Terjemahan Hasyiah Al-Bajuri Bag 2 Bismillah Hamdalah dan Sholawat
Jumat, November 22
Add Comment
Terjemahan Hasyiah Al-Bajuri |
Terjemahan Hasyiah al-Bajuri bagian ke 2 pembahasab Bismillah, Hamdalah dan Sholawat, lanjutan dari Terjemahan Hasyiah al-Bajuri bagian ke 1 yang sebelumnya tentang Muqaddimah kitab Hasyiah al-bajuri
قوله: (بِسْمِ اللهِ) الخ مَقُولُ القَوْلِ الذِي قَدَّرَهُ الشَّارِحُ، فَهُوَ فِي مَحَلِّ نَصْبٍ بِاعْتِبَارِهِ، وَإِنْ كَانَ مُسْتَأْنَفًا لَا مَحَلَّ لَهُ مِنَ الإِعْرَابِ بِالنَّظَرِ لِكَلَامِ المُصَنِّفِ
Ucapan "(Bismillah)" dan seterusnya: adalah isi dari ucapan yang diperkirakan oleh pensyarah (ki syarh), sehingga berada dalam posisi manshub (berada dalam keadaan objek) jika dilihat dari sudut pandang ini. Namun, jika dianggap sebagai ucapan baru yang tidak memiliki hubungan dengan konteks tata bahasa dari kalimat pengarang, maka ia tidak memiliki posisi i’rab.
وَابْتَدَأَ بِالبَسْمَلَةِ ثُمَّ بِالحَمْدَلَةِ اقْتِدَاءً بِالكِتَابِ العَزِيزِ وَعَمَلًا بِخَبَرِ: «كُلُّ أَمْرٍ ذِي بَالٍ لَا يُبْدَأُ فِيهِ بِبِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ فَهُوَ أَبْتَرُ»، أَوْ «أَقْطَعُ»، أَوْ «أَجْذَمُ»
Pengarang memulai dengan basmalah, kemudian diikuti dengan hamdalah, meneladani Kitab Suci (Al-Qur’an) dan berdasarkan hadis: "Setiap perkara penting yang tidak dimulai dengan Bismillahirrahmanirrahim, maka ia terputus (keberkahannya)", atau dalam riwayat lain disebut "terhenti" atau "tidak sempurna".
وَالمَعْنَى عَلَى كُلٍّ أَنَّهُ نَاقِصٌ وَقَلِيلُ البَرَكَةِ. فَهُوَ وَإِنْ تَمَّ حِسًّا لَا يَتِمُّ مَعْنًى- مَعَ خَبَرِ: «كُلُّ أَمْرٍ ذِي بَالٍ لَا يُبْدَأُ فِيهِ بِالحَمْدِ للهِ» الخ
Makna dari hadis-hadis tersebut, secara umum, menunjukkan bahwa perkara itu menjadi kurang sempurna dan sedikit keberkahannya. Meskipun secara lahiriah perkara itu selesai, ia tidaklah sempurna secara makna. Ini juga berkaitan dengan hadis: "Setiap perkara penting yang tidak dimulai dengan Alhamdulillah...", dan seterusnya.
وَإِشَارَةٌ إِلَى أَنَّهُ لَا تَنَافِي بَيْنَ الحَدِيثَيْنِ، بِحَمْلِ حَدِيثِ البَسْمَلَةِ عَلَى البَدْءِ الحَقِيقِيِّ، وَحَدِيثِ الحَمْدَلَةِ عَلَى البَدْءِ الإِضَافِيِّ
Dan ini menunjukkan bahwa tidak ada pertentangan antara kedua hadis tersebut, dengan memahami hadis tentang basmalah sebagai permulaan hakiki (permulaan yang sebenarnya), dan hadis tentang hamdalah sebagai permulaan nisbi (permulaan yang bersifat relatif).
هَذَا هُوَ المَشْهُورُ فِي دَفْعِ التَّنَافِي بَيْنَهُمَا، وَهُنَاكَ أَوْجُهٌ أُخْرَى لِدَفْعِ التَّنَافِي بَيْنَهُمَا مَذْكُورَةٌ فِي المُطَوَّلَاتِ
Pendapat ini adalah yang paling masyhur dalam menjelaskan bagaimana menghilangkan kesan pertentangan antara keduanya. Namun, ada pula penjelasan lain untuk menghilangkan kesan pertentangan tersebut, yang disebutkan dalam kitab-kitab panjang (kitab-kitab detail).
وَالمُرَادُ بِالأَمْرِ ذِي البَالِ: الشَّيْءُ صَاحِبُ الحَالِ الذِي يُهْتَمُّ بِهِ شَرْعًا بِحَيْثُ لَا يَكُونُ مُحَرَّمًا لِذَاتِهِ، وَلَا مَكْرُوهًا كَذَلِكَ، وَلَا مِنْ سَفَاسِفِ الأُمُورِ، أَيْ مُحَقَّرَاتِهَا.
Yang dimaksud dengan "perkara penting" (amrun dzî bâl) adalah sesuatu yang memiliki nilai dan perhatian secara syar’i, yaitu hal yang tidak termasuk dalam kategori haram karena zatnya, tidak pula makruh karena zatnya, dan bukan pula termasuk perkara remeh-temeh, yakni hal-hal yang dianggap hina atau tidak bernilai.
فَتُحَرَّمُ عَلَى المُحَرَّمِ لِذَاتِهِ كَالزِّنَا خِلَافًا لِلقُمُولِيِّ حَيْثُ قَالَ: تُكْرَهُ عَلَيْهِ، بِخِلَافِ المُحَرَّمِ لِعَارِضٍ كَالوُضُوءِ بِمَاءِ مَغْصُوبٍ
Maka diharamkan (permulaan suatu perkara) pada hal yang haram karena zatnya, seperti zina, berbeda dengan pendapat al-Qumuli yang mengatakan bahwa hal tersebut hanya makruh. Berbeda pula dengan hal yang haram karena sebab tertentu (bukan karena zatnya), seperti berwudu dengan air hasil ghasab (merampas).
وَتُكْرَهُ عَلَى المَكْرُوهِ لِذَاتِهِ كَالنَّظَرِ لِلفَرْجِ بِلَا حَاجَةٍ، بِخِلَافِ المَكْرُوهِ لِعَارِضٍ كَأَكْلِ البَصَلِ.
Dan (permulaan suatu perkara) dimakruhkan pada hal yang makruh karena zatnya, seperti memandang kemaluan tanpa ada kebutuhan, berbeda dengan hal yang makruh karena sebab tertentu, seperti memakan bawang.
وَلَا تُطْلَبُ عَلَى مُحَقَّرَاتِ الأُمُورِ كَكَنْسِ الزَّبْلِ صَوْنًا لِاسْمِهِ تَعَالَى عَنْ اقْتِرَانِهِ بِالمُحَقَّرَاتِ وَتَخْفِيفًا عَلَى العِبَادِ
Dan tidak disyariatkan (memulai dengan basmalah) pada perkara-perkara remeh, seperti menyapu kotoran, sebagai bentuk penjagaan terhadap keagungan nama Allah Ta’ala dari dikaitkan dengan hal-hal yang hina, serta untuk memberikan keringanan bagi hamba-hamba-Nya.
فَإِنْ قِيلَ: يُرَدُّ عَلَى ذَلِكَ طَلَبُهَا عِنْدَ دُخُولِ الخَلَاءِ وَهُوَ مُسْتَقْذَرٌ؟ أُجِيبَ: بِأَنَّهَا طُلِبَتْ عِنْدَهُ لِلحِفْظِ مِنَ الشَّيَاطِينِ، وَهُوَ لَيْسَ مِنَ المُحَقَّرَاتِ بَلْ أَمْرٌ ذُو بَالٍ
Jika dikatakan: "Bagaimana dengan disyariatkannya membaca basmalah saat memasuki kamar kecil, padahal itu tempat yang najis?" Maka dijawab: "Basmalah disyariatkan dalam hal itu untuk memohon perlindungan dari gangguan setan, dan hal tersebut bukanlah perkara remeh, melainkan termasuk perkara yang penting."
وَيُشْتَرَطُ أَنْ لَا يَكُونَ ذَلِكَ الأَمْرُ ذِكْرًا مَحْضًا؛ بِأَنْ لَمْ يَكُنْ ذِكْرًا أَصْلًا، أَوْ كَانَ ذِكْرًا غَيْرَ مَحْضٍ كَالقُرْآنِ، فَتُسَنُّ التَّسْمِيَةُ فِيهِ، بِخِلَافِ الذِّكْرِ المَحْضِ كَـ «لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ»، وَأَنْ لَا يُجْعَلَ لَهُ الشَّارِعُ مَبْدَأً غَيْرَ البَسْمَلَةِ وَالحَمْدَلَةِ كَالصَّلَاةِ، فَإِنَّهُ جَعَلَ لَهَا مَبْدَأً غَيْرَ البَسْمَلَةِ وَالحَمْدَلَةِ وَهُوَ التَّكْبِيرُ
Disyaratkan bahwa perkara tersebut bukan berupa zikir murni. Hal ini bisa terjadi dalam dua keadaan: jika perkara tersebut bukan zikir sama sekali, atau berupa zikir yang tidak murni, seperti Al-Qur’an, maka disunnahkan membaca basmalah padanya. Berbeda halnya dengan zikir murni, seperti ucapan "Lâ ilâha illâ Allâh", yang tidak disunnahkan memulai dengan basmalah.
Selain itu, disyaratkan pula bahwa syariat tidak menetapkan pembukaan khusus selain basmalah dan hamdalah untuk perkara tersebut, seperti dalam salat. Karena untuk salat, syariat telah menetapkan pembukaannya berupa takbir, bukan basmalah atau hamdalah.
فائدة :مَعَانِي كُلِّ الْكُتُبِ مَجْمُوعَةٌ فِي الْقُرْآنِ، وَمَعَانِي الْقُرْآنِ مَجْمُوعَةٌ فِي الْفَاتِحَةِ، وَمَعَانِي الْفَاتِحَةِ مَجْمُوعَةٌ فِي الْبَسْمَلَةِ، وَمَعَانِي الْبَسْمَلَةِ مَجْمُوعَةٌ فِي بَائِهَا، وَمَعْنَاهَا الْإِشَارِيُّ: بِي كَانَ مَا كَانَ، وَبِي يَكُونُ مَا يَكُونُ
Faedah: Makna seluruh kitab terkumpul dalam Al-Qur'an, makna Al-Qur'an terkumpul dalam surat Al-Fatihah, makna surat Al-Fatihah terkumpul dalam basmalah, dan makna basmalah terkumpul dalam huruf bâ’-nya. Makna isyarat dari huruf bâ’ adalah: "Dengan-Ku terjadi apa yang telah terjadi, dan dengan-Ku akan terjadi apa yang akan terjadi."
وَمَعَانِي الْبَاءِ فِي نُقْطَتِهَا، وَالْمُرَادُ بِهَا: أَوَّلُ نُقْطَةٍ تَنْزِلُ مِنَ الْقَلَمِ الَّتِي يَسْتَمِدُّ مِنْهَا الْخَطُّ، لَا النُّقْطَةُ الَّتِي تَحْتَ الْبَاءِ، خِلَافًا لِمَنْ تَوَهَّمَهُ
Makna dari huruf bâ’ terkumpul dalam titiknya. Yang dimaksud dengan titik ini adalah titik awal yang muncul dari pena, yang darinya garis memperoleh bentuknya, bukan titik yang berada di bawah huruf bâ’, sebagaimana yang disalahpahami oleh sebagian orang.
وَمَعْنَاهَا الْإِشَارِيُّ: أَنَّ ذَاتَهُ تَعَالَى نُقْطَةُ الْوُجُودِ الْمُسْتَمَدِّ مِنْهَا كُلُّ مَوْجُودٍ
Makna isyarat dari titik ini adalah bahwa Zat Allah Ta’ala adalah titik asal wujud, dari mana segala sesuatu yang ada mendapatkan keberadaannya.
وَاعْلَمْ أَنَّ الْبَسْمَلَةَ قَدِ اشْتَمَلَتْ عَلَى خَمْسِ كَلِمَاتٍ
Ketahuilah bahwa basmalah mengandung lima kata:
الْأُولَى: الْبَاءُ، وَقَدْ شَرَحَهَا الشَّارِحُ بِذِكْرِ مُتَعَلَّقِهَا، وَمَعْنَاهَا: الِاسْتِعَانَةُ أَوِ الْمُصَاحَبَةُ عَلَى وَجْهِ التَّبَرُّكِ
Pertama: Huruf bâ’, yang telah dijelaskan oleh penjelas (syarh) dengan menyebutkan kaitannya. Makna dari huruf bâ’ adalah: "pertolongan" atau "pendampingan" yang dilakukan untuk tujuan berkah.
وَالْأُولَى جَعْلُهَا لِلْمُصَاحَبَةِ عَلَى الْوَجْهِ الْمَذْكُورِ؛ لِأَنَّ جَعْلَهَا لِلِاسْتِعَانَةِ يُوهِمُ أَنَّ اسْمَهُ تَعَالَى آلَةٌ لِلشَّيْءِ وَفِيهِ إِسَاءَةُ أَدَبٍ، وَإِنْ أُجِيبَ عَنْهُ بِأَنَّ الْمَقْصُودَ أَنَّ الْبَدْءَ فِي الشَّيْءِ مُتَوَقِّفٌ عَلَى اسْمِهِ تَعَالَى كَتَوَقُّفِ الشَّيْءِ عَلَى آلَتِهِ
Pemahaman yang pertama adalah menjadikannya sebagai pendampingan, sebagaimana yang disebutkan. Hal ini lebih tepat, karena jika dianggap sebagai istianah (pertolongan), akan terkesan bahwa nama Allah menjadi alat atau sarana untuk suatu perkara, yang dapat menimbulkan kesan tidak sopan terhadap keagungan-Nya.
Meski demikian, ada yang menjawab bahwa yang dimaksud dengan istianah (pertolongan) adalah bahwa memulai suatu perkara itu bergantung pada nama Allah, sebagaimana sesuatu bergantung pada alatnya untuk terlaksana.
الثَّانِيَةُ: الِاسْمُ، وَلَمْ يُشَرْحْهُ الشَّارِحُ، وَمَعْنَاهُ: مَا دَلَّ عَلَى مُسَمًّى. وَهُوَ مُشْتَقٌّ عِنْدَ الْبَصْرِيِّينَ مِنَ السُّمُوِّ وَهُوَ: الْعُلُوُّ؛ لِأَنَّهُ يَعْلُو مُسَمَّاهُ. فَأَصْلُهُ عِنْدَهُمْ: سُمُوٌّ بِوَزْنِ فُعُلٍ، فَخُفِّفَ بِحَذْفِ عَجْزِهِ وَسُكِّنَ أَوَّلُهُ وَأُتِيَ بِهَمْزَةِ الْوَصْلِ تَوَصُّلًا إِلَى النُّطْقِ بِالسَّاكِنِ فَصَارَ وَزْنُهُ افْعِ
Kedua: "Ism" (nama), yang tidak dijelaskan oleh penjelas (syarh). Maknanya adalah: sesuatu yang menunjukkan pada yang dinamakan. Dalam pandangan orang Basrah, "ism" berasal dari akar kata "sama" yang berarti tinggi atau tinggi kedudukan, karena nama tersebut lebih tinggi dari yang dinamakan. Oleh karena itu, asal kata ism bagi mereka adalah sama', dengan pola "fu'ul", kemudian diringankan dengan menghapus bagian akhir dan mensukunkan huruf pertamanya, serta menambah hamzah wasal agar lebih mudah diucapkan dengan kondisi huruf pertama yang disukun, sehingga menjadi "if'ul".
وَعِنْدَ الْكُوفِيِّينَ مِنْ وَسْمٍ بِمَعْنَى عَلَمٍ؛ لِأَنَّهُ عَلَامَةٌ عَلَى مُسَمَّاهُ. وَإِنَّمَا قُلْنَا ذَلِكَ وَلَمْ نَقُلْ مِنَ السِّمَةِ وَهِيَ الْعَلَامَةُ كَمَا اشْتُهِرَ؛ لِأَنَّ الِاشْتِقَاقَ عِنْدَهُمْ مِنَ الْأَفْعَالِ. فَأَصْلُهُ عِنْدَهُمْ: وَسْمٌ بِوَزْنِ فَعْلٍ، حُذِفَتِ الْوَاوُ وَعُوِّضَ عَنْهَا الْهَمْزَةُ فَصَارَ وَزْنُهُ اعْلِ، فَهُوَ مِنَ الْأَسْمَاءِ الْمَحْذُوفَةِ الْإِعْجَازِ عَلَى الْأَوَّلِ، وَمِنَ الْأَسْمَاءِ الْمَحْذُوفَةِ الصُّدُورِ عَلَى الثَّانِي
Sedangkan menurut orang Kufah, ism berasal dari kata "wism" yang berarti tanda atau simbol, karena nama itu menjadi tanda untuk yang dinamakan. Kami mengatakan demikian dan tidak menggunakan kata "sima" (tanda) sebagaimana yang populer, karena bagi mereka, ishtiqaq (derivasi kata) berasal dari kata kerja. Jadi, asal kata ism bagi mereka adalah "wism" dengan pola "fa'l" yang dihilangkan huruf waw-nya dan digantikan dengan hamzah, sehingga menjadi "i'l".
Dengan demikian, menurut pandangan pertama, ism adalah nama yang telah mengalami perubahan bentuk yang menghilangkan bagian akhirnya, sementara menurut pandangan kedua, ism adalah nama yang dihilangkan bagian depannya (huruf awalnya).
الثَّالِثَةُ: لَفْظُ الْجَلَالَةِ. الرَّابِعَةُ: الرَّحْمَنُ. الْخَامِسَةُ: الرَّحِيمُ، وَقَدْ تَكَلَّمَ عَلَيْهَا الشَّارِحُ
Ketiga: "Lafzhul Jalâlah" (Nama Agung), yang merujuk pada nama Allah yang Maha Esa, yaitu Allah.
Keempat: "Ar-Rahmân (Yang Maha Pengasih), yang menunjukkan sifat kasih sayang Allah yang meliputi seluruh makhluk-Nya tanpa terkecuali.
Kelima: "Ar-Rahîm (Yang Maha Penyayang), yang menunjukkan sifat kasih sayang Allah yang lebih khusus kepada hamba-hamba-Nya yang beriman.
Penjelasan tentang hal ini telah dibahas oleh penjelas (syarh) sebelumnya.
قوله: (ابتدئ) هَذَا بَيَانٌ لِمُتَعَلَّقِ الْبَاءِ بِنَاءً عَلَى أَنَّهَا أَصْلِيَّةٌ. وَقِيلَ: إِنَّهَا زَائِدَةٌ، فَلَا تَتَعَلَّقُ بِشَيْءٍ؛ لِأَنَّ حَرْفَ الْجَرِّ الزَّائِدَ لَا يَتَعَلَّقُ بِشَيْءٍ كَالْبَاءِ فِي: بِحَسْبِكَ دِرْهَمٌ
Kata "ibtidā’": Ini adalah penjelasan mengenai kaitan bâ’ (huruf preposisi) dengan kata yang mengikutinya, berdasarkan anggapan bahwa bâ’ ini adalah huruf yang asli (bukan tambahan). Ada juga yang berpendapat bahwa bâ’ ini adalah zā’idah (tambahan), sehingga tidak terhubung dengan kata apa pun, karena huruf jar tambahan memang tidak berhubungan dengan kata lain, seperti pada contoh dalam "biḥasbika dirhamun" (dengan dirhammu cukup).
وَكَذَلِكَ الشَّبِيهُ بِالزَّائِدِ كَرُبَّ فِي قَوْلِكَ: رُبَّ رَجُلٍ كَرِيمٍ لَقِيتُهُ
Begitu pula dengan kata yang mirip dengan tambahan, seperti "rubb" dalam kalimat "rubb rajulin karīmin laqītu-hu" (ada seorang pria yang mulia yang aku temui), di mana "rubb" ini tidak terhubung langsung dengan kata setelahnya dalam pengertian gramatikal yang ketat.
وَأَقَامَ الْمُتَعَلَّقَ ثَمَانِيَةً؛ لِأَنَّهُ إِمَّا أَنْ يَكُونَ فِعْلًا أَوِ اسْمًا، وَعَلَى كُلٍّ إِمَّا أَنْ يَكُونَ خَاصًّا أَوْ عَامًّا، وَعَلَى كُلٍّ إِمَّا أَنْ يَكُونَ مُقَدَّمًا أَوْ مُؤَخَّرًا
Dan penjelasan mengenai kaitan (muta’alliq): Penjelasan ini menyebutkan bahwa yang bisa berkaitan dengan huruf bâ’ ada delapan kemungkinan, karena yang berkaitan bisa berupa fi‘l (kata kerja) atau ism (kata benda). Dari keduanya, bisa jadi yang berkaitan tersebut khāṣ (spesifik) atau ‘ām (umum), serta bisa jadi yang berkaitan tersebut muqaddam (didahulukan) atau mu’akhkhar (dibelakangkan).
وَالْأُولَى أَنْ يَكُونَ فِعْلًا؛ لِأَنَّ الْأَصْلَ فِي الْعَمَلِ لِلْأَفْعَالِ، وَمَا عَمِلَ مِنَ الْأَسْمَاءِ كَالْمَصْدَرِ وَاسْمِ الْمَصْدَرِ فَهُوَ بِطَرِيقِ الْحَمْلِ عَلَى الْأَفْعَالِ
Menurut penjelasan ini, lebih baik apabila yang berkaitan adalah fi‘l (kata kerja), karena pada dasarnya, dalam bahasa Arab, yang menjadi pokok dalam berbuat (beraksi) adalah af‘āl (kata kerja). Sedangkan kata benda, seperti maṣdar (kata benda yang merujuk pada tindakan) atau ismu-l-maṣdar (nama dari tindakan), dianggap lebih mirip dengan fi‘l dalam hal ini.
وَأَنْ يَكُونَ خَاصًّا؛ لِأَنَّ كُلَّ شَارِعٍ فِي شَيْءٍ يُضْمِرُ فِي نَفْسِهِ لَفْظَ مَا جَعَلَ التَّسْمِيَةَ مَبْدَأً لَهُ. فَالْمُسَافِرُ إِذَا قَالَ: بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، كَانَ الْمَعْنَى: أُسَافِرُ. وَالْآكِلُ إِذَا قَالَ: بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، كَانَ الْمَعْنَى: آكُلُ، وَهَكَذَا.
Dan hendaknya yang berkaitan itu bersifat khusus: Hal ini karena setiap orang yang memulai suatu tindakan biasanya menyertakan dalam dirinya niat untuk melakukan tindakan tertentu. Sebagai contoh, ketika seorang musafir mengatakan "Bismillāh ar-Rahmān ar-Rahīm", yang dimaksudkan adalah "Saya sedang bepergian." Demikian pula, jika seorang yang sedang makan mengucapkan "Bismillāh ar-Rahmān ar-Rahīm", yang dimaksud adalah "Saya sedang makan," dan seterusnya.
وَأَنْ يَكُونَ مُؤَخَّرًا لِيُفِيدَ الْقَصْرَ، أَيْ قَصْرَ إِفْرَادٍ، إِنْ خُوطِبَ بِهِ مَنْ يَعْتَقِدُ الشَّرِكَةَ فِي الْحُكْمِ، فَالْمَقْصُودُ بِهِ الرَّدُّ عَلَى مَنْ يَعْتَقِدُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ أَنَّهُ يُبْتَدَأُ بِأَسْمَاءِ آلِهَتِهِمْ وَاسْمِهِ تَعَالَى، وَهَذَا هُوَ الظَّاهِرُ.
Dan hendaknya yang berkaitan itu tertunda (mu’akhkhar): Tujuannya adalah untuk memberikan penekanan atau pembatasan. Dengan kata lain, untuk menegaskan bahwa yang dimaksudkan hanya tindakan itu saja, terutama apabila berbicara kepada orang yang meyakini adanya kesyirikan dalam penentuan hukum. Jadi, tujuan dari penekanan ini adalah untuk menanggapi keyakinan sebagian kaum musyrikin yang berpendapat bahwa sesuatu harus dimulai dengan nama tuhan mereka dan nama Allah.
Ini adalah pemahaman yang lebih jelas dan tampaknya sesuai dengan maksud dari kalimat tersebut.
أَوْ قَصْرُ الْقَلْبِ، إِنْ خُوطِبَ بِهِ مَنْ يَعْتَقِدُ خِلَافَ الْحُكْمِ، فَالْمَقْصُودُ بِهِ الرَّدُّ عَلَى مَنْ يَعْتَقِدُ مِنَ الْكُفَّارِ أَنَّهُ يُبْتَدَأُ بِاسْمِ غَيْرِهِ تَعَالَى لَا بِاسْمِهِ، وَهَذَا بَعِيدٌ.
Atau membatasi niat (qasru-l-qalb), jika yang diajak bicara adalah orang yang berkeyakinan bertentangan dengan hukum yang benar. Maksud dari ini adalah untuk menanggapi orang-orang kafir yang beranggapan bahwa suatu hal harus dimulai dengan nama selain Allah, bukan dengan nama-Nya. Namun, pandangan ini dianggap kurang tepat atau jauh dari kebenaran.
أَوْ قَصْرُ تَعْيِينٍ، إِنْ خُوطِبَ بِهِ مَنْ يَتَرَدَّدُ فِي الْحُكْمِ، فَالْمَقْصُودُ تَعْيِينُ مَنْ يُبْتَدَأُ بِاسْمِهِ لِمَنْ يَتَرَدَّدُ وَيَشُكُّ هَلْ يُبْتَدَأُ بِاسْمِهِ تَعَالَى أَوْ بِاسْمِ غَيْرِهِ، وَهَذَا بَعِيدٌ أَيْضًا.
Atau pembatasan penentuan (qasru-t-ta‘yīn), jika yang diajak bicara adalah orang yang ragu-ragu mengenai hukum yang tepat. Tujuan dari pembatasan ini adalah untuk menegaskan siapa yang seharusnya dipanggil dalam memulai suatu tindakan, bagi mereka yang masih ragu apakah harus dimulai dengan nama Allah atau nama selain-Nya. Pandangan ini juga dianggap kurang tepat atau jauh dari kebenaran.
وَالشَّارِحُ قَدَّرَهُ فِعْلًا مُؤَخَّرًا. وَفَاتَهُ تَقْدِيرُهُ خَاصًّا، فَكَانَ الْأُولَى أَنْ يَقُولَ: أُؤَلِّفُ لِمَا عَلِمْتَ مِنْ أَنَّ الْأُولَى أَنْ يَكُونَ خَاصًّا وَلِتَعُمَّ الْبَرَكَةُ جَمِيعَ التَّأْلِيفِ، بِخِلَافِهِ عَلَى تَقْدِيرِ أَبْتَدِئُ فَإِنَّ الْبَرَكَةَ خَاصَّةٌ بِالِابْتِدَاءِ.
Dan Ulama Pensyarah dari pembahasan ini menganggapnya sebagai tindakan yang tertunda (mu'akhkhar). Namun, ia lupa untuk mempertimbangkan bahwa sebaiknya hal tersebut dijelaskan secara spesifik (khāṣṣan). Sebaiknya, yang lebih tepat adalah mengatakan "Saya memulai (atau saya melakukan)", karena yang lebih diutamakan adalah menjadikannya sebagai tindakan yang spesifik dan untuk memperluas keberkahan yang mencakup seluruh kegiatan, berbeda dengan hanya menekankan pada awal yang sempit (sebagai tindakan yang spesifik), karena keberkahan hanya akan terbatas pada tindakan memulai saja.
وَأُجِيبَ عَنِ الشَّارِحِ بِأَنَّهُ أَشَارَ إِلَى جَوَازِ تَقْدِيرِهِ عَامًّا وَإِنْ كَانَ الْأُولَى تَقْدِيرُهُ خَاصًّا
Dan dijawab mengenai penjelasan dari sang penulis bahwa ia merujuk pada kemungkinan untuk menganggapnya sebagai tindakan yang umum (ʿāmman), meskipun yang lebih tepat adalah menganggapnya sebagai tindakan yang spesifik (khāṣṣan).
Artinya, meskipun penulis awalnya memberikan opsi untuk menganggapnya sebagai sesuatu yang bersifat umum, tetap lebih utama untuk mempertimbangkan penjelasan yang lebih spesifik, agar keberkahan dapat meliputi seluruh tindakan, bukan hanya terbatas pada awalnya saja.
قوله: (كتابي هذا) الْمُرَادُ بِهِ: الْمَتْنُ؛ لِأَنَّهُ حِكَايَةٌ مِنَ الشَّارِحِ عَنْ لِسَانِ الْمُصَنِّفِ، كَأَنَّهُ يَقُولُ: مُرَادُ الْمُصَنِّفِ ذَلِكَ
Kata "kitābī hādhā" (kitab ini) yang dimaksud adalah: matn (teks utama); karena ini merupakan penggambaran dari sang penulis yang disampaikan melalui penjelasan sang komentator, seolah-olah sang penulis sendiri yang mengatakan bahwa maksudnya adalah demikian.
قوله: (والله اسم للذات) أَيْ بِوَضْعِهِ تَعَالَى؛ لِأَنَّهُ هُوَ الَّذِي سَمَّى نَفْسَهُ بِنَفْسِهِ بِمَا عَلَّمَهُ لِعِبَادِهِ. وَالْأُولَى أَنْ يَقُولَ: وَاللَّهُ عَلَمٌ عَلَى الذَّاتِ؛ لِأَنَّ الِاسْمَ يَشْمَلُ اسْمَ الذَّاتِ وَاسْمَ الصِّفَةِ، وَأَمَّا الْعَلَمُ فَهُوَ خَاصٌّ بِاسْمِ الذَّاتِ.
Kata "wallāh" (dan Allah adalah nama bagi dzat) yang dimaksud adalah: dengan penunjukan dari-Nya sendiri; karena Dia lah yang memberi nama diri-Nya dengan nama yang Dia ajarkan kepada hamba-hamba-Nya.
Namun, lebih tepat jika dikatakan "wallāh ʿalamun ʿalā al-dhāt" (dan Allah adalah sebuah nama yang menunjukkan pada dzat); karena nama (ism) mencakup baik nama bagi dzat maupun nama bagi sifat, sementara ʿalam adalah khusus untuk nama yang menunjukkan pada dzat itu sendiri.
فَهُوَ عَلَمٌ شَخْصِيٌّ جُزْئِيٌّ وَإِنْ كَانَ لَا يُقَالُ ذَلِكَ إِلَّا فِي مَقَامِ التَّعْلِيمِ، وَلَيْسَ فِيهِ غَلَبَةٌ أَصْلًا، لَا تَحْقِيقِيَّةٌ وَلَا تَقْدِيرِيَّةٌ
Maka, ia adalah ʿalamun shakhsiyyun juz'iyyun (sebuah nama yang menunjukkan pada pribadi dan bagian spesifik), meskipun istilah ini tidak digunakan kecuali dalam konteks pengajaran. Dalam hal ini, tidak ada penekanan baik yang hakiki (benar-benar nyata) maupun yang taqdīrī (perkiraan).
Penjelasannya di sini mengarah pada pemahaman bahwa nama Allah adalah nama yang menunjukkan pada dzat-Nya secara spesifik tanpa ada perbedaan penafsiran atau pengertian lain yang melibatkan elemen tambahan.
فَالْأُولَى: أَنْ يَسْبِقَ لِلْكُلِّيِّ اسْتِعْمَالٌ فِي غَيْرِ الْفَرْدِ الَّذِي غَلَبَ عَلَيْهِ، كَالنَّجْمِ فَإِنَّهُ اسْمٌ لِكُلِّ كَوْكَبٍ لَيْلِيٍّ، ثُمَّ غَلَبَ عَلَى الثُّرَيَّا بَعْدَ سَبْقِ اسْتِعْمَالِهِ فِي غَيْرِهَا
"Yang pertama: bahwa suatu istilah umum (kuliy) telah lebih dulu digunakan untuk selain individu tertentu yang kemudian menjadi dominan penggunaannya. Contohnya adalah kata an-najm (bintang), yang awalnya merupakan nama untuk setiap bintang malam, kemudian menjadi dominan sebagai nama untuk gugusan bintang ats-Tsura (Pleiades), setelah sebelumnya digunakan untuk yang lain."
وَالثَّانِيَةُ: أَنْ لَا يَسْبِقَ لِلْكُلِّيِّ اسْتِعْمَالٌ فِي غَيْرِ الْفَرْدِ الَّذِي غَلَبَ عَلَيْهِ، لَكِنْ يُقَدَّرُ ذَلِكَ، كَالْإِلَهِ الْمُعَرَّفِ بِأَلْ، فَإِنَّهُ لَمْ يُسْتَعْمَلْ فِي غَيْرِهِ تَعَالَى، ثُمَّ غَلَبَ عَلَيْهِ بَعْدَ تَقْدِيرِ اسْتِعْمَالِهِ فِي غَيْرِهِ
"Yang kedua: bahwa istilah umum (kuliy) tidak lebih dulu digunakan untuk selain individu tertentu yang menjadi dominan penggunaannya, tetapi penggunaannya untuk selain itu hanya dianggap (secara teoretis). Contohnya adalah kata al-Ilah yang didefinisikan dengan alif lam (al-), yang tidak pernah digunakan untuk selain Allah Ta'ala, namun menjadi dominan untuk-Nya setelah dianggap penggunaannya untuk selain-Nya."
وَأَمَّا لَفْظُ الْجَلَالَةِ فَلَيْسَ فِيهِ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ عَلَى التَّحْقِيقِ، وَاللَّهُ وَلِيُّ التَّوْفِيقِ
"Adapun lafaz Allah (lafz al-jalalah), tidak terdapat salah satu dari hal tersebut secara pasti. Dan Allah adalah pemberi taufik."
قوله: (الواجب الوجود) هَذَا بَيَانٌ وَتَعْيِينٌ لِلْمُسَمَّى وَلَيْسَ مُعْتَبَرًا مِنَ الْمُسَمَّى، وَإِلَّا لَكَانَ الْمُسَمَّى مَجْمُوعَ الذَّاتِ وَالصِّفَةِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ، بَلِ الْمُسَمَّى هُوَ الذَّاتُ وَحْدَهَا
"Ucapan: 'Yang wajib wujudnya' adalah penjelasan dan penentuan bagi sesuatu yang dinamai, dan bukan bagian yang dianggap sebagai inti dari sesuatu yang dinamai. Jika tidak demikian, maka yang dinamai akan menjadi gabungan antara zat dan sifat, sedangkan kenyataannya tidak demikian. Sebaliknya, yang dinamai hanyalah zat itu sendiri."
وَمَعْنَى كَوْنِهِ وَاجِبَ الْوُجُودِ: أَنَّهُ لَا يَجُوزُ عَلَيْهِ الْعَدَمُ، فَلَا يَسْبِقُهُ عَدَمٌ وَلَا يَلْحَقُهُ عَدَمٌ. وَخَرَجَ بِذَلِكَ وَاجِبُ الْعَدَمِ كَالشَّرِيكِ، وَجَائِزُ الْوُجُودِ وَالْعَدَمِ وَهُوَ الْمُمْكِنُ، فَإِنَّهُ جَائِزُ الْوُجُودِ وَالْعَدَمِ لِذَاتِهِ
"Makna dari keberadaannya yang wajib (wajibul wujud) adalah bahwa keberadaannya tidak mungkin mengalami ketiadaan; tidak didahului oleh ketiadaan dan tidak diikuti oleh ketiadaan. Dengan demikian, yang keluar dari kategori ini adalah sesuatu yang wajib tidak ada (wajibul ‘adam), seperti sekutu (bagi Allah), dan sesuatu yang mungkin ada atau tidak ada (jaizul wujud wal ‘adam), yaitu mumkin (sesuatu yang mungkin), karena keberadaan dan ketiadaannya dimungkinkan oleh zatnya."
وَإِنْ كَانَ وَاجِبَ الْوُجُودِ لِغَيْرِهِ كَالْمُمْكِنِ الَّذِي عَلِمَ اللَّهُ وُجُودَهُ فِي وَقْتٍ كَذَا، فَإِنَّهُ وَاجِبُ الْوُجُودِ لِتَعَلُّقِ عِلْمِهِ بِذَلِكَ لَا لِذَاتِهِ بَلْ لِغَيْرِهِ
"Dan jika sesuatu itu merupakan wajibul wujud (wajib ada) karena selain dirinya, seperti sesuatu yang mungkin (mumkin) yang Allah ketahui keberadaannya pada waktu tertentu, maka keberadaannya menjadi wajibul wujud karena terkait dengan ilmu-Nya tentang hal tersebut, bukan karena zatnya sendiri, melainkan karena selain dirinya."
وَإِنَّمَا لَمْ يَقُلْ: الْمُسْتَحِقُّ لِجَمِيعِ الْمَحَامِدِ؛ إِشَارَةً إِلَى أَنَّ هَذَا كَافٍ فِي الْمَعْنَى؛ لِأَنَّهُ يَلْزَمُ مِنْ كَوْنِهِ وَاجِبَ الْوُجُودِ أَنَّهُ مُسْتَحِقٌّ لِجَمِيعِ الْمَحَامِدِ
"Dan sebab tidak dikatakan: Yang berhak atas segala pujian, adalah sebagai isyarat bahwa penyebutan ini sudah cukup dalam menyampaikan makna, karena dari keberadaannya yang wajibul wujud otomatis dapat dipahami bahwa Dia berhak atas segala pujian."
وَالْأَوَّلُ إِشَارَةٌ إِلَى صِفَاتِ التَّنْزِيهِ، وَالثَّانِي إِشَارَةٌ إِلَى صِفَاتِ الْكَمَالِ. فَتَقْدِيمُهُ عَلَيْهِ فِي عِبَارَةِ بَعْضِهِمْ مِنْ قَبِيلِ تَقْدِيمِ التَّخْلِيَةِ عَلَى التَّحْلِيَةِ
"Yang pertama merupakan isyarat kepada sifat-sifat tanzih (penyucian), dan yang kedua merupakan isyarat kepada sifat-sifat kesempurnaan. Pendahuluan penyebutan sifat tanzih atas sifat kesempurnaan dalam ungkapan sebagian ulama adalah termasuk kategori mendahulukan takhliyah (pengosongan) sebelum tahliyah (penghiasan)."
قوله: (والرحمن أبلغ من الرحيم) أَيْ لِأَنَّ زِيَادَةَ الْمَبْنِيِّ تَدُلُّ عَلَى زِيَادَةِ الْمَعْنَى غَالِبًا. فَالْأَوَّلُ مَعْنَاهُ: الْمُنْعِمُ بِجَلَائِلِ النِّعَمِ، وَالثَّانِي مَعْنَاهُ: الْمُنْعِمُ بِدَقَائِقِهَا.
"Ucapan: 'Ar-Rahman lebih mendalam maknanya dibandingkan Ar-Rahim' maksudnya adalah karena tambahan dalam bentuk kata biasanya menunjukkan tambahan dalam makna. Maka, makna yang pertama (Ar-Rahman) adalah Yang memberikan nikmat-nikmat besar, sedangkan makna yang kedua (Ar-Rahim) adalah Yang memberikan nikmat-nikmat kecil (halus)."
وَجُمِعَ بَيْنَهُمَا؛ إِشَارَةً إِلَى أَنَّهُ يَنْبَغِي طَلَبُ النِّعَمِ الْجَلِيلَةِ وَالْحَقِيرَةِ مِنْهُ تَعَالَى. وَخَرَجَ بِغَالِبًا، نَحْوُ: حَذِرٌ وَحَاذِرٌ، فَإِنَّ الْأَوَّلَ أَبْلَغُ مِنَ الثَّانِي؛ لِأَنَّ الْأَوَّلَ صِفَةٌ مُشَبَّهَةٌ وَهِيَ تَدُلُّ عَلَى الدَّوَامِ وَالِاسْتِمْرَارِ، وَالثَّانِي اسْمُ فَاعِلٍ وَهُوَ لَا يَدُلُّ إِلَّا عَلَى الِاتِّصَافِ بِالشَّيْءِ وَلَوْ مَرَّةً
"Dan keduanya digabungkan untuk menunjukkan bahwa seharusnya kita memohon nikmat yang besar maupun yang kecil dari-Nya. Ini berbeda dengan penggunaan kata yang lebih kuat, seperti contoh: hazirun (hati-hati) dan hadhir (yang hati-hati), karena yang pertama lebih mendalam maknanya daripada yang kedua. Sebab yang pertama adalah kata sifat yang menunjukkan kesinambungan dan keberlanjutan, sementara yang kedua adalah kata benda yang hanya menunjukkan adanya sifat tersebut, meskipun hanya sekali."
وَاعْلَمْ أَنَّ الرَّحْمَنَ الرَّحِيمَ صِفَتَانِ مُشَبَّهَتَانِ بُنِيَتَا لِلْمُبَالَغَةِ مِنْ مَصْدَرِ (رَحِمَ)، بَعْدَ تَنْزِيلِهِ مَنْزِلَةَ اللَّازِمِ أَوْ نَقْلِهِ مِنْ (فَعِلَ) بِالْكَسْرِ عَلَى (فَعُلَ) بِالضَّمِّ. فَلَا يَرِدُ مَا يُقَالُ: إِنَّ الصِّفَةَ الْمُشَبَّهَةَ لَا تُصَاغُ مِنَ الْمُتَعَدِّي، وَرَحِمَ مُتَعَدٍّ، فَإِنَّهُ يُقَالُ: (رَحِمَكَ اللَّهُ)
"Ketahuilah bahwa Ar-Rahman dan Ar-Rahim adalah dua sifat yang menyerupai (mujarrad) yang dibentuk untuk penguatan dari kata dasar rahima (memberi rahmat), setelah diposisikan setara dengan kata yang tidak dapat dipisahkan (lazim), atau dengan mengubahnya dari bentuk fa'ila (dengan harakat kasrah) menjadi fa'ul (dengan harakat dammah). Oleh karena itu, tidaklah tepat apa yang dikatakan bahwa sifat yang menyerupai tidak dapat dibentuk dari kata kerja yang transitif, padahal rahima adalah kata kerja transitif, seperti dalam ungkapan rahimakallah (semoga Allah memberikan rahmat kepadamu)."
قوله: (الحمد لله) لَمْ يُعْطَفْهَا عَلَى الْبَسْمَلَةِ؛ إِشَارَةً إِلَى اسْتِقْلَالِ كُلٍّ مِنْهُمَا فِي حُصُولِ التَّبَرُّكِ بِهِ. وَ(أل) فِي الْحَمْدِ إِمَّا لِلِاسْتِغْرَاقِ أَوْ لِلْجِنْسِ أَوْ لِلْعَهْدِ
"Ucapan: Alhamdulillah tidak dihubungkan dengan Bismillah; ini menunjukkan bahwa masing-masing dari keduanya memiliki kedudukan tersendiri dalam memperoleh berkah. Adapun al dalam kata al-hamd bisa digunakan untuk menunjukkan salah satu dari tiga makna: bisa untuk istigraq (menggambarkan makna yang menyeluruh), untuk al-jins (untuk menyatakan jenisnya), atau untuk al-‘ahd (untuk merujuk pada sesuatu yang sudah diketahui atau tertentu)."
وَاللَّامُ فِي (لله) إِمَّا لِلِاسْتِحْقَاقِ أَوْ لِلِاخْتِصَاصِ أَوْ لِلْمُلْكِ. وَالْأُولَى أَنْ تَكُونَ (أل) لِلْجِنْسِ وَاللَّامُ لِلِاخْتِصَاصِ. فَالْمَعْنَى حِينَئِذٍ: جِنْسُ الْحَمْدِ مُخْتَصٌّ بِاللَّهِ
"Dan lam dalam kata Lillah bisa digunakan untuk menunjukkan salah satu dari tiga makna: untuk istihqaq (hak untuk menerima), untuk ikhtisas (khusus untuk), atau untuk mulk (kepemilikan). Yang paling tepat adalah bahwa al- dalam al-hamd menunjukkan al-jins (jenis), dan lam menunjukkan ikhtisas (khusus). Maka, makna yang terkandung pada saat itu adalah: jenis pujian itu hanya khusus untuk Allah."
وَيَلْزَمُ مِنِ اخْتِصَاصِ الْجِنْسِ اخْتِصَاصُ الْإِفْرَادِ؛ إِذْ لَوْ خَرَجَ فَرْدٌ مِنْهَا لِغَيْرِهِ لَخَرَجَ الْجِنْسُ فِي ضِمْنِهِ، فَهُوَ فِي قُوَّةِ أَنْ يُدَّعَى أَنَّ الْإِفْرَادَ مُخْتَصَّةٌ بِاللَّهِ بِدَلِيلِ اخْتِصَاصِ الْجِنْسِ بِهِ، فَهُوَ كَدَعْوَى الشَّيْءِ بِبَيِّنَةٍ
"Dan dari pengkhususan jenis (al-jins) maka mengikuti pengkhususan individu (al-ifrad); karena jika ada individu yang keluar dari kategori tersebut untuk selain-Nya, maka jenis itu akan keluar juga bersama dengan individu tersebut. Maka, dapat dikatakan bahwa individu itu hanya khusus untuk Allah, berdasarkan pengkhususan jenis tersebut untuk-Nya, dan ini seperti klaim yang dibuktikan dengan bukti yang jelas."
فَالدَّعْوَى هِيَ اخْتِصَاصُ الْأَفْرَادِ، وَالْبَيِّنَةُ هِيَ اخْتِصَاصُ الْجِنْسِ. وَالْمَشْهُورُ أَنَّ جُمْلَةَ الْحَمْدَلَةِ خَبَرِيَّةٌ لَفْظًا إِنْشَائِيَّةٌ مَعْنًى، وَيَصِحُّ أَنْ تَكُونَ خَبَرِيَّةً لَفْظًا مَعْنًى؛ لِأَنَّ الْإِخْبَارَ بِالْحَمْدِ حَمْدٌ، فَيَحْصُلُ الْحَمْدُ بِهَا وَإِنْ قُصِدَ بِهَا الْإِخْبَارُ
"Jadi, klaim itu adalah pengkhususan individu-individu, dan bukti itu adalah pengkhususan jenis. Yang terkenal adalah bahwa ungkapan alhamdulillah secara lisan adalah kalimat berita, tetapi secara makna adalah kalimat pernyataan. Dan sah juga jika dianggap sebagai kalimat berita baik secara lisan maupun makna, karena memberi kabar tentang pujian itu sendiri adalah pujian, sehingga pujian tercapai melalui kalimat tersebut meskipun tujuannya adalah untuk memberi informasi."
وَأَرْكَانُ الْحَمْدِ خَمْسَةٌ: حَامِدٌ، وَمَحْمُودٌ، وَمَحْمُودٌ بِهِ، وَمَحْمُودٌ عَلَيْهِ، وَالصِّيغَةُ
"Dan rukun-rukun pujian ada lima: yang memuji (hamid), yang dipuji (mahmud), yang dipuji dengan sesuatu (mahmud bihi), yang dipuji atas sesuatu (mahmud alayhi), dan bentuk kalimatnya (sighah)."
فَإِذَا قُلْتَ: زَيْدٌ عَالِمٌ لِكَوْنِهِ أَكْرَمَكَ، فَأَنْتَ حَامِدٌ، وَزَيْدٌ مَحْمُودٌ، وَالْعِلْمُ مَحْمُودٌ بِهِ، وَالْكَرَمُ مَحْمُودٌ عَلَيْهِ، وَالصِّيغَةُ هِيَ قَوْلُكَ: زَيْدٌ عَالِمٌ
"Jika Anda mengatakan: 'Zaid adalah seorang yang alim karena dia telah memuliakan Anda', maka Anda adalah orang yang memuji (hamid), Zaid adalah yang dipuji (mahmud), ilmu adalah yang dipuji dengan itu (mahmud bihi), dan kebaikan (karam) adalah yang dipuji atasnya (mahmud alayhi), sementara bentuk kalimatnya adalah: 'Zaid adalah seorang yang alim'.
.فَإِذَا قُلْتَ: زَيْدٌ عَالِمٌ لِكَوْنِهِ أَكْرَمَكَ، فَأَنْتَ حَامِدٌ، وَزَيْدٌ مَحْمُودٌ، وَالْعِلْمُ مَحْمُودٌ بِهِ، وَالْكَرَمُ مَحْمُودٌ عَلَيْهِ، وَالصِّيغَةُ هِيَ قَوْلُكَ: زَيْدٌ عَالِمٌ
Jika Anda mengatakan: 'Zaid adalah seorang yang alim karena dia telah memuliakan Anda', maka Anda adalah orang yang memuji (hamid), Zaid adalah yang dipuji (mahmud), ilmu adalah yang dipuji dengan itu (mahmud bihi), dan kebaikan (karam) adalah yang dipuji atasnya (mahmud alayhi), sementara bentuk kalimatnya adalah: 'Zaid adalah seorang yang alim'.
وَالْمَحْمُودُ بِهِ وَالْمَحْمُودُ عَلَيْهِ قَدْ يَخْتَلِفَانِ ذَاتًا وَاعْتِبَارًا كَمَا فِي هَذَا الْمِثَالُ، وَقَدْ يَتَّحِدَانِ ذَاتًا وَيَخْتَلِفَانِ اعْتِبَارًا كَمَا إِذَا قُلْتَ: زَيْدٌ كَرِيمٌ لِكَوْنِهِ أَكْرَمَكَ، فَالمَحْمُودُ بِهِ الْكَرَمُ مِنْ حَيْثُ إِنَّهُ مَدْلُولُ الصِّيغَةِ، وَالمَحْمُودُ عَلَيْهِ الْكَرَمُ مِنْ حَيْثُ أَنَّهُ بَاعِثٌ عَلَى الْحَمْدِ
Yang dipuji dengan itu (mahmud bihi) dan yang dipuji atasnya (mahmud alayhi) dapat berbeda dalam hal zat dan aspek, seperti dalam contoh ini. Kedua hal ini juga bisa bersatu dalam zat dan berbeda dalam aspek, seperti ketika Anda mengatakan: 'Zaid adalah seorang yang mulia karena dia telah memuliakan Anda'. Dalam hal ini, yang dipuji dengan itu adalah kebaikan (karam) dari segi makna yang ditunjukkan oleh bentuk kalimat, dan yang dipuji atasnya adalah kebaikan (karam) dari segi dia yang menjadi penyebab pujian.
وَاعْلَمْ أَنْ أَفْضَلَ الْمَحَامِدِ: الْحَمْدُ لِلَّهِ حَمْدًا يُوَافِي نِعْمَهُ وَيُكَافِئُ مَزِيدَهُ. فَلَوْ حَافَّ أَوْ نَذَرَ لِيَحْمَدَنَّ اللَّهَ بِأَفْضَلِ الْمَحَامِدِ بَرَّ بِذَٰلِكَ. وَإِنَّمَا لَمْ يَأْتِ بِهِ الْمُصَنِّفُ اقْتِصَارًا عَلَى مَا بَدَأَ بِهِ اللَّهُ كِتَابَهُ الْعَزِيزَ.
Dan ketahuilah bahwa pujian yang paling utama adalah pujian kepada Allah dengan pujian yang sesuai dengan nikmat-Nya dan membalas tambahan nikmat-Nya. Maka, jika seseorang bersumpah atau bernazar untuk memuji Allah dengan pujian terbaik, dia wajib menepati itu. Dan hal ini tidak disebutkan oleh penulis sebagai bentuk ringkasan dari apa yang telah dimulai oleh Allah dalam kitab-Nya yang mulia."
قَوْلُهُ: (هُوَ) أَيِ لُغَةً. وَأَمَّا عُرْفًا: فَهُوَ فِعْلٌ يَنْبِئُ عَنْ تَعْظِيمِ الْمُنْعِمِ بِسَبَبِ كُونِهِ مَنِعْمًا عَلَى الْحَامِدِ أَوْ غَيْرِهِ
"Ucapan 'Huwa' (dia) menurut bahasa adalah demikian. Adapun menurut kebiasaan (istilah), itu adalah suatu tindakan yang menunjukkan pengagungan terhadap pemberi nikmat karena sifat-Nya yang memberikan nikmat kepada yang memuji atau selainnya.
وَكَذَٰلِكَ الشُّكْرُ لُغَةً، لَكِنْ بِإِبْدَالِ الْحَامِدِ بِالْشَّاكِرِ، سَوَاءً كَانَ عَمَلًا بِالْأَرْكَانِ أَوْ قَوْلًا بِاللِّسَانِ؛ لِأَنَّهُ عَمَلٌ لِسَانِيٌّ، أَوْ اعْتِقَادًا بِالْجَنَانِ، كَمَا قَالَ بَعْضُهُمْ:
Begitu pula dengan syukur, menurut bahasa, namun dengan mengganti kata al-hamid (yang memuji) dengan al-shakir (yang bersyukur). Ini bisa berupa tindakan dengan anggota tubuh atau perkataan dengan lisan; karena ia adalah amalan lisan, atau berupa keyakinan dalam hati, seperti yang dikatakan oleh sebagian orang:
أَفَادَتْكُمْ النِّعْمَاءُ مِنِّي ثَلاثَةٌ * يَدِي وَلِسَانِي وَالضَّمِيرُ الْمُحَجَّبَا
"Telah memberi manfaat kepada kalian tiga hal dariku: tanganku, lisanku, dan hatiku yang tersembunyi."
فَإِنْ قِيلَ: لَا إِطِّلَاعَ لَنَا عَلَى الْإِعْتِقَادِ، فَكَيْفَ يَنْبِئُ عَنْ تَعْظِيمِ الْمُنْعِمِ؟ أُجِيبُ: بِأَنَّهُ يُطَّلَعُ عَلَيْهِ بِالْقَرَائِنِ كَقِيَامِهِ لَهُ وَوَضْعِ يَدِهِ عَلَى رَأْسِهِ تَعْظِيمًا لَهُ. فَيَجْتَمِعُ حِينَئِذٍ حَمْدَانِ، فَالْحَمْدُ الْأَوَّلُ هُوَ الْقِيَامُ مَثَلًا دَالٌّ عَلَى الْحَمْدِ الثَّانِيِ وَهُوَ الْإِعْتِقَادُ. وَبِأَنَّهُ يُطَّلَعُ عَلَيْهِ بَعْضُ أَرْبَابِ الْبَصَائِرِ، وَبِأَنَّهُ يَنْبِئُ لَوْ اطَّلَعَ عَلَيْهِ
"Jika dikatakan: 'Kami tidak dapat mengetahui tentang keyakinan (al-i'tiqad)', lalu bagaimana bisa itu menunjukkan pengagungan terhadap pemberi nikmat? Maka jawabannya adalah: 'Keyakinan itu dapat diketahui melalui petunjuk-petunjuk, seperti contohnya saat seseorang berdiri untuknya atau meletakkan tangannya di atas kepalanya sebagai bentuk penghormatan. Maka, dalam hal ini, terdapat dua pujian; pujian pertama adalah berdiri, yang menunjukkan pujian kedua, yaitu keyakinan. Selain itu, itu juga dapat diketahui oleh sebagian orang yang memiliki wawasan (basa'ir), dan juga menunjukkan seandainya mereka mengetahuinya.'
وَأَمَّا الشُّكْرُ اِصْطِلاَحًا، فَهُوَ: صَرْفُ الْعَبْدِ جَمِيعَ مَا أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِ بِهِ مِنْ سَمْعٍ وَبَصَرٍ وَغَيْرِهِمَا فِيمَا خُلِقَ لِأَجْلِهِ
Adapun syukur secara istilah, yaitu: mengarahkan semua nikmat yang diberikan Allah kepada hamba-Nya, seperti pendengaran, penglihatan, dan lainnya, untuk tujuan yang telah diciptakan-Nya."
قَوْلُهُ: (الثَّنَاءُ) بِتَقْدِيمِ الْمُثَلَّثَةِ عَلَى النُّونِ مَمْدُودًا، وَهُوَ: الذِّكْرُ بِخَيْرٍ. وَقِيلَ: الإِتْيَانُ بِمَا يَدُلُّ عَلَى اتِّصَافِ الْمَحْمُودِ بِالْصِّفَاتِ الْجَمِيلَةِ
"Ucapan 'ath-thanaa' (pujian) dengan mendahulukan huruf tha (مثلثة) daripada nun (ن) yang dipanjangkan, yaitu: menyebutkan dengan kebaikan. Ada yang mengatakan: yaitu menyebutkan apa yang menunjukkan adanya sifat-sifat indah pada yang dipuji.
فَعَلَى الْأَوَّلِ لَا حَاجَةَ لِزِيَادَةِ بَعْضِهِمْ بِاللِّسَانِ؛ لِأَنَّ الذِّكْرَ لَا يَكُونُ إِلَّا بِاللِّسَانِ فَهُوَ بَيَانٌ لِلْوَاقِعِ
Menurut pendapat pertama, tidak diperlukan tambahan dari sebagian mereka dengan lisan, karena menyebutkan (thanaa) itu tidak hanya dilakukan dengan lisan, tetapi merupakan penjelasan terhadap kenyataan yang ada.
وَعَلَى الثَّانِيِ لَا بُدَّ مِنْ زِيَادَةِ ذَٰلِكَ؛ لِأَنَّ الإِتْيَانَ أَعَمُّ مِنْ أَنْ يَكُونَ بِاللِّسَانِ أَوْ بِغَيْرِهِ، فَهُوَ عَلَى هَذَا قَيْدٌ مُعْتَبَرٌ
Sedangkan menurut pendapat kedua, perlu ada tambahan tersebut, karena at-tiyaan (datang) itu lebih umum dari sekedar dilakukan dengan lisan atau selainnya, jadi pada pendapat ini ada syarat yang perlu dipertimbangkan.
وَأَمَّا النَّثَا بِتَقْدِيمِ النُّونِ عَلَى الْمُثَلَّثَةِ فَهُوَ الذِّكْرُ بِالشَّرِّ
Adapun an-nathaa' (penyebutan keburukan) dengan mendahulukan nun daripada tha adalah menyebutkan keburukan."
قَوْلُهُ: (عَلَى اللَّهِ تَعَالَى) اعْتُرِضَ عَلَيْهِ بِأَنَّهُ لَا حَاجَةَ إِلَى هَذَا التَّقْيِيدِ بَلْ هُوَ مَضَرٌّ لِإِخْرَاجِ حَمْدِ بَعْضِ الْمَخْلُوقِينَ لِبَعْضٍ
"Ucapan 'Ala Allah Ta'ala' (atas Allah Yang Maha Tinggi), telah dibantah oleh sebagian orang yang mengatakan bahwa tidak perlu adanya pembatasan ini, bahkan hal itu dapat merugikan dengan mengesampingkan pujian sebagian makhluk terhadap sebagian lainnya.
وَأُجِيبُ: بِأَنَّهُ إِنَّمَا قُيِّدَ بِذَٰلِكَ لِكَوْنِهِ أَرَادَ تَعْرِيفَ حَمْدِ اللَّهِ لَا مُطْلَقًا؛ لِأَنَّ الْمَقَامَ مَقَامُ حَمْدِ اللَّهِ تَعَالَى، وَبِأَنَّ الْحَمْدَ فِي الْحَقِيقَةِ رَاجِعٌ إِلَيْهِ تَعَالَى وَإِنْ كَانَ لِغَيْرِهِ صُورَةً؛ لِأَنَّهُ هُوَ الْمَوْلَى لِلنِّعَمِ كُلِّهَا. فَجَمِيعُ الْمَحَامِدِ لَهُ تَعَالَى لَكِنْ يَنْبَغِي شُكْرُ مَنْ جَرَتْ عَلَى يَدِهِ النِّعَمُ، وَلِذَٰلِكَ وَرَدَ: لَمْ يَشْكُرِ اللَّهَ مَنْ لَمْ يَشْكُرِ النَّاسَ أَوْ كَمَا قَالَ.
Dan jawabannya adalah: Sesungguhnya pembatasan ini dilakukan karena maksudnya adalah untuk menjelaskan pujian kepada Allah, bukan pujian secara umum. Karena tempat ini adalah tempat pujian kepada Allah Yang Maha Tinggi. Dan pujian yang sebenarnya pada hakikatnya kembali kepada-Nya, meskipun tampaknya untuk selain-Nya. Karena Dia adalah Pemilik segala nikmat. Maka segala pujian pada akhirnya untuk-Nya, tetapi seharusnya ada terima kasih kepada orang yang menjadi perantara nikmat tersebut. Oleh karena itu, disebutkan: "Tidaklah seseorang bersyukur kepada Allah jika ia tidak bersyukur kepada manusia", atau sebagaimana yang disebutkan."
قَوْلُهُ: (بِالْجَمِيلِ) إِنْ كَانَتِ الْبَاءُ لِلْتَّعْدِيَةِ كَانَ بَيَانًا لِلْمَحْمُودِ بِهِ وَهُوَ لَا يُشْتَرَطُ فِيهِ كُونُهُ احْتِيَارِيًّا، حَتَّى لَوْ قُلتَ: زَيْدٌ حَسَنٌ أَوْ جَمِيلُ الْوَجْهِ لِكَوْنِهِ أَكْرَمَكَ، كَانَ حَمْدًا وَإِنْ كَانَ الْمَحْمُودُ بِهِ الَّذِي هُوَ الْحُسْنُ أَوْ جَمَالُ الْوَجْهِ قَهْرِيًّا. وَأُورِدَ عَلَى الشَّارِحِ أَنَّهُ لَا حَاجَةَ حِينَئِذٍ لِقَوْلِهِ: بِالْجَمِيلِ بَعْدَ
"Ucapan 'bil-jamil' (dengan kebaikan), jika huruf 'ba' digunakan untuk memperluas makna (ta'diyah), maka hal itu menjelaskan tentang yang dimaksud oleh pujian, yaitu tidak diwajibkan keinginan untuk memilihnya. Bahkan jika kamu berkata: 'Zaid itu baik atau indah wajahnya karena telah menghormati kamu', maka itu tetap bisa dianggap sebagai pujian meskipun yang dipuji adalah keindahan atau kecantikan wajah yang terjadi secara paksa.
Seorang komentator mendebat bahwa tidak ada kebutuhan untuk mengucapkan 'bil-jamil' setelahnya jika huruf 'ba' tersebut digunakan untuk menjelaskan makna kebaikan yang memang terjadi secara paksa."
قَوْلُهُ: الثَّنَاءُ، بِنَاءً عَلَى رَأْيِ الْجُمُهُورِ أَنَّ الثَّنَاءَ لَا يَكُونُ إِلَّا فِي الْخَيْرِ، لَا عَلَى رَأْيِ ابْنِ عَبْدِ السَّلَامِ: أَنَّهُ يَكُونُ فِي الْخَيْرِ وَفِي الشَّرِّ، وَعَلَيْهِ لَا بُدَّ مِنَ التَّقْيِيدِ بِقَوْلِنَا: بِالْجَمِيلِ
"Ucapan 'ath-thana' (pujian), berdasarkan pendapat mayoritas, bahwa pujian itu hanya bisa diberikan untuk kebaikan, tidak seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Abd al-Salam, yang berpendapat bahwa pujian bisa diberikan baik untuk kebaikan maupun keburukan. Oleh karena itu, harus ada pembatasan dengan menggunakan kata 'bil-jamil' (dengan kebaikan).
وَأُجِيبُ: بِأَنَّهُ لَمْ يَكْتَفِ بِدَلَالَةِ الْإِلْتِزَامِ؛ لِأَنَّهَا مَهْجُورَةٌ فِي التَّعَارِيفِ عَلَى أَنْ الثَّنَاءَ قَدْ يُسْتَعْمَلُ فِي الشَّرِّ مُشَاكَلَةً كَمَا فِي الْحَدِيثِ. وَهُوَ أَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَيْهِ بِجَنَازَةٍ فَأَثْنَوْا عَلَيْهَا خَيْرًا، فَقَالَ: «وَجَبَتْ». ثُمَّ مَرَّ عَلَيْهِ بِأُخْرَى فَأَثْنَوْا عَلَيْهَا شَرًّا، فَقَالَ: «وَجَبَتْ». فَقَالُوا: وَمَا وَجَبَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ فَقَالَ: «أَمَّا الْأُوْلَى فَوَجَبَتْ -أي الْجَنَّةَ-؛ لِأَنَّكُمْ أَثْنَيْتُمْ عَلَيْهَا خَيْرًا، وَأَمَّا الثَّانِيَةُ فَوَجَبَتْ -أي النَّارَ-؛ لِأَنَّكُمْ أَثْنَيْتُمْ عَلَيْهَا شَرًّا» أَوْ كَمَا قَالَ
Adapun jawabannya adalah bahwa ia tidak cukup hanya dengan menunjukkan keharusan (kewajiban), karena hal itu sudah jarang digunakan dalam definisi, sebab pujian memang dapat digunakan dalam konteks keburukan, yang disebutkan dalam hadits. Diceritakan bahwa Nabi Muhammad ﷺ melewati sebuah jenazah dan orang-orang memuji jenazah tersebut dengan kebaikan, maka beliau berkata: 'Wajiblah (surga untuknya).' Kemudian beliau melewati jenazah lainnya, dan orang-orang memuji jenazah itu dengan keburukan, maka beliau berkata: 'Wajiblah (neraka untuknya).' Mereka bertanya, 'Apa yang dimaksud dengan 'wajib' wahai Rasulullah?' Maka beliau menjawab: 'Adapun yang pertama, maka wajiblah (surga) karena kalian memujinya dengan kebaikan, dan yang kedua wajiblah (neraka) karena kalian memujinya dengan keburukan,' atau sebagaimana beliau mengatakan."
وَأُورِدَ عَلَيْهِ أَيْضًا أَنَّهُ حِينَئِذٍ أَخْلَ بِذِكْرِ الْمَحْمُودِ عَلَيْهِ. وَأُجِيبُ: بِأَنَّهُ تَرَكَهُ لِلْخِلَافِ فِيهِ أَنَّهُ هَلْ يُشْتَرَطُ أَنْ يَكُونَ إِخْتِيَارِيًّا كَمَا هُوَ رَأْيُ الْجُمُهُورِ؟ أَوْ لَا كَمَا هُوَ رَأْيُ الزَّمَخْشَرِيِّ؟ وَلِذَٰلِكَ جَعَلَ الْحَمْدَ وَالْمَدْحَ أَخَوَيْنِ
"Dijawab pula bahwa dalam hal ini, tidak disebutkan secara langsung mengenai al-mahmud 'alayh (yang dipuji). Jawabannya adalah bahwa hal tersebut ditinggalkan karena adanya perbedaan pendapat apakah pujian harus bersifat pilihan (ikhtiyariyyah), sebagaimana yang diyakini oleh mayoritas, ataukah tidak, sebagaimana yang dipegang oleh al-Zamakhshari. Oleh karena itu, beliau menganggap bahwa al-hamd (pujian) dan al-madh (pujian yang lebih luas) adalah dua hal yang berhubungan.
وَإِنْ كَانَتِ الْبَاءُ لِلسَّبَبِيَّةِ أَوْ بِمَعْنَى عَلَى كَانَ بَيَانًا لِلْمَحْمُودِ عَلَيْهِ. فَقَوْلُ الْبَرْمَاوِيِّ: وَإِنْ كَانَتِ الْبَاءُ سَبَبِيَّةً، فَالْمَرَادُ: الْمَحْمُودُ بِهِ غَيْرُ ظَاهِرٍ؛ لِأَنَّ بَاءَ السَّبَبِيَّةِ تُؤَدِّي مُؤَدَّى الَّتِي بِمَعْنَى عَلَى، فَقَوْلُهُ: وَهُوَ حَسَنٌ، لَيْسَ بِحَسَنٍ. وَاسْتُشْكِلَ كَوْنُ الْمَحْمُودِ عَلَيْهِ لَا بُدَّ أَنْ يَكُونَ اخْتِيَارِيًّا عِندَ الْجُمُهُورِ بِالْحَمْدِ عَلَى ذَاتِهِ تَعَالَى وَصِفَاتِهِ. فَإِنَّ ذَاتَهُ تَعَالَى وَصِفَاتِهِ لَا يُقَالُ لَهَا اخْتِيَارِيَّةٌ كَمَا لَا يُقَالُ لَهَا إِضْطِرَارِيَّةٌ. وَأُجِيبُ: بِأَنَّ الْمَرَادَ اخْتِيَارِيًّا حَقِيقَةً أَوْ حُكْمًا. وَالْمَرَادُ بِالثَّانِيِ: مَا كَانَ مَنْشَأً لِأَفْعَالٍ اخْتِيَارِيَّةٍ كَذَاتِهِ تَعَالَى وَصِفَاتِ التَّأْثِيرِ كَالْقُدْرَةِ وَمَا كَانَ مُلَازِمًا لِلْمَنْشَأِ كَبَقِيَّةِ الصِّفَاتِ. وَبِأَنَّ الْمَرَادَ: الْإِخْتِيَارِيِّ مَا لَيْسَ إِضْطِرَارِيًّا، فَيَشْمَلُ ذَاتَهُ تَعَالَى وَصِفَاتِهِ. وَالْمَرَادُ: الْجَمِيلُ عِندَ الْحَامِدِ أَوِ الْمَحْمُودِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ جَمِيلًا عِندَ الشَّارِعِ فَيَشْمَلُ مَا لَوْ أَثْنَى عَلَيْهِ بِالْقَتْلِ، كَمَا فِي قَوْلِهِ:
Jika al-ba' (ب) dalam kalimat ini digunakan untuk menunjukkan sebab (sebab yang mempengaruhi), maka itu menunjukkan hubungan dengan al-mahmud 'alayh (yang dipuji). Apa yang disampaikan oleh al-Barmawi, bahwa meskipun al-ba' menunjukkan sebab, maksudnya adalah bahwa yang dipuji itu tidak selalu tampak jelas. Sebab al-ba' yang menunjukkan sebab memiliki makna yang mirip dengan 'ala (atas) dalam hal ini.
Berkaitan dengan pertanyaan mengenai apakah al-mahmud 'alayh (yang dipuji) harus bersifat pilihan menurut pendapat mayoritas, khususnya dalam pujian kepada Allah, jawabannya adalah bahwa hal itu tidak dimaksudkan untuk menjadi ikhtiyariyyah dalam arti literal atau secara hukum. Yang dimaksudkan di sini adalah bahwa ikhtiyariyyah mengacu pada sesuatu yang muncul dari tindakan pilihan atau kehendak bebas, sementara dalam hal sifat-sifat Allah seperti kemampuan atau atribut yang melekat pada-Nya, kita tidak menyebutnya ikhtiyariyyah karena tidak ada unsur paksaan yang terlibat dalam sifat-sifat-Nya.
Dengan demikian, maksud dari al-jamil (keindahan) adalah apa yang dilihat oleh al-hamid (yang memuji) atau yang dipuji, meskipun tidak selalu dikategorikan sebagai jamil (indah) dalam pandangan syariat. Ini mencakup hal-hal yang mungkin dilihat sebagai pujian meskipun pada dasarnya tindakan itu buruk, seperti dalam ungkapan:
نَهَبْتُ مِنَ الْأَعْمَارِ مَا لَوْ حَوَيْتَهُ * لَهَنَّأَتِ الدُّنْيَا بِأَنْكَ خَالِدٌ
'Saya merampok dari harta yang jika kamu memilikinya, dunia akan terasa bahagia karena kamu abadi', yang menunjukkan bahwa pujian bisa diterima dalam berbagai konteks, bahkan yang tidak diinginkan."
وَلَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ ذَٰلِكَ الْجَمِيلُ مِنَ الْفَضَائِلِ، وَهُوَ: النِّعَمُ الْقَاصِرَةُ كَالصَّلَاةِ، أَوْ مِنَ الْفَاضِلِ. وَهِيَ: النِّعَمُ الْمُتَعَدِّيَةُ كَالْكَرَمِ، وَلِذَٰلِكَ يَقُولُونَ: سَوَاءً تَعَلَّقَ بِالْفَضَائِلِ أَمْ بِالْفَاضِلِ.
“Dan tidak ada perbedaan apakah keindahan itu berasal dari keutamaan, yaitu nikmat yang bersifat terbatas seperti shalat, atau dari kebaikan yang lebih utama, yaitu nikmat yang bersifat meluas seperti kemurahan hati. Karena itu, mereka berkata bahwa hal tersebut sama saja, baik terkait dengan keutamaan maupun dengan kebaikan yang lebih utama.
قَوْلُهُ: (عَلَى جِهَةِ التَّعْظِيمِ) جِهَةٌ هِيَ التَّعْظِيمُ. فَعَلَى بِمَعْنَى مَعٍ، وَالْإِضَافَةُ لِلْبَيَانِ. وَالْعَطْفُ فِي قَوْلِ بَعْضِهِمْ عَلَى جِهَةِ التَّبْجِيلِ، وَالتَّعْظِيمُ لِلتَّفْسِيرِ. وَالْمَرَادُ: التَّعْظِيمُ وَلَوْ ظَاهِرًا بِأَنْ لَا يَصْدُرَ عَنْ الْجَوَارِحِ مَا يُحَالفُهُ. فَلِذَٰلِكَ أَقْحَمَ لَفْظَ جِهَةٍ، فَهُوَ إِشَارَةٌ إِلَى أَنَّهُ لَا يُشْتَرَطُ التَّعْظِيمُ بِالْفِعْلِ، بَلِ الشَّرْطُ عَدَمُ الْمُنَافِي. فَإِنْ صَدَرَ عَنْ الْجَوَارِحِ مَا يُخَالِفُهُ كَمَا لَوْ قُلتَ لِزَيْدٍ: أَنتَ عَلَامٌ وَضَرَبْتُهُ بِالْقَلَمِ، فَذَٰلِكَ اسْتِهْزَاءٌ وَسُخْرِيَةٌ. لِزَيْدٍ: أَنتَ عَلَمٌ وَضَرَبْتُهُ بِالْقَلَمِ فَذَٰلِكَ اسْتِهْزَاءٌ وَسُخْرِيَةٌ.
Ucapannya, ‘atas dasar pengagungan’, maksudnya adalah sikap pengagungan. Kata ‘atas’ di sini bermakna ‘bersama’, dan bentuk penambahannya untuk penjelasan. Penghubungan dalam ungkapan sebagian mereka, ‘atas dasar penghormatan dan pengagungan’, dimaksudkan sebagai tafsir. Yang dimaksud adalah pengagungan, bahkan meskipun hanya secara lahiriah, yaitu dengan tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengannya dari anggota badan. Oleh karena itu, ia menambahkan kata ‘dengan dasar’, yang menunjukkan bahwa pengagungan tidak harus dilakukan melalui perbuatan, tetapi syaratnya adalah tidak adanya sesuatu yang bertentangan. Jika terdapat sesuatu dari anggota badan yang bertentangan dengannya, seperti misalnya seseorang berkata kepada Zaid, ‘Engkau orang yang pandai’, lalu memukulnya dengan pena, maka itu adalah ejekan dan penghinaan.
قَوْلُهُ (رَبُّ): أَصْلُهُ رَابِبٌ بِنَاءً عَلَىٰ أَنَّهُ إِسْمٌ فَاعِلٌ فَحُذِفَتِ الْأَلِفُ وَأَدْغِمَتِ الْبَاءُ، وَيَصِحُّ أَنْ يَكُونَ صِفَةً مُشَبَّهَةً فَلَا حَذْفَ وَهُوَ مِنَ التَّرْبِيَةِ؛ وَهِيَ تَبْلِيغُ الشَّيْءِ حَالًا فَحَالًا إِلَىٰ الْحَدِّ الَّذِي أَرَادَهُ الْمُرَبِّي.
Ucapannya, ‘Tuhan (Rabb)’: Asal katanya adalah Raabib, berdasarkan bahwa itu adalah isim fa’il (kata benda pelaku). Huruf alif dihilangkan dan huruf ba didengungkan (digandakan). Bisa juga dianggap sebagai sifat yang menyerupai (sifat musyabbahah), sehingga tidak ada penghapusan, yang berasal dari kata tarbiyah (pendidikan atau pemeliharaan); yaitu menyampaikan sesuatu dari satu keadaan ke keadaan lainnya hingga mencapai tingkat yang diinginkan oleh yang memelihara.
وَيَخْتَصُّ الْمَحَلِّيُّ بِالْأَلِ وَهُوَ الرَّبُّ بِاللَّهِ بِخِلافِ الْمُضَافِ لِغَيْرِ الْعَاقِلِ كَمَا فِي قَوْلِهِمْ: رَبُّ الدَّارِ، وَأَمَّا الْمُضَافُ لِلْعَاقِلِ فَهُوَ مُخْتَصٌّ كَمَا يَدُلُّ لَهُ مَا وَرَدَ فِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ: لَا يَقُلْ أَحَدُكُمْ رَبِّي بَلْ سَيِّدِي وَمَوْلَايَ، أَي لَا يَقُلْ أَحَدُكُمْ عَلَىٰ اللَّهِ تَعَالَىٰ رَبِّي بَلْ سَيِّدِي وَمَوْلَايَ،
Kata Rabb yang diawali dengan alif lam (al-Rabb) khusus untuk Allah, berbeda dengan kata Rabb yang disandarkan kepada yang tidak berakal, seperti dalam ungkapan Rabb ad-Dar (pemilik rumah). Adapun jika disandarkan kepada yang berakal, maka itu juga khusus, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits sahih Muslim: ‘Janganlah salah seorang dari kalian mengatakan kepada Allah: Rabbku, tetapi katakanlah: Sayyidku dan Maulaku.’ Maksudnya, janganlah salah seorang dari kalian mengatakan kepada Allah Ta'ala: Rabbku, tetapi katakanlah: Sayyidku dan Maulaku.
وَلَا يَرُدُّ قَوْلُ سَيِّدِنَا يُوْسُفُ عَلَيْهِ السَّلَامُ: (إِنَّهُ رَبِّي أَحْسَنَ مَثْوَاهُ) لِأَنَّهُ مُخْتَصٌّ بِزَمَانِهِ كَالسُّجُودِ لِغَيْرِهِ تَعَالَىٰ فَكَانَ ذَٰلِكَ جَائِزًا فِي شَرِيعَتِهِ
Hal ini tidak bertentangan dengan ucapan Nabi Yusuf as: ‘Sesungguhnya dia (majikan)ku telah memperlakukanku dengan baik,’ karena itu khusus pada zamannya, sebagaimana sujud kepada selain Allah Ta'ala yang diperbolehkan dalam syariatnya.
قَوْلُهُ (أَيّ مَالِكٍ): إِنَّمَا سَمَّىٰ الْمَالِكُ بِالرَّبِّ لِأَنَّهُ يُرَبِّي مَا يَمْلِكُهُ، وَقَدْ أَتَىٰ الرَّبُّ لِمَعَانٍ نَظَّمَهَا بَعْضُهُمْ فِي قَوْلِهِ
Ucapannya, ‘maksudnya pemilik’: Kata Rabb disebut pemilik karena ia memelihara apa yang dimilikinya. Kata Rabb memiliki beberapa makna yang dirangkum oleh sebagian ulama dalam ungkapannya...”
قَرِيبٌ مُحِيطٌ مَالِكٌ وَمُدَبِّرٌ ... مُرَبٌّ كَثِيرُ الْخَيْرِ وَالْمَوْلَىٰ لِلتَّعْمِيمِ
Dekat, meliputi, pemilik, dan pengatur,
Pemelihara yang banyak kebaikan, dan pemimpin bagi segala hal.
وَخَالِقُنَا الْمَعْبُودُ جَابِرٌ كَسْرَنَا ... وَمُصْلِحُنَا وَالصَّاحِبُ الثَّابِتُ الْقَدَمِ
Pencipta kita, yang disembah, penyembuh luka kita,
Yang memperbaiki keadaan kita, dan sahabat yang teguh pendiriannya.
وَجَامِعُنَا وَالسَّيِّدُ احْفَظْ فَهَذِهِ ... مَعَانٍ أَتَتْ لِلرَّبِّ فَادْعُ لِمَنْ نَظَّمَ
Yang menghimpun kita, pemimpin agung, ingatlah ini:
Makna-makna ini datang untuk kata Rabb, maka doakanlah bagi yang telah merangkumnya.
رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَىٰ. قَوْلُهُ (الْعَالَمِينَ): أَصْلُهُ مِنَ الْعَلَامَةِ كَمَا قَالَهُ أَبُو عُبَيْدَةٍ، لِأَنَّهُ مَا مِنْ نَوْعٍ مِنَ الْعَالَمِ إِلَّا وَفِيهِ عَلَامَةٌ عَلَىٰ وُجُودِ خَالِقِهِ أَوْ مِنَ الْعِلْمِ كَمَا قَالَهُ غَيْرُهُ، فَيَخْتَصُّ بِأُوْلِي الْعِلْمِ وَهُوَ الإِنسُ وَالْجِنُّ وَالْمَلَائِكَةُ لِاخْتِصَاصِ الْعِلْمِ بِهِمْ
Semoga Allah Ta'ala merahmatinya.
Ucapannya, “Al-‘Ālamīn”: Asal katanya dari al-‘alāmah (tanda), sebagaimana yang dikatakan oleh Abu ‘Ubaidah, karena tidak ada satu jenis makhluk pun di alam ini melainkan mengandung tanda yang menunjukkan keberadaan Penciptanya. Atau berasal dari al-‘ilm (ilmu), sebagaimana yang dikatakan oleh selainnya, sehingga maknanya dikhususkan untuk para pemilik ilmu, yaitu manusia, jin, dan malaikat, karena ilmu itu khusus bagi mereka.
قَوْلُهُ (بِفَتْحِ اللَّامِ): احْتِرَازٌ مِنَ الْعَالَمِينَ بِكَسْرِ اللَّامِ، فَإِنَّهُ جَمْعُ عَالَمٍ بِالْكَسْرِ أَيْضًا، وَلَيْسَ مَرَادًا هُنَا. قَوْلُهُ (هُوَ): أَي لَفْظُ الْعَالَمِينَ. قَوْلُهُ (كَمَا قَالَ ابْنُ مَالِكٍ): أَي فِي قَوْلِهِ
Ucapannya, “dengan fathah pada huruf lām”: Ini adalah peringatan untuk membedakannya dari kata al-‘Ālamīn dengan kasrah pada huruf lām, yang merupakan bentuk jamak dari ‘Ālim (orang berilmu) dengan kasrah, dan itu bukan yang dimaksud di sini. Ucapannya, “dia adalah”: Maksudnya adalah lafaz al-‘Ālamīn. Ucapannya, “sebagaimana yang dikatakan oleh Ibn Mālik”: Yakni dalam ucapannya:
أُوْلُو وَعَالِمُونَ عَلِيُّونَ ... وَأَرْضُونَ شُذٌّ وَالسَّنُونَا
Ūlū wa ‘Ālimūn, ‘Aliyyūn... wa Arḍūn syudhdzun wa as-sinūnā.
وَيُعْتَرَضُ عَلَيْهِ بِأَنَّ فِيهِ اتِّحَادَ الْمُشَبَّهِ وَالْمُشَبَّهِ بِهِ، لِأَنَّ الْمُشَبَّهَ هُوَ أَنَّ الْعَالَمِينَ اسْمٌ جَمْعٌ، وَالْمُشَبَّهِ بِهِ وَهُوَ مَا قَالَهُ ابْنُ مَالِكٍ كَذَلِكَ
Dan ada keberatan terhadapnya bahwa dalam hal ini terjadi penyatuan antara musyabbah (yang diserupakan) dan musyabbah bih (yang menjadi perumpamaan), karena musyabbah adalah bahwa kata al-‘Ālamīn adalah isim jamak, sedangkan musyabbah bih adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Ibn Mālik, yaitu sama-sama isim jamak.
وَيُجَابُ بِأَنَّهُمَا يَخْتَلِفَانِ بِالنِّسْبَةِ لِلْقَائِلِ، فَالأوَّلُ بِاعتِبَارِ أَنَّهُ مَقُولٌ لِلشَّارِحِ بِاعتِبَارِ أَنَّهُ مَقُولٌ لِابْنِ مَالِكٍ، وَهَذَا كَافٍ فِي اخْتِلَافِ الْمُشَبَّهِ وَالْمُشَبَّهِ بِهِ. وَهَذَا الْاعْتِرَاضُ وَالْجَوَابُ يَجْرِيَانِ فِي مِثْلِ هَذِهِ الْعِبَارَةِ
Keberatan ini dijawab dengan mengatakan bahwa keduanya berbeda berdasarkan sudut pandang yang dikatakan. Yang pertama dipandang sebagai pernyataan dari penjelas (syārih), sedangkan yang kedua dipandang sebagai pernyataan dari Ibn Mālik. Perbedaan sudut pandang ini cukup untuk membedakan antara musyabbah dan musyabbah bih.
Keberatan dan jawaban seperti ini berlaku untuk ungkapan-ungkapan serupa.
قَوْلُهُ (إِسْمُ جَمْعٍ) أَيِ دَالٌّ عَلَى الْجَمَاعَةِ كَدَلَالَةِ الْمُرَكَّبِ عَلَى أَجْزَائِهِ كَقُومٍ وَرَهْطٍ. وَأَمَّا الْجَمْعُ فَهُوَ مَا دَلَّ عَلَى الْآحَادِ الْمُجْتَمِعَةِ كَدَلَالَةِ تَكْرَارِ الْوَاحِدِ بِحَرْفِ اَلْعَطْفِ كَالزَّيْدَيْنِ كَقَوْلِهِ: جَاءَ الزَّيْدُونَ، فَإِنَّهُ فِي قُوَّةِ جَاءَ زَيْدٍ وَزَيْدٍ وَزَيْدٍ
Ucapannya, "Isim jamak": Artinya menunjuk kepada kelompok sebagaimana petunjuk sesuatu yang tersusun pada bagian-bagiannya, seperti kata qawm (kaum) dan rahth (kelompok). Adapun jamak adalah sesuatu yang menunjukkan kesatuan individu secara bersamaan, seperti menunjukkan pengulangan satuan dengan huruf penghubung, misalnya az-zaydain (dua Zaid). Sebagaimana dalam ucapannya: Jā’a az-zaydūn (Zaid-Zaid datang), yang setara maknanya dengan Jā’a Zayd wa Zayd wa Zayd (Zaid dan Zaid dan Zaid datang).
وَإِسْمُ الْجِنْسِ الإِفْرَادِيِّ؛ مَا دَلَّ عَلَى الْمَاهِيَّةِ بِلا قَيْدٍ أَيِ مِنْ غَيْرِ دَلَالَةٍ عَلَى قِلَّةٍ أَوْ كَثْرَةٍ كَمَاءٍ وَتُرَابٍ، وَإِسْمُ الْجِنْسِ الْجَمْعِيِّ؛ مَا دَلَّ عَلَى الْمَاهِيَّةِ بِقَيْدِ الْجَمَاعَةِ كَتَمْرٍ
Isim jenis individual: Adalah yang menunjuk kepada esensinya tanpa tambahan batasan, yaitu tanpa menunjukkan sedikit atau banyak, seperti mā’ (air) dan turāb (tanah).
Isim jenis jamak: Adalah yang menunjuk kepada esensinya dengan batasan kelompok, seperti tamr (kurma).
وَالْتَحْقِيقُ أَنَّ الْعَالَمِينَ جَمْعٌ لِعَالِمٍ لِأَنَّهُ كَمَا يُطْلَقُ عَلَى مَا سِوَى اللَّهِ عَلَى كُلِّ جِنْسٍ، وَعَلَى كُلِّ نَوْعٍ وَصِنْفٍ، فَيُقَالُ عِلْمُ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ وَعَالَمُ الْجِنِّ وَعَالَمُ الْمَلَائِكَةِ. وَبِهَذَا الْإِطْلَاقِ يَصِحُّ جَمْعُهُ عَلَى عَالَمِينَ لَكِنَّهُ جَمْعٌ لَمْ يَسْتَوْفِ الشُّرُوطَ، لِأَنَّهُ يُشْتَرَطُ فِي الْمُفْرَدِ أَنْ يَكُونَ عِلْمًا أَوْ صِفَةً، وَعَالِمٌ لَيْسَ بِعِلْمٍ وَلَا صِفَةٍ
Penjelasan tentang "al-‘Ālamīn": Sesungguhnya al-‘Ālamīn adalah bentuk jamak dari ‘ālam karena kata ini digunakan untuk menunjuk kepada segala sesuatu selain Allah, baik pada setiap jenis, kelompok, atau spesies. Misalnya, disebut ‘ālam al-ins (alam manusia), ‘ālam al-jinn (alam jin), dan ‘ālam al-malā’ikah (alam malaikat). Dengan pemahaman ini, penggunaan bentuk jamak al-‘Ālamīn adalah sah, meskipun bentuk jamaknya belum memenuhi syarat, karena salah satu syarat jamak adalah bahwa bentuk tunggalnya harus berupa nama atau sifat. Sedangkan ‘ālam bukanlah nama atau sifat.
بَلْ قِيلَ إِنَّهُ جَمْعٌ اسْتَوْفَى الشُّرُوطَ، لِأَنَّهُ الْعِلْمُ فِي مَعْنَى الصِّفَةِ لِأَنَّهُ عَلاَمَةٌ عَلَى وُجُودِ خَالِقِهِ. وَقَدْ نَصَّ عَلَى ذَلِكَ جَمَاعَةٌ مِّنْهُمْ شَيْخُ الْإِسْلَامِ فِي شَرْحِ الشَّافِيَةِ
Namun, ada yang mengatakan bahwa ‘ālamīn adalah jamak yang memenuhi syarat karena secara makna ‘ālam mengandung pengertian sifat, yakni sebagai tanda keberadaan Penciptanya. Pandangan ini ditegaskan oleh sejumlah ulama, termasuk Syaikhul Islam dalam penjelasannya tentang asy-Syāfiyah.
قَوْلُهُ (خَاصٌّ بِمَنْ يَعْقِلُ) وَالْرَّاجِحُ أَنَّهُ شَامِلٌ لِلْعَاقِلِ وَغَيْرِهِ تَغْلِيبًا لِلْعَاقِلِ عَلَى غَيْرِهِ، أَوْ تَنْزِيلًا لِغَيْرِ الْعَاقِلِ مَنْزِلَةَ الْعَاقِلِ
Ucapannya, "Khusus untuk yang berakal": Pendapat yang lebih kuat adalah bahwa al-‘Ālamīn mencakup yang berakal maupun tidak berakal, dengan alasan pengutamaan (taghlīb) bagi yang berakal atas yang tidak berakal, atau dengan memperlakukan yang tidak berakal seolah-olah seperti yang berakal.
قَوْلُهُ (لَا جَمْعٌ) عَطْفٌ عَلَى قَوْلِهِ إِسْمُ جَمْعٍ، وَقَدْ عَلِمْتَ أَنَّ التَّحْقِيقَ أَنَّهُ جَمْعٌ
Ucapannya, "Bukan jamak": Merupakan sambungan dari ucapannya tentang isim jamak. Namun, telah dijelaskan sebelumnya bahwa hakikatnya al-‘Ālamīn adalah jamak.
قَوْلُهُ (بِفَتْحِ الْلَّامِ) احْتِرَازٌ مِنْ عَالِمٍ بِكَسْرِهَا، وَقَدْ تَقَدَّمَ أَنَّهُ يُجْمَعُ عَلَى عَالَمِينَ بِكَسْرِهَا
Ucapannya, "dengan fathah pada huruf lām": Untuk membedakannya dari ‘ālim dengan kasrah pada huruf lām, yang sebelumnya telah dijelaskan bahwa bentuk jamaknya adalah ‘ālamīn dengan kasrah.
قَوْلُهُ (لِأَنَّهُ) أَيِ عَالِمٌ بِفَتْحِ الْلَّامِ
Ucapannya, "karena itu": Maksudnya, ‘ālam dengan fathah pada huruf lām.
وَقَوْلُهُ إِسْمُ عَامٍّ الخ: قَدْ عَلِمْتَ أَنَّهُ كَمَا يُطْلَقُ بِهَذَا الْإِطْلَاقِ يُطْلَقُ عَلَى كُلِّ جِنْسٍ وَعَلَى كُلِّ نَوْعٍ وَصِنْفٍ، وَبِهَذَا الْإِطْلَاقِ يَصِحُّ جَمْعُهُ
Ucapannya, "isim umum, dan seterusnya": Sebagaimana yang telah dijelaskan, kata ‘ālam bisa digunakan secara umum untuk setiap jenis, kelompok, dan spesies, dan dengan pemahaman ini, penggunaan bentuk jamak adalah sah.
وَقَوْلُهُ: وَالْجَمْعُ خَاصٌّ بِمَنْ يَعْقِلُ أَي فِيلْزَمُ أَنْ يَكُونَ الْمُفْرَدُ أَعْمَّ مِنْ جَمْعِهِ وَهُوَ بَاطِلٌ، وَقَدْ يُقَالُ هَذَا كَمْ يُبْطِلُ كَوْنَهُ جَمْعًا يُبْطِلُ كَوْنَهُ إِسْمَ جَمْعٍ، لِأَنَّهُ لَا يَصِحُّ أَنْ يَكُونَ كُلٌّ مِنْ الْجَمْعِ وَإِسْمِ الْجَمْعِ أَخَصَّ مِنْ مُفْرَدِهِ
Ucapannya, "jamak khusus untuk yang berakal": Artinya, bentuk tunggalnya harus lebih umum daripada bentuk jamaknya, yang mana hal ini tidak benar. Bahkan, bisa dikatakan bahwa argumen ini tidak hanya membatalkan statusnya sebagai jamak, tetapi juga membatalkan statusnya sebagai isim jamak, karena tidak mungkin baik jamak maupun isim jamak lebih khusus daripada bentuk tunggalnya.
قَوْلُهُ (وَصَلَّى اللَّهُ الخ) أَتَى بِالْعَاطِفِ هُنَا إِشَارَةً إِلَى عَدَمِ الاسْتِقْلاَلِ، وَإِنَّمَا ظَهَرَ الْعَطْفُ إِذَا جَعَلْنَا كُلًّا مِنَ الْجُمْلَتَيْنِ خَبَرِيَّتَيْنِ لَفْظًا إِنْشَائِيَّتَيْنِ مَعْنًى، بِخِلَافِ مَا لَوْ جَعَلْتَ جُمَلَةَ الْحَمْدَلَةِ خَبَرِيَّةً لَفْظًا وَمَعْنًى. فَإِنَّ الصَّحِيحَ عَدَمَ جَوَازِ عَطْفِ الْإِنْشَاءِ عَلَى الإِخْبَارِ كَعَكْسِهِ، فَتَجْعَلُ الْوَاوَ لِلِاسْتِئْنَافِ.
Ucapannya, "Waṣallā Allāh...": Penyebutan kata penghubung (wawu) di sini mengisyaratkan adanya hubungan dan ketergantungan antara pernyataan sebelumnya dan berikutnya. Penggunaan penghubung ini menjadi jelas jika kita memandang kedua kalimat sebagai kalimat berita secara lafaz, tetapi memiliki makna sebagai doa (insha’iyah). Berbeda halnya jika kita memandang kalimat hamdalah sebagai kalimat berita baik dari sisi lafaz maupun makna, maka menurut pendapat yang sahih, tidak dibolehkan menghubungkan (‘athaf) antara kalimat berita dengan kalimat doa, sebagaimana juga tidak boleh sebaliknya. Dalam hal ini, wawu digunakan untuk menunjukkan awal kalimat baru (istinaf).
وَالصَّلَاةُ مِنَ اللَّهِ الرَّحْمَةُ الْمَقْرُونَةُ بِالتَّعْظِيمِ، وَمِنَ الْمَلَائِكَةِ الاسْتِغْفَارُ وَمِنْ غَيْرِهِمُ التَّضَرُّعُ وَالدُّعَاءُ، وَدَخَلَ فِي الْغَيْرِ جَمِيعُ الْحَيَوَانَاتِ وَالْجَمَادَاتِ، فَإِنَّهُ وَرَدَ أَنَّهَا صَلَّتْ وَسَلَّمَتْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا صَرَّحَ بِهِ الْعَلَّامَةُ الْحَلَبِيُّ فِي سِيرَتِهِ، كَالْعَلَّامَةِ الشَّتَوَانِيِّ فِي شَرْحِ الْبَسْمَلَةِ خِلَافًا لِمَنْ مَنَعَ ثُبُوتَ الصَّلَاةِ مِنَ الْحَيَوَانَاتِ وَالْجَمَادَاتِ
Makna shalawat:
Dari Allah, shalawat berarti rahmat yang disertai penghormatan.
Dari para malaikat, berarti permohonan ampunan.
Dari selainnya, termasuk makhluk hidup dan benda mati, berarti permohonan dan doa.
Semua makhluk, termasuk hewan dan benda mati, juga bershalawat dan mengucapkan salam kepada Nabi Muhammad ﷺ sebagaimana dinyatakan oleh Al-‘Allāmah Al-Halabī dalam kitab Sirah-nya, serta Al-‘Allāmah Asy-Syathawānī dalam syarahnya tentang Basmala. Hal ini bertentangan dengan pendapat yang menyangkal adanya shalawat dari hewan dan benda mati.
وَعَلَى هَذَا فَهِيَ مِنْ قَبِيلِ الْمُشْتَرَكِ اشْتِرَاكًا لَفْظِيًّا؛ وَهُوَ مَا اتَّحَدَ لَفْظُهُ وَتَعَدَّدَ مَعْنَاهُ كَلَفْظِ عَيْنٍ، فَإِنَّهُ وُضِعَ لِلْبَاصِرَةِ بِوَضْعٍ وَلِلْجَارِيَةِ بِوَضْعٍ، وَلِلذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ بِوَضْعٍ هَكَذَا،
Makna shalawat termasuk dalam kategori lafaz musytarak (ishtirāk lafẓī), yaitu lafaz yang memiliki bentuk yang sama tetapi memiliki makna yang berbeda. Contoh lain dari lafaz musytarak adalah kata ‘ayn yang dapat bermakna mata (penglihatan), mata air (air yang mengalir), emas, atau perak, tergantung pada konteksnya.
وَاخْتَارَ ابْنُ هِشَامٍ مُغْنِيَّهُ أَنَّ مَعْنَاهُ وَاحِدٌ وَهُوَ الْعَطْفُ
Ibnu Hisyam dalam kitab Mughni Al-Labīb berpendapat bahwa makna penghubung (‘athaf) pada lafaz tersebut adalah satu, yaitu hubungan yang melibatkan keterkaitan secara kontekstual dan semantik.
بِفَتْحِ الْعَيْنِ، لَكِنَّهُ يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الْعَاطِفِ، فَهُوَ بِنِسْبَةٍ لِلَّهِ الرَّحْمَةُ وَبِالنِّسْبَةِ لِلْمَلَائِكَةِ الْإِسْتِغْفَارُ إِلَى آخِرِهِ. وَعَلَى هَذَا فَهِيَ مِنْ قَبِيلِ الْمُشْتَرَكِ اشْتِرَاكًا مَعْنَوِيًّا؛ وَهُوَ مَا اتَّحَدَ لَفْظُهُ وَمَعْنَاهُ، وَاشْتَرَكَتْ فِيهِ أَفْرَادُهُ كَأَسَدٍ، فَإِنَّهُ لَفْظُهُ وَاحِدٌ وَمَعْنَاهُ وَاحِدٌ، وَهُوَ الْحَيَوَانُ الْمُفْتَرِسُ وَاشْتَرَكَتْ فِيهِ أَفْرَادُهُ
Makna shalawat dengan ‘ain yang difathahkan: Lafaz shalawat memiliki makna yang berbeda bergantung pada yang melakukan (‘āṭif):
Dari Allah, artinya rahmat.
Dari para malaikat, artinya permohonan ampunan.
Dari selainnya, maknanya adalah doa dan permohonan.
Dengan demikian, shalawat termasuk dalam jenis lafaz musytarak maknawi (ishtirāk ma‘nawī), yaitu lafaz yang bentuk dan maknanya satu tetapi dapat digunakan oleh berbagai subjek, seperti kata asad yang bermakna satu (hewan buas), tetapi berlaku untuk setiap individu hewan dalam kategori itu.
وَلَمْ يَأْتِ ٱلْمُصَنِّفُ بِالسَّلاَمِ لِكَوْنِهِ مِنَ ٱلْمُتَقَدِّمِينَ ٱلَّذِينَ لَا يَرَوْنَ كَرَاهَةَ الْإِفْرَادِ. وَرَجَّحَ النُّوَوِيُّ وَمَنْ تَبِعَهُ مِنَ ٱلْمُتَأَخِّرِينَ كَرَاهَةَ ٱلْإِفْرَادِ بِشُرُوطٍ ثَلاثَةٍ: الْأُوَّلُ: أَنْ يَكُونَ مِنَّا، بِخِلاَفِ مَا إِذَا كَانَ مِنْهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّهُ حَقُّهُ. الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ فِي غَيْرِ الْوَارِدِ، أَمَّا فِيهِ فَلَا يَكْرَهُ الْإِفْرَادُ. الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ مِنْ غَيْرِ دَاخِلِ الْحُجْرَةِ الشَّرِيفَةِ، أَمَّا هُوَ فَيَقْتَصِرُ عَلَى السَّلاَمِ بِأَنْ يَقُولَ بِأَدَبٍ وَخُشُوعٍ: السَّلاَمُ عَلَيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَلَا يَكْرَهُ فِي حَقِّهِ الْإِفْرَادُ. وَقَدْ أَتَى الشَّارِحُ بِالسَّلاَمِ لِكَوْنِهِ مِنَ ٱلْمُتَأَخِّرِينَ
Dan Musannif tidak menyertakan salam (dalam penulisan kitabnya): Karena Penulis kitab termasuk kalangan ulama terdahulu (mutaqaddimīn) yang tidak memandang adanya kemakruhan dalam memisahkan shalawat dari salam (ifrād). Namun, Imam Nawawi dan ulama mutaakhkhirin lainnya merajihkan (menguatkan) pendapat bahwa memisahkan shalawat dari salam adalah makruh dengan tiga syarat:
Dilakukan oleh umat Rasulullah ﷺ
Jika shalawat itu berasal dari Rasulullah ﷺ sendiri, maka tidak ada kemakruhan karena itu merupakan hak beliau.
Dilakukan di luar konteks yang telah masyhur dalam syariat
Jika pemisahan tersebut terjadi dalam situasi atau ucapan yang telah diriwayatkan secara khusus dalam hadis, maka tidak dimakruhkan.
Dilakukan di luar al-ḥujrah al-syarīfah
Ketika berada di makam suci Rasulullah ﷺ (ḥujrah syarīfah), seseorang cukup mengucapkan salam dengan sopan dan penuh khusyuk, misalnya: "As-salāmu ‘alayka yā Rasūlallāh." Dalam keadaan ini, pemisahan antara shalawat dan salam tidak dianggap makruh.
Penulis syarah (komentator) menyertakan salam dalam tulisannya karena ia termasuk kalangan ulama mutaakhkhirin yang memandang pemisahan shalawat dari salam tidak dianjurkan.
وَالسَّلاَمُ بِمَعْنَىٰ التَّسْلِيمِ؛ وَهُوَ التَّحِيَّةُ أَوِ السَّلاَمَةُ مِنَ النَّقَائِصِ، قَالَ بَعْضُهُمْ: وَإِثْبَاتُ الصَّلَاةِ وَالسَّلاَمِ فِي صَدْرِ الْكُتُبِ وَالرِّسَالَاتِ حَدَثَ فِي زَمَانِ وِلَايَةِ بَنِي هَاشِمٍ ثُمَّ مَضَى الْعَمَلُ بِهِ اِسْتِحْبَابًا، وَمِنَ الْعُلَمَاءِ مَنْ يَخْتِمُ بِهِمَا كِتَابَهُ أَيْضًا فَيَجْمَعُ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ رَجَاءَ لِقَبُولٍ بَيْنَهُمَا.
Salam dapat berarti penghormatan (taḥiyyah) atau keselamatan dari kekurangan. Sebagian ulama menyebutkan bahwa mencantumkan shalawat dan salam di awal buku atau surat muncul pada masa pemerintahan Bani Hasyim, kemudian dipraktikkan secara luas sebagai anjuran. Sebagian ulama juga mencantumkannya di akhir buku sebagai bentuk harapan diterimanya amal di antara dua doa tersebut.
قَوْلُهُ (عَلَى سَيِّدِنَا) أَيْ جَمِيعِ الْمَخْلُوقَاتِ. وَالسَّيِّدُ مَنْ سَادَ فِي قَوْمِهِ أَوْ مَنْ كَثُرَ سَوَادُهُ أَيْ جَيْشُهُ أَوْ مَنْ تَفِزُّ النَّاسُ إِلَيْهِ عِندَ الشِّدَائِدِ أَوْ الْحَلِيمُ الَّذِي لَا يَسْتَفِزُّهُ غَضَبٌ، وَلَا خَفَاءَ أَنْ هَذِهِ الْأَوْصَافِ اجْتَمَعَتْ فِيهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَعُلِمَ مِنْ ذَلِكَ جَوَازُ إِطْلَاقِ الصَّيِّفِ عَلَى غَيْرِهِ تَعَالَى، فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ وَلَا فَخْرَ)، وَأَمَّا حَدِيثُ: (السَّيِّدُ لِلَّهِ) السَّيِّدُ بِالسِّيَادَةِ ٱلْمُطْلَقَةِ لِلَّهِ تَعَالَى.
Ucapannya "‘Ala Sayyidina” (atas junjungan kita) merujuk kepada seluruh makhluk. Kata sayyid (pemimpin/junjungan) memiliki beberapa makna: yaitu seseorang yang menjadi pemimpin di kaumnya, atau seseorang yang memiliki pasukan besar (sawad berarti banyaknya pengikut), atau seseorang yang menjadi tempat berlindung bagi orang-orang di saat kesulitan, atau seseorang yang memiliki sifat sabar dan tidak mudah marah. Tidak diragukan lagi, sifat-sifat tersebut terkumpul pada diri Rasulullah ﷺ.
Dari sini diketahui bolehnya penggunaan gelar sayyid untuk selain Allah Ta'ala. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ: "Aku adalah pemimpin anak-anak Adam, dan ini bukan kesombongan.”
Adapun hadis "As-sayyid adalah hanya untuk Allah”, maka yang dimaksud adalah bahwa sayyid dengan sifat keagungan yang mutlak hanya milik Allah Ta'ala.
وَأَصْلُ سَيِّدٍ سَيُودٌ اجْتَمَعَتِ الْوَاوُ وَالْيَاءُ وَسَبَقَتْ إِحْدَاهُمَا بِالْسُّكُونِ قُلِبَتِ الْوَاوُ يَاءً وَأَدْغِمَتِ الْيَاءُ فِي الْيَاءِ فَصَارَ سَيِّدًا
Kata sayyid berasal dari sayūd. Ketika huruf wawu dan yā bertemu dan salah satunya berharakat sukun, maka wawu diubah menjadi yā dan kemudian didengungkan menjadi sayyid.
قوله (مُحَمَّدٌ) بَدَلٌ أَوْ عَطْفُ بَيَانٍ، فَهُوَ مَجْرُورٌ عَلَى الْأَوَّلِ بِعَلَى مُقَدَّرَةٍ، لِأَنَّ الْبَدَلَ عَلَى نِيَّةِ تَكْرَارِ الْعَامِلِ، وَعَلَى الثَّانِي بِعَلَى الْمَذْكُورَةِ، لِأَنَّ غَيْرَ الْبَدَلِ مِنَ التَّوَابِعِ، لَيْسَ عَلَى نِيَّةِ تَكْرَارِ الْعَامِلِ
Ucapannya "Muhammad” adalah badal (kata pengganti) atau ‘athf bayan (kata penjelas), sehingga ia berstatus majrur (bentuk genitif) mengikuti kata sebelumnya karena huruf ‘ala yang diperkirakan (tidak disebutkan langsung). Hal ini karena badal secara niat mengulangi kedudukan kata kerja yang digunakan sebelumnya. Adapun jika dianggap sebagai ‘athf bayan, maka ia mengikuti huruf ‘ala yang sudah disebutkan, karena selain badal dari kata-kata yang bersifat pengikut tidak dimaksudkan untuk mengulangi kedudukan kata kerja.
وَلَيْسَ نَعْتًا لِسَيِّدِنَا، لِأَنَّ الْعَلَمَ لَا يُنْعَتُ بِهِ، وَبَعْضُهُمْ جَوَّزَ كَوْنَهُ نَعْتًا نَظَرًا لِأَصْلِهِ
Kata Muhammad tidak bisa dianggap sebagai na’at (sifat) dari sayyidina (junjungan kita), karena ‘alam (nama diri) tidak digunakan untuk menjadi sifat. Namun, sebagian ulama memperbolehkan kata itu sebagai na’at dengan melihat asal kata tersebut.
وَيُسَنُّ التَّسَمِّيَةُ بِمُحَمَّدٍ مَحَبَّةً فِيهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، لِأَنَّهُ أَشْهَرُ أَسْمَائِهِ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ وَأَلَذُّهَا سَمَاعًا عِنْدَ الْعَالَمِينَ
Disunnahkan memberikan nama Muhammad sebagai bentuk cinta kepada beliau ﷺ, karena nama itu adalah nama yang paling terkenal di kalangan kaum Muslimin dan yang paling indah didengar di telinga seluruh manusia.
وَقَدْ حَكَى بَعْضُهُمْ أَنَّ لِلَّهِ مَلَائِكَةً سَيَّاحِينَ فِي الْأَرْضِ يَزُورُونَ كُلَّ بَيْتٍ فِيهِ شَخْصٌ مُسَمًّى بِمُحَمَّدٍ أَوْ أَحْمَدَ
Sebagian ulama menyebutkan bahwa Allah memiliki malaikat-malaikat yang berkeliling di bumi. Mereka mengunjungi setiap rumah yang di dalamnya ada seseorang yang bernama Muhammad atau Ahmad.
قوله (النَّبِيِّ) اخْتَارَهُ عَلَى الرَّسُولِ تَبَعًا لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ} (الْأَحْزَابُ: ٥٦) ، وَإِنْ كَانَتِ الرِّسَالَةُ أَفْضَلَ مِنَ النُّبُوَّةِ عَلَى الرَّاجِحِ، خِلَافًا لِلْعِزِّ بْنِ عَبْدِ السَّلَامِ الْقَائِلِ بِأَنَّ النُّبُوَّةَ أَفْضَلُ مِنَ الرِّسَالَةِ، لِأَنَّ النُّبُوَّةَ تَعَلُّقٌ بِالْخَالِقِ، وَالرِّسَالَةُ فِيهَا تَعَلُّقٌ بِالْخَلْقِ، فَإِنَّ النُّبُوَّةَ فِيهَا انْصِرَافٌ مِنَ الْخَلْقِ إِلَى الْحَقِّ، وَالرِّسَالَةُ فِيهَا الْإِنْصِرَافُ مِنَ الْحَقِّ إِلَى الْخَلْقِ لِيَدُلَّهُمْ عَلَيْهِ
Ucapannya "an-nabiyyi” (nabi) dipilih dibandingkan kata ar-rasuli (rasul) mengikuti firman Allah Ta’ala: "Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi” (QS. Al-Ahzab: 56). Meskipun risalah (kerasulan) dianggap lebih utama daripada nubuwah (kenabian) menurut pendapat yang lebih kuat. Berbeda dengan pendapat Al-‘Izz bin Abdus Salam, yang mengatakan bahwa nubuwah lebih utama daripada risalah, dengan alasan bahwa nubuwah memiliki keterkaitan langsung dengan Sang Pencipta, sedangkan risalah berkaitan dengan makhluk. Menurutnya, nubuwah adalah proses berpaling dari makhluk menuju Allah, sedangkan risalah adalah proses berpaling dari Allah kepada makhluk untuk membimbing mereka kepada-Nya.
وَرُدَّ بِأَنَّ الرِّسَالَةَ فِيهَا التَّعَلُّقَانِ كَمَا صَرَّحَ بِهِ الشَّيْخُ ابْنُ حَجَرٍ فِي شَرْحِ الْأَرْبَعِينَ. وَالْكَلَامُ فِي نُبُوَّةِ رَسُولٍ وَرِسَالَتِهِ وَإِلَّا فَالرَّسُولُ أَفْضَلُ مِنَ النَّبِيِّ قَطْعًا، وَالنُّبُوَّةُ أَفْضَلُ مِنَ الْوَلَايَةِ سَوَاءٌ كَانَتِ الْوَلَايَةُ لِنَبِيٍّ أَوْ لِغَيْرِهِ
Namun, pendapat tersebut dibantah dengan argumen bahwa risalah mencakup kedua keterkaitan tersebut, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Ibn Hajar dalam Syarh Al-Arba’in. Pembahasan ini berkaitan dengan kenabian dan kerasulan seorang rasul. Jika tidak, maka jelas bahwa rasul lebih utama daripada nabi secara mutlak. Dan nubuwah lebih utama dibandingkan kewalian, baik kewalian itu dimiliki oleh seorang nabi maupun oleh selain nabi.
وَقَدِ اشْتُهِرَ أَنَّ الْأَنْبِيَاءَ مِائَةُ أَلْفٍ وَأَرْبَعَةٌ وَعِشْرُونَ أَلْفًا، وَقِيلَ: مَائَتَا أَلْفٍ وَأَرْبَعَةٌ وَعِشْرُونَ أَلْفًا، وَالرُّسُلُ مِنْهُمْ ثَلَاثُمِائَةٍ وَثَلَاثَةَ عَشَرَ أَوْ وَأَرْبَعَةَ عَشَرَ أَوْ وَخَمْسَةَ عَشَرَ، لَكِنَّ الصَّحِيحَ عَدَمُ حَصْرِهِمْ فِي عَدَدٍ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {مِنْهُمْ مَنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَنْ لَمْ نَقْصُصْ} (غَافِرٌ: ٧٨)
Diketahui bahwa jumlah nabi mencapai seratus dua puluh empat ribu. Sebagian mengatakan dua ratus dua puluh empat ribu. Dari jumlah tersebut, para rasul sebanyak tiga ratus tiga belas, atau tiga ratus empat belas, atau tiga ratus lima belas. Namun, pendapat yang benar adalah bahwa jumlah mereka tidak dibatasi pada angka tertentu, sebagaimana firman Allah Ta’ala: "Di antara mereka ada yang telah Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada yang tidak Kami ceritakan kepadamu” (QS. Ghafir: 78).
قوله (بِالْهَمْزِ) أَيْ عَلَى أَنَّهُ مِنَ النَّبَإِ؛ وَهُوَ الْخَبَرُ، لِأَنَّهُ مُخْبِرٌ بِكَسْرِ الْبَاءِ لِلْأُمَّةِ بِالشَّرَائِعِ وَالْأَحْكَامِ، وَهَذَا ظَاهِرٌ إِنْ كَانَ نَبِيًّا وَرَسُولًا فَقَطْ
Ucapannya "bil-hamzi” (dengan hamzah) maksudnya adalah bahwa kata tersebut berasal dari an-naba’ (berita), yang berarti kabar. Karena nabi adalah orang yang memberikan kabar (mukhbir dengan huruf ba berharakat kasrah) kepada umat tentang syariat dan hukum-hukum. Hal ini jelas berlaku jika nabi tersebut adalah seorang nabi sekaligus rasul.
قِيلَ: فِي التَّعْلِيلِ، لِأَنَّهُ مُخْبِرٌ لِلنَّاسِ بِأَنَّهُ نَبِيٌّ لِيُحْتَرَمَ. أَوْ مُخْبَرٌ بِفَتْحِهَا لِإِخْبَارِ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلَامُ لَهُ بِهَا عَنْ اللَّهِ، فَهُوَ إِمَّا بِمَعْنَى إِسْمِ الْفَاعِلِ أَوْ إِسْمِ الْمَفْعُولِ
Dikatakan dalam penjelasannya bahwa nabi disebut demikian karena ia mengabarkan kepada manusia bahwa dirinya adalah nabi agar dihormati. Atau karena ia adalah orang yang diberi kabar (mukhbar dengan huruf ba berharakat fathah) oleh Jibril عليه السلام dari Allah. Oleh karena itu, istilah ini bisa bermakna sebagai isim fa’il (pelaku) atau isim maf’ul (yang dikenai perbuatan).
وَقَوْلُهُ (وَتَرْكُهُ) أَيْ تَرْكُ الْهَمْزَةِ عَلَى أَنَّهُ مِنَ النُّبُوَّةِ وَهِيَ الرِّفْعَةُ، لِأَنَّهُ مَرْفُوعُ الرُّتْبَةِ أَوْ رَافِعُ الرُّتْبَةِ مَنْ اتَّبَعَهُ، فَهُوَ أَيْضًا إِمَّا بِمَعْنَى إِسْمِ الْفَاعِلِ أَوْ الْمَفْعُولِ
Ucapannya "wa tarkuhu” (dan meninggalkannya) maksudnya adalah meninggalkan penggunaan hamzah pada kata tersebut, sehingga kata itu berasal dari an-nubuwah (kenabian), yang berarti ketinggian. Sebab nabi adalah seseorang yang memiliki kedudukan yang tinggi (marfu’ ar-rutbah) atau seseorang yang mengangkat derajat orang-orang yang mengikutinya (rafi’ ar-rutbah). Maka, istilah ini juga bisa bermakna isim fa’il (pelaku) atau isim maf’ul (yang dikenai perbuatan).
وَالْمَهْمُوزُ أَصْلٌ لِغَيْرِ الْمَهْمُوزِ وَقِيلَ بِالْعَكْسِ. وَقِيلَ: كُلٌّ مِنْهُمَا أَصْلٌ بِرَأْسِهِ وَهُوَ الظَّاهِرُ
Kata yang menggunakan hamzah dianggap sebagai bentuk asal dari yang tidak menggunakan hamzah. Sebagian ulama mengatakan sebaliknya, bahwa yang tidak berhamzah adalah bentuk asalnya. Dan ada pula yang berpendapat bahwa keduanya adalah bentuk asal masing-masing, dan ini adalah pendapat yang lebih kuat.
قوله (إِنْسَانٌ) أَيْ حُرٌّ ذَكَرٌ مِنْ بَنِي آدَمَ سَلِيمٌ عَنْ مُنَفِّرٍ طَبْعًا، كَجُذَامٍ وَبَرَصٍ، وَعَنْ دَنَاءَةِ أَبٍ أَيْ خِسَّتِهِ كَكَوْنِهِ حَجَّامًا أَوْ زَبَّالًا وَخَنًّا أُمٍّ بِالْقَصْرِ أَيْ فُحْشِهَا أَوْ زِنَاهَا
Ucapannya "insanun” (manusia) maksudnya adalah seorang laki-laki merdeka dari keturunan Bani Adam, yang bebas dari hal-hal yang secara naluri dianggap menjijikkan, seperti kusta atau vitiligo (belang putih pada kulit). Juga bebas dari kehinaan ayahnya, seperti pekerjaan yang dianggap rendah seperti tukang bekam (hajjam) atau pemungut sampah (zabbal), serta kehinaan ibunya (khinnan umm) karena keburukan akhlaknya, seperti melakukan perbuatan keji atau zina.
وَمَحَلُّ الِاحْتِيَاجِ لِلتَّقْيِيدِ بِالذَّرِّ إِنْ نَظَرْنَا لِمَا اشْتُهِرَ مِنْ أَنَّ الْإِنْسَانَ يُطْلَقُ عَلَى الذَّكَرِ وَالْأُنْثَى، دُونَ مَا إِذَا نَظَرْنَا لِلُّغَةِ مِنْ يَقُولُ لِلْأُنْثَى إِنْسَانَةً، كَمَا فِي قَوْلِهِ
Kebutuhan untuk mempersempit makna dengan kata adz-dzakar (laki-laki) muncul jika kita melihat apa yang telah dikenal umum, yaitu bahwa istilah insan digunakan untuk menyebut laki-laki maupun perempuan. Namun, hal ini tidak diperlukan jika kita merujuk pada kaidah bahasa yang membedakan, di mana istilah insan untuk laki-laki dan insanah untuk perempuan, sebagaimana dalam ungkapan:
إِنْسَانَةٌ فَتَّانَةٌ * بَدْرُ الدُّجَى مِنْهَا خَجِلٌ
"Insanah fatanah, bintang purnama pun malu padanya."
قوله (أُوحِيَ إِلَيْهِ بِشَرْعٍ) أَيْ أُعْلِمَ بِهِ لِأَنَّ الْإِيحَاءَ الْإِعْلَامُ، سَوَاءٌ كَانَ بِإِرْسَالِ مَلَكٍ أَوْ بِإِلْهَامٍ أَوْ رُؤْيَا مَنَامٍ، فَإِنَّ رُؤْيَا الْأَنْبِيَاءِ حَقٌّ سَوَاءٌ كَانَ لَهُ كِتَابٌ أَمْ لَا
Ucapannya "ūḥiya ilayhi bi-syar‘in” (diwahyukan kepadanya dengan syariat) maksudnya adalah ia diberitahu (diinformasikan) tentang syariat tersebut, karena wahyu berarti pemberitahuan (i‘lam), baik melalui pengutusan malaikat, ilham, maupun mimpi dalam tidur. Sebab, mimpi para nabi adalah kebenaran, baik mereka memiliki kitab suci maupun tidak.
وقوله: (يَعْمَلُ بِهِ) أَيْ فِي حَقِّ نَفْسِهِ. قوله (وَإِنْ لَمْ يُؤْمَرْ بِتَبْلِيغِهِ) أَيْ إِنْ أُمِرَ بِتَبْلِيغِهِ، وَإِنْ لَمْ يُؤْمَرْ بِتَبْلِيغِهِ فَهُوَ نَبِيٌّ عَلَى كُلِّ حَالٍ
Ucapannya "ya‘malu bihi” (mengamalkannya) maksudnya adalah mengamalkan wahyu tersebut untuk dirinya sendiri. Ucapannya "wa in lam yu'mar bi-tablīghihi” (meskipun ia tidak diperintahkan untuk menyampaikannya) maksudnya adalah, baik ia diperintahkan untuk menyampaikan wahyu tersebut maupun tidak, ia tetap menjadi seorang nabi dalam segala kondisi.
فَالْوَاوُ لِلْغَايَةِ وَالتَّعْمِيمِ، وَذِكْرُهَا أَوْلَى مِنْ سُقُوطِهَا كَمَا قَالَ بَعْضُهُمْ. وَقَالَ غَيْرُهُ: الْأُولَى إِسْقَاطُهَا وَيَكُونُ قَيْدًا فِي كَوْنِهِ نَبِيًّا فَقَطْ، بِدَلِيلِ مُقَابَلَتِهِ بِقَوْلِهِ: فَإِنْ أُمِرَ بِتَبْلِيغِهِ الْخ.
Huruf wawu (dan) dalam kalimat tersebut berfungsi untuk menunjukkan tujuan dan penyertaan secara umum. Menyebutkan huruf wawu lebih utama daripada menghilangkannya, sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ulama. Namun, ulama lain berpendapat bahwa lebih utama untuk menghilangkan huruf wawu, sehingga menjadi pembatas dalam statusnya sebagai nabi saja, dengan alasan bahwa hal ini sesuai dengan pengkontrasan dalam pernyataannya: "fa in umira bi-tablīghihi...” (jika ia diperintahkan untuk menyampaikan wahyu tersebut, dan seterusnya).
قوله: (فَنَبِيٌّ وَرَسُولٌ)، فَكُلُّ رَسُولٍ نَبِيٌّ وَلَيْسَ كُلُّ نَبِيٍّ رَسُولًا، فَبَيْنَهُمَا الْعُمُومُ وَالْخُصُوصُ الْمُطْلَقُ يَجْتَمِعَانِ فِيمَنْ كَانَ نَبِيًّا وَرَسُولًا كَسَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Ucapannya "fa nabiyyun wa rasulun" (maka seorang nabi dan rasul) maksudnya adalah setiap rasul adalah nabi, namun tidak setiap nabi adalah rasul. Di antara keduanya terdapat hubungan umum dan khusus yang mutlak, yang terkumpul pada seseorang yang merupakan nabi sekaligus rasul, seperti Nabi Muhammad ﷺ.
وَيَنْفَرِدُ النَّبِيُّ فِيمَنْ كَانَ نَبِيًّا فَقَطْ وَلَا يَنْفَرِدُ الرَّسُولُ، فَإِنْ قُلْنَا بِانْفِرَادِ الرَّسُولِ فِي الْمَلَائِكَةِ كَجِبْرِيلَ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {اللَّهُ يَصْطَفِي مِنَ الْمَلَائِكَةِ رُسُلًا وَمِنَ النَّاسِ} (الْحَجُّ: ٧٥)، كَانَ بَيْنَهُمَا الْعُمُومُ وَالْخُصُوصُ الْوَجْهِيُّ
Seseorang yang hanya nabi, tidak disebut rasul, sedangkan rasul selalu menyertai status nabi. Jika kita berbicara tentang rasul yang khusus dalam kalangan malaikat, seperti Jibril, berdasarkan firman Allah: "Allah memilih dari kalangan malaikat rasul-rasul dan dari kalangan manusia"(QS. Al-Hajj: 75), maka di antara keduanya terdapat hubungan umum dan khusus dari segi makna.
وَالتَّحْقِيقُ الْأَوَّلُ وَمَعْنَى كَوْنِهِ الْمَلَائِكَةِ رُسُلًا أَنَّهُمْ وَاسِطَةٌ بَيْنَ اللَّهِ وَبَيْنَ الْخَلْقِ مِنَ الْبَشَرِ. قوله (أَيْضًا) أَيْ رُجُوعًا إِلَى الْإِخْبَارِ بِأَنَّهُ رَسُولٌ بَعْدَ الْإِخْبَارِ بِأَنَّهُ نَبِيٌّ
Dan penegasan pertama, maksud dari malaikat yang menjadi rasul adalah bahwa mereka adalah perantara antara Allah dan makhluk-Nya dari kalangan manusia.
Ucapan "ayyadan" (juga) maksudnya adalah sebagai pengulangan atau penegasan kembali bahwa setelah diberitahukan bahwa seseorang itu nabi, maka dia juga diberitahukan sebagai rasul.
قوله (وَالمَعْنَى يُنْشِئُ الصَّلَاةَ الخ) أَشَارَ بِذَلِكَ إِلَى أَنَّ جُمْلَةَ الصَّلَاةِ خَبَرِيَّةٌ لَفْظًا إِنْشَائِيَّةٌ مَعْنًى. وَلَا يَصِحُّ أَنْ تَكُونَ خَبَرِيَّةً لَفْظًا وَمَعْنًى، لِأَنَّ الْإِخْبَارَ بِالصَّلَاةِ لَيْسَ بِصَلَاةٍ، وَإِنْ تَكَلَّفَ بَعْضُهُمْ صِحَّةَ ذَلِكَ، بِخِلَافِ جُمْلَةِ الْحَمْدَلَةِ، لِأَنَّ الْإِخْبَارَ بِالْحَمْدِ حَمْدٌ.
Ucapan "wa al-ma‘na yunshi’u as-salāta" (dan makna yang dimaksud menciptakan shalat) mengarah pada penjelasan bahwa seluruh kalimat shalat adalah kalimat yang secara lahiriah bersifat berita (khabariyyah) tetapi bermakna permohonan atau seruan (insha'iyyah). Tidak sah jika kalimat tersebut dianggap berita baik dalam segi lafaz maupun maknanya, karena pemberitahuan tentang shalat tidak berarti shalat itu sendiri. Meskipun sebagian ulama berusaha membenarkan hal tersebut, hal ini berbeda dengan kalimat "al-hamdu lillah" (segala puji bagi Allah), karena pemberitahuan mengenai pujian adalah pujian itu sendiri.
قوله (وَالسَّلَامُ) كَانَ الْأَوْلَى حَذْفُهُ، لِأَنَّهُ لَيْسَ فِي كَلَامِ الْمُصَنِّفِ حَتَّى يَأْتِيَ بِهِ فِي تَفْسِيرِ مَعْنَاهُ، وَإِنَّمَا زَادَهُ مِنْ عِنْدِهِ كَمَا تَقَدَّمَ التَّنْبِيهُ عَلَيْهِ، وَلَعَلَّهُ تَوَهَّمَ فِي حَالِ التَّفْسِيرِ أَنَّهُ مِنْ كَلَامِ الْمُصَنِّفِ وَإِنْ كَانَ بَعِيدًا.
Ucapan "wa as-salām" (dan keselamatan) seharusnya lebih baik jika dihilangkan, karena hal itu tidak ada dalam perkataan penulis sampai dia menjelaskan maknanya. Tambahan tersebut berasal dari penulis itu sendiri, sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. Mungkin penulis mengira bahwa pada saat penjelasan tersebut, kata tersebut adalah bagian dari perkataan penulis meskipun sebenarnya jauh dari konteks aslinya.
قوله (وَمُحَمَّدٌ عَلَمٌ) أَيْ لَا وَصْفَ. وقوله: مَنْقُولٌ أَيْ لِأَمْرٍ تَجَلَّى. وَضَابِطُ الْمَنْقُولِ: أَنَّهُ الَّذِي سَبَقَ لَهُ اسْتِعْمَالٌ فِي غَيْرِ الْعِلْمِيَّةِ، ثُمَّ نُقِلَ إِلَيْهَا. وَضَابِطُ الْمُرْتَجَلِ: أَنَّهُ الَّذِي لَمْ يَسْبِقْ لَهُ اسْتِعْمَالٌ فِي غَيْرِ الْعِلْمِيَّةِ. فَالْأَوَّلُ كَمُحَمَّدٍ وَالثَّانِي كَسُعَادَ.
Ucapan "wa Muhammadun 'alamun" (dan Muhammad adalah nama) maksudnya adalah tidak ada sifat yang terkait dengannya. Sedangkan ucapan "manqūlun" (yang dipindahkan) maksudnya adalah untuk tujuan yang telah jelas. Dan ketentuan untuk yang dipindahkan adalah sesuatu yang sebelumnya telah digunakan dalam konteks selain ilmu, kemudian dipindahkan ke dalam konteks ilmiah. Adapun ketentuan untuk yang langsung (murtajāl) adalah sesuatu yang tidak pernah digunakan dalam konteks selain ilmu sebelumnya. Contoh pertama seperti Muhammad, dan yang kedua seperti Su'ad.
وقوله: مِنِ اسْمِ مَفْعُولِ الْمُضَعَّفِ الْعَيْنِ؛ أَيْ الْفِعْلِ الْمُكَرَّرِ الْعَيْنِ وَهُوَ حَمَّدَ بِالتَّشْدِيدِ، فَإِنَّهُ عَلَى فَعَّلَ بِالتَّشْدِيدِ أَيْضًا. فَالْمِيمُ عَيْنُ الْكَلِمَةِ؛ وَهِيَ مُكَرَّرَةٌ، اسْمُ الْمَفْعُولِ مِنْهُ مُحَمَّدٌ، وَمَعْنَاهُ: مَنْ كَثُرَ حَمْدُ النَّاسِ لَهُ بِكَثْرَةِ خِصَالِهِ الْحَمِيدَةِ
Dan ucapan "min ismِi ma'fuli al-mudha'afi al-'ayn" (dari nama objek yang memiliki huruf 'ain yang digandakan) maksudnya adalah suatu kata kerja yang pengulangannya ada pada huruf 'ain, yaitu "ḥammada" dengan tasydid (penekanan), karena kata ini mengikuti pola fā'ala dengan tasydid juga. Huruf mīm adalah akar kata tersebut, yang diulang, dan nama objek dari kata ini adalah Muḥammad, yang artinya adalah seseorang yang banyak dipuji oleh orang-orang karena banyaknya sifat-sifat terpuji yang dimilikinya.
فَلِذَلِكَ سُمِّيَ بِهِ نَبِيُّنَا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. وَقَدْ قِيلَ لِجَدِّهِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَقَدْ سَمَّاهُ فِي سَابِعِ وِلَادَتِهِ لِمَوْتِ أَبِيهِ قَبْلَهَا: لِمَ سَمَّيْتَ ابْنَكَ مُحَمَّدًا وَلَيْسَ مِنْ أَسْمَاءِ آبَائِكَ وَلَا قَوْمِكَ؟ فَقَالَ: رَجَوْتُ أَنْ يُحْمَدَ فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ، وَقَدْ حَقَّقَ اللَّهُ رَجَاءَهُ كَمَا سَبَقَ فِي عِلْمِهِ
Oleh karena itu, Nabi kita ﷺ diberi nama Muhammad. Dikatakan juga bahwa kakeknya, 'Abd al-Muṭṭalib, yang menamainya pada hari ketujuh setelah kelahirannya, karena ayahnya meninggal sebelum kelahiran Nabi. Ketika ditanya, "Mengapa kamu memberi nama anakmu Muhammad, padahal itu bukan nama dari ayah-ayahmu dan bukan pula nama dari kaummu?" Dia menjawab, "Saya berharap agar dia dipuji di langit dan di bumi." Dan Allah telah mengabulkan harapannya sebagaimana telah ditentukan dalam ilmu-Nya.
قوله (النَّبِيُّ بَدَلٌ مِنْهُ أَوْ عَطْفُ بَيَانٍ) كَانَ الْأَوْلَى أَنْ يَجْعَلَهُ نَعْتًا لِاشْتِقَاقِهِ مِنَ النَّبَإِ أَوِ النُّبُوَّةِ كَمَا تَقَدَّمَ، فَبِهَذَا تَعْلَمُ مَا فِي قَوْلِ الْبُرْمَاوِيِّ: أَيْ لَا نَعْتَ لِعَدَمِ اشْتِقَاقِهِ
"Ucapan 'nabi' adalah badal darinya atau 'athaf bayan.' Sebaiknya dijadikan sebagai sifat karena berasal dari kata naba' atau nubuwwah, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Dengan ini, Anda mengetahui apa yang terkandung dalam pernyataan al-Burmawi: 'Yaitu, bukan sifat karena tidak memiliki asal usul derivasi.'"
قَوْلُهُ (وَعَلَى آلِهِ) أَشَارَ الشَّارِحُ بِزِيَادَةِ "عَلَى" أَنَّهُ مَعْطُوفٌ عَلَى سَيِّدِنَا، وَلَيْسَ مَعْطُوفًا عَلَى مُحَمَّدٍ، وَإِلَّا كَانَ بَدَلًا مِنْ سَيِّدِنَا، وَهُوَ لَا يَصِحُّ. وَأَشَارَ أَيْضًا إِلَى الرَّدِّ عَلَى الشِّيعَةِ الزَّاعِمِينَ وَرَدَ حَدِيثٌ مَكْذُوبٌ عَنْهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (وَلَا تُفَصِّلُوا بَيْنِي وَبَيْنَ آلِي بِعَلَى)، وَوَجْهُ الرَّدِّ مَا وَرَدَ فِي الصَّحِيحَيْنِ أَنَّ الصَّحَابَةَ قَالُوا: كَيْفَ نُصَلِّي عَلَيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِذَا صَلَّيْنَا عَلَيْكَ فِي صَلَاتِنَا؟ فَقَالَ لَهُمْ: (قُولُوا: اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ)، كَمَا ذَكَرَهُ الْجَلَالُ الْمُحَلِّيُّ فِي شَرْحِ الْمِنْهَاجِ
"Ucapannya (wa 'ala alihi) menunjukkan bahwa syarh tersebut dengan tambahan kata 'ala' menyiratkan bahwa ia di-'athaf-kan pada 'sayyidina,' dan bukan pada 'Muhammad.' Jika di-'athaf-kan pada 'Muhammad,' maka ia menjadi badal dari 'sayyidina,' dan hal itu tidaklah benar. Hal ini juga menjadi isyarat untuk membantah klaim Syiah yang menganggap terdapat hadis palsu darinya ﷺ yang berbunyi: 'Dan janganlah kalian membedakan antara aku dan keluargaku dengan menggunakan kata ‘ala.’' Bantahan atas klaim ini didasarkan pada apa yang terdapat dalam Shahihain, di mana para sahabat berkata: 'Bagaimana kami bershalawat kepadamu, wahai Rasulullah, jika kami bershalawat kepadamu dalam shalat kami?' Maka Rasulullah ﷺ menjawab: 'Katakanlah: Allahumma shalli 'ala Muhammad wa 'ala alihi,' sebagaimana disebutkan oleh Jalal al-Mahalli dalam syarahnya atas al-Minhaj."
وَلَا يُضَافُ "آلُ" إِلَّا إِلَى مَا فِيهِ شَرَفٌ، فَلَا يُقَالُ آلُ الْإِسْكَافِيِّ. وَأَصْلُهُ أَوْلٌ كَجَمَلٍ بِدَلِيلِ تَصْغِيرِهِ عَلَى أُوَيْلٍ. وَقِيلَ: أَصْلُهُ أَهْلٌ بِدَلِيلِ تَصْغِيرِهِ عَلَى أُهَيْلٍ. وَرُدَّ بِأَنَّهُ يَحْتَمِلُ أَنَّهُ تَصْغِيرُ أَهْلٍ. وَإِنْ أُجِيبَ عَنْهُ بِأَنَّ تَحْسِينَ الظَّنِّ بِالنُّقَلَةِ يَدْفَعُ ذَلِكَ، لِأَنَّهُمْ لَمْ يَقُولُوا ذَلِكَ إِلَّا عِنْدَ عِلْمِهِمْ بِأَنَّهُ تَصْغِيرُ آلٍ بِقَرَائِنَ دَلَّتْهُمْ عَلَى ذَلِكَ
"Dan kata "'ali" tidak disandarkan kecuali kepada sesuatu yang memiliki kemuliaan, sehingga tidak dikatakan al al-iskafi (keluarga tukang sepatu). Asalnya adalah awl seperti pada kata jamal, sebagaimana dibuktikan dengan bentuk tashghir-nya menjadi uwail. Ada juga yang mengatakan bahwa asalnya adalah ahl, sebagaimana dibuktikan dengan bentuk tashghir-nya menjadi uhail. Namun pendapat ini ditolak karena masih mungkin bahwa bentuk tashghir tersebut berasal dari ahl. Jika ada jawaban bahwa prasangka baik terhadap perawi dapat menepis hal tersebut, maka hal ini disebabkan mereka tidak akan mengatakannya kecuali dengan pengetahuan bahwa tashghir tersebut memang berasal dari 'al, berdasarkan tanda-tanda yang menunjukkan hal itu kepada mereka."
قَوْلُهُ (الطَّاهِرِينَ) أَيْ: الْخَالِصِينَ مِنَ النَّقَائِصِ الْحِسِّيَّةِ وَالْمَعْنَوِيَّةِ. وَالْمُرَادُ بِالطَّاهِرِينَ مَا يَشْمَلُ الطَّاهِرَاتِ، فَفِيهِ تَغْلِيبٌ
"Ucapannya (al-thahirin) berarti: yang terbebas dari kekurangan, baik secara fisik maupun maknawi. Yang dimaksud dengan al-thahirin mencakup juga al-thahirat (yang perempuan), sehingga dalam hal ini terdapat penggunaan gaya bahasa taghlib (mengutamakan bentuk laki-laki untuk mencakup kedua jenis)."
قَوْلُهُ (هُمْ) أَيْ آلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. وَقَوْلُهُ: أَقَارِبُ الخ. أَيْ فِي مَقَامِ الزَّكَاةِ. وَقَوْلُهُ: وَقِيلَ اخْتَارَهُ النَّوَوِيُّ الخ أَيْ فِي مَقَامِ الدُّعَاءِ، لِأَنَّ الْمُنَاسِبَ لَهُ التَّعْمِيمُ
"Ucapannya (hum) maksudnya adalah keluarga beliau ﷺ. Dan ucapannya: 'aqarib' dan seterusnya, maksudnya adalah dalam konteks zakat. Sementara ucapannya: 'wa qila ikhtarahu al-Nawawi' dan seterusnya, maksudnya adalah dalam konteks doa, karena yang sesuai dalam konteks ini adalah generalisasi."
وَأَمَّا فِي مَقَامِ الْمَدْحِ، فَكُلُّ تَقِيٍّ. فَتَحَصَّلَ أَنَّهُمْ مُخْتَلِفُونَ بِاخْتِلَافِ الْمَقَامَاتِ. وَقَالَ بَعْضُ الْمُحَقِّقِينَ: يُنْظَرُ لِلْقَرِينَةِ، فَإِنْ دَلَّتْ عَلَى أَنَّ الْمُرَادَ بِهِمُ الْأَقَارِبُ حُمِلَ عَلَيْهِمْ، كَقَوْلِكَ: اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ الَّذِينَ أَذْهَبْتَ عَنْهُمُ الرِّجْسَ وَطَهَّرْتَهُمْ تَطْهِيرًا
"Adapun dalam konteks pujian, maka yang dimaksud adalah setiap orang yang bertakwa. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa makna mereka (al) berbeda-beda tergantung pada konteksnya. Sebagian ahli tahqiq mengatakan bahwa perlu melihat pada indikator (qarinah); jika menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah kerabat, maka makna tersebut diterapkan, seperti dalam ucapan: 'Allahumma shalli 'ala sayyidina Muhammad wa 'ala alihi alladhina adhhabta 'anhumu al-rijsa wa tahhartahum tathhiran' (Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada junjungan kami Muhammad dan kepada keluarganya yang telah Engkau hilangkan kotoran dari mereka dan Engkau sucikan mereka sebersih-bersihnya)."
وَإِنْ دَلَّتْ عَلَى أَنَّ الْمُرَادَ بِهِمُ الْأَتْقِيَاءُ حُمِلَ عَلَيْهِمْ، كَقَوْلِكَ: اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ الَّذِينَ اخْتَرْتَهُمْ لِطَاعَتِكَ
"Dan jika menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah orang-orang yang bertakwa, maka makna tersebut diterapkan, seperti dalam ucapan: 'Allahumma shalli 'ala sayyidina Muhammad wa 'ala alihi alladhina ikhtartahum li tha'atik' (Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada junjungan kami Muhammad dan kepada keluarganya yang telah Engkau pilih untuk ketaatan kepada-Mu)."
وَإِنْ دَلَّتْ عَلَى أَنَّ الْمُرَادَ بِهِمْ كُلُّ مُسْلِمٍ وَلَوْ عَاصِيًا حُمِلَ عَلَيْهِمْ، كَقَوْلِكَ: اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ سُكَّانِ جَنَّتِكَ
"Dan jika menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah setiap Muslim, meskipun ia berdosa, maka makna tersebut diterapkan, seperti dalam ucapan: 'Allahumma shalli 'ala sayyidina Muhammad wa 'ala alihi sukkani jannatika' (Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada junjungan kami Muhammad dan kepada keluarganya yang menjadi penghuni surga-Mu)."
وَالْحَاصِلُ أَنَّهُ لَا يُطْلَقُ الْقَوْلُ فِي تَفْسِيرِ "الْآلِ"، بَلْ يُعَوَّلُ عَلَى الْقَرِينَةِ
"Yang dapat disimpulkan adalah bahwa kata al-āl tidak dapat dijelaskan secara umum, melainkan harus bergantung pada konteks (qarīnah) untuk penafsiran yang tepat."
وَقَوْلُهُ (الْمُؤْمِنُونَ) هُوَ بِمَعْنَى الشَّامِلِ لِلْمُؤْمِنَاتِ، فَفِيهِ تَغْلِيبٌ. وَالْمُرَادُ بِالْبَنِينَ فِي قَوْلِ بَنِي هَاشِمٍ وَبَنِي الْمُطَّلِبِ مَا يَشْمَلُ الْبَنَاتِ، فَفِيهِ تَغْلِيبٌ أَيْضًا
"Ucapan beliau (al-mu’minun) bermakna umum yang mencakup juga al-mu’minat (wanita beriman), sehingga dalam hal ini terdapat penggunaan gaya bahasa taghlib (mengutamakan bentuk laki-laki untuk mencakup kedua jenis). Adapun yang dimaksud dengan al-banīn dalam ucapan Bani Hashim dan Bani al-Muttalib mencakup juga al-banāt (anak perempuan), sehingga dalam hal ini juga terdapat penggunaan taghlib."
وَأَمَّا أَوْلَادُ الْبَنَاتِ فَلَا يَدْخُلُونَ، وَإِنْ كَانَ لَهُمْ بَعْضُ شَرَفٍ، حَتَّى جَوَّزَ بَعْضُهُمْ لِبَاسَهُمْ لِلْعِمَامَةِ الْخَضْرَاءِ
"Adapun anak-anak perempuan tidak termasuk dalam hal ini, meskipun mereka memiliki sebagian kemuliaan, hingga sebagian orang memperbolehkan mereka mengenakan pakaian dengan imamah (tutup kepala) hijau."
وَخَرَجَ بِقَوْلِهِ بَنِي هَاشِمٍ وَبَنِي الْمُطَّلِبِ بَنُو عَبْدِ شَمْسٍ وَنَوْفَلَ، وَلِذَلِكَ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (نَحْنُ وَبَنُو الْمُطَّلِبِ هَكَذَا)، وَشَبَكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
"Dan dengan ucapan beliau Bani Hashim dan Bani al-Muttalib, termasuklah Banu Abd Shams dan Nawfal. Oleh karena itu, beliau ﷺ bersabda: 'Kami dan Banu al-Muttalib adalah seperti ini,' sambil menyatukan jari-jemarinya ﷺ."
وَالْحَاصِلُ أَنَّ عَبْدَ مَنَافٍ خَلَّفَ أَرْبَعَةً: هَاشِمًا جَدَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَعَبْدَ شَمْسٍ، وَالْمُطَّلِبَ جَدَّ الْإِمَامِ الشَّافِعِيِّ. وَلِذَلِكَ يُقَالُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "الْهَاشِمِيُّ"، وَلِلْإِمَامِ الشَّافِعِيِّ "الْمُطَّلِبِيُّ"، فَهُوَ ابْنُ عَمِّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
"Yang dapat disimpulkan adalah bahwa Abd Manaf memiliki empat anak: Hashim yang merupakan kakek beliau ﷺ, Abd Shams, dan al-Muttalib yang merupakan kakek dari Imam al-Shafi'i. Oleh karena itu, Nabi ﷺ disebut sebagai al-Hashimi, dan Imam al-Shafi'i disebut al-Muttalibi, karena beliau adalah sepupu Nabi ﷺ."
وَعَبْدُ شَمْسٍ وَنَوْفَلُ، فَآلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَنُو هَاشِمٍ وَالْمُطَّلِبُ دُونَ بَنِي عَبْدِ شَمْسٍ وَنَوْفَلَ
"Dan Abd Shams serta Nawfal, maka keluarga beliau ﷺ adalah Banu Hashim dan al-Muttalib, sedangkan Bani Abd Shams dan Nawfal tidak termasuk dalam keluarga beliau ﷺ."
قَوْلُهُ (وَقِيلَ) عَطْفٌ عَلَى مُقَدَّرٍ كَأَنَّهُ قِيلَ هَكَذَا قِيلَ وَقِيلَ إلْخ. قَوْلُهُ (كُلُّ مُسْلِمٍ) أَيْ وَلَوْ عَاصِيًا، لِأَنَّهُ أَحْوَجُ إِلَى الدُّعَاءِ مِنْ غَيْرِهِ. وَقَوْلُهُ (وَلَعَلَّ قَوْلَهُ إِلْخ) لَمْ يَجْزِمْ بِذَلِكَ، بَلْ أَتَى بِصِيغَةِ التَّرَخِّي لِاحْتِمَالِ أَنَّ الْمُصَنِّفَ لَمْ يُرِدْ ذَلِكَ
"Ucapan beliau (wa qila) adalah 'athaf pada sesuatu yang diperkirakan, seakan-akan dikatakan: 'Begini dikatakan, dan dikatakan pula...' Ucapan beliau (kullu Muslimin) bermakna setiap Muslim, meskipun ia berdosa, karena ia lebih membutuhkan doa daripada yang lainnya. Dan ucapan beliau (wa la'alla qawluhu) tidak menegaskan hal tersebut, melainkan menggunakan bentuk tarakhkhī (perkataan yang memberi kemungkinan) karena ada kemungkinan bahwa penulis tidak bermaksud demikian."
قَوْلُهُ (مُنْتَزَعٌ) أَيْ مُقْتَبَسٌ، فَالِانْتِزَاعُ هُوَ الِاقْتِبَاسُ؛ وَهُوَ أَنْ يُضَمِّنَ الْمُتَكَلِّمُ كَلَامَهُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ أَوْ مِنَ السُّنَّةِ، لَا عَلَى أَنَّهُ مِنْهُ كَمَا فِي قَوْلِهِ
"Ucapan beliau (muntazi') berarti muqtabas (diambil atau dipetik). Jadi, al-Intiza' adalah al-Iqtibas; yaitu, ketika seorang pembicara memasukkan dalam ucapannya sesuatu dari Al-Qur'an atau Hadis, bukan dengan menganggapnya berasal dari dirinya, seperti dalam ucapan berikut:
لَئِنْ أَخْطَأْتُ فِي مَدْحِ ... كَ مَا أَخْطَأْتُ فِي مَنْعِي
La'in akhta'tu fi madhi...Ma akhta'tu fi man'i
Jika aku salah dalam memuji...Sebagaimana aku salah dalam mencegah.
لَقَدْ أَنْوَلْتُ حَاجَتِي ... بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ
Laqad anwaltu hajati...Bi wadin ghayri dhi zar'in
Sungguh, aku telah memenuhi kebutuhanku...Di lembah yang tidak ada tanaman."
وَهُوَ جَائِزٌ عِنْدَ الْإِمَامِ الشَّافِعِيِّ، إِذَا لَمْ يُخِلَّ بِتَعْظِيمِ مَا اقْتُبِسَ مِنْهُ، بِخِلَافِ مَا إِذَا أَخَلَّ بِتَعْظِيمِهِ بِأَنْ كَانَ فِيهِ اسْتِهْجَانٌ كَمَا فِي قَوْلِهِ
"Hal ini diperbolehkan menurut Imam al-Shafi'i, asalkan tidak merusak penghormatan terhadap apa yang diambil (dari Al-Qur'an atau Hadis). Berbeda halnya jika hal itu merusak penghormatan dengan mengandung penghinaan, seperti dalam ucapan berikut:
وَرِدْفُهُ يَهْتَزُّ مِنْ خَلْفِهِ ... لِمِثْلِ ذَا فَلْيَعْمَلِ الْعَامِلُونَ
Wa ridfuhu yahtazzu min khalfihi...Limiithli dhaa falyu'amilil 'aamiloon
"Dan penunggangnya bergetar dari belakang...Untuk yang seperti ini, hendaknya orang-orang yang bekerja melakukannya."
قوله (ويطهر كم تطهيرًا) أي من الرذائل، والمراد به التطهير المعنوي. وقوله (وعلى صحابته) عطف على آله، من عطف الأعمّ عمومًا
"Ucapan beliau (wa yutahhiru kam tathīran) berarti dari segala kekurangan, dan yang dimaksud di sini adalah penyucian secara maknawi. Dan ucapan beliau (wa 'ala sahabatihi) adalah 'athaf pada ālīhi (keluarganya), dari 'athaf al-‘amm (penyebutan yang lebih umum secara keseluruhan)."
قَوْلُهُ (وَيُطَهِّرُكُمْ تَطْهِيرًا) أَيْ مِنَ الرَّذَائِلِ، وَالْمُرَادُ بِهِ التَّطْهِيرُ الْمَعْنَوِيُّ. وَقَوْلُهُ (وَعَلَى صَحَابَتِهِ) عَطْفٌ عَلَى آلِهِ، مِنْ عَطْفِ الْأَعَمِّ عُمُومًا وَجِيهًا عَلَى الْقَوْلِ الْأَوَّلِ فِي الْأَوَّلِ فِي الْآلِ، لِاجْتِمَاعِ الْآلِ وَالصَّحَابَةِ فِيمَنْ كَانَ مِنْ أَقَارِبِهِ، وَاجْتَمَعَ بِهِ كَسَيِّدِنَا عَلِيٍّ، وَانْفِرَادِ الْآلِ فِيمَنْ كَانَ مِنْ أَقَارِبِهِ وَلَمْ يَجْتَمِعْ بِهِ كَأَشْرَافِ زَمَانِنَا هَذَا، وَانْفِرَادِ الصَّحَابَةِ فِيمَنْ اجْتَمَعَ بِهِ وَلَمْ يَكُنْ مِنْ أَقَارِبِهِ كَأَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ
"Ucapan beliau (wa yutahhirukum tathīran) berarti dari segala kekurangan, dan yang dimaksud adalah penyucian secara maknawi. Dan ucapan beliau (wa 'ala sahabatihi) adalah 'athaf pada ālīhi (keluarganya), yang merupakan 'athaf al-‘amm (penyebutan yang lebih umum secara keseluruhan) pada ucapan pertama tentang āl (keluarga), karena berkumpulnya āl dan sahabah dalam hal yang terkait dengan kerabat beliau, seperti dalam hal Sayyidina Ali. Sedangkan āl secara khusus mencakup mereka yang merupakan kerabat beliau namun tidak berkumpul dengannya, seperti para bangsawan di zaman kita ini, sementara sahabah merujuk kepada mereka yang berkumpul dengan beliau tetapi bukan kerabat beliau, seperti Abu Bakr as-Siddiq."
وَمِنْ عَطْفِ الْخَاصِّ عَلَى الْعَامِّ عَلَى الْقَوْلِ الثَّانِي فِي الْآلِ فَاعْتَنَى بِهِمْ لِشَرَفِهِمْ. قَوْلُهُ (جَمْعُ صَاحِبٍ) فَالصَّحَابَةُ بِمَعْنَى الْأَصْحَابِ وَإِنْ كَانَتْ تُطْلَقُ بِمَعْنَى الصُّحْبَةِ، فَيَكُونُ مَصْدَرَ الصُّحْبِ مِنْ بَابِ سَلِمَ. وَالصَّاحِبُ فِي اللُّغَةِ: مَنْ طَالَتْ عِشْرَتُكَ بِهِ
"Dan dari 'athaf al-khāṣ (penyebutan yang khusus) pada al-‘amm (yang umum) pada ucapan kedua tentang āl, perhatian diberikan kepada mereka karena kemuliaan mereka. Ucapan beliau (jam'u sāhibin) menunjukkan bahwa as-sahābah bermakna al-‘ashāb (para sahabat) meskipun biasanya istilah ini digunakan untuk menyebut pertemanan atau hubungan pertemanan, yang berarti sebagai mashdar (sumber) dari as-ṣuḥbah (persahabatan) dengan menggunakan pola kata salima. Sedangkan as-ṣāḥib dalam bahasa berarti seseorang yang telah lama bergaul atau berhubungan denganmu."
وَالْمُرَادُ مِنْهُ هُنَا الصَّحَابِيُّ، وَلِذَلِكَ قَيَّدَ الشَّارِحُ بِقَوْلِهِ صَاحِبُ النَّبِيِّ؛ وَهُوَ مَنْ اجْتَمَعَ مُؤْمِنًا بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ نُبُوَّتِهِ فِي حَالِ حَيَاتِهِ اجْتِمَاعًا مُتَعَارَفًا، بِأَنْ يَكُونَ فِي الْأَرْضِ عَلَى الْعَادَةِ، بِخِلَافِ مَا يَكُونُ فِي السَّمَاءِ أَوْ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ. وَالْمَوْتُ عَلَى الْإِسْلَامِ، شَرْطٌ لِدَوَامِ الصُّحْبَةِ لَا لِأَصْلِهَا، فَإِنِ ارْتَدَّ وَالْعِيَاذُ بِاللَّهِ انْقَطَعَتْ صُحْبَتُهُ، فَإِنْ عَادَ عَلَى الْإِسْلَامِ عَادَتْ لَهُ الصُّحْبَةُ، لَكِنْ مُجَرَّدَةً عَنِ الثَّوَابِ كَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي سَرْحٍ.
"Yang dimaksud di sini dengan as-ṣaḥābī adalah seseorang yang bertemu dengan Nabi Muhammad ﷺ dalam keadaan beriman setelah kenabian beliau dan semasa hidup beliau, dengan pertemuan yang sudah dikenal, yaitu dengan berada di dunia ini sesuai dengan kebiasaan, berbeda dengan yang ada di langit atau antara langit dan bumi. Dan kematian dalam keadaan Islam adalah syarat bagi kelanjutan persahabatan, bukan untuk asalnya. Jika seseorang murtad, maka ṣuḥbah (persahabatan) dengan Nabi ﷺ terputus, dan jika ia kembali kepada Islam, maka persahabatan itu kembali, tetapi tanpa pahala, seperti halnya dengan Abdullah bin Abi Sarḥ."
وَفَائِدَةُ عَوْدِ الصَّحَابَةِ لَهُ مُجَرَّدَةٌ عَنِ الثَّوَابِ كَوْنُ مَنْ اجْتَمَعَ عَلَيْهِ، يُقَالُ لَهُ تَابِعِيٌّ وَكَوْنُ ابْنِهِ كُفْأً لِبِنْتِ الصَّحَابِيِّ وَكَوْنُهُ يُحْشَرُ تَحْتَ رَايَةِ الصَّحَابَةِ، فَخِلَافُ مَا إِذَا مَاتَ مُرْتَدًّا كَعَبْدِ اللهِ بْنِ خَطَلٍ، فَإِنَّهُ ارْتَدَّ وَلَحِقَ بِالْمُشْرِكِينَ وَاشْتَرَى إِمَاءً تُغَنِّينَ بِهَجَاءِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلِذَلِكَ قَالَ فِي فَتْحِ مَكَّةَ: اقْتُلُوهُ وَلَوْ كَانَ مُتَعَلِّقًا بِأَسْتَارِ الْكَعْبَةِ، فَقَتَلَهُ عَبْدُ اللهِ بْنُ الزُّبَيْرِ فَمَاتَ مُرْتَدًّا. وَاعْلَمْ أَنَّ عِيسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ اجْتَمَعَ بِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
"Dan faedah dari kembalinya seorang sahabat adalah semata-mata tanpa pahala, seperti halnya seseorang yang bertemu dengan Nabi ﷺ, disebut tabi'ī (pengikut). Begitu juga dengan anak dari seorang sahabat yang menikah dengan putri sahabat lainnya, dan ia akan dikumpulkan di bawah panji-panji sahabat. Ini berbeda dengan keadaan seseorang yang meninggal dalam keadaan murtad, seperti Abdullah bin Khaṭal yang murtad, bergabung dengan kaum musyrikin, dan membeli budak-budak yang menyanyikan syair yang menghina Rasulullah ﷺ. Oleh karena itu, ketika pembebasan Makkah, Nabi ﷺ memerintahkan agar ia dibunuh meskipun ia menggantungkan dirinya di pintu Ka'bah, dan dibunuh oleh Abdullah bin Zubair dan ia pun mati sebagai murtad. Dan ketahuilah bahwa Isa (as) pernah bertemu dengan Nabi ﷺ."
وَقَوْلُهُ (أَجْمَعِينَ) تَأْكِيدٌ لِصَحَابَتِهِ. عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَيْتِ الْمَقْدِسِ بِجَسَدِهِ وَرُوحِهِ فَهُوَ الصَّحَابِيُّ، وَكَذَا الْخَضِرُ بِفَتْحِ الْخَاءِ وَكَسْرِ الضَّادِ أَوْ بِسُكُونِهَا، وَلُقِّبَ بِذَلِكَ لِأَنَّهُ مَا جَلَسَ عَلَى أَرْضٍ إِلَّا أَخْضَرَتْ، وَاسْمُهُ بِلْيَا بْنُ مَلْكَانَ بِفَتْحِ الْبَاءِ وَسُكُونِ اللَّامِ بَعْدَهَا مَثْنَاةٌ تَحْتِيَّةٌ، وَفَتْحِ الْمِيمِ وَسُكُونِ اللَّامِ وَآخِرُهُ نُونٌ
"Dan perkataan beliau (ajma'īn) adalah penekanan atas para sahabatnya. Beliau ﷺ berada di Baitul Maqdis dengan tubuh dan jiwa beliau, sehingga beliau adalah sahabat. Begitu juga dengan Al-Khiḍr, yang dapat ditulis dengan pembukaan huruf kha’ dan pemenggalan huruf dha’ atau dengan penulisan tanpa pemenggalan (khidr). Dia diberi julukan ini karena setiap tanah yang didudukinya menjadi hijau. Nama lengkapnya adalah Bilya bin Malkan, dengan pembukaan huruf ba’ dan penulisan lam yang tenang setelahnya, kemudian huruf mim yang dibuka dan diikuti lam yang tenang, dan akhir dari namanya adalah nun.
قِيلَ: إِنَّ مَنْ عَرَفَ اسْمَهُ وَاسْمَ أَبِيهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ، وَهُوَ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ، وَقِيلَ مِنَ الْأَوْلِيَاءِ، وَهُوَ الْمَرْءُ بِالْعَبْدِ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: {فَوَجَدَا عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا} (الْكَهْفُ: ٦٥). فَإِنَّ اللهَ أَعْطَاهُ عِلْمَ الْحَقِيقَةِ. وَمِنْ ذَلِكَ مَا وَقَعَ لَهُ مَعَ مُوسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ مِنْ قِصَّةِ السَّفِينَةِ وَالْغُلَامِ وَالْجِدَارِ.
Dikatakan bahwa siapa yang mengetahui namanya dan nama ayahnya, maka ia akan masuk surga. Dia adalah salah satu nabi, dan ada yang mengatakan dia adalah seorang wali. Dia adalah orang yang disebut dalam ayat: {Maka mereka berdua menemukan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami yang telah Kami beri rahmat dari Kami dan Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami} (Al-Kahf: 65). Karena sesungguhnya Allah telah memberinya ilmu yang hakiki. Dan dari hal tersebutlah yang terjadi antara dirinya dengan Nabi Musa (as), seperti kisah perahu, anak kecil, dan tembok."
قَوْلُهُ (وَقَوْلُهُ) مُبْتَدَأٌ خَبَرُهُ قَوْلُهُ تَأْكِيدٌ. قَوْلُهُ (أَجْمَعِينَ) اخْتَلَفَ فِيهِ فَقِيلَ: إِنَّ التَّأْكِيفَ بِهِ يُفِيدُ الْاجْتِمَاعَ فِي زَمَنٍ وَاحِدٍ، وَقِيلَ يُفِيدُ الشُّمُولَ. وَحُمِلَ الْأَوَّلُ عَلَى مَا إِذَا سَبَقَهُ لَفْظٌ يَدُلُّ عَلَى الشُّمُولِ، كَمَا إِذَا قُلْتَ: جَاءَ الْقَوْمُ كُلُّهُمْ أَجْمَعُونَ، وَالثَّانِي عَلَى مَا إِذَا لَمْ يَسْبِقْهُ لِذَلِكَ كَمَا إِذَا قُلْتَ: جَاءَ الْقَوْمُ أَجْمَعُونَ. وَهَذَا الْجَمْعُ يُحِيلُ الْخِلَافَ وَيَرْفَعُهُ كَمَا نَبَّهَ عَلَيْهِ سَعْدٌ. قَوْلُهُ (تَأْكِيدٌ لِصَحَابَةِ) أَيْ وَلِآلِهِ أَيْضًا، وَإِنَّمَا اقْتَصَرَ عَلَى الْأَقْرَبِ
"Perkataan beliau (wa qawluhu) adalah mubtada', dan berita dari mubtada' tersebut adalah 'qawluhu' sebagai penekanan. Perkataan beliau (ajma'īn) telah diperselisihkan maknanya, ada yang mengatakan bahwa penekanan dengan kata tersebut menunjukkan perkumpulan dalam satu waktu yang sama, dan ada yang mengatakan bahwa itu menunjukkan kekhususan atau keseluruhan. Pendapat pertama dimaksudkan jika sebelumnya ada kata yang menunjukkan keseluruhan, seperti jika kamu mengatakan: 'Seluruh kaum datang bersama-sama.' Sedangkan pendapat kedua berlaku jika tidak ada kata yang menunjukkan keseluruhan, seperti jika kamu mengatakan: 'Seluruh kaum datang.'
Dan perkumpulan ini meniadakan perselisihan dan menghilangkannya, sebagaimana yang diingatkan oleh Sa'd. Perkataan beliau (ta'kīdun li ṣaḥābatihi) berarti juga untuk keluarga beliau, namun beliau hanya menyebutkan yang terdekat saja.
أَمْرٌ مَعَ اسْتِعْلَاءٍ وَعَكْسُهُ دُعَا ... وَفِي التَّسَاوِي فَالْتِمَاسٌ وَقَعَا
Perkara yang mengandung kekuatan (isti'lā') adalah doa, dan kebalikannya adalah permohonan. Sedangkan dalam kesetaraan, yang terjadi adalah pencarian atau usaha yang terjadi."
قَوْلُهُ (ثُمَّ ذَكَرَ الْخ) أَيْ قَالَ مَا تَقَدَّمَ ثُمَّ ذَكَرَ الْخ فَهُوَ عَطْفٌ عَلَى مُقَدَّرٍ وَيُحْتَمَلُ أَنَّ ثُمَّ لِلْاِسْتِئْنَافِ، لِأَنَّهَا قَدْ تَرِدُ لِلْاِسْتِئْنَافِ. وَفَائِدَةُ هَذَا الدُّخُولِ؛ كَثْرَةُ الْاِعْتِنَاءِ بِبَيَانِ أَحْوَالِ السُّؤَالِ الْآتِي
Ucapannya (kemudian ia menyebutkan ...): Maksudnya, ia mengatakan sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, lalu ia menyebutkan hal berikutnya. Maka, ini merupakan sambungan (athaf) terhadap sesuatu yang diperkirakan (muqaddar). Juga dimungkinkan bahwa kata "kemudian" digunakan untuk istinaf (permulaan baru), karena kata ini memang kadang digunakan untuk maksud istinaf. Manfaat dari penyebutan ini adalah menunjukkan perhatian yang besar dalam menjelaskan berbagai keadaan dari pertanyaan yang akan disebutkan nanti.
قَوْلُهُ (إِنَّهُ مَسْؤُولٌ فِي تَصْنِيفِ هَذَا الْمُخْتَصَرِ) أَيْ لَا أَنَّهُ صَنَّفَهُ فِي تَلْقَاءِ نَفْسِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَسْأَلَهُ فِيهِ أَحَدٌ. وَالتَّصْنِيفُ؛ ضَمُّ صِنْفٍ مِنَ الْكَلَامِ إِلَى صِنْفٍ آخَرَ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ عَلَى وَجْهِ الْأُلْفَةِ، بِخِلَافِ التَّأْلِيفِ، فَإِنَّهُ يُشْتَرَطُ فِيهِ أَنْ يَكُونَ عَلَى وَجْهِ الْأُلْفَةِ. فَالتَّأْلِيفُ أَخَصُّ مِنَ التَّصْنِيفِ
Ucapannya (bahwa ia ditanya dalam menyusun mukhtashar ini): Maksudnya, ia tidak menyusun mukhtashar ini atas inisiatif sendiri tanpa ada yang memintanya. Penyusunan (tasnif) berarti menggabungkan satu jenis pembicaraan dengan jenis pembicaraan lain, meskipun tidak dalam bentuk yang menyatukan (al-ulfa). Berbeda dengan penulisan (ta'lif), yang mensyaratkan adanya bentuk penyatuan (al-ulfa). Oleh karena itu, ta'lif lebih khusus daripada tasnif.
قَوْلُهُ (بِقَوْلِهِ) مُتَعَلِّقٌ بِذِكْرِ. قَوْلُهُ (سَأَلَنِي) أَيْ طَلَبَ مِنِّي، وَالطَّلَبُ يَصْدُقُ بِأَنْ يَكُونَ مِنَ الْأَعْلَى أَوِ الْأَدْنَى أَوِ الْمُسَاوِي. وَالْأَوَّلُ يُسَمَّى أَمْرًا، وَالثَّانِي دُعَاءً، وَالثَّالِثُ اِلْتِمَاسًا عَلَى الطَّرِيقِ الَّتِي جَرَى عَلَيْهَا صَاحِبُ السُّلَّمِ حَيْثُ قَالَ
Ucapannya (dengan perkataannya): Kata ini terkait dengan "menyebutkan". Ucapannya (ia memintaku): Maksudnya, ia meminta dariku. Permintaan (thalab) mencakup permintaan dari atasan, bawahan, atau yang setara. Permintaan pertama disebut perintah (amr), yang kedua doa (du'a), dan yang ketiga permohonan (iltimas), sebagaimana dijelaskan oleh pengarang kitab Sullam, yang berkata:
وَلِذَا لَمْ يَقُلْ أَمَرَنِي وَلَا اِلْتَمَسَ مِنِّي وَلَا دَعَانِي، وَإِنْ كَانَ الصَّحِيحُ أَنَّ طَلَبَ الْفِعْلِ يُسَمَّى أَمْرًا، وَطَلَبَ التَّرْكِ يُسَمَّى نَهْيًا، وَكُلٌّ مِنْهُمَا يُسَمَّى دُعَاءً وَاِلْتِمَاسًا، لَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ مِنَ الْأَعْلَى أَوِ الْأَدْنَى أَوِ الْمُسَاوِي، لَكِنَّ الْأَدَبَ أَنْ يُقَالَ فِي نَحْوِ: اِغْفِرْ لَنَا وَلَا تُؤَاخِذْنَا أَمْرٌ أَوْ نَهْيٌ بَلْ يَنْبَغِي أَنْ يُقَالَ دُعَاءً تَأَدُّبًا
Dan karena itu ia tidak mengatakan 'ia memerintahku', 'ia memohon dariku', atau 'ia mendoakanku', meskipun yang benar adalah bahwa permintaan untuk melakukan sesuatu disebut 'perintah' (amr), dan permintaan untuk meninggalkan sesuatu disebut 'larangan' (nahy). Keduanya, baik perintah maupun larangan, dapat disebut 'doa' (du'a) atau 'permohonan' (iltimas), tanpa membedakan apakah berasal dari atasan, bawahan, atau orang yang setara. Namun, kesantunan menuntut bahwa dalam konteks seperti 'Ampunilah kami' atau 'Janganlah Engkau menghukum kami', tidak disebut sebagai perintah atau larangan, melainkan seharusnya disebut sebagai doa (du'a) sebagai bentuk kesantunan.
قَوْلُهُ (بَعْضُ الْأَصْدِقَاءِ) يُصَدِّقُ هَذَا الْبَعْضُ بِالْوَاحِدِ وَالْمُتَعَدِّدِ. قَوْلُهُ (جَمْعُ صَدِيقٍ) وَهِيَ مَنْ يَفْرَحُ لِفَرَحِكَ وَيَحْزَنُ لِحُزْنِكَ، سُمِّيَ بِذَلِكَ لِصِدْقِهِ فِي مَحَبَّتِكَ، وَضِدُّهُ الْعَدُوُّ.
Ucapannya (sebagian sahabat): Kata "sebagian" ini mencakup satu orang maupun lebih.
Ucapannya (jamak dari shadiq): Shadiq adalah seseorang yang merasa senang dengan kebahagiaanmu dan bersedih dengan kesedihanmu. Ia disebut demikian karena kejujurannya dalam mencintaimu. Lawannya adalah musuh.
وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: قَلَّمَا يُوجَدُ فِي أُمَّتِي فِي آخِرِ الزَّمَانِ دِرْهَمٌ جَلَالٌ وَأَخٌ يُوثَقُ بِهِ
Rasulullah ﷺ bersabda: "Jarang ditemukan di umatku pada akhir zaman dirham yang halal dan seorang sahabat yang dapat dipercaya."
وَقَالَ الْإِمَامُ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: مَنْ طَلَبَ صَدِيقًا مِنْ غَيْرِ عَيْبٍ فَقَدْ أَتْعَبَ نَفْسَهُ، وَمَنْ عَاتَبَ إِخْوَانَهُ عَلَى كُلِّ ذَنْبٍ فَقَدْ أَكْثَرَ أَعْدَاءَهُ. وَقَالَ بَعْضُهُمْ
Imam Syafi’i ra. berkata: "Barang siapa mencari seorang sahabat tanpa cacat, maka ia telah menyulitkan dirinya sendiri. Dan barang siapa terus-menerus mencela saudara-saudaranya atas setiap kesalahan, maka ia akan memperbanyak musuhnya." Sebagian orang berkata:
صَادُ الصَّدِيقِ وَكَافُ الْكِيمْيَاءِ مَعًا لَا يُوجَدَانِ، فَدَعْ نَفْسَكَ الطَّمَعَ
Huruf "ṣad" dalam kata ṣadīq dan huruf "kaf" dalam kata kimia tidak ditemukan bersamaan, maka tinggalkanlah keinginanmu akan hal itu.
وَأَمَّا الْخَلِيلُ فَهُوَ مَنْ يَفْرَحُ لِفَرَحِكَ وَيَحْزَنُ لِحُزْنِكَ، وَتَخَلَّلَتْ مَحَبَّتُهُ فِي أَعْضَائِكَ. وَالْحَبِيبُ مَنْ يَفْرَحُ لِفَرَحِكَ وَيَحْزَنُ لِحُزْنِكَ، وَتَخَلَّلَتْ مَحَبَّتُهُ فِي أَعْضَائِكَ وَيُفَدِّيكَ بِمَالِهِ، وَعَلَى هَذَا فَالْمَحَبَّةُ أَفْضَلُ مِنَ الْخُلَّةِ، وَهُوَ التَّحْقِيقُ، وَلِهَذَا كَانَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَبِيبًا وَكَانَ سَيِّدُنَا إِبْرَاهِيمُ خَلِيلًا
Adapun khalil adalah seseorang yang merasa bahagia atas kebahagiaanmu dan bersedih atas kesedihanmu, serta kecintaannya meresap ke seluruh tubuhmu. Sedangkan habib adalah seseorang yang merasa bahagia atas kebahagiaanmu, bersedih atas kesedihanmu, kecintaannya meresap ke seluruh tubuhmu, dan ia mengorbankan hartanya untukmu. Dengan demikian, cinta (maḥabbah) lebih utama daripada persahabatan mendalam (khullah). Inilah makna yang sebenarnya. Oleh karena itu, Rasulullah ﷺ disebut sebagai Habib, sedangkan Nabi Ibrahim disebut sebagai Khalil.
قَوْلُهُ (وَقَوْلُهُ) مُبْتَدَأٌ خَبَرُهُ قَوْلُهُ جُمْلَةُ الْخ. قَوْلُهُ (حَفِظَهُمُ اللَّهُ تَعَالَى) أَي حَرَسَهُم مِّنَ الشَّدَائِدِ وَكُلِّ مَكْرُوهٍ، وَلَا يُقَالُ مِثْلُ ذَلِكَ عُرْفًا إِلَّا لِلْأَحْيَاءِ، فَيُسْتَفَادُ مِنْ ذَلِكَ أَنَّ السَّائِلَ حَيٌّ وَقْتَ الدُّعَاءِ، لِأَنَّهُ يُقَالُ بِحَسَبِ الْعَادَةِ إِلَّا فِي الْأَمْوَاتِ: رَحِمَهُمُ اللَّهُ تَعَالَى.
Ucapannya (dan ucapannya): Merupakan mubtada', sedangkan khabarnya adalah ucapannya yang berupa rangkaian kalimat berikutnya.
Ucapannya (semoga Allah Ta’ala menjaga mereka): Maksudnya, semoga Allah melindungi mereka dari segala kesulitan dan hal-hal yang tidak diinginkan. Ungkapan semacam ini dalam adat kebiasaan hanya digunakan untuk orang yang masih hidup. Dari sini dapat diambil manfaat bahwa orang yang memohon doa masih hidup pada saat doa tersebut diucapkan. Sebaliknya, untuk orang yang sudah wafat biasanya diungkapkan dengan raḥimahumullāh Ta’āla (semoga Allah merahmati mereka).
وَإِنْ كَانَ الْحِفْظُ مِنَ الشَّدَائِدِ يَصْلُحُ لِلْأَمْوَاتِ أَيْضًا، وَالرَّحْمَةُ تَصْلُحُ لِلْأَحْيَاءِ كَذَلِكَ. وَالضَّمِيرُ فِي حَفِظَهُم يَصِحُّ عَوْدُهُ عَلَى الْأَصْدِقَاءِ وَهُوَ أَفِيدُ، وَإِنْ كَانَ فِيهِ عَوْدُ الضَّمِيرِ عَلَى الْمُضَافِ إِلَيْهِ أَوْ عَلَى الْبَعْضِ، وَهُوَ أَقْعَدُ، لِأَنَّ فِيهِ عَوْدَ الضَّمِيرِ عَلَى الْمُضَافِ،
Meskipun penjagaan dari kesulitan juga dapat berlaku untuk orang yang telah wafat, dan rahmat juga bisa berlaku untuk orang yang masih hidup. Kata ganti dalam ḥafiẓahum bisa merujuk kepada para sahabat, dan ini lebih bermanfaat. Meskipun mungkin juga merujuk pada sesuatu yang dimiliki oleh sahabat atau pada sebagian dari mereka, dan ini lebih sesuai secara tata bahasa karena melibatkan kembalinya kata ganti kepada mudhof.
وَعَلَى هَذَا فَإِنَّمَا جُمِعَ الضَّمِيرُ نَظَرًا لِلْمَعْنَى، لِأَنَّهُ وَإِنْ كَانَ مُفْرَدًا لَفْظًا لَكِنَّهُ يُصَدَّقُ بِالْمُتَعَدِّدِ مَعْنًى
Dengan demikian, kata ganti tersebut dijamakkan sesuai makna, karena meskipun secara lafadz tunggal, ia mencakup makna yang jamak.
قَوْلُهُ (جُمْلَةٌ دُعَائِيَّةٌ) فَهِيَ خَبَرِيَّةٌ لَفْظًا إِنْشَائِيَّةٌ مَعْنًى، فَكَأَنَّهُ قَالَ: اللَّهُمَّ احْفَظْهُمْ. قَوْلُهُ (أَنْ أَعْمَلَ) أَي أُؤَلِّفَ، وَأَنَّ مَا بَعْدَهَا فِي تَأْوِيلِ مَصْدَرٍ مَفْعُولٌ ثَانٍ لِسَأَلَ، وَالْيَاءُ هِيَ الْمَفْعُولُ الْأَوَّلُ
Ucapannya (rangkaian doa): Ungkapan ini bersifat khabariyah secara lafadz namun inshaiyah secara makna. Seolah-olah ia berkata, Allahumma ḥafiẓhum (Ya Allah, jagalah mereka).
Ucapannya (agar aku bekerja): Maksudnya adalah agar aku menyusun atau menulis. Kata "an" diikuti dengan bentuk infinitif yang berfungsi sebagai objek kedua dari kata sa'ala (memohon), sedangkan huruf ya' merujuk pada objek pertama.
قَوْلُهُ (مُخْتَصَرًا): اِسْمُ مَفْعُولٍ مِنَ الِاخْتِصَارِ، وَهُوَ الإِيجَازُ، وَقَدِ اخْتَلَفَتْ عِبَارَتُهُمْ فِيهِ مَعَ تَقَارُبِ الْمَعْنَى، فَقِيلَ: هُوَ رَدُّ الْكَلَامِ إِلَى قَلِيلِهِ مَعَ اسْتِيفَاءِ الْمَعْنَى وَتَحْصِيلِهِ. وَقِيلَ: الإِقْلَالُ بِلا إِخْلالٍ، وَقِيلَ: تَكْثِيرُ الْمَعَانِي مَعَ تَقْلِيلِ الْمَبَانِي، وَقِيلَ: تَقْلِيلُ الْمُسْتَكْثَرِ وَضَمُّ الْمُنْتَشِرِ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْعِبَارَاتِ الرَّشِيقَةِ، وَإِنَّمَا سُمِّيَ اخْتِصَارًا لِمَا فِيهِ مِنَ الِاجْتِمَاعِ كَمَا سُمِّيَتِ الدُّرَّةُ مُخَصَّرَةً لاِجْتِمَاعِ السُّيُورِ فِيهَا، وَجَنْبُ الإِنْسَانِ خَصْرًا لاِجْتِمَاعِهِ وَدِقَّتِهِ.
Ucapannya (mukhtashar): Merupakan bentuk isim maf'ul dari kata ikhtishar, yang berarti ringkasan. Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan istilah ini, meskipun maknanya berdekatan. Beberapa pendapat menyatakan:
Ikhtishar adalah mereduksi pembicaraan hingga menjadi sedikit, tetapi tetap mencakup dan memenuhi makna yang dimaksud. Ada yang mengatakan, itu berarti mengurangi tanpa ada kekurangan (dalam makna). Pendapat lain menyebutkan, memperbanyak makna dengan memperkecil struktur kalimat. Ada juga yang mengatakan, merangkum sesuatu yang meluas dan menyatukan yang tersebar.
Selain itu, terdapat berbagai ungkapan yang elegan untuk mendeskripsikannya. Istilah ini disebut ikhtishar karena mencakup sifat terkonsentrasi, sebagaimana mutiara disebut mukhashsharah karena tali-temalinya berkumpul pada satu tempat, dan pinggang manusia disebut khashr karena berkumpul dan ramping.
قَوْلُهُ (هُوَ مَا قَلَّ لَفْظُهُ): وَلِذَلِكَ قَالَ بَعْضُهُمْ: "الْكَلَامُ يُخْتَصَرُ لِيُحْفَظَ، وَيُبْسَطُ لِيُفْهَمَ
Ucapannya (adalah apa yang sedikit lafadznya): Oleh karena itu, sebagian ulama mengatakan: "Perkataan diringkas agar mudah dihafal, dan diperluas agar mudah dipahami."
وَقَوْلُهُ: "وَكَثُرَ مَعْنَاهُ" أَيْ غَالِبًا، فَلَا يُنَافِي أَنَّ بَعْضَ الْمُخْتَصَرَاتِ يَقِلُّ مَعْنَاهَا كَلَفْظِ "بَلْ"، هَذَا الْمُخْتَصَرُ كَذَلِكَ، فَانْدَفَعَ مَا فِي الْمَخْشِيِّ مِنَ النَّظَرِ،
Ucapannya (dan banyak maknanya): Maksudnya, ini berlaku pada umumnya, sehingga tidak menafikan bahwa beberapa mukhtashar (ringkasan) memiliki sedikit makna, seperti lafadz bal. Mukhtashar ini juga demikian, sehingga keraguan yang dikhawatirkan dalam pandangan itu pun teratasi.
وَلَكِنْ أَفَادَ الشَّيْخُ السَّجَاعِيُّ فِي حَاشِيَتِهِ عَلَى الْخَطِيبِ أَنَّ الْمُخْتَصَرَ لُغَةً مَا قَلَّ لَفْظُهُ وَكَثُرَ مَعْنَاهُ. وَاصْطِلَاحًا: مَا قَلَّ لَفْظُهُ سَوَاءٌ أَكَثُرَ مَعْنَاهُ أَوْ قَلَّ أَوْ سَاوَى، فَالْقَيْدُ مُعْتَبَرٌ لُغَةً لَا اصْطِلَاحًا
Namun, Syaikh As-Syaja’i menjelaskan dalam Hasyiah-nya atas kitab Al-Khatib bahwa secara bahasa, mukhtashar adalah sesuatu yang sedikit lafadznya dan banyak maknanya. Sedangkan secara istilah, mukhtashar adalah sesuatu yang sedikit lafadznya, baik maknanya banyak, sedikit, ataupun sama. Oleh karena itu, syarat "banyak makna" hanya berlaku secara bahasa, bukan secara istilah.
قَوْلُهُ (فِي الْفِقْهِ): أَيْ كَائِنًا فِي الْفِقْهِ، فَالْجَارُّ وَالْمَجْرُورُ مُتَعَلِّقٌ بِمَحْذُوفٍ صِفَةً لِمُخْتَصَرٍ، أَوِ الظَّرْفِيَّةِ مِنْ ظَرْفِيَّةِ الدَّالِّ فِي الْمَدْلُولِ
Ucapannya (dalam fikih): Artinya, berada dalam ilmu fikih. Jadi, jar dan majrur terkait dengan kata yang dibuang, yang berfungsi sebagai sifat bagi mukhtashar, atau sebagai bentuk hubungan waktu dan tempat antara penunjuk (dal) dengan yang ditunjukkan (madlul).
لِأَنَّ الْمُخْتَصَرَ اِسْمٌ لِلْأَلْفَاظِ، وَالْفِقْهَ اِسْمٌ لِلْمَعَانِي، وَلَا يَرِدُ عَلَيْهِ أَنَّ الْأَلْفَاظَ قَوَالِبُ لِلْمَعَانِي كَمَا هُوَ الْمَشْهُورُ لِأَنَّهُ اعْتَبَرَ دَلَالَةَ الْأَلْفَاظِ عَلَى الْمَعَانِي نَظَرًا لِلسَّامِعِ
Hal ini karena mukhtashar adalah nama untuk lafadz-lafadz, sedangkan fikih adalah nama untuk makna-makna. Tidak ada kontradiksi dengan pandangan umum bahwa lafadz adalah wadah bagi makna, sebab di sini dipertimbangkan hubungan petunjuk lafadz terhadap makna dari sudut pandang pendengar.
فَلَا يُنَافِي ظَرْفِيَّةَ الْأَلْفَاظِ فِي الْمَعَانِي بِاعْتِبَارِ التَّعَقُّلِ نَظَرًا لِلْمُتَكَلِّمِ، فَإِنَّهُ يَتَعَقَّلُ الْمَعْنَى أَوَّلًا ثُمَّ يَأْتِي بِاللَّفْظِ عَلَى طَبَقِهِ، كَمَا أَنَّ الشَّخْصَ يُحَصِّلُ الظَّرْفَ أَوَّلًا، ثُمَّ يَأْتِي بِالْمَظْرُوفِ عَلَى طَبَقِهِ
Dengan demikian, ini tidak bertentangan dengan konsep bahwa lafadz menjadi wadah bagi makna dari sudut pandang akal penutur. Sebab, penutur terlebih dahulu memahami makna, lalu mengungkapkannya dengan lafadz yang sesuai dengan makna tersebut. Sebagaimana seseorang pertama-tama menyediakan wadah, lalu mengisinya dengan isi yang sesuai dengan wadah tersebut.
فَإِنْ قِيلَ: لِمَ قَالَ فِي الْفِقْهِ مَعَ أَنَّهُ يُغْنِي عَنْهُ قَوْلُهُ عَلَى مَذْهَبِ الْإِمَامِ الشَّافِعِيِّ؟
وَأُجِيبَ بِجَوَابَيْنِ
Jika ditanyakan: Mengapa dia mengatakan dalam fikih padahal hal itu sudah cukup diwakili oleh ucapannya berdasarkan mazhab Imam Syafi'i?
Jawaban diberikan dalam dua pendapat:
الْأَوَّلُ: بِتَسْلِيمِ أَنَّهُ يُغْنِي عَنْهُ، لَكِنَّهُ قَالَ ذَلِكَ لِيَمْدَحَ مُخْتَصَرَهُ مِنْ وَجْهَيْنِ: عُمُومِ كَوْنِهِ فِي الْفِقْهِ، وَخُصُوصِ كَوْنِهِ عَلَى مَذْهَبِ الْإِمَامِ الشَّافِعِيِّ
Pendapat pertama: Mengakui bahwa ungkapan tersebut sebenarnya sudah cukup, tetapi dia tetap menyebutkannya untuk memuji mukhtashar-nya dari dua sisi: secara umum karena terkait dengan fikih dan secara khusus karena didasarkan pada mazhab Imam Syafi'i.
.
وَالثَّانِي: يُمْنَعُ أَنَّهُ يُغْنِي عَنْهُ لِأَنَّ مَذْهَبَ الشَّافِعِيِّ قَدْ يَكُونُ فِي غَيْرِ الْفِقْهِ، فَإِنَّهُ كَانَ مُجْتَهِدًا فِي اللُّغَةِ وَالْأُصُولِ أَيْضًا
Pendapat kedua: Menolak bahwa ungkapan tersebut cukup. Sebab, mazhab Syafi'i tidak hanya mencakup fikih, tetapi juga bisa berada di bidang lain, seperti bahasa dan ushul, karena Imam Syafi'i juga seorang mujtahid dalam ilmu bahasa dan ushul fikih.
قَوْلُهُ (هُوَ): أَيْ الْفِقْهُ، وَهُوَ مُبْتَدَأٌ خَبَرُهُ قَوْلُهُ: "الْفَهْمُ". وَقَوْلُهُ: لُغَةً: مَنْصُوبٌ عَلَى نَزْعِ الْخَافِضِ، أَيْ فِي لُغَةِ الْعَرَبِ. وَاللُّغَةُ فِي اللُّغَةِ: اللَّهَجُ فِي الْكَلَامِ، أَيْ الْإِسْرَاعُ فِيهِ. وَفِي الِاصْطِلَاحِ: الْأَلْفَاظُ الَّتِي وَضَعَتْهَا الْعَرَبُ لِمَعَانٍ، وَهِيَ الْكَلِمَاتُ اللُّغَوِيَّةُ.
Ucapannya (هو): Maksudnya adalah fikih, yang merupakan mubtada' (subjek) dengan khabar (predikat) berupa ucapannya: "al-fahmu" (pemahaman).
Ucapannya (لغة): Berstatus manshub karena ada penghilangan huruf jar (naza' al-khafidh), maksudnya: "dalam bahasa Arab".
Makna bahasa secara bahasa: Lughah berarti lahj dalam perkataan, yaitu berbicara dengan cepat (al-isra' fi al-kalam).
Makna bahasa secara istilah: Lughah adalah lafaz-lafaz yang digunakan oleh orang Arab untuk menunjukkan makna tertentu, yaitu kata-kata dalam bahasa (Arab).
قَوْلُهُ (الْفَهْمُ): قِيلَ مُطْلَقًا كَمَا هُوَ عِبَارَةُ الشَّارِحِ، وَقِيلَ: فَهْمُ مَا دَقَّ فَقَطْ، يُقَالُ: فَقِهَ كَفَهِمَ وَزَنَى وَمَعْنَى
Ucapannya (الفهم): Dikatakan bahwa yang dimaksud adalah pemahaman secara mutlak, sebagaimana ungkapan dari penjelas (syarh). Pendapat lain menyebutkan bahwa yang dimaksud adalah pemahaman terhadap hal-hal yang rumit saja. Dalam bahasa Arab, digunakan ungkapan: faqih sebagaimana fahim (memahami), zanâ (berzina), dan ma'ânâ (bermakna).
وَفَقِهَ: بِفَتْحِ الْقَافِ إِذَا سَبَقَ غَيْرَهُ فِي الْفَهْمِ، وَفُقِهَ: بِضَمِّهَا إِذَا صَارَ الْفِقْهُ لَهُ سَجِيَّةً وَطَبِيعَةً. وَمَعْنَى الْفَهْمِ ارْتِسَامُ صُورَةِ الشَّيْءِ فِي الذِّهْنِ
Kata faqih dengan fathah pada huruf qaf digunakan untuk menunjukkan seseorang yang mendahului orang lain dalam pemahaman. Sedangkan fuqih dengan dhammah pada huruf qaf menunjukkan seseorang yang menjadikan pemahaman sebagai kebiasaan dan sifat alami.
Makna fahmu (pemahaman) adalah terbentuknya gambaran sesuatu dalam pikiran (irtisâm sûrat al-syai' fi al-dzihn).
قَوْلُهُ (وَاصْطِلَاحًا): عَطْفٌ عَلَى "لُغَةً"، فَهُوَ مَنْصُوبٌ عَلَى نَزْعِ الْخَافِضِ أَيْضًا. وَالِاصْطِلَاحُ فِي اللُّغَةِ مُطْلَقُ الِارْتِفَاقِ. وَفِي الِاصْطِلَاحِ: اتِّفَاقُ طَائِفَةٍ عَلَى وَضْعِ أَمْرٍ لِأَمْرٍ مَتَى أُطْلِقَ انْصَرَفَ إِلَيْهِ، وَتَارَةً يُعَبِّرُونَ بِقَوْلِهِمْ: "اصْطِلَاحًا
Ucapannya (واصطلاحًا): Kata ini merupakan 'athaf pada kata "لغةً" sehingga berstatus manshub karena penghilangan huruf jar (naza' al-khafidh).
Makna istilah secara bahasa: Istilah secara bahasa bermakna kerja sama atau pemanfaatan secara umum (mutlaq al-irtifâq).
Makna istilah secara istilah: Kesepakatan suatu kelompok untuk menetapkan suatu hal sebagai lambang dari hal tertentu. Ketika digunakan, lambang tersebut langsung merujuk kepada makna yang dimaksud. Terkadang, hal ini juga dijelaskan dengan ungkapan: "ishtilâhan".
وَتَارَةً بِقَوْلِهِمْ: شَرْعًا. وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّ الْأَوَّلَ يَكُونُ فِي الْأَمْرِ الْمُتَّفَقِ عَلَيْهِ بَيْنَ طَائِفَةٍ مَخْصُوصَةٍ، وَأَنَّ الثَّانِيَ يَكُونُ فِي الْأَمْرِ الْمُتَلَقَّى مِنَ الشَّارِعِ كَمَعْنَى الصَّلَاةِ، وَهُوَ: أَقْوَالٌ وَأَفْعَالٌ مُفْتَتَحَةٌ بِالتَّكْبِيرِ، وَمُخْتَتَمَةٌ بِالتَّسْلِيمِ بِشَرَائِطَ مَخْصُوصَةٍ. وَقَدْ يُعَبِّرُونَ بِقَوْلِهِمْ: شَرْعًا فِيمَا اصْطَلَحَ عَلَيْهِ الْفُقَهَاءُ مِنْ حَيْثُ أَنَّهُمْ حَمَلَةُ الشَّرْعِ، كَمَا قَالَ الشَّبْرَامَلِّسِيُّ.
"Dan kadang-kadang mereka menyebutnya dengan istilah 'syar’an' (secara syariat). Perbedaan antara keduanya adalah: yang pertama (istilah yang digunakan sebelumnya) digunakan untuk perkara yang telah disepakati oleh sekelompok tertentu, sedangkan yang kedua digunakan untuk perkara yang diterima dari syariat, seperti makna salat, yaitu: perkataan dan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam dengan syarat-syarat tertentu. Dan kadang-kadang mereka mengekspresikan istilah 'syar’an' dalam hal yang telah disepakati oleh para fuqaha (ahli fikih), karena mereka adalah pembawa syariat, sebagaimana yang dikatakan oleh Syabramallisi."
قَوْلُهُ (الْعِلْمُ) هُوَ حُكْمُ الذِّهْنِ الْجَازِمِ الْمُطَابِقِ لِلْوَاقِعِ عَنْ دَلِيلٍ. وَالْمُرَادُ بِهِ هُنَا الظَّنُّ مَجَازًا. وَالْمُرَادُ بِالظَّنِّ التَّهَيُّؤُ لِذَلِكَ بِالْمَلَكَةِ الَّتِي يَقْتَدِرُ بِهَا عَلَى اسْتِنْبَاطِ الْأَحْكَامِ وَلا الظَّنُّ بِالْفِعْلِ، فَلَا يَرِدُ أَنَّهُ ثَبَتَ عَنْ كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْأَئِمَّةِ أَنَّهُ قَالَ: لَا أَدْرِي لِكَوْنِهِ لَمْ يَقْدَحْ فِكْرَتَهُ وَ لَوْ أَعْمَلَ فِكْرَهُ لَأَجَابَ لِوُجُودِ الْمَلَكَةِ الَّتِي يَسْتَنْبِطُ بِهَا الْأَحْكَامَ عِندَهُ. فَهُوَ مَجَازٌ مَبْنِيٌّ عَلَى مَجَازٍ. وَالْكَلَامُ فِي ظَنِّ الْمُجْتَهِدِ فَلَا يَشْمَلُ ظَنَّ غَيْرِهِ فَلَا يُقَالُ لَهُ فِقْهٌ.
Pernyataannya "ilmu" adalah hukum pikiran yang pasti, sesuai dengan realitas, dan berdasarkan dalil. Namun, yang dimaksud di sini adalah zhan (dugaan) secara kiasan. Yang dimaksud dengan zhan adalah kesiapan untuk itu melalui kemampuan yang dengannya seseorang dapat menggali hukum-hukum (istinbat), bukan zhan dalam arti tindakan. Maka, tidak menjadi persoalan bahwa telah dinyatakan dari setiap imam bahwa mereka pernah berkata, "Saya tidak tahu," karena mereka tidak mengerahkan pemikiran mereka. Jika mereka mengerahkan pikiran, niscaya mereka akan memberikan jawaban karena adanya kemampuan (malakah) yang dimiliki untuk menggali hukum-hukum. Oleh karena itu, ini adalah kiasan yang dibangun di atas kiasan.
Pembahasan ini terkait dengan zhan seorang mujtahid, sehingga tidak mencakup zhan orang lain. Dengan demikian, tidak disebut sebagai fiqh bagi orang yang bukan mujtahid.
قَوْلُهُ (بِالْأَحْكَامِ) قَيْدٌ أَوَّلٌ خَرَجَ بِهِ الْعِلْمُ بِالذَّوَاتِ وَالصِّفَاتِ كَذَاتِ زَيْدٍ وَبَيَاضِهِ. وَالْأَحْكَامُ جَمْعُ حُكْمٍ وَهُوَ خِطَابُ اللَّهِ الْمُتَعَلِّقُ بِفِعْلِ الْمُكَلَّفِينَ إِمَّا بِالطَّلَبِ أَوِ الإِبَاحَةِ أَوِ الوَضْعِ. فَقَوْلُنَا: إِمَّا بِالطَّلَبِ أَوِ الإِبَاحَةِ إِشَارَةٌ إِلَى الْأَحْكَامِ التَّكْلِيفِيَّةِ وَهِيَ خَمْسَةٌ: الإِيجَابُ وَالْتَّحْرِيمُ وَالْنَّدْبُ وَالْكَرَاهَةُ وَالْخِفَّةُ. فَتَشْمُلُ خِلَافَ الْأُولَى وَالإِبَاحَةَ. وَقَوْلُنَا: أَوِ الوَضْعِ إِشَارَةٌ إِلَى الْأَحْكَامِ الوَضْعِيَّةِ وَهِيَ خَمْسَةٌ أَيْضًا: وَهِيَ كَلَامُ اللَّهِ تَعَالَى الْمُتَعَلِّقُ بِجَعْلِ الشَّيْءِ سَبَبًا أَوْ شَرْطًا أَوْ مَانِعًا أَوْ صَحِيحًا أَوْ فَاسِدًا. فَالْجُمَلَةُ عَشَرَةٌ وَإِذَا ضُرِبَتِ الْخَمْسَةُ كَانَتِ الجُمَلَةُ خَمْسَةً وَعِشْرِينَ. وَالْمُرَادُ بِالْأَحْكَامِ هُنَا النِّسَبُ التَّامَّةُ كَثُبُوتِ الْوُجُوبِ لِلنِّيَّةِ فِي الوُضُوءِ فِي قَوْلِنَا: النِّيَّةُ فِي الوُضُوءِ وَاجِبَةٌ، وَثُبُوتِ النَّدْبِ لِلْوِتْرِ فِي قَوْلِنَا: الوِتْرُ مَنْدُوبٌ، وَهَكَذَا وَالْفِي لِلْأَحْكَامِ لِلاِسْتِغْرَاقِ. قَوْلُهُ (الشَّرْعِيَّةِ) قَيْدٌ ثَانٍ خَرَجَ بِهِ الْعِلْمُ بِالْأَحْكَامِ الْحِسَابِيَّةِ وَالْعَادِيَّةِ فَلَا يُسَمَّى فِقْهًا.
Pernyataannya (“dengan hukum-hukum”) adalah batasan pertama, yang dengan itu dikecualikan ilmu tentang zat-zat dan sifat-sifat, seperti zat Zaid dan warna putihnya. Hukum-hukum (ahkam) adalah bentuk jamak dari hukm, yaitu seruan Allah yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan, kebolehan, maupun penetapan.
Ungkapan kami “baik berupa tuntutan maupun kebolehan” mengacu pada hukum-hukum taklifi, yang jumlahnya ada lima: kewajiban (ijab), larangan (tahrim), anjuran (nadb), makruh (karahah), dan kebolehan (khiffah). Ini mencakup hal yang kurang utama (khilaf al-awla) dan kebolehan (ibahah). Sedangkan ungkapan kami “atau penetapan” mengacu pada hukum-hukum wad’i, yang juga berjumlah lima, yaitu seruan Allah Ta’ala yang berkaitan dengan menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, penghalang, sah, atau batal. Maka jumlah totalnya adalah sepuluh. Jika lima tersebut digabungkan, maka keseluruhan jumlahnya menjadi dua puluh lima.
Yang dimaksud dengan hukum-hukum (ahkam) di sini adalah hubungan-hubungan sempurna, seperti penetapan kewajiban niat dalam wudhu dalam pernyataan kita “niat dalam wudhu adalah wajib”, atau penetapan anjuran shalat witir dalam pernyataan kita “shalat witir adalah sunnah”, dan seterusnya. Huruf alif lam pada al-ahkam menunjukkan makna menyeluruh (istighraq).
Pernyataannya (“syar’i”) adalah batasan kedua, yang dengan itu dikecualikan ilmu tentang hukum-hukum matematis dan kebiasaan, sehingga tidak disebut sebagai fiqh.
وَالشَّرْعِيَّةُ نِسْبَةٌ لِلشَّرْعِ بِمَعْنَى الشَّارِعِ، وَهُوَ اللَّهُ تَعَالَى أَوْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَانْدَفَعَ مَا يُقَالُ إِنَّ فِيهِ نِسْبَةَ الشَّيْءِ إِلَى نَفْسِهِ، لِأَنَّ هَذِهِ الْأَحْكَامِ يُقَالُ لَهَا شَرْعٌ. قَوْلُهُ (الْعَمَلِيَّةُ) قَيْدٌ ثَالِثٌ خَرَجَ بِهِ الْعِلْمُ بِالْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْاعْتِقَادِيَّةِ كَثُبُوتِ الْوُجُوبِ لِلْقُدْرَةِ فِي قَوْلِنَا: الْقُدْرَةُ وَاجِبَةٌ لِلَّهِ تَعَالَى. وَهَكَذَا بَقِيَّةُ الصِّفَاتِ فَيُسَمَّى ذَٰلِكَ عِلْمَ الْكَلَامِ وَعِلْمَ التَّوْحِيدِ. وَالْمُرَادُ بِالْعِلْمِيَّةِ الْمُتَعَلِّقَةِ بِكَيْفِيَّةِ عَمَلٍ وَلَوْ قَلْبِيًّا كَالنِّيَّةِ. فَالصَّلَاةُ فِي قَوْلِنَا: الصَّلَاةُ وَاجِبَةٌ عَمَلٌ. وَكَيْفِيَّةُ الْوُجُوبِ وَالْحُكْمُ هُوَ ثُبُوتٌ لِلْوُجُوبِ لِلصَّلَاةِ وَالنِّيَّةِ فِي قَوْلِنَا: النِّيَّةُ فِي الوُضُوءِ وَاجِبَةٌ عَمَلٌ قَلْبِيٌّ. وَكَيْفِيَّتُهَا الْوُجُوبُ وَالْحُكْمُ هُوَ ثُبُوتُ الْوُجُوبِ لِلنِّيَّةِ. قَوْلُهُ (الْمُكْتَسَبُ) بِالْرَّفْعِ عَلَىٰ أَنَّهُ صِفَةٌ لِلْعِلْمِ وَهُوَ قَيْدٌ رَابِعٌ خَرَجَ بِهِ عِلْمُ اللَّهِ تَعَالَىٰ فَإِنَّهُ لَيْسَ مُكْتَسَبًا. مِنْ أَدِلَّتِهَا التَّفْصِيلِيَّةِ (عَلَىٰ مَذْهَبِ الإِمَامِ) الْأَعْظَمِ الْمُجْتَهِدِ نَاصِرِ السُّنَّةِ وَالدِّينِ.
Istilah "syar'iyyah" adalah penisbatan kepada syariat dalam arti Sang Pembuat Syariat, yaitu Allah Ta'ala atau Nabi Muhammad ﷺ. Dengan demikian, terjawablah apa yang dikatakan bahwa di dalamnya terdapat penisbatan sesuatu kepada dirinya sendiri, karena hukum-hukum ini disebut juga sebagai syar’.
Pernyataannya (“amaliyah”) adalah batasan ketiga, yang dengannya dikecualikan ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat akidah, seperti penetapan kewajiban sifat qudrah dalam pernyataan kita “Qudrah adalah wajib bagi Allah Ta’ala”, begitu pula sifat-sifat lainnya. Ilmu ini disebut sebagai ilmu kalam atau ilmu tauhid.
Yang dimaksud dengan ilmu amaliyah adalah ilmu yang berkaitan dengan tata cara perbuatan, meskipun bersifat hati seperti niat. Maka, shalat dalam pernyataan kita “shalat adalah wajib” adalah perbuatan. Cara kewajibannya adalah penetapan kewajiban untuk shalat. Sedangkan niat dalam pernyataan kita “niat dalam wudhu adalah wajib” adalah perbuatan hati, dan cara kewajibannya adalah penetapan kewajiban untuk niat.
Pernyataannya (“al-muktasab”) dengan raf' (dibaca marfu’) adalah sebagai sifat bagi ilmu, yang menjadi batasan keempat, sehingga dikecualikan ilmu Allah Ta'ala, karena ilmu-Nya bukan sesuatu yang diperoleh.
Adapun frasa "min adillatiha tafsiliyyah" (dari dalil-dalilnya yang rinci) menurut madzhab Imam Agung, Mujtahid, Pembela Sunnah dan Agama (Imam Abu Hanifah).
وَلِذَٰلِكَ قَالَ صَاحِبُ الْجَوْهَرَ:
وَعِلْمُهُ وَلَا يُقَالُ مُكْتَسَبٌ فَاتَّبِعْ سَبِيلَ الْحَقِّ وَاطْرَحْ الرَّيْبَ
Oleh karena itu, penulis kitab Al-Jauhar berkata:
"Dan ilmu-Nya tidak dikatakan sebagai sesuatu yang diperoleh. Maka ikutilah jalan kebenaran dan tinggalkanlah keraguan."
وَبَعْضُهُمْ أَخْرَجَ بِهِ عِلْمَ جِبْرِيلِ وَالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِنَاءً عَلَىٰ أَنَّهُ لَيْسَ مُكْتَسَبًا بَلْ بِإِلْهَامٍ. وَالْحَقُّ أَنَّهُ مُكْتَسَبٌ لِأَنَّ عِلْمَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَكْتَسِبُهُ مِنْ جِبْرِيلِ، وَعِلْمُ جِبْرِيلِ يَكْتَسِبُهُ مِنْ اللَّوْحِ لَا الْمَحْفُوظِ. وَحِينَئِذٍ فَعِلْمُ كُلٍّ مِّنْهُمَا خَارِجٌ بِقَوْلِهِ مِنْ أَدِلَّتِهَا، وَهَذَا بِنِسْبَةٍ لِمَا لَمْ يَكُنْ بِاجْتِهَادِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِنَاءً عَلَىٰ أَنَّهُ كَانَ يَجْتَهِدُ وَهُوَ الرَّاجِحُ فَيُقَالُ لِعِلْمِهِ بِالْأَحْكَامِ الَّتِي اسْتَنْبَطَهَا بِاجْتِهَادِهِ مِنَ الْأَدِلَّةِ فِقْهٌ بِنِسْبَةٍ لَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِنْ كَانَ مِنْ أَدِلَّةِ الْفِقْهِ بِنِسْبَةٍ لَنَا.
Sebagian ulama mengecualikan ilmu Jibril dan Nabi Muhammad ﷺ dengan alasan bahwa ilmu tersebut bukanlah sesuatu yang diperoleh, melainkan berdasarkan ilham. Namun, pendapat yang benar adalah bahwa ilmu tersebut diperoleh. Sebab, ilmu Nabi Muhammad ﷺ diperolehnya dari Jibril, dan ilmu Jibril diperolehnya dari Lauh (bukan Lauh Mahfuzh). Dengan demikian, ilmu masing-masing dari mereka dikecualikan dengan pernyataan “min adillatiha” (dari dalil-dalilnya), ini berkaitan dengan hal-hal yang tidak diperoleh melalui ijtihad Nabi ﷺ.
Adapun pendapat bahwa Nabi ﷺ melakukan ijtihad adalah yang lebih kuat. Maka, ilmu Nabi ﷺ tentang hukum-hukum yang disimpulkannya melalui ijtihad dari dalil-dalil disebut fiqh baginya. Sedangkan bagi kita, hal itu merupakan bagian dari dalil-dalil fiqh.
قَوْلُهُ (مِنْ أَدِلَّتِهَا) أَيِ مِنْ أَدِلَّةِ الْأَحْكَامِ أَيِ مِنَ الْأَدِلَّةِ الْمُحَصِّلَةِ لَهَا، وَهَذَا قَيْدٌ خَامِسٌ خَرَجَ بِهِ عِلْمُ جِبْرِيلِ وَالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِنَاءً عَلَىٰ أَنَّهُ مُكْتَسَبٌ كَمَا مَرَّ فِي غَيْرِ مَا اجْتَهَدَ فِيهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا عَلِمْتَ. (قَوْلُهُ التَّفْصِيلِيَّةُ) أَيِ الْمُفَصَّلَةِ الْمُعَيَّنَةِ، وَهَذَا قَيْدٌ سَادِسٌ خَرَجَ بِهِ عِلْمُ الْخِلَافِيِّ وَهُوَ مَنْ يَنْصِّبُ نَفْسَهُ لِلذَّبِّ عَنْ مَذْهَبِ إِمَامِهِ كَأَنْ يَقُولَ الْمَزْنِيُّ: النِّيَّةُ فِي الوُضُوءِ وَاجِبَةٌ لِمَا قَامَ عِندَ إِمَامِي، وَالْوَتْرُ مَنْدُوبٌ لِمَا قَامَ عِندَ إِمَامِي. وَهَكَذَا فَإِنَّ هَذِهِ الْأَدِلَّةَ الَّتِي قَالَهَا لَيْسَتْ مُفَصَّلَةً مُعَيَّنَةً. وَالتَّحْقِيقُ أَنَّ الْخِلَافِيَّ لَا يَسْتَفِيدُ مِنْ هَذِهِ الْأَدِلَّةِ عِلْمًا حَتَّى تُفَصَّلَ وَتُعَيَّنَ، فَلَا يَظْهَرُ خُرُوجُ عِلْمِ الْخِلَافِيِّ بِذَٰلِكَ. وَكَيْفِيَّةُ أَخْذِ الْأَحْكَامِ مِنَ الْأَدِلَّةِ التَّفْصِيلِيَّةِ أَنْ تَقُولَ: أَقِيمُوا الصَّلَاةَ أَمْرٌ. وَالْأَمْرُ لِلْوُجُوبِ يَنْتِجُ أَقِيمُوا الصَّلَاةَ لِلْوُجُوبِ. وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا نَهْيٌ وَالنَّهْيُ لِلْتَّحْرِيمِ. ثُمَّ يَنْتِجُ لَا تَقْرَبُوا الزِّنَا لِلتَّحْرِيمِ. وَهَكَذَا وَأَخْصَرُ مِنْ هَذَا التَّعْرِيفِ وَأَوْضَحُ مِنْهُ أَنْ يُقَالَ: الفِقْهُ هُوَ الْعِلْمُ بِالْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الَّتِي طَرِيقُهَا الاجْتِهَادُ.
Pernyataannya (“dari dalil-dalilnya”), maksudnya adalah dari dalil-dalil hukum, yaitu dari dalil-dalil yang menghasilkan hukum tersebut. Ini adalah batasan kelima yang dengannya dikecualikan ilmu Jibril dan Nabi ﷺ berdasarkan pendapat bahwa ilmu tersebut diperoleh, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya dalam hal-hal yang tidak menjadi ijtihad Nabi ﷺ, seperti yang telah diketahui.
Pernyataannya (“tafsiliyyah”), artinya adalah dalil-dalil yang rinci dan tertentu. Ini adalah batasan keenam yang dengannya dikecualikan ilmu khilafi, yaitu ilmu orang yang mengabdikan dirinya untuk membela madzhab imamnya, seperti ketika Al-Muzani berkata: “Niat dalam wudhu adalah wajib karena yang ditetapkan menurut imamku”, atau “Shalat witir adalah sunnah karena yang ditetapkan menurut imamku”, dan seterusnya. Dalil-dalil yang disampaikannya tidaklah bersifat rinci dan tertentu.
Pendapat yang tepat adalah bahwa seorang ahli khilaf tidak memperoleh ilmu dari dalil-dalil tersebut hingga dalil-dalil itu dirinci dan ditentukan. Oleh karena itu, tidak tampak bahwa ilmu khilafi dikecualikan dengan batasan ini.
Adapun metode mengambil hukum dari dalil-dalil yang rinci adalah, misalnya:
1. Firman Allah “Dirikanlah shalat” adalah perintah.
2. Perintah menunjukkan kewajiban.
3. Maka, “Dirikanlah shalat” menunjukkan kewajiban.
Atau firman Allah “Janganlah kalian mendekati zina” adalah larangan.
1. Larangan menunjukkan keharaman.
2. Maka, “Janganlah kalian mendekati zina” menunjukkan keharaman.
Dan seterusnya.
Definisi yang lebih ringkas dan lebih jelas dari ini adalah:
"Fiqh adalah ilmu tentang hukum-hukum syar'i yang diperoleh melalui ijtihad."
قَوْلُهُ (عَلَىٰ مَذْهَبِ الْإِمَامِ) صِفَةٌ لِلْفِقْهِ أَيِ فِي الْفِقْهِ الْكَائِنِ عَلَىٰ مَذْهَبِ الْإِمَامِ مِنْ كِينُونَةِ الْعَامِّ عَلَىٰ الْخَاصِّ، أَوْ صِفَةٌ لِـ مُخْتَصَرًا أَيِ مُخْتَصَرًا كَائِنًا عَلَىٰ مَذْهَبِ الْإِمَامِ مِنْ كِينُونَةِ الْإِمَامِ الدَّالَّ عَلَىٰ الْمَدْلُولِ.
Pernyataannya (“atas madzhab imam”) adalah sifat untuk fiqh, artinya fiqh yang berada di atas madzhab imam, di mana ini merupakan hubungan sesuatu yang umum dengan sesuatu yang khusus. Atau, pernyataan tersebut adalah sifat untuk mukhtashar, artinya mukhtashar (ringkasan) yang berada di atas madzhab imam, berdasarkan hubungan imam yang menunjukkan kepada hal yang dimaksudkan.
وَالمَذْهَبُ فِي اللُّغَةِ: اسْمٌ لِمَكَانِ الذَّهَابِ، ثُمَّ اسْتُعْمِلَ فِيمَا ذَهَبَ إِلَيْهِ الإِمَامُ مِنَ الأَحْكَامِ مَجَازًا عَلَىٰ طَرِيقِ الاِسْتِعَارَةِ التَّصْرِيحِيَّةِ التَّبَعِيَّةِ. وَتَقْرِيرُهَا أَنْ تَقُولَ: شُبِّهَ اخْتِيَارُ الأَحْكَامِ بِمَعْنَىٰ الذَّهَابِ، وَاسْتُعِيرَ الذَّهَابُ لاِخْتِيَارِ الأَحْكَامِ. وَاشْتُقَّ مِنْهُ مَذْهَبٌ بِمَعْنَىٰ أَحْكَامٍ مُخْتَارَةٍ، ثُمَّ صَارَ حَقِيقَةً عُرْفِيَّةً. قَوْلُهُ (الأَعْظَامِ): أَيِ مِنْ أَئِمَّةِ مَذْهَبِهِ لاَ مُطْلَقًا.
Kata "madzhab" dalam bahasa Arab secara literal berarti tempat pergi. Kemudian, kata ini digunakan secara metaforis untuk merujuk pada pendapat-pendapat hukum yang dipegang oleh seorang imam, melalui majaz (kiasan) berdasarkan isti'arah tashrihiyyah taba'iyyah (metafora eksplisit yang mengikuti).
Penjelasannya adalah sebagai berikut:
Pilihan hukum disamakan dengan makna pergi, dan istilah pergi diambil untuk menggambarkan pilihan hukum.
Dari kata tersebut, dihasilkan istilah madzhab yang berarti pendapat-pendapat hukum yang dipilih.
Kemudian, istilah ini menjadi makna hakiki secara 'urfi (kebiasaan).
Pernyataannya (“al-a'zham”) berarti imam-imam dari madzhabnya, bukan secara mutlak (bukan semua imam).
قَوْلُهُ (المُجْتَهِدِ): أَيِ اجْتِهَادًا مُطْلَقًا، لأَنَّهُ المُنْصَرِفُ إِلَيْهِ اللَّفْظُ عِنْدَ الإِطْلاَقِ. وَالاِجْتِهَادُ فِي الأَصْلِ بَذْلُ المَجْهُودِ فِي طَلَبِ المَقْصُودِ، وَيُرَادُ فِيهِ التَّحَرِّي وَالتَّوَخِّي. ثُمَّ اسْتُعْمِلَ فِي اسْتِنْبَاطِ الأَحْكَامِ مِنَ الكِتَابِ وَالسُّنَّةِ، وَقَدِ انْقَطَعَ مِنْ نَحْوِ الثَّلَثِمِائَةِ. وَادَّعَىٰ الجَلَالُ السُّيُوطِيُّ بَقَاءَهُ إِلَىٰ آخِرِ الزَّمَانِ، وَاسْتَدَلَّ بِقَوْلِهِ صَلَّىٰ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «يَبْعَثُ اللَّهُ عَلَىٰ رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لِهَذِهِ الأُمَّةِ أَمْرَ دِينِهَا))، وَمُنِعَ الاِسْتِدْلاَلُ بِأَنَّ المُرَادَ بِمَنْ يُجَدِّدُ أَمْرَ الدِّينِ مَنْ يُقَرِّرُ الشَّرَائِعَ وَالأَحْكَامَ لاَ المُجْتَهِدَ المُطْلَقَ. وَخَرَجَ بِهِ مُجْتَهِدُ المَذْهَبِ، وَهُوَ مَنْ يَسْتَنْبِطُ الأَحْكَامَ مِنْ قَوَاعِدِ إِمَامِهِ كَالمُزَنِيِّ، وَمُجْتَهِدُ الفَتْوَىٰ، وَهُوَ مَنْ يَقْدِرُ عَلَىٰ التَّرْجِيحِ فِي الأَقْوَالِ كَالرَّافِعِيِّ وَالنَّوَوِيِّ، لاَ كَالرَّمْلِيِّ وَابْنِ حَجَرٍ، فَإِنَّهُمَا لَمْ يَبْلُغَا مَرْتَبَةَ التَّرْجِيحِ، بَلْ هُمَا مُقَلِّدَانِ فَقَطْ. وَقَالَ بَعْضُهُمْ: بَلْ لَهُمَا تَرْجِيحٌ فِي بَعْضِ المَسَائِلِ، بَلْ وَلِلشِّبْرَامَلِّسِيِّ أَيْضًا.
Ucapannya (mujtahid): maksudnya adalah seseorang yang melakukan ijtihad secara mutlak, karena pengertian kata tersebut secara umum mengarah pada ijtihad mutlak jika digunakan tanpa batasan. Secara asal, ijtihad adalah mengerahkan seluruh kemampuan dalam mencari tujuan yang diinginkan. Dalam pengertian ini, ijtihad berarti kehati-hatian dan berusaha sungguh-sungguh.
Kemudian istilah ini digunakan dalam konteks mengeluarkan hukum-hukum dari Al-Qur’an dan Sunnah. Ijtihad telah terhenti sekitar tahun 300 Hijriah. Namun, Jalaluddin As-Suyuthi mengklaim bahwa ijtihad tetap ada hingga akhir zaman, dengan dalil sabda Rasulullah ﷺ:
"Sesungguhnya Allah akan mengutus pada setiap awal seratus tahun seseorang yang akan memperbarui urusan agama umat ini."
Namun, argumen ini dibantah dengan menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pembaru urusan agama adalah orang yang memperkuat syariat dan hukum-hukum, bukan mujtahid mutlak.
Dari pengertian ini dikecualikan mujtahid dalam mazhab, yaitu orang yang mengeluarkan hukum berdasarkan kaidah-kaidah imam mazhabnya, seperti Al-Muzani. Juga dikecualikan mujtahid fatwa, yaitu orang yang mampu memberikan preferensi (tarjih) dalam berbagai pendapat, seperti Ar-Rafi’i dan An-Nawawi. Tidak termasuk, misalnya, Ar-Ramli dan Ibnu Hajar, karena keduanya tidak mencapai derajat tarjih, melainkan hanya sebagai pengikut (muqallid) semata.
Sebagian ulama mengatakan bahwa sebenarnya mereka berdua memiliki kemampuan tarjih dalam beberapa masalah, bahkan termasuk Asy-Syibramalisi juga.
قَوْلُهُ (أَبِي عَبْدِ اللهِ): كُنْيَتُهُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، وَلاَ يَلْزَمُ مِنْ هَذِهِ الكُنْيَةِ أَنْ يَكُونَ لَهُ وَلَدٌ سُمِّيَ بِعَبْدِ اللهِ، لأَنَّ الكُنْيَةَ لاَ تَسْتَلْزِمُ ذَلِكَ كَمَا فِي قَوْلِهِ صَلَّىٰ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَا فَعَلَ النُّغَيْرُ يَا أَبَا عُمَيْرٍ؟» لِصَغِيرٍ كَانَ مَعَهُ طَائِرٌ يُقَالُ لَهُ النُّغَيْرُ فَمَاتَ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّىٰ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَلِكَ لِيُسَلِّيَهُ. قَوْلُهُ (مُحَمَّدٌ): هُوَ اسْمُهُ الكَرِيمُ، وَإِدْرِيسُ اسْمُ أَبِيهِ، وَالعَبَّاسُ اسْمُ جَدِّهِ الأَوَّلِ، وَعُثْمَانُ اسْمُ جَدِّهِ الثَّانِي، وَشَافِعٌ اسْمُ جَدِّهِ الثَّالِثِ، وَعَلَيْهِ اقْتِصَارُ الشَّارِحِ، لأَنَّهُ هُوَ الَّذِي نُسِبَ إِلَيْهِ الإِمَامُ الشَّافِعِيُّ، وَإِلاَّ فَشَافِعٌ ابْنُ السَّائِبِ بْنِ عُبَيْدٍ بْنِ عَبْدِ يَزِيدَ بْنِ هَاشِمَ بْنِ المُطَّلِبِ بْنِ عَبْدِ مَنَافٍ. فَيَجْتَمِعُ الإِمَامُ الشَّافِعِيُّ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّىٰ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي عَبْدِ مَنَافٍ، لأَنَّهُ صَلَّىٰ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَيِّدُنَا مُحَمَّدٌ بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبْدِ المُطَّلِبِ بْنِ هَاشِمَ بْنِ عَبْدِ مَنَافٍ. وَمَا أَحْسَنَ قَوْلَ بَعْضِهِمْ:
Ucapannya (Abu Abdillah): Itu adalah kunyah (gelar panggilan) beliau, semoga Allah meridainya. Tidak wajib dari kunyah ini bahwa beliau memiliki seorang anak yang diberi nama Abdullah, karena kunyah tidak mengharuskan hal tersebut, sebagaimana dalam sabda Rasulullah ﷺ:
"Apa yang dilakukan oleh burung kecil, wahai Abu Umair?"
Sabda ini ditujukan kepada seorang anak kecil yang memiliki burung bernama Nugair yang kemudian mati. Nabi ﷺ mengucapkannya untuk menghibur anak itu.
Ucapannya (Muhammad): Itu adalah nama mulia beliau. Idris adalah nama ayahnya, Al-Abbas adalah nama kakek pertamanya, Utsman adalah nama kakek keduanya, dan Syafi’ adalah nama kakek ketiganya. Syafi’ inilah yang disebutkan oleh penjelas (syarah), karena dari beliaulah Imam Syafi’i dinisbatkan.
Namun, Syafi’ adalah putra Saib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Al-Muththalib bin Abdu Manaf. Dengan demikian, Imam Syafi’i bertemu nasabnya dengan Nabi ﷺ pada Abdu Manaf. Sebab, Nabi ﷺ adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muththalib bin Hasyim bin Abdu Manaf.
Betapa indah perkataan sebagian orang:
يَا طَالِبًا حِفْظَ أُصُولِ الشَّافِعِيِّ
مُجْتَمِعًا مَعَ النَّبِيِّ الشَّافِعِ
Wahai pencari ilmu yang ingin menghafal dasar-dasar mazhab Syafi’i,
Bersambung nasab dengan Nabi yang membawa syafaat.
مُحَمَّدُ إِدْرِيسَ عَبَّاسٌ وَمَنْ
فَوْقَهُمْ قُلْ وَشَافِعٌ
Muhammad, Idris, Abbas, dan mereka yang di atasnya,
Katakanlah: serta Syafi’.
وَسَائِبٌ ثُمَّ عُبَيْدٌ سَادِسٌ
عَبْدُ يَزِيدَ هَاشِمٌ لِلْجَائِعِ
Kemudian Saib, lalu Ubaid sebagai yang keenam,
Abdu Yazid, Hasyim, yang memberi makan orang kelaparan.
مُطَّلِبُ عَبْدِ مَنَافٍ عَاشِرٌ
أَكْرِمْ بِهِ مِنْ نِسْبَةٍ لِلشَّافِعِ
Al-Muththalib, Abdu Manaf sebagai yang kesepuluh,
Sungguh mulia nasab ini bagi Imam Syafi’i.
وَلَا يَخْفَى أَنَّ هَاشِمًا الَّذِي فِي نَسَبِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، لِأَنَّ الثَّانِيَ عَمُّ الأَوَّلِ. قَوْلُهُ (الشَّافِعِيُّ) نِسْبَةٌ لِشَافِعٍ المَذْكُورِ، وَإِنَّمَا نُسِبَ إِلَيْهِ لِأَنَّهُ صَحَابِيٌّ ابْنُ صَحَابِيٍّ، لَقِيَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ مُتَرَعْرِعٌ، وَلِلتَّفَاؤُلِ بِالشَّفَاعَةِ. قَوْلُهُ (وُلِدَ بِغَزَّةَ) وَقِيلَ بِعَسْقَلَانَ وَقِيلَ بِمِنًى وَقِيلَ بِالْيَمَنِ، وَنَشَأَ بِمَكَّةَ وَحَفِظَ القُرْآنَ وَهُوَ ابْنُ سَبْعِ سِنِينَ، وَالمُوَطَّأَ وَهُوَ ابْنُ عَاشِرٍ، وَتَفَقَّهَ عَلَى مُسْلِمِ بْنِ خَلَدٍ الزَّنْجِيِّ مُفْتِي مَكَّةَ. وَأُذِنَ لَهُ فِي الإِفْتَاءِ أَيْضًا، وَقَدِمَ بَغْدَادَ فَاجْتَمَعَ عَلَيْهِ عُلَمَاؤُهَا وَأَخَذُوا عَنْهُ وَصَنَّفَ فِيهَا مَذْهَبَهُ القَدِيمَ، ثُمَّ عَادَ إِلَى مَكَّةَ، ثُمَّ خَرَجَ إِلَى بَغْدَادَ، فَأَقَامَ بِهَا شَهْرًا، ثُمَّ خَرَجَ إِلَى المِصْرِ وَصَنَّفَ فِيهَا مَذْهَبَهُ الجَدِيدَ.
Tidak diragukan lagi bahwa Hasyim yang terdapat dalam nasab Nabi ﷺ adalah Hasyim yang pertama, karena Hasyim yang kedua adalah paman dari Hasyim yang pertama.
Ucapannya (Asy-Syafi’i): Dinisbatkan kepada Syafi’ yang telah disebutkan sebelumnya. Dinisbatkan kepadanya karena dia adalah seorang sahabat Nabi, anak dari sahabat juga. Dia bertemu Nabi ﷺ saat masih kecil, dan nisbah ini juga sebagai bentuk harapan akan syafaat.
Ucapannya (lahir di Gaza): Ada yang mengatakan dia lahir di Asqalan, ada pula yang mengatakan di Mina, dan ada yang menyatakan di Yaman. Beliau tumbuh besar di Mekah, menghafal Al-Qur’an pada usia tujuh tahun, dan menghafal kitab Al-Muwaththa’ pada usia sepuluh tahun. Beliau belajar fikih kepada Muslim bin Khalad Az-Zanji, seorang mufti Mekah, dan juga diberi izin untuk berfatwa.
Beliau kemudian pergi ke Baghdad, di mana para ulama Baghdad berkumpul di sekitarnya dan mengambil ilmu darinya. Di sana, beliau menyusun mazhab lamanya. Setelah itu, beliau kembali ke Mekah, lalu berangkat lagi ke Baghdad dan tinggal di sana selama satu bulan. Kemudian, beliau pergi ke Mesir dan menyusun mazhab barunya di sana.
بِجَامِعِ عَمْرٍو، ثُمَّ لَمْ يَزَلْ بِهَا نَاشِرًا لِلْعِلْمِ مُشْتَغِلًا بِهِ إِلَى أَنْ تَوَفَّاهُ اللهُ تَعَالَى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَنَفَعَنَا بِهِ. قَوْلُهُ (وَمَاتَ) وَسَبَبُ مَوْتِهِ أَنَّهُ أَصَابَتْهُ ضَرْبَةٌ شَدِيدَةٌ فَمَرِضَ بِهَا أَيَّامًا، ثُمَّ مَاتَ. قَالَ ابْنُ عَبْدِ الحَكِيمِ: سَمِعْتُ أَشْهَبَ يَدْعُو عَلَى الشَّافِعِيِّ بِالْمَوْتِ، فَكَانَ يَقُولُ: اللَّهُمَّ أَمِتِ الشَّافِعِيَّ وَإِلَّا ذَهَبَ عِلْمُ مَالِكٍ، فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلشَّافِعِيِّ فَقَالَ...
Di Masjid Amr bin Ash, beliau terus menyebarkan ilmu dan sibuk dengannya hingga Allah Ta’ala mewafatkannya. Semoga Allah meridainya dan memberikan manfaat kepada kita dengan ilmunya.
Ucapannya (dan beliau wafat): Penyebab wafatnya adalah karena beliau mengalami pukulan keras yang menyebabkan beliau sakit selama beberapa hari, kemudian meninggal dunia.
Ibnu Abdul Hakim berkata: "Aku mendengar Asyhab berdoa agar Imam Syafi’i meninggal dunia. Dia berkata: Ya Allah, matikanlah Syafi’i, jika tidak, maka ilmu Malik akan hilang. Maka aku menyampaikan hal itu kepada Imam Syafi’i, dan beliau pun berkata…"
تَمَنَّى أُنَاسٌ أَنْ أَمُوتَ وَأَنْ أَمِتْ
فَتِلْكَ سَبِيلٌ لَسْتُ فِيهَا بِأَوْحَدِ
Sebagian orang menginginkan aku mati dan berakhir,
Namun jalan itu bukan hanya milikku semata.
فَقُلْ لِلَّذِي يَنْبَغِي خِلَافَ الَّذِي مَضَى
تَهَيَّأْ لِأُخْرَى مِثْلِهَا وَكَأَنْ قَدْ
Katakanlah kepada yang berharap sesuatu selain yang telah terjadi:
Bersiaplah untuk yang lainnya seperti itu, seolah-olah itu sudah dekat.
فَتُوُفِّيَ بَعْدَ الشَّافِعِيِّ بِثَمَانِيَةَ عَشَرَ يَوْمًا، فَكَانَ ذَلِكَ كَرَامَةً لِلْإِمَامِ. قَوْلُهُ (يَوْمَ الْجُمُعَةِ) ضُحًى، وَدُفِنَ بَعْدَ الْعَصْرِ بِالْقَرَافَةِ الْمَعْرُوفَةِ بِتُرْبَةِ أَوْلَادِ عَبْدِ الْحَكَمِ. وَفَضَائِلُهُ لَا تُحْصَى، وَشَمَائِلُهُ لَا تُسْتَقْصَى. قَوْلُهُ (سَلْخَ رَجَبٍ) أَيْ آخِرُ يَوْمٍ مِنْهُ. وَرَجَبٌ هُنَا مَمْنُوعٌ مِنَ الصَّرْفِ لِأَنَّهُ الْمُرَادُ بِهِ مُعَيَّنٌ، وَحَيْثُمَا أُرِيدَ بِهِ مُعَيَّنٌ فَهُوَ مَمْنُوعٌ مِنَ الصَّرْفِ لِلْعِلْمِيَّةِ وَالْعَدْلِ. وَإِذَا أُرِيدَ بِهِ غَيْرُ مُعَيَّنٍ صُرِفَ لِفَقْدِ الْعِلْمِيَّةِ، وَلَا يُضَافُ إِلَيْهِ شَهْرٌ، فَلَا يُقَالُ شَهْرُ رَجَبٍ، لِأَنَّهُ لَمْ يُسْمَعْ. وَلِذَا قَالَ بَعْضُهُمْ:
Beliau (orang yang berdoa itu) wafat 18 hari setelah Imam Syafi’i, dan hal itu dianggap sebagai karamah bagi sang Imam.
Ucapannya (hari Jumat): Beliau wafat pada waktu Dhuha, dan dimakamkan setelah Ashar di Qarafah, di makam keluarga Abdul Hakim. Kebaikan-kebaikannya tidak dapat dihitung, dan akhlaknya tidak dapat dijelaskan sepenuhnya.
Ucapannya (akhir Rajab): Maksudnya adalah hari terakhir bulan Rajab. Kata Rajab di sini tidak dibolehkan memiliki harakat tanwin (ghairu munsharif), karena yang dimaksud adalah bulan tertentu. Dimanapun Rajab digunakan untuk merujuk pada bulan tertentu, maka ia tidak diberi tanwin karena alasan ilmiah ('ilmiyyah) dan perubahan bentuk ('adliyah).
Namun, jika Rajab digunakan untuk bulan yang tidak tertentu, maka ia diberi tanwin karena kehilangan sifat 'ilmiyyah (penentuan tertentu). Selain itu, Rajab tidak boleh disandarkan kepada kata "bulan" (syahr), sehingga tidak boleh dikatakan syahr Rajab, karena tidak pernah didengar penggunaannya seperti itu. Oleh karena itu, sebagian ulama berkata:
وَلَا تُضِفْ شَهْرًا إِلَى اسْمِ شَهْرٍ
إِلَّا لِمَا أَوَّلُهُ الرَّا فَادْرِ
Janganlah menyandarkan kata "bulan" (syahr) kepada nama bulan,
Kecuali untuk bulan yang awalnya menggunakan huruf "Ra," maka pahamilah.
وَاسْتَثْنِ مِنْ ذَا رَجَبًا فَيَمْتَنِعْ
لِأَنَّهُ فِيمَا رَوَوْهُ مَا سُمِعْ
Namun, kecualikan Rajab, karena itu dilarang,
Karena menurut riwayat mereka, hal itu tidak pernah terdengar.
كَذَا قِيلَ. وَالصَّحِيحُ أَنَّهُ يَجُوزُ إِضَافَةُ "شَهْر" إِلَى كُلِّ الشُّهُورِ. قَوْلُهُ: (سَنَةَ أَرْبَعٍ وَمِائَتَيْنِ)، فَعُلِمَ مِنْ بَيَانِ سَنَةِ مَوْلِدِهِ وَسَنَةِ مَوْتِهِ أَنَّ جُمْلَةَ عُمْرِهِ أَرْبَعٌ وَخَمْسُونَ سَنَةً.
Demikianlah yang dikatakan. Namun, pendapat yang benar adalah bahwa diperbolehkan menyandarkan kata "syahr" (bulan) kepada semua nama bulan.
Ucapannya (tahun 204 H): Dari keterangan tentang tahun kelahirannya dan tahun wafatnya, diketahui bahwa usia keseluruhannya adalah 54 tahun.
وَقَدْ بَارَكَ اللهُ فِي عُمُرِهِ مَعَ قِلَّتِهِ، رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَنَفَعَنَا بِهِ، آمِينَ.
“Dan sesungguhnya Allah telah meridhoi hidupnya meskipun singkat. Semoga Allah meridhoinya dan memberi manfaat bagi kita
قَوْلُهُ: (وَوَصَفَ المُصَنِّفُ إلخ) دُخُولٌ عَلَى مَا بَعْدَهُ، وَلَكِنَّ هَذَا الصَّنِيعَ رُبَّمَا يُوهِمُ أَنَّ هَذِهِ الأَوْصَافَ لَيْسَ المُصَنِّفُ مَسْؤُولًا فِيهَا، وَلَيْسَ كَذَلِكَ، بَلْ هُوَ مَسْؤُولٌ فِيهَا.
Ungkapanya: (Dan penyusun menjelaskan, dsb.) merupakan pengantar pada pembahasan berikutnya. Namun, kompilasi semacam ini terkadang dapat memberikan kesan bahwa uraian tersebut bukanlah tanggung jawab penyusun, padahal sebenarnya bukan. Sebaliknya, dia bertanggung jawab atas deskripsi -deskripsinya."
قَوْلُهُ: (مُخْتَصَرِهِ)، الأَوْلَى أَنْ يُقَالَ "كِتَابِهِ" لِيَخْرُجَ مِنْ شُبْهَةِ تَحْصِيلِ الحَاصِلِ، لأَنَّ مِنْ جُمْلَةِ الأَوْصَافِ أَنَّهُ فِي غَايَةِ الاخْتِصَارِ، فَيَؤُولُ المَعْنَى إِلَى أَنَّهُ وَصَفَ مُخْتَصَرَهُ بِالاخْتِصَارِ.
Ungkapanya: (Ringkasan), lebih utama dikatakan 'kitab' agar tidak terjadi kesimpangsiuran berupa pengulangan makna, karena di antara ciri-cirinya adalah kitab itu sangat sederhana. Dengan demikian, maknanya akan kembali ke pengaturan yang menggambarkan ringkasan
هَذَا تَوْضِيحُ مُرَادِ المُحَشِّي، وَفِيهِ مَا لاَ يَخْفَى، إِذْ لاَ يَضُرُّ أَنْ يُوصَفَ المُخْتَصَرُ بِأَنَّهُ فِي غَايَةِ الاخْتِصَارِ، لأَنَّ الاخْتِصَارَ مُتَفَاوِتٌ.
“Itulah penjelasan maksud resensi, namun didalamnya ada sesuatu yang terlihat dengan jelas, yaitu tidak masalah jika rangkuman digambarkan sangat singkat, karena tingkat keringkasannya berbeda-beda.”
قَوْلُهُ: (بِأَوْصَافٍ)، المَرَادُ بِالجَمْعِ مَا فَوْقَ الوَاحِدِ، أَخْذًا مِمَّا ذَكَرَهُ الشَّارِحُ حَيْثُ قَالَ
Ungkapanya: (dengan beberapa sifat), yang dimaksud dengan bentuk jamak itu lebih dari satu, sesuai dengan yang disebutkan ki syarih ketika mengucapkannya.”
قَوْلُهُ: (مِنْهَا: أَنَّهُ فِي غَايَةِ الاخْتِصَارِ)، وَمِنْهُ أَنَّهُ يُقَرِّبُ الخ، وَكَانَ الأَوْلَى لِلشَّارِحِ أَنْ يَقُولَ: "وَهِيَ الخ"، وَيُحْذِفُ لَفْظَ "مِنْهَا" إِذَا لَمْ يَبْقَ مِنْهَا غَيْرُ مَا ذَكَرَهُ.
“Perkataannya: (diantaranya: yang sangat sederhana), dan di antara mereka yang mendekatkan, dsb. Yang lebih utama bagi penceramah adalah mengatakan: 'Dan sifat-sifatnya adalah, dsb.' serta menghilangkan kata 'antara' jika tidak ada yang lain selain itu
كَذَا اعْتَرَضَ البَرْمَاوِيُّ وَأَجَابَ الشَّيْخُ عَطِيَّةُ: بِأَنَّهُ أَرَادَ الأَوْصَافَ السَّابِقَةَ وَالَّاحِقَةَ، هِيَ قَوْلُهُ فِي غَايَةِ الاخْتِصَارِ، فَحِينَئِذٍ جَمْعُ الأَوْصَافِ عَلَى ظَاهِرِهِ، وَصَحَّ قَوْلُهُ الشَّارِحِ "مِنْهَا وَمِنْهَا السَّابِقَةُ"، وَلَكِنْ إِرَادَتُهُ لِلسَّابِقَةِ هُنَا بَعِيدَةٌ كَمَا هُوَ ظَاهِرٌ.
Begitulah keberatan Barmawi, dan Syekh Athiyyah menjawab bahwa yang dimaksudnya adalah sifat-sifat yang telah disebutkan sebelumnya dan yang akan disebutkan kemudian, yaitu ungkapanya: 'sangat ringkas.' Dengan demikian, penyebutan sifat-sifat dalam bentuk jamak tetap sesuai maknanya, dan benarlah pernyataan: 'di antara mereka dan di antara mereka ada yang telah disebutkan sebelumnya.' Namun arti merujuk pada sebelumnya di sini nampaknya jauh sekali, seperti halnya
قَوْلُهُ: (مِنْهَا)، أَيِ الأَوْصَافِ، وَقَوْلُهُ: أَيْ أَنَّهُ مُخْتَصَرٌ
“Ucapannya: (diantaranya), maknanya sifat-sifatnya, dan tuturannya:
قَوْلُهُ: (فِي غَايَةِ الاخْتِصَارِ) أَيِ فِي آخِرِ مَرَاتِبِ الاخْتِصَارِ الَّذِي هُوَ تَقْلِيلُ الأَلْفَاظِ. وَأُورِدَ عَلَيْهِ أَنَّهُ يُمْكِنُ اخْتِصَارُهُ بِالْأَكْثَرِ، وَأَنَّهُ هُنَاكَ مَا هُوَ أَخَصُّ مِنْهُ. وَأُجِيبَ ذَلِكَ عَلَى سَبِيلِ الْمُبَالَغَةِ، وَهِيَ لَا تُعَدُّ كَذِبًا كَمَا فِي قَوْلِ أَبِي الطَّيِّبِ يَمْدَحُ سُلْطَانًا
Ungkapanya: (dengan sangat singkat), maksudnya adalah pada tingkatan tertinggi dari keringkasan, yaitu mengurangi jumlah kata.
Ada yang mengkritiknya dengan mengatakan bahwa hal tersebut masih bisa diringkas lebih jauh lagi, dan bahwa ada ungkapan lain yang lebih ringkas darinya.
Jawabannya adalah bahwa pernyataan tersebut disampaikan dalam bentuk hiperbolik (berlebihan), dan hal itu tidak dianggap sebagai kebohongan, sebagaimana dalam pernyataan Abu Tayyib ketika memuji seorang penguasa:
وَأَخْفَتْ أَهْلَ الشِّرْكِ حَتَّى أَنَّهُ ... لَتَخَافُكَ النُّطَفُ الَّتِي لَمْ تُخْلَقْ
"Dan ia membuat kaum musyrik menjadi sangat takut, hingga bahkan ...nutfah (calon keturunan) yang belum diciptakan pun merasa takut kepadamu."
ADA YANG TERLEWAT BAGIAN INI
قَوْلُهُ (وَنِهَايَةُ الْإِيجَازِ) أَيْ مَا يَنْتَهِي إِلَيْهِ الْإِيجَازُ الَّذِي هُوَ تَقْلِيلُ الْأَلْفَاظِ، فَهُوَ قَرِيبٌ مِنْ مَعْنَى مَا قَبْلَهُ كَمَا أَفَادَهُ الشَّارِحُ
Ucapan beliau: (dan puncak dari keringkasan), maksudnya adalah sesuatu yang menjadi puncak keringkasan, yaitu mengurangi jumlah kata. Hal ini mendekati makna dari pernyataan sebelumnya sebagaimana yang dijelaskan oleh pensyarah.
قَوْلُهُ (وَالْغَايَةُ وَالنِّهَايَةُ مُتَقَارِبَانِ) أَيْ لِأَنَّ الْغَايَةَ آخِرُ الشَّيْءِ، وَالنِّهَايَةَ مَا يَنْتَهِي بِهِ الشَّيْءُ. وَالْحَقُّ أَنَّهُمَا مُتَرَادِفَانِ عَلَى مَعْنًى وَاحِدٍ وَهُوَ آخِرُ الشَّيْءِ، فَيُقَالُ: لَهُ غَايَتُهُ وَنِهَايَتُهُ.
Ucapan beliau: (dan "ghayah" serta "nihayah" itu berdekatan), maksudnya adalah karena "ghayah" berarti akhir dari sesuatu, sedangkan "nihayah" adalah sesuatu yang menjadi akhir dari sesuatu itu.
Yang benar adalah bahwa keduanya sinonim dalam arti yang sama, yaitu akhir dari sesuatu. Maka dikatakan: "Ia memiliki ghayah-nya dan nihayah-nya."
وَقَوْلُهُ وَكَذَا الِاخْتِصَارُ وَالْإِيجَازُ أَيْ مُتَقَارِبَانِ لِأَنَّ الِاخْتِصَارَ الْحَذْفُ مِنْ عَرْضِ الْكَلَامِ وَهُوَ تَكْرِيرُ الْكَلَامِ. وَالْإِيجَازُ: الْحَذْفُ مِنْ طُولِ الْكَلَامِ وَهُوَ الْإِطْنَابُ
Ucapan beliau: "Begitu juga dengan ikhtishar dan i'jaz", maksudnya keduanya berdekatan maknanya. Sebab, ikhtishar berarti penghilangan dari aspek lebar pembahasan dalam perkataan, yaitu pengulangan dalam perkataan, sedangkan i’jaz berarti penghilangan dari panjang pembahasan, yaitu memperluas perkataan.
وَوَجْهُ التَّقَارُبِ أَنَّهُمَا اشْتَرَكَا فِي حَذْفِ الشَّيْءِ مِنَ الْكَلَامِ لَا حَاجَةَ إِلَيْهِ. وَالْحَقُّ أَنَّهُمَا مُتَرَادِفَانِ عَلَى مَعْنًى وَاحِدٍ وَهُوَ تَقْلِيلُ اللَّفْظِ مَعَ كَثْرَةِ الْمَعْنَى، وَسَوَاءٌ كَثُرَ الْمَعْنَى أَمْ لَا عَلَى الْخِلَافِ السَّابِقِ
Hubungan kedekatan keduanya adalah bahwa keduanya sama-sama menghilangkan sesuatu dari perkataan yang tidak diperlukan. Akan tetapi, yang benar adalah bahwa keduanya sinonim dengan makna yang sama, yaitu pengurangan kata tetapi memperbanyak makna. Ini berlaku baik maknanya banyak maupun tidak, sesuai dengan perbedaan pendapat sebelumnya.
فَإِنْ قِيلَ: إِذَا كَانَتِ الْغَايَةُ وَالنِّهَايَةُ مُتَرَادِفَتَيْنِ، وَكَذَا الِاخْتِصَارُ وَالْإِيجَازُ، فَلِمَ جَمَعَ بَيْنَهُمَا الْمُصَنِّفُ؟ وَكَيْفَ يَصِحُّ الْعَطْفُ مَعَ أَنَّهُ يَقْتَضِي الْمُغَايَرَةَ؟ أُجِيبَ بِأَنَّهُ جَمَعَ بَيْنَهُمَا لِلتَّأْكِيدِ فِي صِفَةِ الْمُخْتَصَرِ، وَإِنَّمَا صَحَّ الْعَطْفُ مَعَ الْاتِّحَادِ مَعْنًى لِاخْتِلَافِ الْعُنْوَانِ، أَعْنِي اللَّفْظَ الْمُعْنَوَنَ بِهِ أَيْ الْمُعَبَّرَ بِهِ
Jika ada yang bertanya: Jika ghayah dan nihayah sinonim, begitu juga dengan ikhtishar dan i'jaz, mengapa pengarang menggabungkan keduanya? Dan bagaimana mungkin penyambungan ('athf) antara keduanya sah, padahal penyambungan itu mensyaratkan perbedaan?
Dijawab bahwa ia menggabungkan keduanya untuk menegaskan sifat mukhtashar (ringkas). Dan penyambungan tetap sah meskipun maknanya sama karena adanya perbedaan dalam label atau istilah, yaitu ungkapan yang digunakan untuk menunjuknya.
قَوْلُهُ (مِنْهَا) أَيْ الْأَوْصَافُ الَّتِي وَصَفَ مُخْتَصَرَهُ بِهَا. وَقَوْلُهُ: أَنَّهُ أَيْ مُخْتَصَرُهُ. قَوْلُهُ (يُقَرِّبُ) أَيْ يُسَهِّلُ، فَالْمُرَادُ الْقُرْبُ الْمَعْنَوِيُّ
Ucapan beliau: (daripadanya), maksudnya adalah sifat-sifat yang disandangkan kepada mukhtashar (ringkasannya). Ucapan beliau: (bahwa ia), maksudnya adalah mukhtashar (ringkasannya). Ucapan beliau: (mendekatkan), maksudnya adalah memudahkan, sehingga yang dimaksud adalah kedekatan maknawi (bukan fisik).
هُوَ السُّهُولَةُ. قَوْلُهُ (عَلَى الْمُتَعَلِّمِ) أَيْ مُرِيدِ التَّعَلُّمِ لَا الْمُتَعَلِّمِ بِالْفِعْلِ. قَالَ بَعْضُهُمْ: الْمُخْتَصُّ بِالْمُتَعَلِّمِ مِنَ التَّوْفِيقِ أَرْبَعَةُ أَشْيَاءَ: ذَكَاءُ الْقَرِيحَةِ، وَطَبِيعَةٌ صَحِيحَةٌ، وَعِنَايَةٌ مَلِيحَةٌ، وَمُعَلِّمٌ ذُو نَصِيحَةٍ. وَبَعْضُهُمْ جَعَلَهَا سِتَّةً وَلِذَلِكَ قَالَ
"Itu adalah kemudahan." Ucapan beliau: (bagi para pelajar), maksudnya adalah mereka yang berkeinginan untuk belajar, bukan mereka yang sudah benar-benar belajar secara aktif.
Sebagian ulama mengatakan bahwa yang diperlukan oleh seorang pelajar agar berhasil belajar adalah empat hal: Kecerdasan pikiran. Kondisi jasmani yang sehat. Perhatian yang baik. Guru yang tulus memberikan bimbingan.
Sebagian ulama lainnya menambahkan hingga menjadi enam, oleh sebab itu mereka berkata:
أَخِي لَنْ تَنَالَ الْعِلْمَ إِلَّا بِسِتَّةٍ ... سَأُنْبِيكَ عَنْ تَفْصِيلِهَا بِبَيَانٍ
ذَكَاءٍ وَحِرْصٍ وَاجْتِهَادٍ وَبُلْغَةٍ ... وَإِرْشَادِ أُسْتَاذٍ وَطُولِ زَمَانٍ
"Wahai saudaraku, engkau tak akan meraih ilmu kecuali dengan enam perkara.
Akan kuberitahukan rinciannya dengan jelas:" Kecerdasan, Kesungguhan, Kerja keras, Bekal yang memadai, Bimbingan seorang guru, Dan waktu yang panjang.
وَإِذَا جَمَعَ الْمُتَعَلِّمُ ثَلَاثَ خِصَالٍ فَقَدْ تَمَّتِ النِّعْمَةُ عَلَى الْمُعَلِّمِ: الْعَقْلُ وَالْأَدَبُ وَحُسْنُ الْفَهْمِ. وَإِذَا جَمَعَ الْمُعَلِّمُ ثَلَاثَ خِصَالٍ فَقَدْ تَمَّتِ النِّعْمَةُ عَلَى الْمُتَعَلِّمِ: الصَّبْرُ وَالتَّوَاضُعُ وَحُسْنُ الْخُلُقِ
"Apabila seorang pelajar memiliki tiga sifat, maka sempurnalah nikmat bagi gurunya: Akal yang cerdas, Adab yang baik, Pemahaman yang tajam.
Dan apabila seorang guru memiliki tiga sifat, maka sempurnalah nikmat bagi pelajarnya: Kesabaran, Kerendahan hati, Akhlak yang mulia.
قَوْلُهُ (الْفُرُوعُ الْفِقْهُ) أَيْ لِمَسَائِلِهِ التَّفْصِيلِيَّةِ لَا لِأُصُولِهِ وَهِيَ دَلَائِلُهُ الْإِجْمَالِيَّةُ الْمَبْنِيَّةُ فِي كُتُبِ الْأُصُولِ، وَالْجَارُّ وَالْمَجْرُورُ مُتَعَلِّقٌ بِالْمُتَعَلِّمِ.
Ucapan beliau: (Furu' al-fiqh), maksudnya adalah masalah-masalah fiqh yang lebih terperinci, bukan yang berkaitan dengan ushul (pokok-pokok fiqh), yang lebih bersifat umum dan dijelaskan dalam buku-buku ushul. "Al-jarru wal-majruur" (kata yang menggunakan jar dan majruur) terhubung dengan al-muta'allim (pelajar).
قَوْلُهُ (دَرْسُهُ) أَيْ قِرَاءَتُهُ عَلَى الشَّيْخِ لِيُعَلِّمَهُ مَعْنَاهُ كَمَا قَالَهُ الشَّبْرَامَلْسِيُّ
Ucapan beliau: (darsuhu), maksudnya adalah membacakan materi kepada al-shaykh (guru) agar dia mengajarkan maknanya, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Shibramalsi.
Ucapan beliau: (wa yas'alu), maksudnya adalah mempermudah atau menjadi mudah.
قَوْلُهُ (وَيَسْهُلُ) أَيْ يَتَيَسَّرُ. وَقَوْلُ عَلَى الْمُبْتَدِئِ مُتَعَلِّقٌ بِيَسْهُلُ
Ucapan beliau: (ala al-mubtadi') terhubung dengan "yassalu", yaitu berkaitan dengan seorang pemula.
وَقَدْ تَقَدَّمَ مَعْنَى الْمُبْتَدِئِ مَعَ الْمُنْتَهَى وَالْمُتَوَسِّطِ
Makna tentang mubtadi', muntahi, dan mutawassit telah dijelaskan sebelumnya, yang mengacu pada tingkat pemahaman atau posisi dalam proses belajar.
قَوْلُهُ (حِفْظُهُ) الْمُرَادُ بِهِ نَقِيضُ النِّسْيَانِ لَا حِفْظُهُ عَنِ الْمُتْلِفَاتِ مَثَلًا كَمَا أَشَارَ إِلَيْهِ الشَّارِحُ بِقَوْلِهِ: أَيْ اسْتِحْضَارُهُ إِلَخْ. قَوْلُهُ (عَلَى ظَهْرِ قَلْبٍ) أَيْ قَلْبٍ شَبِيهٍ بِالظَّهْرِ فِي الْقُوَّةِ وَالصَّلَاحِيَّةِ لِأَنْ يُحْمَلَ عَلَيْهِ، وَإِنْ كَانَ الْقَلْبُ يُحْمَلُ عَلَيْهِ الْمَعَانِي وَالظَّهْرُ يُحْمَلُ عَلَيْهِ الْأَجْسَامُ. أَوْ أَنَّ لَفْظَ ظَهْرٍ مُقْحَمٌ أَيْ زَائِدٌ. قَوْلُهُ (لِمَنْ يَرْغَبُ إِلَخْ) أَيْ وَهَذَا بِالنِّسْبَةِ لِمَنْ يَرْغَبُ إِلَخْ لَا بِالنِّسْبَةِ لِغَيْرِ مَنْ لَمْ يَرْغَبْ فِي ذَلِكَ
Ucapan beliau: (Hifzuhu), yang dimaksud adalah kebalikan dari nissyan (lupa), bukan sekadar menghafal sesuatu yang hilang, seperti yang dijelaskan oleh pensyarah dengan mengatakan: "yaitu mengingatnya kembali."
Ucapan beliau: (Ala zahr qalbin), maksudnya adalah hati yang sekuat zahr (punggung), yang memiliki kemampuan dan kesiapan untuk memuatnya. Walaupun hati memuat makna, sedangkan zahr (punggung) memuat benda fisik. Bisa juga dipahami bahwa kata zahr ditambahkan (diisyaratkan) sebagai tambahan yang tidak benar-benar diperlukan.
Ucapan beliau: (Liman yarghabu ilaakh), maksudnya adalah ini berlaku bagi orang yang menginginkannya, bukan bagi orang yang tidak menginginkannya.
قَوْلُهُ (وَسَأَلَنِي) أَشَارَ الشَّارِحُ بِتَقْدِيرِ بِذَلِكَ إِلَى أَنَّ قَوْلَهُ: وَأَنْ أُكْثِرَ إِلَخْ عَطْفٌ عَلَى قَوْلِهِ: أَنْ أَعْمَلَ إِلَخْ
وَقَوْلُهُ أَيْضًا: قَدْ تَقَدَّمَ الْكَلَامُ عَلَيْهِ فَلَا تَغْفُلْ. قَوْلُهُ (أَنْ أُكْثِرَ فِيهِ) إِنَّمَا لَمْ يَقُلْ: أَنْ أُقَسِّمَ فِيهِ لِأَنَّهُ لَا يُشْعِرُ بِالْكَثْرَةِ مَعَ أَنَّهَا مَطْلُوبَةٌ. وَقَدْ أَكْثَرَ الْمُصَنِّفُ مِنْ ذَلِكَ كَمَا تَرَاهُ بِاسْتِقْصَاءِ كَلَامِهِ. قَوْلُهُ (مِنَ التَّقْسِيمَاتِ) مِنْ زَائِدَةٌ فِي الْمَفْعُولِ. وَالتَّقْسِيمَاتُ جَمْعُ تَقْسِيمَةٍ وَهِيَ الْمَرَّةُ مِنَ التَّقْسِيمِ وَهُوَ ضَمُّ قُيُودٍ إِلَى أَمْرٍ مُشْتَرَكٍ لِيَحْصُلَ مِنْهُ أَقْسَامٌ مُتَعَدِّدَةٌ بِعَدَدِ تِلْكَ الْقُيُودِ
Ucapan beliau: (wa sa'alani), pensyarah menunjukkan bahwa ini merupakan penjelasan tentang "wa an ukthira ilaakh", yang sebenarnya merupakan sambungan dari pernyataan "an a'mala ilaakh", yaitu hubungan antara dua pernyataan tersebut.
Ucapan beliau juga: (qad taqaddama al-kalam 'alayh, fala tagful), maksudnya adalah bahwa pembicaraan sebelumnya telah menyebutkan hal tersebut, maka jangan sampai lupa.
Ucapan beliau: (an ukthira fihi), mengapa beliau tidak menggunakan "an uqassima fihi" (membaginya), karena kata "uqassima" tidak memberi kesan banyaknya, padahal itu yang diinginkan. Sebagai informasi, pengarang telah banyak menggunakan istilah ini, sebagaimana terlihat dalam penjelasan panjang lebar yang ia buat.
Ucapan beliau: (min al-taqsimat), di sini kata "min" adalah tambahan yang tidak diperlukan dalam objek kalimat. Taqsimat adalah bentuk jamak dari taqsimah, yang berarti pembagian, yaitu suatu tindakan menggabungkan beberapa unsur yang memiliki ciri bersama untuk membentuk beberapa kategori atau bagian yang berbeda, bergantung pada jumlah ciri tersebut.
فَالْأَمْرُ الْمُشْتَرَكُ كَالْمَاءِ، فَإِذَا ضَمَمْتَ إِلَيْهِ قَيْدَ الْإِطْلَاقِ بِأَنْ قُلْتَ مَاءٌ مُطْلَقٌ حَصَلَ قِسْمٌ. وَإِذَا ضَمَمْتَ إِلَيْهِ قَيْدَ الِاسْتِعْمَالِ بِأَنْ قُلْتَ مَاءٌ مُسْتَعْمَلٌ حَصَلَ قِسْمٌ وَهَكَذَا. قَوْلُهُ (لِلْأَحْكَامِ الْفِقْهِيَّةِ) أَيْ لِمَحَلِّهَا كَالْمَاءِ، فَالتَّقْسِيمُ لَيْسَ فِي نَفْسِ الْأَحْكَامِ بَلْ لِمَحَلِّهَا
"Maka perkara yang memiliki ciri bersama, seperti air. Jika kamu menambahkan kepadanya batasan tentang kebebasan (misalnya dengan mengatakan air yang bebas), maka akan terbentuk satu bagian (kategori). Dan jika kamu menambahkan kepadanya batasan penggunaan (misalnya dengan mengatakan air yang telah digunakan), maka akan terbentuk bagian yang lain, dan seterusnya."
Ucapan beliau: (lil-ahkam al-fiqhiyyah), maksudnya adalah untuk tempat atau penerapan hukum-hukum fiqh tersebut, seperti halnya air. Pembagian tersebut bukan berlaku pada hukum fiqh itu sendiri, melainkan pada tempat atau penerapannya.
قَوْلُهُ (وَمِنْ حَصْرٍ) عَطْفٌ عَلَى قَوْلِهِ مِنَ التَّقْسِيمَاتِ، فَحَصْرُ الْخِصَالِ غَيْرُ تَقْسِيمَاتٍ
Ucapan beliau: (wa min hasrin), ini adalah sambungan dari ucapan beliau sebelumnya tentang "min at-taqsimat", yang menunjukkan bahwa pembatasan sifat-sifat (al-khisal) berbeda dengan pembagian (at-taqsim). Pembatasan sifat bukanlah pembagian dalam arti yang sebenarnya.
وَقَوْلُهُ: أَيْ ضَبْطٌ، أَشَارَ بِذَلِكَ إِلَى أَنَّهُ لَيْسَ الْمُرَادُ بِالْحَصْرِ مَعْنَاهُ الْحَقِيقِيُّ مِنْ جَمْعِ أَفْرَادِ الشَّيْءِ مِنْ غَيْرِ إِخْلَالٍ بِشَيْءٍ مِنْهَا، بَلِ الْمُرَادُ بِهِ الضَّبْطُ بِالْعَدَدِ مَعَ بَيَانِهَا كَمَا ذَكَرَهُ فِي سُنَنِ الْوُضُوءِ حَيْثُ قَالَ: وَسُنَنُ الْوُضُوءِ عَشَرَةُ أَشْيَاءٍ وَبَيَّنَهَا وَنَحْوَ ذَلِكَ مِنْ غَيْرِ اسْتِيعَابٍ لَهَا فِي الْوَاقِعِ تَسْهِيلًا عَلَى الْمُبْتَدِئِ لِأَنَّ ذَلِكَ أَجْمَعُ لِلْفِكْرِ وَأَمْنَعُ مِنَ الِانْتِشَارِ
Ucapan beliau: "Ayyu dabt", dengan ini beliau menunjuk bahwa yang dimaksud dengan pembatasan di sini bukanlah pengertian pembatasan yang sebenarnya, yaitu mengumpulkan individu-individu suatu hal tanpa mengurangi bagian manapun, tetapi yang dimaksud di sini adalah pengaturan atau penataan dengan menyebutkan jumlah dan keterangan yang jelas, sebagaimana disebutkan dalam Sunan al-Wudu di mana beliau menyatakan: "Sunan wudu ada sepuluh perkara dan menjelaskannya," namun tidak mencakup semuanya dalam realitas praktis, untuk memudahkan bagi pemula, karena hal tersebut lebih menyatu dalam pemikiran dan mencegah penyebaran yang berlebihan.
قَوْلُهُ (الْخِصَالُ) جَمْعُ خَصْلَةٍ وَهِيَ الْحَالَةُ سَوَاءٌ كَانَتْ فَضِيلَةً أَوْ رَذِيلَةً. وَلِذَلِكَ يُقَالُ: خَصْلَتُكَ حَمِيدَةٌ أَوْ ذَمِيمَةٌ. وَقَوْلُهُ الرَّاجِبَةُ أَيْ كَقَوْلِهِ: وَفُرُوضُ الْوُضُوءِ سِتَّةُ أَشْيَاءٍ
Ucapan beliau: (al-khisal), yaitu bentuk jamak dari khashlah, yang berarti keadaan, apakah itu berupa sifat baik atau buruk. Oleh karena itu, dikatakan: "Khislahka hamidah" (Sifatmu terpuji) atau "Dhameemah" (Sifatmu tercela).
Ucapan beliau: (ar-rajibah), ini artinya seperti mengatakan: "Furudh al-wudu' sitah ashya' " (Kewajiban wudu ada enam perkara).
وَقَوْلُهُ: وَالْمَنْدُوبَةُ أَيْ كَقَوْلِكَ: وَسُنَنُهُ عَشَرَةُ أَشْيَاءٍ. وَقَوْلُهُ: وَغَيْرُهُمَا أَيْ كَالْمُحَرَّمَاتِ، كَقَوْلِهِ: وَيَحْرُمُ عَلَى الْمُحْرِمِ عَشَرَةُ أَشْيَاءٍ
Ucapan beliau: (al-mandubah), artinya seperti mengatakan: "Wa sunanuhu ashrat ashya' " (Sunnah-sunnahnya ada sepuluh perkara).
Ucapan beliau: (wa ghayruhuma), artinya seperti yang dikatakan mengenai al-muharramat (hal-hal yang haram), seperti beliau mengatakan: "Wa yahramu 'ala al-muhrim 'ashara ashya'" (Sepuluh hal haram bagi orang yang sedang berihram).
قَوْلُهُ (فَأَجَبْتُهُ) بِالْوَعْدِ أَوْ بِالشُّرُوعِ فِي تَأْلِيفِهِ، وَالْفَاءُ لِلتَّعْقِيبِ. فَالْمَعْنَى: فَأَجَبْتُ السَّائِلَ فَوْرًا، لَكِنَّ التَّعْقِيبَ فِي كُلِّ شَيْءٍ بِحَسَبِهِ، فَلَا يَضُرُّ تَخَلُّلُ مَا يَتَوَقَّفُ عَلَيْهِ الْحَالُ
Ucapan beliau: (fa ajabtuhoo), yang di sini merujuk pada jawaban yang diberikan, baik berupa janji atau dengan mulai menyusun karya tersebut. Fa di sini menunjukkan adanya pengaitan langsung atau urutan waktu, sehingga maknanya adalah: "Saya segera menjawab pertanyaan tersebut." Namun, urutan dalam tiap hal bisa berbeda-beda, dan tidak menjadi masalah jika ada hal-hal yang harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum dapat memberikan jawaban, tergantung pada kondisi yang ada.
قَوْلُهُ (إِلَى سُؤَالِهِ) أَيْ الْمُتَقَدِّمِ فِي قَوْلِهِ: سَأَلَنِي إِلَخْ
Ucapan beliau: (ilā su’ālihi), yang mengarah pada pertanyaan yang telah diajukan sebelumnya, sebagaimana disebutkan dalam ungkapan: "Sā'alani" (dia bertanya kepada saya). Jadi, "ilā su’ālihi" berarti "terhadap pertanyaannya."
وَقَوْلُهُ: فِي ذَلِكَ أَيْ فِي ذَلِكَ الْمَسْؤُولِ فِي كَوْنِهِ مُخْتَصَرًا بِصِفَاتِهِ وَكَثْرَةِ التَّقْسِيمِ وَحَصْرِ الْخِصَالِ
Ucapan beliau: (fī dhalika), yang berarti "terkait dengan hal itu," merujuk pada konteks pertanyaan yang diajukan, yakni terkait dengan sifat-sifat yang menjelaskan subjek, banyaknya pembagian, dan pembatasan sifat-sifat (al-khisal) yang disebutkan dalam diskusi sebelumnya.
قَوْلُهُ (طَالِبًا) حَالٌ مِنَ التَّاءِ فِي أَجَبْتُهُ أَيْ حَالَ كَوْنِي طَالِبًا
Ucapan beliau: (ṭāliban), yang menunjukkan keadaan atau kondisi saat beliau memberikan jawaban, yaitu dalam kondisi sebagai ṭālib (seorang yang sedang mencari ilmu atau seorang yang bertanya). Maka, ini merujuk pada keadaan beliau saat menjawab, di mana beliau sedang dalam posisi sebagai orang yang mencari pengetahuan atau yang diminta untuk memberikan jawaban.
وَهَذِهِ هِيَ الْحَالَةُ الْوُسْطَى مِنْ أَحْوَالِ الْإِخْلَاصِ الثَّلَاثِ. الْأُولَى: أَنْ يَعْمَلَ لِوَجْهِ اللَّهِ تَعَالَى لَا طَمَعًا فِي الثَّوَابِ وَلَا هَرَبًا مِنَ الْعِقَابِ، وَهَذِهِ هِيَ الْعُلْيَا. الثَّانِيَةُ: أَنْ يَعْمَلَ طَلَبًا لِلثَّوَابِ وَخَوْفًا مِنَ الْعِقَابِ، وَهِيَ الْوُسْطَى. الثَّالِثَةُ: أَنْ يَعْمَلَ لِتَحْصِيلِ الدُّنْيَا، كَمَنْ يَقْرَأُ سُورَةَ الْوَاقِعَةِ لِلْغِنَى أَوْ نَحْوِهِ وَهِيَ الدُّنْيَا. فَإِذَا عَمِلَ لِلرِّيَاءِ وَالسُّمْعَةِ كَانَ حَرَامًا عَلَيْهِ لِفَقْدِ الْإِخْلَاصِ
Ini adalah keadaan tengah dari tiga keadaan ikhlas.
Keadaan pertama: Mengerjakan untuk Allah semata, tidak menginginkan pahala dan tidak pula takut akan azab. Ini adalah keadaan yang tertinggi (al-‘ulya).
Keadaan kedua: Mengerjakan untuk mendapatkan pahala dan takut akan azab, ini adalah keadaan yang menengah (al-wusṭa).
Keadaan ketiga: Mengerjakan untuk mendapatkan keuntungan dunia, seperti membaca Surah al-Wāqi‘ah untuk kekayaan atau tujuan duniawi lainnya. Ini adalah keadaan yang lebih rendah (al-dunya).
Jika seseorang mengerjakan sesuatu karena riya' (untuk dipuji orang) atau sum‘ah (untuk didengar pujiannya), maka perbuatannya itu menjadi haram karena kehilangan ikhlas.
قَوْلُهُ (لِلثَّوَابِ) مِنَ اللَّهِ تَعَالَى جَزَاءً عَلَى تَصْنِيفِ هَذَا الْمُخْتَصَرِ. (رَاغِبًا إِلَى اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى) فِي الْإِعَانَةِ مِنْ فَضْلِهِ عَلَى تَمَامِ هَذَا الْمُخْتَصَرِ
Ucapan beliau: (lithawāb) min Allāhi ta‘ālā Ini mengacu pada pahala yang diberikan oleh Allah Ta'ālā sebagai balasan atas penyusunan ringkasan ini.
Ucapan beliau: (rāghiban ilā Allāhi subḥānahu wa ta‘ālā)
Mengandung harapan kepada Allah untuk pertolongan-Nya dalam menyelesaikan ringkasan ini dengan sempurna.
وَ(فِي التَّوْفِيقِ لِلصَّوَابِ) وَهُوَ ضِدُّ الْخَطَأِ. (أَنَّهُ) تَعَالَى (عَلَى مَا يَشَاءُ) أَيْ يُرِيدُ (قَدِيرٌ) أَيْ قَادِرٌ. (وَبِعِبَادِهِ لَطِيفٌ خَبِيرٌ) بِأَحْوَالِ عِبَادِهِ
Ucapan beliau: (fī al-tawfīq li al-ṣawāb) Mengindikasikan bahwa beliau memohon kepada Allah agar diberikan kemudahan dan petunjuk untuk melakukan yang benar, sebagai lawan dari kesalahan.
Ucapan beliau: (annahu ta‘ālā ‘alā mā yashā') Menggambarkan bahwa Allah itu Maha Berkehendak, segala sesuatu terjadi berdasarkan kehendak-Nya.
Ucapan beliau: (qadīr) Menyatakan bahwa Allah itu Maha Kuasa, tidak ada yang dapat menghalangi kehendak-Nya.
Ucapan beliau: (wa bi‘ibādihi laṭīfٌ khabīrٌ) Allah adalah Maha Halus dan Maha Mengetahui, Dia mengetahui keadaan para hamba-Nya dengan sangat mendalam, termasuk segala apa yang ada dalam hati mereka.
وَالْأَوَّلُ مُقْتَبَسٌ مِنْ قَوْلِهِ تَعَالَى: (اللَّهُ لَطِيفٌ بِعِبَادِهِ)، وَالثَّانِي مِنْ قَوْلِهِ تَعَالَى: (وَهُوَ الْحَكِيمُ الْخَبِيرُ). وَاللُّطْفُ وَالْخَبِيرُ اسْمَانِ مِنْ أَسْمَائِهِ تَعَالَى. وَمَعْنَى الْأَوَّلِ: الْعَالِمُ بِدَقَائِقِ الْأُمُورِ وَمُشْكِلَاتِهَا، وَيُطْلَقُ أَيْضًا بِمَعْنَى الرَّفِيقِ بِهِمْ. قَوْلُهُ (لِلثَّوَابِ) مُتَعَلِّقٌ بِطَالِبًا. وَالثَّوَابُ مُقَدَّرٌ مِنَ الْجَزَاءِ يُعِدُّهُ اللَّهُ لِعِبَادِهِ فِي نَظِيرِ أَعْمَالِهِمُ الْحَسَنَةِ تَفَضُّلًا مِنْهُ. وَقَوْلُهُ: الخ حالٌ مِنَ الثَّوَابِ أَيْ حَالَ كَوْنِ الثَّوَابِ جَزَاءً الخ
Yang pertama diambil dari firman-Nya: (اللَّهُ لَطِيفٌ بِعِبَادِهِ)
Maknanya adalah bahwa Allah itu Maha Halus terhadap hamba-hamba-Nya. Dia mengetahui dengan sangat mendalam segala detail yang tampak atau tersembunyi, serta kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi. Selain itu, Dia juga lembut dengan hamba-hamba-Nya, memberi mereka kemudahan dan pertolongan tanpa mereka sadari.
Yang kedua diambil dari firman-Nya: (وَهُوَ الْحَكِيمُ الْخَبِيرُ)
Maknanya adalah bahwa Allah Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui segala sesuatu. Dia mengetahui dengan sempurna tentang setiap keadaan hamba-Nya, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, dan Dia mengatur segala sesuatu dengan kebijaksanaan-Nya yang sempurna.
Al-Lutf (اللطيف) dan Al-Khabīr (الخبير) adalah dua nama Allah yang mencerminkan sifat-Nya yang sangat mendalam dalam pemahaman terhadap keadaan makhluk dan yang sangat bijaksana dalam mengaturnya.
Dan makna pertama (اللطيف) berarti Allah yang mengetahui secara rinci masalah-masalah yang rumit dan juga dapat diartikan bahwa Dia adalah Maha Lembut dengan hamba-hamba-Nya, memberikan mereka kemudahan dalam urusan mereka.
Ucapan beliau: (لِلثَّوَابِ)
Berhubungan dengan pengharapan bagi pahala yang akan diperoleh oleh orang yang berusaha dengan ikhlas.
Dan pahala adalah balasan yang disediakan Allah untuk hamba-Nya yang berbuat baik, sebagai bentuk kebaikan dan kemurahan-Nya. Pahala tersebut merupakan sebanding dengan amalan baik mereka, yang diberikan oleh Allah sebagai anugerah dan kemurahan-Nya, bukan sebagai akibat dari kewajiban yang harus dipenuhi.
Ucapan beliau: (حَالٌ مِنَ الثَّوَابِ)
Menggambarkan keadaan pahala itu sebagai balasan atau ganjaran bagi amal baik seseorang, yang merupakan hasil dari amalan mereka yang dilakukan dengan ikhlas dan penuh harapan kepada Allah.
قَوْلُهُ (رَاغِبًا) حَالٌ ثَانِيَةٌ مِنَ التَّاءِ فِي أَجَبْتُ، فَتَكُونُ حَالًا مُتَرَادِفَةً، أَوْ مِنَ الضَّمِيرِ فِي طَالِبًا، فَتَكُونُ حَالًا مُتَدَاخِلَةً. وَمَعْنَى رَاغِبًا سَائِلًا وَمُتَوَجِّهًا. قَوْلُهُ (سُبْحَانَهُ) أَيْ تَنْزِيهًا لَهُ عَمَّا لَا يَلِيقُ بِهِ. وَقَوْلُهُ (وَتَعَالَى) أَيْ ارْتَفَعَ عَمَّا يَقُولُهُ الْكَافِرُونَ عُلُوًّا كَبِيرًا.
Ucapan beliau (رَاغِبًا)
Merupakan kata keterangan (hal) yang kedua dari kata "تاء" dalam kata "أجبتُ". Dengan kata lain, ini merupakan hal yang bersifat sinonim (terdapat kemiripan makna) atau bisa jadi terkait dengan kata "طالبًا", dalam hal ini hal yang bersifat saling berhubungan.
Makna dari "راغِبًا" adalah berkeinginan, meminta, dan mengarah pada sesuatu. Dalam konteks ini, mengacu pada seseorang yang berharap dan memohon dengan penuh perhatian.
Ucapan beliau (سُبْحَانَهُ)
Menunjukkan bahwa Allah tersucikan dari segala sesuatu yang tidak pantas bagi-Nya, yakni diangkat dari hal-hal yang tidak layak untuk menyebut-Nya, seperti kekurangan, kesalahan, atau sifat yang tidak sesuai dengan kesempurnaan-Nya.
Ucapan beliau (وَتَعَالَى)
Menggambarkan bahwa Allah terangkat dan Maha Tinggi dari apa yang dikatakan oleh orang-orang kafir tentang-Nya. Ketinggian-Nya tidak terhingga dan tidak ada yang sebanding dengan-Nya dalam segala aspek.
قَوْلُهُ (فِي غَايَةِ) أَخَذَ الشَّارِحُ ذَلِكَ مِنَ السِّيَاقِ، فَلِذَلِكَ زَادَهُ فِي كَلَامِ الْمُصَنِّفِ كَمَا تَرَى. وَمَعْنَى الْإِعَانَةِ الْإِقْدَارُ. وَقَوْلُهُ: مِنْ فَضْلِهِ أَيْ لَا
وُجُوبًا عَلَيْهِ، فَفِيهِ رَدٌّ عَلَى الْمُعْتَزِلَةِ الْقَائِلِينَ بِأَنَّهُ يَجِبُ عَلَى اللَّهِ فِعْلُ الصَّلَاحِ وَالْأَصْلَحِ. وَقَوْلُهُ: عَلَى تَمَامِ هَذَا الْمُخْتَصَرِ أَيْ عَلَى كَمَالِهِ. وَيُؤْخَذُ مِنْ ذَلِكَ أَنَّ الْخُطْبَةَ سَابِقَةٌ عَلَى التَّأْلِيفِ.
Ucapan beliau (فِي غَايَةِ)
Penjelasan dari kata "فِي غَايَةِ" ini diambil dari konteks kalimat sebelumnya, sehingga penulis menyisipkannya dalam uraian ini sesuai dengan pembahasan yang ada. Makna dari "غَايَة" adalah titik tertinggi atau tujuan akhir.
Makna dari "الإعانة"
Adalah memberi kemampuan atau membantu. Dalam konteks ini, bantuan tersebut bukanlah kewajiban, tetapi sebuah anugerah dan keutamaan dari Allah kepada hamba-Nya. Ini menunjukkan bahwa pertolongan Allah tidak dipaksa atau wajib, melainkan merupakan kemurahan dan karunia-Nya.
Ucapan beliau (من فضله)
Frasa ini menegaskan bahwa bantuan atau pertolongan Allah kepada hamba-Nya tidaklah wajib bagi-Nya, melainkan diberikan sebagai karunia dan kebaikan dari Allah. Ini juga merupakan bantahan terhadap al-Mu'tazilah, yang berpendapat bahwa Allah wajib melakukan segala hal yang baik dan terbaik. Dalam pandangan mereka, Allah tidak bisa tidak melakukan apa yang dianggap sebagai tindakan baik atau tepat. Namun, dalam pandangan Ahlus-Sunnah, Allah tidak terikat pada kewajiban seperti itu.
Ucapan beliau (على تمام هذا المختصر)
Frasa ini menunjukkan bahwa tujuan dari penyusunan ringkasan ini adalah untuk menyampaikan kesempurnaan dan keseluruhan materi. Dengan kata lain, seluruh penjelasan atau rangkuman ini haruslah mencakup secara lengkap dan utuh, tanpa kekurangan.
Dari ini juga dapat dipahami bahwa khutbah (pidato) atau penjelasan awal menjadi dasar sebelum menyusun materi atau ringkasan selanjutnya, yang memberikan gambaran umum tentang tujuan atau topik yang akan dibahas.
قَوْلُهُ (وَفِي التَّوْفِيقِ) عَطْفٌ عَلَى فِي الْإِعَانَةِ. وَالْمُرَادُ بِالتَّوْفِيقِ هُنَا أَنْ يَذْكُرَ الْأَحْكَامَ مُوَافِقَةً لِلصَّوَابِ، لَا مَعْنَاهُ الْمَعْرُوفُ، وَهُوَ خَلْقُ قُدْرَةِ الطَّاعَةِ فِي الْعَبْدِ وَتَسْهِيلُ سَبِيلِ الْخَيْرِ إِلَيْهِ
"Ucapan (dan dalam taufik) adalah koordinasi dengan (dalam pertolongan). Yang dimaksud dengan taufik di sini adalah menyebutkan hukum-hukum yang sesuai dengan kebenaran, bukan makna yang dikenal, yaitu menciptakan kemampuan untuk taat dalam diri seorang hamba dan memudahkan jalan kebaikan baginya."
وَقَوْلُهُ (لِلصَّوَابِ) الْمُرَادُ بِهِ مَا هُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ فِي الْوَاقِعِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ صَوَابًا فِي نَفْسِ الْأَمْرِ. لِأَنَّ الْمَطْلُوبَ مِنَ الشَّخْصِ مُوَافَقَةُ إِمَامِهِ لَا مُوَافَقَةُ مَا فِي الْوَاقِعِ، لِأَنَّهُ لَا اطِّلَاعَ لَنَا عَلَيْهِ
"Dan ucapannya (untuk kebenaran) yang dimaksudkan adalah apa yang sesuai dengan mazhab Syafi'i dalam kenyataannya, meskipun itu belum tentu benar dalam hakikatnya. Sebab, yang dituntut dari seseorang adalah mengikuti imamnya, bukan mengikuti apa yang sebenarnya benar dalam kenyataan, karena kita tidak memiliki pengetahuan tentang hal itu."
قَوْلُهُ (وَهُوَ ضِدُّ الْخَطَإِ) أَيْ بِحَسَبِ الْأَصْلِ. يُقَالُ: صَابَ وَأَصَابَ إِذَا لَمْ يُخْطِئْ، وَقَدْ عَلِمْتَ الْمُرَادَ بِهِ هُنَا
"Ucapannya (dan itu adalah lawan dari kesalahan) maksudnya adalah berdasarkan asalnya. Dikatakan: 'Shaaba' dan 'Ashaaba' jika tidak melakukan kesalahan, dan engkau telah mengetahui maksud yang dimaksudkan di sini."
قَوْلُهُ (إِنَّهُ) بِفَتْحِ الْهَمْزَةِ عَلَى تَقْدِيرِ اللَّامِ، وَبِكَسْرِهَا اسْتِئْنَافًا، لَكِنَّ الْقَصْدَ مِنْهُ التَّعْلِيلُ لِقَوْلِهِ: طَالِبًا رَاغِبًا. وَالضَّمِيرُ عَائِدٌ لِلَّهِ. وَلِذَلِكَ قَالَ الشَّارِحُ: تَعَالَى أَيْ تَنَزَّهَ عَمَّا لَا يَلِيقُ بِهِ
"Ucapannya (sesungguhnya Dia) dengan membuka hamzah menunjukkan takdir lam (lianna), dan dengan memecahkannya menunjukkan permulaan kalimat baru (istinaf). Namun, maksud dari ungkapan tersebut adalah sebagai alasan untuk ucapannya: 'dalam keadaan mencari dan berharap'. Kata ganti tersebut merujuk kepada Allah. Oleh karena itu, sang penjelas berkata: 'Ta'ala', yaitu Maha Suci dari segala sesuatu yang tidak layak bagi-Nya."
قَوْلُهُ (عَلَى مَا يَشَاءُ) مُتَعَلِّقٌ بِقَدِيرٍ، وَقَدَّمَهُ عَلَيْهِ مُرَاعَاةً لِلسَّجْعِ. وَ(مَا) اسْمُ مَوْصُولٌ، وَالْعَائِدُ مَحْذُوفٌ أَيْ عَلَى الَّذِي يَشَاؤُهُ
"Ucapannya (atas apa yang Dia kehendaki) berkaitan dengan 'Maha Kuasa' (Qadiir), dan ia mendahulukannya demi menjaga keselarasan akhir kalimat (saj’). Kata 'ma' adalah isim maushul (kata ganti penghubung), dan kata gantinya dihilangkan, yaitu (maknanya): 'atas apa yang Dia kehendaki'."
قَوْلُهُ (أَيْ يُرِيدُ) فَسَّرَ الْمَشِيئَةَ بِالْإِرَادَةِ لِأَنَّهَا أَظْهَرُ. وَالْإِرَادَةُ صِفَةٌ وُجُودِيَّةٌ قَائِمَةٌ بِذَاتِهِ تَعَالَى، تُخَصِّصُ الْمُمْكِنَ بِبَعْضِ مَا يَجُوزُ عَلَيْهِ كَالْوُجُودِ وَالْعَدَمِ، وَالْبَيَاضِ وَالسَّوَادِ، وَالْعِلْمِ وَالْجَهْلِ، وَالْغِنَى وَالْفَقْرِ وَغَيْرِ ذَلِكَ
"Ucapannya (yaitu menghendaki) menafsirkan 'mashi'ah' (kehendak) dengan 'iradah' (keinginan) karena lebih jelas. Iradah adalah sifat yang bersifat keberadaan, berdiri pada Dzat-Nya yang Maha Tinggi, yang menentukan sesuatu yang mungkin (mumkin) dengan sebagian dari apa yang memungkinkan baginya, seperti keberadaan dan ketiadaan, putih dan hitam, ilmu dan kebodohan, kekayaan dan kemiskinan, serta hal-hal lainnya."
قَوْلُهُ (قَدِيرٌ) فَعِيلٌ بِمَعْنَى فَاعِلٍ، كَمَا أَشَارَ إِلَيْهِ الشَّارِحُ بِقَوْلِهِ: أَيْ قَادِرٌ، وَلَيْسَ بِمَعْنَى مَفْعُولٍ. وَالْأَوْلَى أَنْ يَقُولَ: أَيْ تَامُّ الْقُدْرَةِ، كَمَا يُفِيدُ قَدِيرٌ، لِأَنَّ فَعِيلًا مِنْ صِيَغِ الْمُبَالَغَةِ، إِلَّا أَنْ يُقَالَ: الْمُرَادُ أَيْ قَادِرٌ قُدْرَةً تَامَّةً. وَالْقُدْرَةُ صِفَةٌ وُجُودِيَّةٌ قَائِمَةٌ بِذَاتِهِ تَعَالَى، يَتَأَتَّى بِهَا إِيجَادُ كُلِّ مُمْكِنٍ وَإِعْدَامُهُ عَلَى وَفْقِ الْإِرَادَةِ.
"Ucapannya (Qadiir) adalah bentuk fa'iil yang bermakna pelaku (fa'il), sebagaimana dijelaskan oleh sang penjelas dengan ucapannya: 'yaitu yang berkuasa (qadir)', dan bukan bermakna objek yang dilakukan (maf'ul). Namun, lebih utama jika dikatakan: 'yaitu yang memiliki kekuasaan sempurna', sebagaimana makna yang disampaikan oleh kata Qadiir, karena fa'iil adalah salah satu bentuk untuk menunjukkan makna yang berlebihan (mubalaghah). Kecuali jika dikatakan bahwa yang dimaksud adalah 'yang berkuasa dengan kekuasaan yang sempurna'. Kekuasaan (qudrah) adalah sifat yang bersifat keberadaan, berdiri pada Dzat-Nya yang Maha Tinggi, dengan sifat tersebut Dia mampu menciptakan segala sesuatu yang mungkin dan meniadakannya sesuai dengan kehendak-Nya (iradah)."
قَوْلُهُ (وَبِعِبَادِهِ) مُتَعَلِّقٌ بِلَطِيفٍ خَبِيرٍ، وَقَدَّمَهُ مُرَاعَاةً لِلسَّجْعِ، كَمَا تَقَدَّمَ فِيمَا قَبْلَهُ. وَظَاهِرُ كَلَامِ الشَّارِحِ أَنَّهُ مُتَعَلِّقٌ بِلَطِيفٍ فَقَطْ، وَمُتَعَلِّقُ خَبِيرٍ مَحْذُوفٌ قَدَّرَهُ بِقَوْلِهِ: بِأَحْوَالِ عِبَادِهِ. وَالْعِبَادُ جَمْعُ عَبْدٍ، وَهُوَ الْإِنْسَانُ حُرًّا كَانَ أَوْ رَقِيقًا
"Ucapannya (dan kepada hamba-hamba-Nya) berkaitan dengan Lathiif dan Khabiir, dan diletakkan terlebih dahulu untuk menjaga keselarasan akhir kalimat (saj’), sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Ungkapan penjelasnya menunjukkan bahwa kata tersebut hanya berkaitan dengan Lathiif, sedangkan kaitannya dengan Khabiir dihilangkan dan diperkirakan dengan ucapannya: 'dengan keadaan para hamba-Nya'. Kata 'ibad adalah bentuk jamak dari 'abd, yang berarti manusia, baik merdeka maupun hamba sahaya."
وَالْعُبُودِيَّةُ تَرْكُ الِاخْتِيَارِ وَعَدَمُ مُنَازَعَةِ الْأَقْدَارِ وَالثِّقَةُ بِالْفَاعِلِ الْمُخْتَارِ
"Penghambaan (‘ubudiyyah) adalah meninggalkan pilihan, tidak menentang takdir, dan percaya sepenuhnya kepada Sang Pelaku yang Maha Berkehendak."
قَوْلُهُ (لَطِيفٌ) مِنْ لَطُفَ يَلْطُفُ مِنْ بَابِ ظَرُفَ يَظْرُفُ، وَقَوْلُهُ: خَبِيرٌ مِنْ خَبَرَ يَخْبُرُ مِنْ بَابِ نَصَرَ يَنْصُرُ
"Ucapannya (Lathiif) berasal dari kata laṭafa yang berarti yaltufu (lembut, halus) dalam bentuk ẓarafa yang berarti yaẓrufu (tulus, penuh perhatian). Dan ucapannya (Khabiir) berasal dari kata khabara yang berarti yakhburu (mengetahui, memberi kabar) dalam bentuk naṣara yang berarti yanṣuru (membantu, menolong)."
قَوْلُهُ (بِأَحْوَالِ عِبَادِهِ) مُتَعَلِّقٌ بِالثَّانِي عَلَى مَا يَظْهَرُ مِنْ صَنِيعِ الشَّارِحِ
"Ucapannya (dengan keadaan hamba-hamba-Nya) berkaitan dengan yang kedua, sesuai dengan apa yang tampak dari penjelasan sang penjelas."
قَوْلُهُ (وَالْأَوَّلُ) هُوَ لَطِيفٌ، وَقَوْلُهُ مُقْتَبَسٌ أَيْ مَأْخُوذٌ وَتَقَدَّمَ مَعْنَى الِاقْتِبَاسِ
"Ucapan beliau (dan yang pertama) adalah Lathiif, dan ucapan beliau (muqtabaS) berarti diambil dari, dan telah dijelaskan makna dari iqtibas (mengambil)."
قَوْلُهُ (وَالثَّانِي) هُوَ خَبِيرٌ وَقَوْلُهُ مِنْ قَوْلِهِ الخ أَيْ مُقْتَبَسٌ مِنْ قَوْلِهِ الخ
"Ucapan beliau (dan yang kedua) adalah Khabiir, dan ucapan beliau (min qawlihi) berarti diambil dari ucapan beliau, dan seterusnya."
قَوْلُهُ (وَاللَّطِيفُ وَالْخَبِيرُ اسْمَانِ الخ) بَيَانٌ لِمَا اشْتَرَكَ فِيهِ الاسْمَانِ، وَهُوَ أَنَّهُمَا اسْمَانِ مِنْ أَسْمَائِهِ تَعَالَى الْحُسْنَى الْمَذْكُورَةِ فِي حَدِيثِ: ((إِنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ)).
"Ucapan beliau (dan Lathiif dan Khabiir adalah dua nama, dst.) adalah penjelasan tentang kesamaan antara kedua nama tersebut, yaitu keduanya termasuk nama-nama Allah yang Maha Indah yang disebutkan dalam hadits: 'Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, barang siapa yang menghitungnya, akan masuk surga.'"
قَوْلُهُ (وَمَعْنَى الْأَوَّلِ) أَيْ الَّذِي هُوَ لَطِيفٌ، وَقَوْلُهُ: الْعَالِمُ بِدَقَائِقِ الْأُمُورِ أَيْ بِخَفِيَّتِهَا. فَالدَّقَائِقُ بِمَعْنَى الْخَفِيَّاتِ.
"Ucapan beliau (dan makna yang pertama) yaitu yang Lathiif, dan ucapan beliau: 'Yang mengetahui secara mendalam tentang urusan-urusan' yaitu tentang hal-hal yang tersembunyi. Jadi, ad-daqaa’iq berarti hal-hal yang tersembunyi."
وَقَوْلُهُ: وَمُشْكِلَاتِهَا أَيْ خَفِيَّاتِهَا، فَهُوَ بِمَعْنَى مَا قَبْلَهُ فَيَكُونُ عَطْفُهُ مِنْ قَبِيلِ عَطْفِ الْمُرَادِفِ
"Dan ucapan beliau: 'Dan kesulitan-kesulitannya' yaitu tentang hal-hal yang tersembunyi, maka ini bermakna sama dengan yang sebelumnya, sehingga penghubungnya termasuk dalam kategori penghubung sinonim."
وَيَلْزَمُ مِنْ عِلْمِ خَفِيَّاتِ الْأُمُورِ عِلْمُ ظَوَاهِرِهَا بِالْأَوْلَى
"Dan yang diperlukan dari pengetahuan tentang hal-hal yang tersembunyi adalah pengetahuan tentang yang tampak, terlebih dahulu."
قَوْلُهُ (وَيُطْلَقُ) أَيْ اللَّطِيفُ الْمُعَبَّرُ عَنْهُ بِالْأَوَّلِ، وَقَوْلُهُ أَيْضًا: أَيْ كَمَا أُطْلِقَ بِمَعْنَى الْعَالِمِ بِدَقَائِقِ الْأُمُورِ وَمُشْكِلَاتِهَا، وَقَوْلُهُ: بِمَعْنَى الرَّفِيقِ بِهِمْ أَيْ عَلَى مَعْنَى هُوَ الرَّفِيقُ بِعِبَادِهِ.
"Ucapan beliau (dan diungkapkan) yaitu Lathiif yang dijelaskan dengan yang pertama, dan ucapan beliau juga: yaitu sebagaimana diungkapkan dengan makna 'yang mengetahui tentang hal-hal yang tersembunyi dan kesulitan-kesulitannya', dan ucapan beliau: 'dengan makna yang penuh perhatian terhadap mereka', yaitu dengan makna bahwa Dia adalah yang penuh perhatian terhadap hamba-hamba-Nya."
فَالْبَاءِ بِمَعْنَى عَلَى، وَإِضَافَةُ مَعْنًى لِلرَّفِيقِ لِلْبَيَانِ، وَالضَّمِيرُ فِي بِهِمْ لِلْعِبَادِ
"Maka ba di sini bermakna 'ala' (atas), dan penambahan makna pada ar-rafiiq (yang penuh perhatian) adalah untuk penjelasan, dan kata ganti pada bi-him merujuk kepada ‘ibad (hamba-hamba)."
قَوْلُهُ (فَاللَّهُ الخ) تَفْرِيعٌ عَلَى الْمَعْنَيَيْنِ عَلَى اللَّفِّ وَالنَّشْرِ الْمُرَتَّبِ
"Ucapan beliau (maka Allah, dst.) adalah penurunan atau hasil dari kedua makna yang ada, yaitu pada penggabungan (al-laf) dan penyebaran (an-nashr) yang teratur."
فَقَوْلُهُ: عَالِمٌ بِعِبَادِهِ وَبِمَوَاضِعِ حَوَائِجِهِمْ وَغَيْرِهَا
"Ucapan beliau: 'Yang mengetahui tentang hamba-hamba-Nya dan tempat-tempat kebutuhan mereka dan lainnya.'"
وَقَوْلُهُ: وَبِمَوَاضِعِ حَوَائِجِهِمْ أَيْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ. وَكَذَلِكَ عَالِمٌ بِأَوْقَاتِ قَضَائِهَا لَا يَخْفَى عَلَيْهِ شَيْءٌ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى
"Dan ucapan beliau: 'Dan tentang tempat-tempat kebutuhan mereka' yaitu di dunia dan akhirat. Demikian juga, 'Yang mengetahui waktu-waktu pelaksanaannya' (yaitu waktu-waktu kebutuhan mereka), tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya, Maha Suci dan Maha Tinggi Allah."
وَقَوْلُهُ: رَفِيقٌ بِهِمْ فَلَا يُكَلِّفُهُمْ مَا لَا يُطِيقُونَ. قَالَ تَعَالَى: (لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا) ((الْبَقَرَةُ: ٢٨٦))
"Dan ucapan beliau: 'Yang penuh perhatian terhadap mereka, sehingga Dia tidak membebani mereka dengan apa yang tidak mereka mampu.' Allah berfirman: 'Allah tidak membebani seorang pun melainkan sesuai dengan kemampuannya.' (QS. Al-Baqarah: 286)."
أَيْ طَاقَاتِهَا. قَوْلُهُ (وَمَعْنَى الثَّانِي) أَيْ الَّذِي هُوَ خَبِيرٌ، وَقَوْلُهُ: قَرِيبٌ مِنْ مَعْنَى الْأَوَّلِ أَيْ لِأَنَّهُ بِمَعْنَى الْعَلِيمِ بِبَوَاطِنِ الْأَشْيَاءِ، فَهُوَ وَإِنْ كَانَ غَيْرَهُ لَكِنَّهُ قَرِيبٌ مِنْهُ
"Yaitu sesuai dengan kemampuannya. Ucapan beliau (dan makna yang kedua) yaitu yang Khabiir, dan ucapan beliau: 'Terdekat dengan makna yang pertama' yaitu karena maknanya adalah ‘Aliim yang mengetahui tentang kedalaman (bawaatin) segala sesuatu, meskipun itu berbeda, namun tetap dekat dengan makna yang pertama."
قَوْلُهُ (وَيُقَالُ الخ) غَرَضُهُ بَيَانُ مَعْنَى الثَّانِي الَّذِي عُبِّرَ عَنْهُ بِأَنَّهُ قَرِيبٌ مِنْ مَعْنَى الْأَوَّلِ
"Ucapan beliau (dan dikatakan, dst.) tujuannya adalah untuk menjelaskan makna yang kedua, yang diungkapkan dengan bahwa maknanya dekat dengan makna yang pertama."
وَقَوْلُهُ: خَبَرْتُ الشَّيْءَ بِفَتْحِ الْبَاءِ وَقَوْلُهُ: أَخْبَرْتُهُ بِضَمِّهَا لِمَا تَقَدَّمَ أَنَّهُ مِنْ بَابِ نَصَرَ يَنْصُرُ، وَقَوْلُهُ: فَأَنَا بِهِ خَبِيرٌ أَيْ فَأَنَا بِهَذَا الشَّيْءِ خَبِيرٌ
"Dan ucapan beliau: 'Saya mengetahui sesuatu' dengan membuka ba, dan ucapan beliau: 'Saya memberitahunya' dengan menutup ba adalah sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa itu berasal dari kata naṣara yang berarti yansuru (membantu). Dan ucapan beliau: 'Maka saya dengan itu mengetahui' yaitu 'Saya dengan hal ini mengetahui.'"
وَقَوْلُهُ: أَيْ عَلِيمٌ أَيْ بِبَاطِنِهِ كَظَاهِرِهِ
"Dan ucapan beliau: 'Yaitu ‘Aleem' yaitu mengetahui tentang dalamannya sebagaimana dia mengetahui tentang yang tampak."
0 Response to "Terjemahan Hasyiah Al-Bajuri Bag 2 Bismillah Hamdalah dan Sholawat"
Posting Komentar
Silahkan untuk memberikan komentar, dan berilah kami kritik, saran dan kesan.