Kitab at-Tibyān fī an-Nahyi ‘an Muqātha‘ati al-Arhām wa al-Aqārib wa al-Ikhwān merupakan salah satu karya monumental Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Kitab ini menghimpun sejumlah pesan penting tentang kewajiban menjaga silaturahmi, larangan memutus hubungan kekerabatan, serta pentingnya membangun persaudaraan di antara sesama muslim. Selain itu, di dalamnya juga termuat Qānūn Asāsī, yaitu Undang-Undang Dasar berdirinya Nahdlatul Ulama, serta 40 hadis Nabi yang menjadi fondasi ideologis dan moral organisasi terbesar di Indonesia ini.
Dalam artikel ini, kita tidak membahas keseluruhan isi kitab Hadratussyaikh. Fokus bahasan diarahkan pada 40 hadis Nabi yang berkaitan dengan prinsip-prinsip dasar pendirian Nahdlatul Ulama—hadis-hadis yang juga telah diterjemahkan oleh KH. Bisri Musthofa, ulama besar yang dikenal produktif dalam karya-karya keislaman. Hadis-hadis inilah yang kemudian menjadi pijakan moral perjuangan NU sejak awal berdirinya.
Penelitian penting tentang hadis-hadis tersebut dilakukan oleh Hasan Su’aidi. Dalam kajiannya, ia menyimpulkan bahwa 40 hadis yang disajikan oleh KH. Hasyim Asy’ari dapat dikelompokkan ke dalam enam bab utama. Pertama, bab dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar yang memuat 7 hadis. Kedua, bab kepemimpinan sebanyak 2 hadis. Ketiga, bab ibadah yang memuat 4 hadis. Keempat, bab keharusan mengikuti sunnah Khulafaur Rasyidin sebanyak 4 hadis. Kelima, bab akhlak dengan jumlah terbanyak, yaitu 19 hadis. Terakhir, bab persatuan dan ukhuwah yang mencakup 4 hadis. Komposisi ini menunjukkan betapa pentingnya akhlak dan persatuan sebagai pondasi kehidupan beragama dan bermasyarakat menurut NU.
Peneliti juga mengungkapkan alasan mengapa KH. Hasyim Asy’ari memilih hadis-hadis tertentu. Pemilihan tersebut ternyata sangat erat kaitannya dengan kondisi sosial-keagamaan pada masa awal berdirinya NU. Hadis-hadis itu dianggap sebagai legitimasi tekstual atas garis perjuangan NU yang termaktub dalam Qānūn Asāsī. Dengan kata lain, Arba‘īn Hadīsan Tata‘allaqu bi Mabādi’ Jam‘iyyah Nahdlatil Ulama’ berfungsi sebagai bukti bahwa perjuangan NU memiliki landasan kuat dari hadis Nabi yang sahih maupun hasan.
Dalam penelitian sanad, Hasan Su’aidi menemukan bahwa 31 hadis di antara 40 hadis tersebut berstatus sahih, baik dari aspek sanad maupun matannya. Sementara itu, terdapat 4 hadis yang memiliki sanad dhaif tetapi matannya sahih, dan kedhaifannya dapat terangkat menjadi hasan li ghairih karena adanya banyak syawahid. Hadis tersebut adalah hadis nomor 11, 19, 36, dan 39. Ada pula 3 hadis yang sanadnya dhaif dan tidak dapat terangkat menjadi hasan li ghairihi, yakni hadis nomor 7, 15, dan 29.
Selain itu, terdapat hadis yang dinilai dhaif karena sanadnya terputus (munqathi’), yaitu hadis nomor 32 yang berstatus mauquf, serta hadis nomor 33 yang berstatus maqthu’. Klasifikasi ini memberikan gambaran ilmiah yang sangat penting, karena menunjukkan bahwa Hadratussyaikh tetap mengikuti kaidah ulum al-hadits ketika memilih riwayat untuk mengokohkan pemikiran dan perjuangan NU.
Dengan memahami 40 hadis ini, pembaca dapat melihat bahwa berdirinya Nahdlatul Ulama bukan sekadar respons sosial, tetapi merupakan gerakan keagamaan yang bertumpu pada dalil-dalil kuat. Sebab itu, mempelajari hadis-hadis tersebut bukan hanya penting untuk warga NU, tetapi juga bagi semua umat Islam yang ingin memahami bagaimana nilai-nilai dakwah, akhlak, kepemimpinan, dan persatuan ditanamkan sejak awal oleh para ulama nusantara.
Itulah tulisan kami tentang ulasan dan review "Terjemah Arba‘īn Hadīsan Tata‘allaqu bi Mabādi’ Jam‘iyyah Nahdlatil Ulama’" semoga bermanfaat bagi para pembaca dan jika tulisan ini bermanfaat bagi orang lain silahkan untuk berbagi dengan men SHARE kepada orang lain dan jika ada kritik dan juga saran silahkan untuk memberikan komentar atau tanggapan di kolom komentar untuk perkembangan blog ini



0 Komentar
Silahkan untuk memberikan komentar, dan berilah kami kritik, saran dan kesan.