ، وَقَدَّمَهُ عَلَى الإِسْمِ لِشُهْرَتِهِ. وَمَحَلُّ مَنْعِ تَقْدِيمِ اللَّقَبِ عَلَى الإِسْمِ مَا لَمْ يَشْتَهِرْ كَمَا تَقَدَّمَ
Ucapannya: (شِهَابُ المِلَّةِ وَالدِّينِ) adalah gelar bagi penulis kitab ini. Gelar tersebut didahulukan daripada namanya karena lebih terkenal. Larangan mendahulukan gelar atas nama hanya berlaku jika gelar tersebut tidak terkenal, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.
وَالشِّهَابُ فِي الأَصْلِ: الكَوْكَبُ أَوْ مَا يَنْفَصِلُ مِنْهُ. وَالمُرَادُ: أَنَّهُ كَالشِّهَابِ فِي الإِضَاءَةِ لأَهْلِ المِلَّةِ وَالدِّينِ. وَتَقَدَّمَ الكَلاَمُ عَلَى المِلَّةِ وَالدِّينِ
Asy-syihāb dalam asal katanya berarti bintang atau sesuatu yang terlepas darinya (seperti meteor). Yang dimaksud di sini adalah bahwa beliau seperti syihāb dalam memberikan cahaya bagi umat agama dan keimanan. Pembahasan mengenai millah (agama) dan dīn (keimanan) telah dijelaskan sebelumnya.
وَقَدِ اشْتَهَرَ عِنْدَ المُؤَرِّخِينَ تَلْقِيبُ مَنْ اسْمُهُ أَحْمَدُ بِالشِّهَابِ، وَتَلْقِيبُ مَنْ اسْمُهُ مُحَمَّدٌ بِالشَّمْسِ، وَلِذَلِكَ يَقُولُونَ لِلشَّيْخِ الرَّمْلِيِّ الكَبِيرِ: الشِّهَابُ؛ لأَنَّ اسْمَهُ أَحْمَدُ وَلِلشَّيْخِ الرَّمْلِيِّ الصَّغِيرِ: الشَّمْسُ؛ لأَنَّ اسْمَهُ مُحَمَّدٌ
Para sejarawan sering menggunakan gelar syihāb untuk orang yang bernama Ahmad dan syams (matahari) untuk orang yang bernama Muhammad. Oleh karena itu, mereka menyebut Syekh Ramli yang besar dengan sebutan syihāb karena namanya Ahmad, dan Syekh Ramli yang kecil dengan sebutan syams karena namanya Muhammad.
قَوْلُهُ: (أَحْمَدُ) هُوَ اسْمُ المُصَنِّفِ، وَأَوَّلُ مَنْ سُمِّيَ بِهِ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْمَدُ أَبُو الخَلِيلِ شَيْخُ سِيبَوَيْهِ. قَوْلُهُ: (ابْنُ الحُسَيْنِ) بِـ «ـأَلْ» الدَّاخِلَةِ عَلَى العَلَمِ لِلْمَحِ الأَصْلِ، كَمَا قَالَ فِي الخُلاَصَةِ:
وَبَعْضُ الأَعْلاَمِ عَلَيْهِ دَخَلا * لِلْمَحِ مَا قَدْ كَانَ عَنْهُ نُقِلا
Ucapannya: (أَحْمَدُ) adalah nama penulis kitab ini, dan orang pertama yang dinamai Ahmad setelah Nabi ﷺ adalah Ahmad Abu al-Khalil, guru dari Sibawaih. Ucapannya: (ابْنُ الحُسَيْنِ) dengan kata sandang al- yang masuk pada nama sebagai bentuk penghilangan makna asalnya, sebagaimana disebutkan dalam al-Khulāṣah:
وَبَعْضُ الأَعْلاَمِ عَلَيْهِ دَخَلا * لِلْمَحِ مَا قَدْ كَانَ عَنْهُ نُقِلا
"Dan sebagian nama-nama yang dimasuki oleh al- adalah untuk menghilangkan asal maknanya yang sebelumnya dinukil."
فَهِيَ زَائِدَةٌ كَمَا فِي اسْمِ سَيِّدِنَا الحُسَيْنِ بْنِ سَيِّدَتِنَا فَاطِمَةَ بِنْتِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَقَوْلُ البَرْمَاوِيِّ: بِأَنَّ الحُسَيْنَ مُعَرَّفٌ هَكَذَا كَاسْمِ سَيِّدِنَا ابْنِ سَيِّدَتِنَا ابْنَةِ سَيِّدِنَا، فِيهِ نَظَرٌ؛ لأَنَّ «أَلْ» فِيهِ زَائِدٌ لِلْمَحِ الأَصْلِ كَمَا عَلِمْتَ
Maka kata al- dalam nama ini adalah tambahan, sebagaimana dalam nama junjungan kita Al-Husain bin junjungan kita Fatimah, putri dari junjungan kita Muhammad ﷺ. Oleh karena itu, pernyataan Al-Barmāwī bahwa Al-Husain merupakan nama yang sudah dikenali dengan al- seperti nama junjungan kita (Husain), putra junjungan kita (Fatimah), putri dari junjungan kita (Muhammad ﷺ), masih perlu ditinjau ulang. Sebab, kata al- di sini adalah tambahan untuk menghilangkan makna asal, sebagaimana telah dijelaskan.
قَوْلُهُ: (ابْنِ أَحْمَدَ) بِجَرِّ لَفْظِ ابْنِ؛ لأَنَّهُ صِفَةٌ لِلحُسَيْنِ. وَأَمَّا لَفْظُ الأَوَّلِ فَهُوَ بِالرَّفْعِ؛ لأَنَّهُ صِفَةٌ لأَحْمَدَ، وَمَنْ تَتَبَّعَ الأَسْمَاءَ وَجَدَ اسْمَ الابْنِ مُوَافِقًا لاسْمِ جَدِّهِ غَالِبًا كَمَا هُنَا
Ucapannya: (ابْنِ أَحْمَدَ), kata ibn dalam posisi majrūr (kasrah) karena merupakan sifat dari Al-Husain. Adapun kata yang pertama (sebelumnya) berada dalam posisi marfū‘ (dhammah) karena merupakan sifat dari Ahmad. Siapa yang mempelajari nama-nama akan menemukan bahwa nama anak biasanya sesuai dengan nama kakeknya, seperti dalam kasus ini.
قَوْلُهُ: (الأَصْفَهَانِيِّ) نِسْبَةٌ لأَصْفَهَانَ بِفَتْحِ الهَمْزَةِ وَكَسْرِهَا وَالفَتْحِ
Ucapannya: (الأَصْفَهَانِيِّ) merupakan nisbah (hubungan) kepada kota Asfahan dengan hamzah yang bisa dibaca fathah (a), kasrah (i), atau fathah (a).
أَفْصَحَ، وَبِالفَاءِ وَالبَاءِ. وَهِيَ بَلْدَةٌ بِالعَجَمِ، وَأَصْلُهَا فِي اللُّغَةِ: الأَعْجَمِيَّةُ بِالبَاءِ مَشُوبَةٌ بِالفَاءِ، ثُمَّ عَرَّبَتْهَا العَرَبُ فَنَطَقُوا بِالبَاءِ تَارَةً وَبِالفَاءِ تَارَةً أُخْرَى
Asfahan adalah nama sebuah kota di wilayah Persia, ditulis dengan huruf fā' dan bā' (sehingga ada dua cara penulisan). Dalam asal bahasanya, nama ini merupakan kata non-Arab (Ajami) dengan campuran antara huruf bā' dan fā'. Setelah diserap ke dalam bahasa Arab, orang-orang Arab terkadang menyebutnya dengan bā' dan terkadang dengan fā'.
قَوْلُهُ: (سَقَى اللَّهُ) جُمْلَةٌ خَبَرِيَّةٌ لَفْظًا إِنْشَائِيَّةٌ مَعْنًى، قَصَدَ الشَّارِحُ بِهَا الدُّعَاءَ لِلْمُصَنِّفِ
Ucapannya: (سَقَى اللَّهُ) adalah kalimat berita secara lafaz tetapi bermakna doa. Penulis menggunakan kalimat ini untuk mendoakan penulis kitab ini.
وَقَوْلُهُ: (ثَرَاهُ) الثَّرَى -بِالقَصْرِ-: التُّرَابُ النَّدِيُّ. وَأَمَّا الثَّرَاءُ -بِالمَدِّ- فَهُوَ: كَثْرَةُ المَالِ، مَأْخُوذٌ مِنْ: الثَّرْوَةِ. وَالضَّمِيرُ عَائِدٌ عَلَى المُصَنِّفِ
Ucapannya: (ثَرَاهُ), kata al-tharā dengan qashr (tanpa mad) berarti tanah yang lembap. Sedangkan al-tharā' dengan mad berarti kekayaan, yang diambil dari kata al-tharwah. Kata ganti kembali kepada penulis kitab.
وَقَوْلُهُ: (صَبِيبِ الرَّحْمَةِ وَالرِّضْوَانِ) مِنْ إِضَافَةِ الصِّفَةِ لِلْمَوْصُوفِ أَيْ الرَّحْمَةِ وَالرِّضْوَانِ المَصْبُوبَيْنِ. وَصَبِيبٌ: بِبَاءَيْنِ مُوَحَّدَتَيْنِ بَيْنَهُمَا يَاءٌ مُثَنَّاةٌ مِنْ تَحْتِ مَأْخُوذٌ مِنْ: الصَّبِّ، وَهُوَ: إِنْزَالُ الشَّيْءِ مِنْ أَعْلَى إِلَى أَسْفَلَ. وَمِنْهُ قَوْلُهُ تَعَالَى: {أَنَّا صَبَبْنَا المَاءَ صَبًّا} [عَبَسَ: ٢٥] هَكَذَا ضَبَطَهُ البَرْمَاوِيُّ، أَوْ بِيَاءٍ مُثَنَّاةٍ مُشَدَّدَةٍ أَوْ مُخَفَّفَةٍ كَمَا فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: {أَوْ كَصَيِّبٍ} [البَقَرَةِ: ١٩]. وَتَقَدَّمَ الكَلاَمُ عَلَى الرَّحْمَةِ وَالرِّضْوَانِ. وَالمُرَادُ: أَنَّهُ تَعَالَى يُنْزِلُ عَلَيْهِ ذَلِكَ حَتَّى يَعُمَّ جَسَدَهُ، وَيَفِيضَ عَنْهُ إِلَى التُّرَابِ الَّذِي تَحْتَهُ مُبَالَغَةً فِي التَّعْمِيمِ وَالكَثْرَةِ، أَوْ أَنَّ الثَّرَى كِنَايَةٌ عَنْ جُثَّتِهِ
Ucapannya: (صَبِيبِ الرَّحْمَةِ وَالرِّضْوَانِ) adalah bentuk idāfah (penyandaran) antara sifat dan yang disifati, yang bermakna rahmat dan ridha yang diturunkan. Kata ṣabīb berasal dari kata kerja ṣabb yang berarti menuangkan sesuatu dari atas ke bawah. Hal ini sebagaimana firman Allah:
أَنَّا صَبَبْنَا المَاءَ صَبًّا
"Sesungguhnya Kami telah mencurahkan air dengan deras." (QS. ‘Abasa: 25).
Al-Barmāwī memberikan tanda baca kata ini dengan dua huruf bā' diapit oleh yā' mutatsaniyah (berharakat kasrah). Ada juga versi yang membaca dengan yā' musyaddadah (dengan tasydid) atau ringan, sebagaimana dalam firman Allah:
أَوْ كَصَيِّبٍ
"Atau seperti hujan lebat dari langit." (QS. Al-Baqarah: 19).
Pembahasan tentang rahmat dan ridha telah dijelaskan sebelumnya. Yang dimaksud di sini adalah Allah menurunkan rahmat dan ridha-Nya kepada penulis hingga meliputi tubuhnya, dan bahkan meluas ke tanah di bawahnya sebagai bentuk hiperbola untuk menunjukkan keluasan dan kelimpahan. Atau, kata tharā merupakan kiasan dari jasadnya.
قَوْلُهُ: (وَأَسْكَنَهُ) جُمْلَةٌ خَبَرِيَّةٌ لَفْظًا إِنْشَائِيَّةٌ مَعْنًى كَالَّتِي قَبْلَهَا، وَالضَّمِيرُ المُسْتَتِرُ عَائِدٌ لِلَّهِ تَعَالَى، وَالبَارِزُ عَائِدٌ عَلَى المُصَنِّفِ
Ucapannya: (وَأَسْكَنَهُ) adalah kalimat berita secara lafaz tetapi bermakna doa, seperti kalimat sebelumnya. Kata ganti tersembunyi (mustatir) kembali kepada Allah, sedangkan kata ganti tampak (bariz) kembali kepada penulis kitab.
وَقَوْلُهُ: (أَعْلَى فَرَادِيسِ الجِنَانِ) أَيْ أَعْلَى دَرَجَاتِ الجِنَانِ بِالنِّسْبَةِ لِأَقْرَانِ المُصَنِّفِ، فَهُوَ أَعْلَى نِسْبِيٌّ لاَ مُطْلَقٌ؛ لأَنَّ الأَعْلَى المُطْلَقَ لاَ يَكُونُ إِلَّا لَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. وَالمُرَادُ بِالفَرَادِيسِ: الدَّرَجَاتُ، لَكِنْ عَلَى سَبِيلِ المَجَازِ أَوْ التَّغْلِيبِ؛ لأَنَّهُ لَيْسَ فِي الجِنَانِ إِلَّا فِرْدَوْسٌ وَاحِدٌ. وَالشَّارِحُ سَمَّى غَيْرَهُ مِنَ الدَّرَجَاتِ بِالفِرْدَوْسِ مَجَازًا لِعَلاَقَةِ المُجَاوَرَةِ، أَوْ غَلَبَ الفِرْدَوْسَ عَلَى غَيْرِهِ وَسَمَّى كُلًّا مِنْهَا فِرْدَوْسًا.
Ucapannya: (أَعْلَى فَرَادِيسِ الجِنَانِ) bermakna tingkatan tertinggi di surga dibandingkan dengan rekan-rekan sezaman penulis kitab. Ini adalah makna relatif, bukan makna mutlak, karena tingkatan tertinggi secara mutlak hanya milik Nabi Muhammad ﷺ. Kata farādīs dimaksudkan sebagai tingkatan-tingkatan surga, tetapi ini adalah penggunaan majazi (kiasan) atau bentuk taghlīb (mengutamakan istilah dominan). Sebab, surga hanya memiliki satu firdaus. Namun, penulis menyebut tingkatan-tingkatan lain dengan nama firdaus secara kiasan karena kedekatannya atau karena istilah firdaus digunakan secara umum untuk semua tingkatan tersebut.
0 Response to "Terjemahan Hasyiah Al-Bajuri Muqaddimah"
Posting Komentar
Silahkan untuk memberikan komentar, dan berilah kami kritik, saran dan kesan.