-->

Istilah istilah Pada Kitab Minhaj ath-Thalibin dan Raudloh

Istilah Istilah Minhaj ath-Thalibin
Salah satu kitab mukhtashar dalam bidang ilmu fiqih dalam mazhab Syafii yang popular adalah kitab Minhajuth Thalibin karangan Imam Nawawi. Kitab ini merupakan ringkasan dari kitab al-Muharrar karangan Imam ar-Rafii. Imam Rafii di kenal sebagai ulama yang pertama sekali melakukan pentarjihan dari beberapa pendapat dalam mazhab yang telah ada baik dari pendapat Imam Syafii sendiri atau dari para Ashhabil wujuh. Kemudian hal tersebut di lanjutkan oleh Imam Nawawi dengan ada beberapa penambahan-penambahan istilah baru dari Imam Nawawi

Alasan Imam Nawawi meringkas kitab al-Muharrar adalah karena kitab tersebut merupakan sebuah kitab yang penting sebagai pegangan bagi mufti dan pelajar Mazhab Syafii, namun bentuknya agak tebal sehingga menyulitkan kebanyakan orang untuk menghafalnya. Atas dasar itulah Imam Nawawi meringkas kitab al-Muharrar. Walaupun merupakan ringkasan, kitab al-Minhaj tidaklah mengurangi makna yang terkandung dalam al-Muharrar. Imam Nawawi berhasil meringkas kitab Muharrar dengan ukuran setengah lebih sedikit.

Selain meringkasnya, Imam Nawawi juga memberikan beberapa tambahan dalam kitab Minhaj tersebut yang beliau sebutkan sebagai “nafais mustjadat”.

Beberapa Nafais Mustajadat yang merupakan tambahan Imam Nawawi adalah:

Menyebutkan kait-kait pada beberapa masalah yang tidak di sebutkan oleh Imam Rafii dalam kitabnya al-Muharrar karena beliau padai kait tersebut di sebutkan dalam kitab yang lebih besar.

Menyebutkan pendapat kuat pada sekitar lebih kurang 50 tempat, sedangkan hukum yang Imam Rafii sebutkan pada masalah tersebut bukan berdasarkan pendapat yang kuat.

Menggantikan lafadh-lafadh yang gharib dan yang menimbulkan pemahaman keliru yang ada dalam kitab al-Muharrar dengan lafadh lain yang lebih terang maknanya dan lebih ringkas.

Menerangkan pendapat dari satu masalah baik pendapat qaul (pendapat Imam Syafii) dan wajah (pendapat Ashhabil Wujuh), thariq, nash serta menerangkan martabat khilafnya masing-masing. Berbeda dengan Imam Rafii kadang-kadang menyatakan tentang kedudukan suatu khilaf apakah berasal dari qaul atau dari wajah, kadang beliau mengatakan Azhar Wajhain atau Ashah Qaulain namun kadang juga hanya menyebutkan Azhar atau Ashah saja tanpa ada keterangan apakah berasal dari wajah atau qaul.

Beberapa pembahasan-pembahasan tambahan yang bagus yang sebelumnya tidak ada dalam kitab Muharrar. Imam Nawawi menandai masalah yang beliau tambahkan ini pada awalnya di muali dengan kalimat “qultu” dan di akhiri dengan “Wallhu A`lam”. Penamakaian kata tersebut kadang juga beliau gunakan pada saat mengistidrak tarjih Imam Rafii.
Ada beberapa lafadh yang penting yang Imam Nawawi tanbahkan dalam beberapa pembahasan.

Dalam menerangkan qaul dan wajah serta martabat khilaf Imam Nawawi menggunakan istilah-istilah baru yang dari istilah tersebut dapat di ketahui bahwa pendapat tersebut apakah pendapat Imam Syafii atau pendapat Ashabil Wujuh serta dapat di ketahui bagaimana kedudukan muqabilnya, apakah kuat juga atau tidak.

Istilah-istilah Imam Nawawi tersebut adalah:

  1. Al-Azhar
  2. Al-Masyhur
  3. Al-Ashah
  4. Ash-Shahih
  5. Al-Mazhab
  6. An-Nash
  7. Al-Jadid
  8. Al-Qadim atau fi Qaul Qadim
  9. Qila
  10. Fi Qaul


1. Al-Azhar 

Imam Nawawi berkata dalam muqaddimah kitab beliau, Minhaj ath-Thalibin:

فحيث أقول: في الأظهر أو المشهور فمن القولين أو الأقوال، فإن قوي الخلاف قلت الأظهر وإلا فالمشهور

Maka sekira-kira saya berkata fil Adhhar atau al-Masyhur maka (keduanya) dari dua qaul atau beberapa qaul, maka jika kuat lawannya saya berkata al-dhhar dan jika tidak maka saya berkata al-Masyhur.

Azhar adalah istilah Imam Nawawi terhadap satu pendapat Imam Syafii yang kuat yang mana muqabilnya juga memiliki dalil yang kuat. 

Maka dari istilah al-Azhar dapat terpahami bahwa :

  1. Dalam masalah tersebut ada khilafiyah
  2. Khilafiyah masalah tersebut adalah khilafiyah qaul artinya khilaf dari dua pendapat Imam Syafii sendiri.
  3. Dari beberapa pendapat tersebut ada satu pendapat kuat yaitu pendapat yang di tandai dengan al-Azhar
  4. Muqabil (lawan) dari pendapat al-Azhar juga memiliki dalil yang kuat, namun yang di amalkan dan di fatwakan adalah pendapat yang di tandai dengan al-Azhar karena dalil-dalilnya lebih dhahir daripada muqabilnya.

Dari lafadh al-Azhar yang merupakan isem tafdhil dapat menunjuki bahwa keadaan muqabilnya juga memiliki dalil yang kuat karena lafadh al-azhar menunjuki bahwa ia dan muqabilnya sama-sama memiliki sifat dhuhur.

Dalam kitab Minhaj jumlah pemakaian al-Azhar sebanyak 400, namun 5 tempat diantaranya bukan di ta`bir dengan al-Azhar. Tetapi dua tempat di ta`bir dengan azharuha, tepatnya pada masalah Rahan dan Washaya. Ada juga yang di ta`bir dengan Azharu huma tepatnya pada kitab al-`Itq pada fashal A`taqa fi mardh mautihi.

2. Masyhur

Al-Masyhur adalah istilah Imam Nawawi untuk pendapat kuat dari pendapat Imam Syafii yang muqabilnya lemah. Dari lafadh al-Masyhur menunjuki bahwa muqabilnya gharib. Maka dari lafadh al-Masyhur dapat di pahami bahwa:

  1. Dalam masalah tersebut ada khilafiyah
  2. Khilafiyah masalah tersebut adalah khilafiyah qaul artinya khilaf dari pendapat Imam Syafii sendiri.
  3. Dari beberapa pendapat tersebut ada satu pendapat kuat yaitu pendapat yang di tandai dengan al-Masyhur
  4. Muqabil dari pendapat Masyhur adalah pendapat yang tidak memiliki dalil yang kuat sehingga tidak dapat di amalkan.

Jumlah ta`bir dengan al-Masyhur dalam kitab al-Minhaj adalah sebanyak 32 ta`bir. Di sebagian tempat di ta`bir dengan al-Asyhar yaitu pada kitab Syahadat.

3. Al-ashahh dan al-shahih

Dalam mazhab Syafi’i juga terdapat dua atau lebih pendapat pengikut Syafi’i yang berbeda dalam permasalahan tertentu, yang diistilahkan dengan al-wujuh. Pendapat tersebut merupakan hasil ijtihad mereka dengan menggunakan metode yang dipakai Imam Syafi’i. Dalam hal ini, ketika Imam an-Nawawi mengatakan al-asahh maka yang dimaksud adalah pendapat paling kuat dari pendapat-pendapat lain yang sama-sama kuat. Sedangkan ketika dikatakan al-shahih maka yang dimaksud adalah pendapat yang kuat dari pendapat-pendapat lain yang lemah.

4. Al-mazhab

Kita tahu bahwa pendapat-pendapat Imam Syafi’i menyebar melalui periwayatan murid-muridnya. Terkadang satu sama lain terdapat dua atau lebih perbedaan periwayatan dalam masalah yang sama, yang dikenal dengan thuruq. Dalam hal ini, ketika Imam an-Nawawi mengatakan al-mazhab maka yang dimaksud adalah periwayatan yang paling kuat dari periwayatan-periwayatan yang lain.

5. An-Nash

Selain itu, Imam an-Nawawi juga sering menggunakan istilah an-nash. Ketika demikian maka yang dimaksud adalah pendapat Imam Syafi’i sendiri, yang mengindikasikan adanya pendapat pengikut mazhab yang berseberangan. Atau adanya pendapat pengikut Imam Syafi’i yang di-takhrij terhadap pendapat Imam Syafi’i. Takhrij adalah menganalogikan hukum baru terhadap hukum yang telah ditetapkan oleh Imam Syafi’i karena adanya keserupaan.

6. Al-Jadid dan Al-Qodim

Untuk menginformasikan dua pendapat yang berbeda Imam an-Nawawi tidak menyebutkan keduanya. Ia cukup menyebutkan satu pendapat sebagai kebalikan dari pendapat yang tak tersebut. Semisal, ketika ia menyebutkan sebuah hukum lalu dikatakan bahwa hal itu adalah qaul jadid, maka hukum kebalikannya yang tak tersebut adalah qaul qadim.

7. Qultu

Dalam banyak permasalahan Imam an-Nawawi juga memperlihatkan kapasitas keilmuannya. Ia menuliskan pendapat pribadinya dengan cara yang santun. Ia mulai dengan kata qultu dan diakhiri dengan kata wallahu a’lam. Dalam hal ini ia sesekali berbeda pendapat dengan apa yang ada di kitab al-Muharrar. Tentu hal itu dilakukan setelah penelitian matang. Demikianlah apa yang ditulis oleh Imam an-Nawawi dalam kata pengantarnya. Pijakan-pijakan metodologis tersebut telah ia sematkan sebelum memulai menulis kitabnya.

QOUL, WAJH DAN THORIQ DALAM ISTILAH ULAMA SYAFI’IYYAH

Qoul (القول) adalah ijtihad yang dinisbatkan kepada Asy-Syafi’i tanpa membedakan apakah qodim, jadid, manshush maupun mukhorroj. Dalam mazhab yang lain kadang disebut riwayah. Tarjih terhadap variasi nisbat qoul ini diungkapkan dengan istilah ‘alal adh-har (على الأظهر) atau ‘alal masyhur (على المشهور) atau adh-dhohir (الظاهر).

Misalnya An-Nawawi menulis,
(روضة الطالبين وعمدة المفتين 1/ 13)

وَأَمَّا الْمَيْتَاتُ، فَكُلُّهَا نَجِسَةٌ، إِلَّا السَّمَكَ وَالْجَرَادَ، فَإِنَّهُمَا طَاهِرَانِ بِالْإِجْمَاعِ، وَإِلَّا الْآدَمِيَّ، فَإِنَّهُ طَاهِرٌ عَلَى الْأَظْهَرِ

“adapun bangkai, seluruhnya najis kecuali ikan dan belalang karena keduanya suci berdasarkan ijmak. Dikecualikan juga (bangkai) manusia karena itu suci ‘alal adh-har”

Hal ini bermakna ada dua riwayat atau lebih yang dinisbatkan kepada Asy-Syafi’i terkait hukum bangkai manusia apakah najis ataukah tidak. Tetapi penelitian An-Nawawi menegaskan bahwa Asy-Syafi’i berpendapat bangkai manusia tidak najis.

Wajh ( الوجه yang dijamakkan menjadi wujuh/ الوجوه atau aujuh/ الأوجه) adalah ijtihad mujtahid mazhab di kalangan syafi’iyyah berdasarkan kaidah ushul fikih syafi (diistilahkan dengan nama takhriju-al-mas-alah). Tarjih terhadap variasi wajh diungkapkan dengan istilah alas shohih (على الصحيح) atau alal ashohh (على الأصح). Misalnya An-Nawawi menulis,

(روضة الطالبين وعمدة المفتين 1/ 7)

وَالْمُسْتَعْمَلُ الَّذِي لَا يَرْفَعُ الْحَدَثَ، لَا يُزِيلُ النَّجَسَ عَلَى الصَّحِيحِ

“Air musta’mal yang tidak menghilangkan hadas (juga) tidak menghilangkan najis ‘alas shahih”

Hal ini bermakna ada dua ijtihad ulama syafi’iyyah terkait status air musta’mal yang tidak sah untuk menghilangkan hadas,apakah bisa menyucikan sesuatu yang terkena najis ataukah tidak. Tetapi penelitian An-Nawawi menegaskan bahwa ijtihad terkuat sesuai dengan kaidah ushul fikih Asy-Syafi’I adalah bahwa air musta’mal yang tidak bisa menghilangkan hadas juga tidak bisa menyucikan sesuatu yang terkena najis.

Thoriq; Variasi info/riwayat ulama syafi’iyyah terkait klaim pendapat terkuat menurut madzhab Asy-Syafi’i. Tarjih terhadap variasi thoriq diungkapkan dengan istilah ‘alal madzhab (على المذهب). Misalnya An-Nawawi menulis,

(روضة الطالبين وعمدة المفتين 1/ 7)

وَأَمَّا الْمُسْتَعْمَلُ فِي رَفْعِ حَدَثٍ، فَطَاهِرٌ، وَلَيْسَ بِطَهُورٍ عَلَى الْمَذْهَبِ

“adapun air musta’mal (yang telah dipakai) untuk menghilangkan hadas, maka hukumnya suci tetapi tidak menyucikan ‘alal madzhab”

Hal ini bermakna ada dua atau lebih riwayat klaim ijtihad terkuat menurut madzhab Asy-Syafi’i terkait status air musta’mal dari sisi statusnya apakah suci dan menyucikan ataukah suci tetapi tidak menyucikan. Tetapi penelitian An-Nawawi menegaskan bahwa riwayat terkuat adalah air musta’mal hukumnya suci tetapi tidak menyucikan.  Wallahu a’lam.

Print Friendly and PDF

0 Response to "Istilah istilah Pada Kitab Minhaj ath-Thalibin dan Raudloh"

Posting Komentar

Silahkan untuk memberikan komentar, dan berilah kami kritik, saran dan kesan.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel