Mengenal Istilah Kitab Kuning |
Dalam dunia keislaman, kita sering mendengar istilah "nama Kitab Kuning" yang merujuk pada sejumlah buku-buku klasik berbahasa Arab. Istilah ini sering kali menarik perhatian, terutama bagi mereka yang ingin menelusuri dan memperdalam pemahaman tentang Islam. Mari kita mengenal lebih dekat istilah "nama Kitab Kuning" dan mengungkap mengapa karya-karya ini begitu penting dalam tradisi keilmuan Islam.
Kitab Kuning adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada koleksi buku klasik yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama-ulama Muslim dari berbagai periode dalam sejarah Islam. Nama "Kitab Kuning" sendiri sebenarnya bukan judul suatu buku tertentu, tetapi lebih sebagai istilah kolektif untuk kumpulan berbagai jenis buku yang membahas berbagai aspek agama, hukum, filsafat, dan tradisi keislaman.
Ada beberapa alasan mengapa kitab-kitab dalam Kitab Kuning disebut demikian. Pertama, istilah ini merujuk pada warna kertas tradisional yang digunakan dalam cetakan buku-buku tersebut, yaitu kuning atau kecokelatan. Warna kertas ini secara historis dipilih karena kepraktisan dan ketersediaannya di masa lalu. Kedua, istilah ini juga mencerminkan keistimewaan dan kedalaman pengetahuan yang terkandung dalam kitab-kitab ini, yang dianggap berharga dan harus dihormati.
Koleksi kitab dalam Kitab Kuning meliputi berbagai topik dan disiplin ilmu. Ada yang membahas tentang tafsir Al-Quran, hadis, fiqh (hukum Islam), aqidah (teologi), tasawuf (mistisisme Islam), sejarah Islam, dan banyak lagi. Kitab-kitab ini ditulis oleh ulama terkemuka seperti Imam Ghazali, Ibnu Hajar al-Asqalani, Ibnu Taymiyyah, Imam Nawawi, dan banyak lagi.
Kitab Kuning memainkan peran penting dalam tradisi keilmuan Islam. Buku-buku ini telah menjadi rujukan utama bagi para sarjana dan ulama untuk memahami ajaran agama Islam dan menerapkan hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari. Mereka juga menjadi sumber inspirasi bagi peneliti, penceramah, dan mahasiswa yang berkecimpung dalam studi Islam.
Namun, pentingnya Kitab Kuning juga harus dipandang dengan konteks. Sementara kitab-kitab ini mengandung banyak pengetahuan berharga, penggunaannya harus disesuaikan dengan zaman dan kebutuhan kontemporer. Adalah penting bagi para pembaca dan pengguna Kitab Kuning untuk memahami konteks sejarah di mana kitab-kitab tersebut ditulis dan menginterpretasikannya dengan bijak.
Di era digital saat ini, akses terhadap Kitab Kuning juga semakin mudah. Banyak platform daring yang menyediakan versi digital dari kitab-kitab ini, memungkinkan para pencari ilmu untuk membaca, mempelajari, dan merujuknya dengan lebih praktis. Hal ini telah membantu memperluas jangkauan dan aksesibilitas kitab-kitab ini ke seluruh dunia.
Dalam rangka mempromosikan pemahaman yang benar dan mendorong studi yang mendalam tentang Islam, penting bagi para pelajar dan pencari ilmu untuk mengenal dan menghargai keberadaan Kitab Kuning. Dengan mempelajari kitab-kitab ini, generasi masa kini dapat memahami warisan ilmiah Islam yang kaya dan menerapkannya dalam konteks kehidupan modern.
Itulah gambaran tentang istilah "nama Kitab Kuning" dalam dunia keislaman. Melalui pemahaman dan penggunaan yang bijak, kitab-kitab ini dapat menjadi sumber pengetahuan yang berharga bagi mereka yang tertarik untuk mengeksplorasi kekayaan tradisi keilmuan Islam.
Istilah Kategori Golongan Kitab Kuning
Ketika mempelajari karakteristik kitab-kitab kuning atau kitab klasik , kita akan mendapatkan banyak istilah yang berkenaan dengannya. Adanya istilah-istilah itu merupakan salah satu bukti tradisi ilmiah yang berkembang dalam khazanah pengetahuan Islam.
Baca juga tulisan sebelumnya : Istilah dan Gelar Ulama dalam Kitab Kuning
Baca juga tulisan sebelumnya : Istilah dan Gelar Ulama dalam Kitab Kuning
Matan (Kitab Matan)
Berasal dari kata matn, yang bermakna keras (salb, sinonimnya). Bila kata matn disandingkan dengan kata lughah (matn al-lughah), berarti asal-usul, kosakata, dan lafal suatu bahasa. Bila dihubungkan dengan kata kitab (matn al-kitab), berarti teks asli kitab. Contoh kitab matan ini seperti kitab fiqih Al-Ghayah wa at-Taqrib, karya Abu Syuja, Az-Zubad, karya Ibn Ruslan, dan kitab tata bahasa Arab, seperti Al-Bina wa al-Asas serta Al-Ajurumiyyah.
Kitab matan ini terkadang juga disusun dalam bentuk nazham (syair), seperti kitab Az-Zubad, Alfiyyah Ibn Malik, Al-‘Imrithi, Manzhumah al-Yawaqit, karya Sayyid Muhammad bin Ahmad Asy-Syathiri, Aqidah al-‘Awam, karya Syaikh Ahmad Al-Marzuqi.
Dalam wacana keilmuan Islam pada perkembangan berikutnya, istilah matan atau bentuk jamaknya, mutun, bermakna kitab-kitab pokok yang menjadi pegangan madzhab dan rujukan utama bagi madzhab tersebut. Istilah matn yang spesifik ini berkembang terutama dalam Madzhab Hanafi, seperti kitab Al-Mukhtashar, karya Abu Al-Husain bin Ahmad bin Muhammad Al-Kuduri, kitab Bidayah al-Mubtadi, Ad-Durr al-Mukhtar, dan Multaqa al-Abhur.
Syarah (Syarah Kitab)
Sebagai kata, "Syarah" memiliki arti yang banyak, di antaranya memotong (qatha’a), menyingkap (kasyafa), membuka (fataha), memahami (fahima), menjelaskan (bayyana), menafsirkan (fassara), dan memperluas (wassa’a).
Dalam istilah fiqih, syarah bisa berarti penjelasan suatu istilah atau suatu kitab secara keseluruhan. Kitab syarah selalu dibarengi dengan teks asli (matan) dari kitab yang diulasnya. Contohnya, kitab Al-Majmu’, karya An-Nawawi, yang mensyarah kitab Al-Muhadzdzab, karya Abu Ishaq Asy-Syirazi, dan kitab Fath al-Qarib, karya Ibn Al-Qasim Al-Ghuzzi, yang merupakan syarah kitab Al-Ghayah wa at-Taqrib, karya Syaikh Abu Syuja‘. Ada juga kitab Al-Kharit ‘ala Manzhumah al-Yawaqit oleh Sayyid Muhammad bin Hasyim Bin Thahir atas Manzhumah al-Yawaqit, karya Sayyid Muhammad bin Ahmad Asy-Syathiri. Begitu pula dengan Al-Muwaththa‘, karya Imam Malik, yang disyarah oleh Ibnu Salamah Al-Ahfasyi dalam karyanya Tafsir Gharib al-Muwaththa‘, kitab Kifayah al-‘Awam, yang disyarah Al-Bantani dengan karya berjudul ‘Aqidah al-‘Awam, kitab ar-Risalah, karya Al-Qairawani Al-Maliki, yang disyarah Ibn Al-Fakhkhar Al-Judzami dengan karya berjudul Nash al-Maqalah fi Syarh ar-Risalah, kitab Al-Kharraj, karya Imam Abu Yusuf Al-Hanafi, yang disyarah oleh Ibnu Muhammad Ar-Rahibi dengan karya berjudul Fiqh al-Muluk ‘ala Khizanah Kitab al-Kharaj.
Munculnya syarah atas suatu kitab matan adalah bukti aktivitas ilmiah dan akademis di kalangan ulama masa lampau. Upaya syarah sangat dibutuhkan untuk menerjemahkan maksud penulis kitab matan bagi para pembacanya, sehingga mereka dapat memahami teks-teks tersebut.
Tradisi syarah ini berkembang pesat setelah mapannya pembentukan madzhab fiqih (tadwin al-madzahib) sekitar abad ke-3 H/8 M, bahkan kegiatan syarah telah muncul di masa tabi’in, ketika mereka melakukan syarah atas warisan karya yang ditinggalkan masa sahabat. Abu Zinad Abdullah bin Zakwan (w. 131 H/748 M), misalnya, mensyarah kitab Al-Fara‘idh, yang ditulis Zaid bin Tsabit (w. 45 H/665 M). Matan dan syarah bidang ilmu waris ini dinukil oleh Abu Bakar Ahmad Al-Baihaqi dalam kitabnya As-Sunan al-Kubra, sebuah kitab induk dalam hadits.
Hasyiyah (Kitab Hasyiah)
Sebagai kata, hasyiyah berarti anggota badan yang berada di dalam perut, seperti limpa dan jantung. Juga dapat berarti bagian pinggir baju. Jika artinya digabungkan dengan kitab (hasyiyah al-kitab), berarti catatan yang ditulis menyangkut isi kitab tersebut.
Dalam konteks fiqih, istilah hasyiyah merupakan penjelasan yang lebih luas dari syarah. Pada umumnya, hasyiyah merupakan tangga penjelasan ilmiah kedua atas karya matan setelah syarah. Contohnya, kitab Fath al-Qarib, karya Ibn Al-Qasim Al-Ghuzzi, yang merupakan syarah kitab Al-Ghayah wa at-Taqrib, yang diberikan catatan tambahan dan perluasan oleh Ibrahim Al-Bajuri dalam karyanya Hasyiyah Al-Bajuri. Ada juga hasyiyah di bidang tafsir, seperti hasyiyah Syaikh Ahmad Ash-Shawi Al-Maliki atas kitab tafsir karya dua ulama agung, As-Suyuthi dan Al-Mahalli, yang dikenal dengan Hasyiyah Ash-Shawi ‘ala Tafsir al-Jalalayn.
Namun ada juga kitab hasyiyah, sebagaimana yang dinamakan sendiri oleh penulisnya, yang mensyarah kitab matan, langsung tanpa melalui syarahnya. Salah satu contohnya adalah karya Syaikh Abdullah bin Fadhl Asy-Syaikh Al-Asymawi atas kitab Matn al-Ajrumiyyah yang berjudul Hasyiyah al-Asymawi.
Hasyiyah digunakan untuk menjelaskan lebih jauh materi yang terdapat di kitab matan dan kitab syarah. Biasanya persoalan-persoalan yang kurang transparan dalam matan dan syarah diperjelas lagi dalam karya yang disebut hasyiyah ini.
Mukhtashar (Kitab Mukhtashar)
Sebagai kata mukhtashar berarti ringkasan, intisari. Istilah ini sepadan dengan kata khulashah dan mujaz.
Mukhtashar merupakan salah satu bentuk kreativitas ilmiah dalam sejarah intelektual Islam, karena tujuan penulisan karya-karya ini untuk menyusun isi suatu kitab secara ringkas, sistematis, dan tematis, sehingga memudahkan generasi pelajar berikutnya untuk memahami dan menyelami pemikiran-pemikiran pokok sang penulis.
Banyak kitab matan yang diringkas, seperti kitab Ihya ‘Ulum ad-Din, yang diringkas oleh pengarangnya sendiri, Hujjatul Islam Imam Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali, yang disebut Mukhtashar al-Ihya. Al-Musnad, karya Imam Ahmad bin Hanbal, yang diringkas oleh putranya, Abdullah bin Ahmad, dengan judul Tsulatsiyyat. Contoh lainnya, kitab Mukhtashar al-Mudawwanah, karya Al-Qairawani, yang merupakan ringkasan kitab Al-Mudawwanah al-Kubra, karya Abdussalam bin Said At-Tanukhi, kitab Asy-Syafi fi Ikhtishar al-Kafi, karya Abu Al-Baqa Al-Qurasyi, yang merupakan ringkasan kitab Al-Kafi fi al-Fiqh, karya Abu al-Fadhl Muhammad Al-Marwazi.
Hawamisy
Sebagai kata, hawamisy adalah bentuk jamak hamisy, yang artinya uraian panjang lebar atau kumpulan. Jika dikaitkan dengan kata kitab (hamisy al-kitab), artinya memberi penjelasan atas syarah atau hasyiyah, maupun ta’liqat (catatan-catatan berupa penilaian, sikap, kritik terhadap matan kitab atau hasil studi terhadap dalil/nash yang ada dalam kitab matan tersebut).
Dalam tradisi literatur, hamisy atau hawamisy ini adalah tulisan yang biasanya berada di luar margin kitab sumbernya, baik berbentuk syarah, hasyiyah, maupun lainnya. Contoh, Hasyiyah Al-Qalyubi wa Al-Umairah, yang berada di luar margin kitab Minhaj ath-Thalibin, karya Imam An-Nawawi. Artinya, hasyiyah ini posisinya sebagai hamisy. Tapi ada juga yang di dalam margin.
Ada pula yang matannya diletakkan di luar margin, sehingga matan kitab itu disebut hamisy, seperti kitab Faydh al-Ilah al-Malik, karya Umar bin Muhammad Al-Barakat, yang di luar margin kitab matannya, ‘Umdah as-Salik wa ‘Uddah as-Salik, karya Syihabuddin Ahmad Al-Mishri. Maka karya yang disebut terakhir adalah sebagai hamisy-nya.
0 Komentar
Silahkan untuk memberikan komentar, dan berilah kami kritik, saran dan kesan.