-->

Panduan Merawat Jenazah Ibnu Muhammad Salim


Kemanakah kita setelah mati.?

Jika kita membuka lembaran Buku Ensiklopedia Kematian, maka akan mengetahui tentang ertanyaan Kemanakah kita setelah mati? Pertanyaan ini mengguncang akal manusia sepanjang masa. Maka tak heran bila Al-Quran pun mengabadikan pertanyaan ini: Dan manusia berkata, “Betulkah apabila aku telah matani, bahwa aku sungguh­sungguh akan dibangkitkan menjadi hidup kembali?” Dan tidakkah manusia itu memikirkan bahwa Kami sesungguhnya telah menciptakannya dahulu sedang ia tidak ada sama sekali? (Q.S. Maryam [19]: 66-67).

Banyak yang menganggap kematian sebagai kelenyapan, akhir dari segalanya. Akibat pandangan demikian, tak sedikit orang menebarkan kerusakan di muka bumi ini. Mereka hidup sesukanya. Tak ada yang perlu dipertanggungjawabkan.

Sebaliknya, tak jarang pula yang frustrasi, fatalistik, dan hampa makna. Karena, mati begitu menakutkan. Kematian dipandang kekuatan mahadahsyat yang siap merenggut eksistensi seseorang kapan saja dan di mana saja. Setelah itu, berakhirlah riwayatnya.

Menakutkan? Ya, setidaknya ada tiga alasan mengapa mati begitu mengerikan. Pertama, seperti dibincangkan di atas, karena manusia tidak tahu apa yang akan terjadi setelah mati. Memasuki belantara gelap dan senyap di dunia ini saja begitu mencekam, bagaimana ia memasuki alam kubur yang sempit?

Kedua, bagi kita yang merasa dimanjakan oleh kenikmatan duniawi, kematian adalah akhir dari sekian banyak ke nikmatan yang telah kita peluk selama ini. Maka, memasuki hari tua berarti memasuki fase penyesalan. Dan, kematian merupakan puncak kekalahan dan penderitaan.

Ketika Imam ‘Alî k.w. ditanya mengapa orang takut mati, ia menjawab, “Karena kalian memakmurkan duniamu dan menghancurkan akhiratmu! Bagaimana mungkin kalian mau pindah dari kemakmuran menuju kehancuran?” Ya, mati seakan pindah dari istana ke penjara.

Ketiga, karena merasa banyak dosa lebih banyak amal kejahatannya daripada kebaikannya. Inilah ketakutan yang dirasakan orang saleh. Kalau kita takut mati karena keterikatan kita kepada dunia, orang saleh takut mati karena merasa belum cukup bekal. Inilah rasa takut yang dianjurkan.

Seperti Ali Zainal Âbidin, berdoalah dengan khusyuk, “Ya Allah, kepada-Mu aku berlindung dari habisnya usia sebelum siap sedia!”

Kembali pada pertanyaan di atas, kalau “dunia hanyalah persinggahan” demikian lirik lagu Rhoma Irama begitu pula kematian. Kematian bukanlah akhir dari kehidupan. Ia garis transisi (barzakh), fase perkembangan manusia. Sementara perkembangan kita sebelum dilahirkan lebih bersifat fisik, perkembangan kita setelah lahir lebih bersifat moral dan spiritual (baca: Q.S. [23]: 12-16; [22]: 5; [40]: 67). Sementara lahirnya kita dalam kehidupan ini benar-benar merupakan manifestasi kematangan fisik kita di dalam rahim, kebangkitan kembali kita di akhirat benar-benar merupakan manifestasi kematangan spiritual kita di dunia.

Karena itu, kita mendapati gambaran simbolis hari pembalasan (pascamati) yang menunjukkan bahwa perbuatan moral dan spiritual kita di dunia ini akan dimanifestasikan oleh badan kita di akhirat. Amal-amal kita akan dipasang di leher kita (Q.S. [17]: 13; [34]: 33; [36]: 8)’ lidah, tangan, dan kaki kita akan bersaksi terhadap perbuatan kita (Q.S. [24]: 24; [36]: 65); kita akan makan buah perbuatan kita (Q.S. [37]: 39–68); orang yang buta spiritual di dunia ini akan buta pula di akhirat kelak (Q.S. [57]: 12; [66]: 8); setiap perbuatan kita akan mendapatkan balasannya (Q.S. [99]: 7–90).

Dengan demikian, bagi orang yang dalam hidupnya telah banyak berbuat baik, kematian adalah gerbang memasuki kehidupan baru yang lebih indah, alam keabadian (akhîrat), tempat memanen kebahagiaan sejati. Ibarat anak sekolah, arwah orang yang hidup penuh kesalehan akan dinaikkan kelasnya lewat kematian. 

Pendeknya, kematian hanyalah salah satu fase perkembangan manusia menuju Yang Maha Tak Terbatas. Ia fase yang pasti ditempuh semua makhluk dalam siklus Ilayhi Râji‘ûn—kepada-Nya semua kembali. Semuanya pasti kembali. Tapi, ada yang kembali dengan terpaksa, tanpa kesadaran, (idlthirârî), ada pula yang dengan suka rela, penuh kesadaran, penuh persiapan (ikhtiyârî), bahkan penuh kerinduan tak terkira-kira untuk segera berjumpa dengan-Nya (liqâ’ Allâh).

Download Buku Panduan Merawat Jenazah

Dengan banyak merujuk kepada Al-Quran, hadis, kitab fikih, buku ini tak akan mengupas seputar kematian, tapi bagaimana kita mengurus orang mati: apa saja yang diwajibkan dan apa saja yang disunnahkan bagi kita dalam mengurus jenazah. Semoga bermanfaat. Wa kafâ bi Allâh syahîdâ, fastabiqû al­khayrât.


DOWNLOAD

Itulah tulisan kami tentang ulasan dan review "Panduan Merawat Jenazah Ibnu Muhammad Salim" semoga bermanfaat bagi para pembaca dan jika tulisan ini bermanfaat bagi orang lain silahkan untuk berbagi dengan men SHARE kepada orang lain dan jika ada lebih rezeki silahkan untuk berdonasi untuk perkembangan blog ini
Print Friendly and PDF

0 Response to "Panduan Merawat Jenazah Ibnu Muhammad Salim"

Posting Komentar

Silahkan untuk memberikan komentar, dan berilah kami kritik, saran dan kesan.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel