Kitab Tuhfatul Muhtaj Ibnu Hajar al-Haitami

Mengenal Kitab Tuhfatul Muhtaj
Kitab ini disebut “Tuhfatu Al-Muhtaj” (تحفة المحتاج) dan kadang disingkat menjadi “At-Tuhfah”. Berbicara kitab ini tentu saja mau tidak mau kita harus berbicara dengan dua kitab yang terkait dengannya yaitu kitab “Minhaj Ath-Tholibin” karya An-Nawawi dan “Al-Muharror” karya Ar-Rofi’i. 

Kitab “Tuhfatu Al-Muhtaj” secara umum bisa dikatakan memiliki hubungan “kekerabatan” dengan “Mukhtashor Al-Muzani”. Katakanlah, “Mukhtashor Al-Muzani” sesungguhnya adalah “mbahnya” kitab “Tuhfatu Al-Muhtaj” ini
Bagaimana penjelasannya?

Syahdan, setelah beberapa abad semenjak “Mukhtashor Al-Muzani” ditulis, bangkitlah Abu Al-Ma’ali Al-Juwaini atau yang lebih dikenal dengan Imamul Haromain untuk membuat syarah terhadap karya Al-Muzani itu dalam karya besar berjudul “Nihayatu Al-Mathlab”.

Kitab besar ini kemudian diringkas oleh Al-Ghozzali dalam kitab berjudul “Al-Basith”. Lalu kitab “Al-Basith” ini karena masih dianggap tebal diringkas lagi menjadi “Al-Wasith”. Setelah itu kitab “Al-Wasith” diringkas lagi menjadi “Al-Wajiz”.
Kitab “Al-Wajiz” ini kemudian disyarah oleh Ar-Rofi’i dalam karya fenomenalnya yang menunjukkan hasil kerja keras dan cemerlang dalam hal tahrir mazhab, yakni kitab yang bernama “Al-‘Aziz” atau disebut juga “Asy-Syarhu Al-Kabir”. Orang kadang juga menyebutnya “Fathu Al-‘Aziz’ atau “Al-Fathu Al-‘Aziz”. 
Nampaknya, ditengah-tengah Ar-Rofi’i menyusun syarah terbesarnya ini, ter-abstraksikanlah kesimpulan-kesimpulan kerja tahrir mazhab itu. Semuanya dikumpulkan Ar-Rofi’i dalam kitab ringkas, padat dan berisi berjudul “Al-Muharror”.

Dari kitab “Al-Muharror” ini kemudian bangkitlah An-Nawawi membuat ringkasannya sekaligus tambahan-tambahan dan editing. Ringkasan An-Nawawi ini di kemudian hari menjadi kitab fenomenal yang kita kenal dengan nama “Minhaju Ath-Tholibin” atau sering disingkat “Al-Minhaj”. Kitab “Minhaju At-Tholibin” inilah yang disyarah oleh Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitab berjudul “Tuhfatu Al-Muhtaj” yang hendak kita ulas dalam catatan ini.

Lafaz “tuhfah” sesungguhnya adalah bentuk isim mashdar dari kata “athafa” (أتحف) yang bermakna “mempersembahkan”. Lafaz “muhtaj” bermakna “orang yang membutuhkan”. Jadi makna judul “Tuhfatu Al-Muhtaj” adalah “persembahan untuk orang yang butuh”. Seakan-akan Ibnu Hajar Al-Haitami mensifati syarahnya ini sebagai hadiah dan persembahan seorang saudara seiman kepada saudaranya yang lain yang membutuhkan ilmu fikih sebagai realisasi cinta karena Allah. Terkadang lafaz “tuhfah” ini oleh sebagian ulama ketika hendak dijadikan judul buku diungkapkan dalam bentuh mashdar menjadi “Ithaf” (إتحاف). Jadi buku apapun yang diawali judul “tuhfah” atau “ithaf”, maka makna yang dimaksud pengarang adalah “persembahan”. 

Pengarang kitab ini adalah pendekar Asy-Syafi’iyyah fase kedua bernama Ibnu Hajar Al-Haitami (w.974 H). Nama lengkap beliau Abu Al-‘Abbas Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Hajar Al-Haitami. Beliau lahir di Mesir tahun 909 H di sebuah tempat bernama Abu Al-Haitam, area barat Mesir. 

Motivasi disusunnya syarah ini diterangkan sendiri oleh Al-Haitami dalam muqoddimah kitab ini, yakni keinginan lama beliau melakukan khidmat terhadap sebagian kitab An-Nawawi. “Tuhfatu Al-Muhtaj” ditulis mulai 12 Muharram tahun 958 H di Mekah dan konon selesai dalam waktu hanya 6 bulan saja.

Kitab ini adalah referensi penting jika orang ingin mengetahui pendapat mazhab Asy-Syafi’i terkait dengan persoalan-persoalan fikih sampai zaman Ibnu Hajar Al-Haitami. Jika orang sanggup mentarjih sendiri terkait perselisihan Ar-Rofi’i dan An-Nawawi dalam beberapa persoalan, maka silakan langusng meneliti kitab-kitab Asy-Syaikhan. Tetapi jika belum sanggup, maka merujuk “Tuhfatu Al-Muhtaj” adalah sikap yang tepat karena semua soal ikhtilaf Asy-Syaikhan telah ditarjih di sini.

Metode Al-Haitami pada saat menulis kitab ini adalah meringkas “Minhaju Ath-Tholibin” dengan bertumpu pada syarah-syarahnya seperti “Al-Ibtihaj” karya Taqiyyuddin As-Subky, “Kanzu Ar-Roghibin” karya Jalaluddin Al-Mahalli, “Hasyiyah Abdul Haqq” dan lain-lain. Al-Haitami juga memberi jawaban terhadap persoalan-persoalan yang belum diulas dan juga menganalisis dalil dan meringkasnya.

Dibandingkan dengan “Nihayatu Al-Muhtaj” karya Ar-Romli yang juga merupakan syarah “Minhaj Ath-Tholibin”, kitab “Tuhfatu Al-Muhtaj” lebih mendalam pembahasannya, lebih kokoh istidlal dan ta’lilnya, dan lebih padat isinya. Hanya saja “Nihayatu Al-Muhtaj” lebih mudah bahasanya. Mayoritas Asy-Syafi’iyyah di Hadhromaut, Syam, Kurdi dan Dagestan lebih mengutamakan “Tuhfatu Al-Muhtaj” daripada “Nihayatu Al-Muhtaj”.

Bisa dikatakan, Asy-Syafi’iyyah sesudah abad ke 7 H menjadikan dua kitab ini, yakni “Tuhfatu Al-Muhtaj” dan “Nihayatu Al-Muhtaj” sebagai rujukan utama dan menganggap pendapat apapun yang tidak sesuai dengan kesepakatan dalam dua kitab ini tidak dihitung sebagai pendapat mu’tamad mazhab Asy-Syafi’i.

Kitab Tuhfah ini tergolong unik. Beberapa hal yang unik yang perlu kita ketahui dari kita Tuhfahtul Muhtaj antara lain; 

1. Selesai dikarang dalam waktu yang relatif singkat.

Kitab Tuhfatul Muhtaj dikarangan oleh Ibnu Hajar dalam waktu yang singkat, beliau memulainya pada 12 Muharram 958 H dan selesai pada 27 Zulqa’dah 958 H, hanya sepuluh bulan, satu masa yang sangat singkat untuk satu karya sebesar Tuhfah. Perbedaan sangat terlihat jauh ketika kita membandingkan dengan syarah Minhaj lain yaitu Nihayatul Muhtaj yang selesai dalam masa sepuluh tahun (mulai bulan Zul qa’dah 963 H/1555 M dan selesai pada malam jumat 19 jumadil akhir 973 H/1565 M) dan Mughni Muhtaj yang selesai dalam jangka waktu empat tahun (959 H – 963 H). Ibnu Hajar dalam kitab Tuhfah banyak mengambil dai hasyiah guru beliau, Syeikh Abdul Haq atas Syarah Minhaj karangan Imam al-Mahalli.

2. Ibaratnya yang sulit

Karena masa penulisan yang sangat cepat, maka ibarat kitab Tuhfah tergolong sangat sulit. Bila kita membandingkan itab Tuhfatul Muhtaj dengan dua syarah Minhaj yang setingkat dengannya, Nihayatul Muhtaj dan Mughnil Muhtaj, maka kita akan dapati perbedaan yang sangat jauh. Di mana ibarat kitab Tuhfah sangat sulit dan rumit. Murid Ibnu Hajar sendiri, Saiyid Umar menyatakan bahwa guru beliau Ibnu Hajar berupaya menulis Tuhfah dengan bahasa yang ringkas karena mengharap mudah di ambil faedah oleh para pelajar, namun ternyata bahasa Ibnu Hajar di anggap terlalu ringkas sehingga baru mudah dipahami setelah menguasai pendapat-pendapat manqul dari ulama mutakaddimin dan kritikan-kritikan ulama mutaakhirin dan istilah-istilah mereka. Karena itu, beberapa para ulama berusaha menuliskan kitab khusus yang membuka tabir istilah-istilah Syeikh Ibnu Hajar dalam kitab Tuhfah. Beberapa kitab yang menjelaskan istilah kitab Tuhfah adalah ‘Uqud ad-Durar fi mushthalahat Tuhfah Ibn Hajar karangan Syeikh Sulaiman Kurdi, Fawaid al-Madaniyahfi man Yufta bi qaulihi min aimmah asy-Syafi’iyah yang kemudian di ringkas oleh ulama asal Malabar, India, Syeikh Ahmad Kuya Ali asy-Syaliyati dengan nama ‘Awaid Diniyah fi Talkhish al-Fawaid Madaniyah juga karagan Syeikh Sulaiman Kurdi, Tazkiratul Ikhwan fi Mushthalah Tuhfah karangan murid Syeikh Sulaiman Kurdi yaitu Syeikh Muhammad bin Ibrahim ‘Aliji al-Qulhani (di cetak oleh penerbit Dar Shalih Mesir, tahun 2017), ulama asal Dangestan, Syarah Khutbah Tuhfah karangan al-Allamah Jarhazi, dan Risalah fi Mushthalahat at-Tuhfah karangan Imam Jarhazi. ini belum termasuk kitab-kitab yang dikarang setelahnya yang umumnya merupakan kutipan dari kitab Syeikh Sulaiman Kurdi dan Tazkirah Ikhwan karya murid beliau, Syeikh Muhammad Ibrahim ‘Alijy.

3. Menjadi rujukan utama ulama mutaakhirin.

Kitab Tuhfah bersama Nihayatul Muhtaj karangan Imam Jamal Ramli merupakan rujukan utama dalam bidang bidang fiqh Mazhab Syafii. Kedua isi kitab ini menghiasai hampir semua kitab-kitab fiqh mazhab Syafii yang dikarang setelahnya. Bahkan sebagian ulama melarang berfatwa menyalahi kedua kitab ini. 

Para ulama sepakat bahwa hukum yang di sepakati oleh Imam Ibnu Hajar al-Haitami dan Imam Ramli merupakan hukum yang paling kuat. Namun para ulama berbeda pendapat tentang siapa yang lebih di dahulukan bila terjadi perbedaan pendapat antara Imam Ibnu Hajar al-Haitami dengan Imam Ramli. 

Ulama Negri Hadharamaut, Syam, Akrad, Daghistan, kebanyakan ulama Yaman dan beberapa negri lainnya lebih mendahulukan Imam Ibnu Hajar al-Haitami. Sedangkan ulama Negri Mesir atau mayoritas ulama Mesir dan sebagian ulama Yaman lebih mendahulukan pendapat Imam Ramli bahkan masyhur berita bahwa para ulama Mesir telah berjanji tidak akan berfatwa dengan menyalahi pendapat Imam Ramli. Dalam beberapa hal yang berbeda pendapat dengan Imam Ibnu Hajar al-Haitami, Imam Ramli mengikuti pendapat bapak beliau, Imam Syihab Ramli.

Imam Sya`rani ketika menceritakan riwayat Imam Syihab Ramli menerangkan “Allah ta`ala menjadikan para fuqaha` tetap pada pendapat beliau (Syihab Ramli) baik di timur dan barat, di Mesir, Syam dan Hijaz, mereka tidak menyalahi pendapat Imam Syihab Ramli. 

Imam Sulaiman Kurdi menyebutkan “mudah-mudahan hal ini terjadi sebelum muncul Imam Ibnu Hajar al-Haitami, manakala muncul Imam Ibnu Hajar al-Haitami, para ulama Nengri Syam dan Hijaz tidak menyalahi pendapat Imam Ibnu Hajar”. 

Namun ada juga beberapa ulama Mesir yang lebih mendahulukan Imam Ibnu Hajar, bahkan Syeikh Ali Syabramallisi, ulama Mesir yang memberi hasyiah pada kitab Nihayah Muhtaj karangan Imam Ramli, pada mulanya lebih menekuni kitab Tuhfah Imam Ibnu Hajar al-Haitami. Hingga pada satu malam beliau bermimpi bertemu dengan Imam Ramli, beliau berkata “hidupkanlah kalamku ya Ali, Allah akan menghidupkan hatimu” maka semenjak saat itu Imam Ali Syibramalisi menekuni kitab Nihayah Muhtaj sehingga beliau menulis hasyiah atas kitab Nihayah Muhtaj yang terkenal sampai saat ini. Imam Qalyubi yang juga ulama Mesir (yang memberi hasyiah terhadap kitab Syarh al-Mahalli `ala Minhaj Thalibin) pada beberapa tempat juga lebih mengunggulkan pendapat Imam Ibnu Hajar al-Haitami. 

Sedangkan ulama Haramain (Makkah dan Madinah) pada mulanya lebih mengunggulkan pendapat Imam Ibnu Hajar al-Haitami. Kemudian datanglah para ulama Negri Mesir ke Haramain. Mereka menerangkan dan mentaqrirkan pendapat mu`tamad imam Ramli dalam majlis pengajaran mereka sehingga mu`tamad Imam Ramli juga masyhur di Makkah dan Madinah, hingga akhirnya para ulama yang menguasai dan memahami kedua pendapat Imam Ibnu Hajar al-Haitami dan Imam Ramli menerima keduanya tanpa mengunggulkan salah satunya. 

Kesepakatan Imam Ibnu Hajar dan Imam Ramli memiliki kedudukan yang kuat dalam Mazhab Syafii, bahkan syeikh Sa`id Sunbul al-Makki mengatakan “tidak boleh bagi seorang mufti berfatwa dengan pendapat yang menyalahi pendapat Imam Ibnu Hajar dan Imam Ramli terutama kitab Tuhfah dan Nihayah walaupun sesuai dengan pendapat keduanya dalam kitab yang lain. Beliau mengatakan “sebagian para ulama dari daerah Zamazimah telah memeriksa kalam kitab Tuhfah dan Nihayah, maka beliau mendapati kedua kitab tersebut merupakan sandaran dan pilihan mazhab Syafii”. 

Kitab Nihayatul Muhtaj, setelah selesai dikarang, telah dibacakan dihadapan muallifnya sendiri dari awal hingga khatam dengan di hadiri oleh 400 ulama yang mengkritisi dan mentashhih kitab beliau tersebut sehingga kesahihannya mencapai tingkat tawatur. Sedangkan kitab Tuhfah Ibnu Hajar al-Haitami telah dibacakan dihadapan muallifnya sendiri oleh para ulama para muhaqqiq yang jumlahnya sudah tidak terhitung lagi. 

Secara umum pada masalah-masalah yang terjadi perbedaan pendapat antara Imam Ibnu Hajar al-Haitami dengan Imam Ramli, pendapat Imam Ramli lebih ringan dari pada pendapat mu`tamad Imam Ibnu Hajar. Beberapa ulama melakukan pengkajian khusus tentang perbedaan antara Imam Ibnu Hajar al-Haitami dengan Imam Ramli dan membukukannya dalam kitab khusus, antara lain kitab Busyra Karim karangan Syikh Sa’id Muhammad Ba’ashan, kitab Fathul ‘Ali bi Jam’i Bi Jam’i Khilaf Baina Ibn Hajar wa Ramli karangan Syeikh Umar bin Habib Ahmad Bafaraj Ba’alawi (dicetak oleh Dar Minhaj dengan tahqiqan dan ta’liq dari DR. Syifa Hasan Hitu, putri Syeikh Hasan Hitu, pendiri STAI Imam Syafii Cianjur). 

4. Banyaknya para ulama yang memberikan hasyiah

Tidak semua kitab-kitab yang besar mendapat perhatian para ulama dengan memberikan hasyiah. Namun kitab Tuhfahtul Muhtaj termasuk kitab yang menarik perhatian para ulama untuk memberi hasyiahnya. Hasyiah-hasyiah tersebut berisi penjelasan terhadap kalam Ibnu Hajar bahkan juga ada kritikan-kritikan terhadap Tuhfah sendiri atau jawaban terhadap kritikan orang terhadap ibadat Tuhfah. Ibnu Hajar sendiri juga memberikan hasyiah terhadap kitab beliau tersebut, dengan nama Thurfatul Faqir bi Tuhfatil Qadir, namun tidak sampai selesai. DR. Saiyid Musthafa bin Hamid Smith dalam mukaddimah munkhtashar Tuhfah karya beliau, mencatat ada sekitar 34 hasyiah terhadap kitab Tuhfatul Muhtaj. Itu tidak termasuk beberapa hasyiah dan ta’liqat ulama Negri Dangestan yang disebutkan oleh Syeikh Muhammad Ghudubiry dalam mukaddimah beliau terhadap tahqiq kitab Tazkiratul Ikhwan karangan Ibnu ‘Alijy yang tidak sempat di catat oleh DR. Mushtafa Smith.

Ibnu Hajar Al-Haitami wafat pada tahun 974 H.

1 Komentar

Silahkan untuk memberikan komentar, dan berilah kami kritik, saran dan kesan.